Tag Archives: pengurus besar nahdlatul ulama

DMI Dorong Kolaborasi dengan LF PBNU, Pastikan Arah Kiblat Masjid Akurat



Jakarta

Dewan Masjid Indonesia (DMI) menegaskan pentingnya kerja sama dengan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) untuk memastikan arah kiblat masjid-masjid di seluruh Indonesia tepat mengarah ke Ka’bah.

Sekretaris Jenderal DMI, Rahmat Hidayat, menyampaikan bahwa kolaborasi dengan LF PBNU menjadi langkah strategis dalam memperkuat dakwah, khususnya terkait keakuratan arah kiblat yang merupakan syarat sah dalam ibadah shalat.

“Ini penting kerja sama dengan ketua Falakiyah untuk memastikan arah kiblat itu mengarah dengan benar,” ujarnya saat memberi sambutan dalam Sarasehan di Gedung PP DMI, Matraman, Jakarta, Senin (28/7/2025).


Ia menambahkan bahwa ketepatan arah kiblat harus menjadi perhatian utama seluruh pengurus masjid, agar benar-benar mengarah ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah.

Senada, Ketua Bidang Dakwah, Seni Budaya, dan Syiar Islam PP DMI, KH Abdul Manan Abdul Ghani menegaskan pentingnya ketepatan arah kiblat. “Betapa pentingnya arah kiblat ini. Jangan sampai kiblatnya kita ke Etiopia, ke Britania,” ujarnya dengan nada mengingatkan.

KH Abdul Manan secara khusus meminta kepada Ketua LF PBNU, KH Sirril Wafa, untuk memberikan edukasi kepada pengurus DMI dari berbagai wilayah seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Ia juga mendorong agar LF PBNU menjalin koordinasi aktif dengan pengurus DMI di berbagai daerah dalam upaya kalibrasi kiblat masjid.

Menanggapi hal tersebut, KH Sirril Wafa menegaskan urgensi kalibrasi arah kiblat, mengingat penyimpangan satu derajat saja dapat menyebabkan pergeseran hingga lebih dari 138 kilometer dari arah Ka’bah.

“Kalibrasi sangat penting sekali. Tidak perlu menunggu perintah pemerintah. Ini masalah shalat,” tegasnya.

Ia menyebut bahwa ketidaktepatan arah kiblat dapat menimbulkan ketidaknyamanan di tengah jamaah. Karena itu, DMI diharapkan berperan aktif dalam membimbing pengurus masjid melakukan kalibrasi ulang.

“DMI memiliki otoritas untuk itu. DMI memiliki posisi sentral untuk membimbing para pengurus masjid mengkalibrasi,” tegasnya lagi.

Kiai Sirril mengungkapkan bahwa LF PBNU selama ini telah banyak membantu proses kalibrasi arah kiblat, baik untuk masjid baru maupun untuk pengukuran ulang masjid lama. Ia menilai bahwa tanggung jawab ini harus diemban bersama oleh masyarakat, ulama, pakar, dan para pengurus masjid.

“Aksinya memang kita harus: masyarakat, ulama, pakar, dewan masjid memiliki tanggung jawab. Kalau dibiarkan akan membuyarkan himmah para jamaah,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa perkembangan teknologi semakin mempermudah penentuan arah kiblat dengan tingkat presisi yang semakin tinggi.

“Berkembang teknologi dari masa ke masa, upaya menghitung arah kiblat semakin baik, semakin presisi,” pungkasnya.

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Peta Masalah Dunia Pesantren (1)



Jakarta

Pada masanya, pesantren adalah tonggak penting dalam dunia pendidikan dan pembentukan karakter di Nusantara. Sekarang, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah pesantren mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan era modern tanpa kehilangan jati dirinya? Inilah titik mula dari upaya memahami dan mengatasi persoalan mendasar yang dihadapi pesantren hari ini.

Tema utama pesantren saat ini, dan sekaligus permasalahan utamanya, adalah bagaimana institusi pendidikan ini bertransformasi dari model tradisional menuju integrasi dengan sistem global modern. Untuk membahas urusan ini lebih lanjut, kita tampaknya perlu terlebih dulu menjernihkan cara pandang kita. Salah satu yang perlu dikritisi adalah pandangan bahwa pesantren dimarginalisasi secara sengaja oleh negara. Pemikiran seperti ini mengandung bias seolah-olah pesantren sudah “mengutangi” negara dan sekarang menagih pengakuan.

Faktanya, marginalisasi pesantren bukanlah sesuatu yang sepenuhnya disengaja. Hal ini lebih merupakan dampak dari proses transformasi peradaban menuju konstruksi modern. Kita tahu bahwa pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional yang kita pelihara hingga sekarang, tumbuh dari tradisi lokal yang khas Nusantara. Model seperti ini tidak ditemukan di belahan dunia Islam lainnya, seperti Timur Tengah, Persia, Asia Selatan, atau Afrika. Pesantren betul- betul merupakan produk budaya lokal Nusantara yang lahir dari struktur sosial, budaya, dan politik yang unik di wilayah ini.


Sebelum era kolonial, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada tersedia. Ia menjadi pusat pembelajaran bagi berbagai lapisan masyarakat, menjadi tempat tujuan bagi siapa saja untuk mendapatkan pendidikan akademik dan intelektual. Bahkan anak-anak bangsawan dan putra raja dari seluruh Nusantara menimba ilmu di pesantren.

Namun, ketika masyarakat tradisional Nusantara mulai bersentuhan dengan kekuatan kolonial Eropa, pesantren, bersama elemen tradisional lainnya, perlahan-lahan tergeser. Struktur sosial dan budaya tradisional digantikan oleh konstruksi modern yang diperkenalkan oleh kolonialisme. Bukan hanya pesantren yang mengalami hal ini, tetapi juga lembaga tradisional seperti keraton.

Proses ini membuat pesantren terlihat lambat dalam beradaptasi ke dalam sistem modern. Salah satu alasannya adalah resistensi pesantren terhadap apa pun yang berasal dari kekuatan kolonial. Pada masa penjajahan, pesantren-pesantren, bersama elemen lain dari masyarakat pribumi,

berperan aktif dalam melawan apa saja yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial. Gerakan seperti Taman Siswa di Yogyakarta, yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara, merupakan contoh nyata perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial.

Keraton Yogyakarta juga mengambil inisiatif serupa dengan mengirim seorang santri bernama Muhammad Darwis ke Mekkah untuk belajar modernisasi pendidikan dari Syekh Khatib al- Minangkabawi. Sepulangnya, Darwis, yang kemudian dikenal sebagai Haji Ahmad Dahlan, mendirikan Muhammadiyah untuk mendorong modernisasi pendidikan dengan tetap mempertahankan konten lokal, sehingga tidak harus hanyut ke dalam konten yang disediakan oleh kolonial.
Memahami konteks kesejarahan ini membantu kita melihat problematika pesantren sebagai bagian dari proses transformasi yang kompleks. Langkah ke depan memerlukan upaya untuk menjembatani tradisi pesantren dengan tuntutan zaman modern tanpa kehilangan akar budaya lokalnya.

Transformasi Pesantren: Realitas dalam Konteks Globalisasi

Salah satu ciri khas pesantren sejak masa kolonial adalah etos perlawanan terhadap sistem modern yang diperkenalkan oleh kekuatan kolonial. Meskipun perlawanan ini berlangsung lama, pada akhirnya, pesantren tidak mampu sepenuhnya menghindari dampak dominasi kekuasaan kolonial, yang memiliki sumber daya besar.

Sekolah modern seperti Muhammadiyah, misalnya, awalnya hanya mengadopsi struktur formal pendidikan modern dengan tetap mempertahankan konten lokal yang dirancang oleh para aktivisnya. Namun, seiring waktu, sistem pendidikan Muhammadiyah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang bercorak modern sepenuhnya. Di sisi lain, pesantren tradisional lebih memilih untuk sepenuhnya menolak sistem pendidikan kolonial. Pada masa kakek saya, misalnya, bersekolah di sekolah Belanda adalah sesuatu yang aib. Akibatnya, kalangan pesantren tradisional tertinggal dalam pendidikan formal.

Hingga 1945, anak-anak pesantren tradisional hampir tidak ada yang bersekolah. Sementara itu, dari kalangan lain, tokoh seperti Sumitro Djojohadikusumo-ayah Presiden Prabowo-sudah meraih gelar doktor ekonomi dari universitas di Amerika. Kondisi ini menciptakan kesenjangan besar dalam pendidikan formal antara pesantren dan kelompok masyarakat lainnya.

Baru pada tahun 1960-an, anak-anak dari pesantren tradisional mulai mengenyam pendidikan formal dengan susah payah. Namun, mereka tetap menghadapi kendala, termasuk warisan mentalitas yang sulit sepenuhnya beradaptasi dengan sistem modern. Kiai Ali Maksum,

misalnya, seorang intelektual pesantren terkemuka, mengaku tidak kerasan mengajar di IAIN, semata-mata karena setiap hari harus berangkat ke kampus mengenakan celana panjang.

Kalangan pesantren baru mulai menghasilkan lulusan sarjana pada pertengahan tahun 1970-an- sarjana lulusan IAIN. Sebelumnya, hanya sedikit sekali orang NU yang mencapai gelar sarjana, sementara kalangan modernis sudah lebih dahulu menempati ruang akademik dan intelektual.

Ini beberapa hal yang menurut saya perlu menjadi bagian dari perspektif untuk memahami masalah pesantren dengan lebih jernih. Kita harus berhati-hati agar tidak salah arah, karena jika kita tidak jernih dalam merumuskan masalah dan salah arah ini terus berlanjut, penyelesaiannya akan semakin jauh dari akar masalah. Hanya karena kita bangga terhadap pesantren, tidak berarti bahwa pesantren harus otomatis dianggap sebagai solusi alternatif dalam segala hal. Dunia sudah berubah, dan kita berada di era globalisasi. Tidak ada pilihan lain selain mengintegrasikan diri ke dalam sistem global. Kita melihat Arab Saudi melakukannya. Mereka menyadari bahwa tidak ada jalan lain kecuali menyesuaikan diri dengan sistem global. Pesantren pun perlu memikirkan posisinya dalam konteks global ini.

Transformasi dari model tradisional menuju integrasi ke dalam sistem global yang modern inilah akar dari banyak keluhan yang kita dengar, yang kemudian melahirkan tuntutan-tuntutan afirmasi dan pengakuan. Kita mendengar keluhan bahwa lulusan pesantren sulit diterima di perguruan tinggi negeri. Lalu muncul Undang-Undang Pesantren, sebuah produk yang dipicu oleh desakan pesantren untuk meminta afirmasi, menuntut pengakuan, dan menagih janji pemerintah. Sampai-sampai ada kebijakan penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran tanpa tes bagi hafiz Quran. Ini jelas tidak relevan, dan hal-hal semacam ini lahir dari cara berpikir yang tidak menyentuh akar masalah-pada kekeliruan membaca peta masalah.

Persoalannya bukan pada afirmasi, melainkan pada bagaimana sistem tradisional dapat diintegrasikan ke dalam sistem modern. Suka atau tidak, kita harus memikirkan bagaimana pesantren bisa menyelaraskan praktik tradisionalnya dengan tuntutan sistem pendidikan modern. Ini mencakup tidak hanya sistem pendidikan nasional, tetapi juga sistem global yang semakin terstandar dengan ukuran-ukuran internasional, seperti World University Rankings (WUR) dan lain sebagainya. Globalisasi, bagaimanapun, telah membawa sistem pendidikan ke arah yang mengutamakan standar global, bukan sekadar relevansi lokal.

Transformasi pesantren ke dalam sistem modern tentu membawa konsekuensi logis: ada hal-hal yang bisa didapatkan sebagai insentif integrasi, namun ada juga yang harus dilepaskan atau direlakan hilang. Tantangan utamanya adalah menentukan mana yang harus dipertahankan, dan bagaimana pesantren bisa berintegrasi dengan sistem modern tanpa kehilangan jati diri dan memperoleh manfaat darinya.

Masalah utama pesantren hari ini adalah bagaimana proses transformasi itu dilakukan. Ada masalah-masalah sampingan, misalnya represi politik di masa Orde Baru. Meski itu pernah terjadi, masalah utamanya tetap pada integrasi sistem pendidikan pesantren ke dalam sistem global. Ini memerlukan visi yang jelas dan pendekatan yang strategis, agar pesantren dapat terus berkembang tanpa kehilangan identitasnya dalam menjawab tantangan zaman.

KH. Yahya Cholil Staquf
Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Governing System: Prasyarat Transformasi Pesantren (3)



Jakarta

Jumlah pesantren di Indonesia saat ini mencapai sekitar 42.000, menurut data Kementerian Agama. Lonjakan ini terjadi setelah lahirnya Undang-Undang Pesantren tahun 2019, yang mencatat kenaikan dari 30.000 menjadi lebih dari 42.000 pesantren dalam kurun lima tahun. Namun, pertumbuhan ini tidak dibarengi dengan pengelolaan sistematis. Mayoritas pesantren hidup dengan inisiatif masing-masing, tanpa sistem pengelolaan terpusat, tanpa standar, dan tanpa regulasi yang jelas.

Hingga kini, tidak ada sistem tata kelola yang memastikan pesantren berjalan sesuai dengan standar tertentu. Undang-undang tersebut lebih sering dimanfaatkan untuk membagi-bagi anggaran daripada menciptakan sistem pengelolaan yang terpadu.

Salah satu masalah utama dalam pengelolaan pesantren di Indonesia adalah ketiadaan governing system yang terstruktur. Sistem ini sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pesantren, sebagai lembaga pendidikan berbasis tradisi, dapat berjalan sesuai dengan standar yang menjamin kualitas operasional dan hasil pendidikannya.


Pentingnya Standar dan Regulasi


Governing system memerlukan standar-standar yang jelas di berbagai aspek pesantren, yang mencakup:

1. Standar Infrastruktur

Pesantren membutuhkan regulasi yang menentukan kapasitas ideal setiap fasilitas, seperti ukuran kamar santri dan jumlah penghuni per kamar. Tanpa standar ini, kualitas

kehidupan di pesantren tidak dapat terjamin, terutama di pesantren-pesantren dengan fasilitas terbatas.

2. Standar Kurikulum


Kurikulum harus memiliki keseimbangan antara tradisi keilmuan pesantren dan kebutuhan modern. Hal ini penting agar lulusan pesantren tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga mampu bersaing di dunia yang semakin global.

3. Standar Sumber Daya Manusia

Kualitas tenaga pendidik dan pengelola pesantren harus diatur dengan standar tertentu. Guru atau kiai yang mengajar perlu memiliki kompetensi yang memadai, baik dalam ilmu agama maupun metode pengajaran.

4. Standar Tata Kelola

Pengelolaan pesantren harus memiliki aturan yang mengatur bagaimana lembaga tersebut dikelola, termasuk transparansi keuangan, administrasi, dan pengambilan keputusan.
Tanpa standar-standar ini, kualitas pendidikan di pesantren menjadi tidak terukur, dan hasilnya sulit untuk dipertanggungjawabkan secara logis.

Transformasi pesantren adalah soal negosiasi antara mempertahankan elemen tradisional yang menjadi identitas pesantren dengan mengadopsi elemen modern yang diperlukan untuk integrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Elemen tradisional seperti pola pengajaran kitab kuning, hubungan personal antara kiai dan santri, serta pendekatan pendidikan berbasis spiritualitas harus tetap dijaga. Namun, elemen-elemen ini perlu diselaraskan dengan kebutuhan modern, seperti akses teknologi, kurikulum nasional, dan sertifikasi pendidikan.

Proses ini tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri oleh setiap pesantren. Negara, melalui undang-undang yang telah dibuat, memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan sistem pengelolaan yang memadai bagi pesantren.

Undang-Undang Pesantren yang telah disahkan bukan hanya simbol politik atau kebijakan yang bersifat seremonial. Undang-undang ini membawa konsekuensi besar: negara harus membangun state-of-the-art bagi governing system untuk pesantren. Tanpa itu, undang-undang hanya akan menjadi gimmick (siasat akal-akalan) politik tanpa dampak nyata bagi pengelolaan pesantren.

Lahirnya Majelis Masyayikh di bawah undang-undang tersebut menunjukkan upaya untuk mengatur kualitas keilmuan di pesantren. Namun, hingga kini tidak ada standar yang jelas tentang bagaimana kriteria anggota majelis ini ditentukan atau apa indikator keberhasilannya. Hal ini menunjukkan kurangnya perencanaan dalam implementasi kebijakan terkait pesantren.

Peran NU dan Organisasi Keagamaan

NU, sebagai salah satu organisasi terbesar yang menaungi pesantren, memiliki peran penting sebagai penyangga. Namun, tanggung jawab utama untuk membangun sistem pengelolaan pesantren ada di tangan pemerintah. Pemerintah harus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk parlemen dan lembaga terkait lainnya, untuk merancang dan menerapkan sistem yang terintegrasi.

Tanpa governing system, pesantren akan terus berjalan tanpa arah yang jelas. Standar dan regulasi diperlukan untuk menjamin kualitas dan keberlanjutan pesantren di era modern. Negara harus mengambil peran utama dalam membangun sistem ini, bukan sekadar membuat undang- undang, tetapi juga memastikan implementasi yang efektif. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan berbasis tradisi, membutuhkan dukungan sistemik agar dapat terus berkontribusi pada pembangunan bangsa dan mampu menghadapi tantangan global.

Tanpa adanya sistem pengelolaan yang jelas, tidak mungkin pesantren-pesantren, yang jumlahnya begitu banyak dan telah berdiri lama, dapat berfungsi secara optimal. Dahulu, saya sering berpikir bagaimana Nahdlatul Ulama (NU) bisa membangun sistem pengelolaan yang baik untuk pesantren-pesantren di bawah naungannya. Namun sekarang, dengan adanya undang- undang, peran utama dalam membangun sistem pengelolaan ini sebenarnya berada pada pemerintah, bukan NU. NU hanya dapat berperan sebagai pendukung. Pemerintah, bersama lembaga legislatif, yudikatif, dan cabang-cabang kekuasaan lainnya, harus bertanggung jawab membangun sistem tersebut.

Tantangan Infrastruktur dan Psikologi Anak Didik

Ketika kita membahas pesantren, berbagai masalah yang muncul tidak akan pernah menemukan solusi jika pendekatannya hanya soal afirmasi atau soal menjaga nama baik. Masalah utama terletak pada governing system pesantren yang saat ini sangat lemah. Tidak adanya standar, regulasi, atau pengawasan membuat aktivitas di pesantren berjalan secara alami-dalam arti sesuka hati atau tanpa aturan yang jelas. Kondisi ini membuka celah bagi berbagai persoalan serius.

Salah satu isu mendesak adalah soal perundungan, baik fisik maupun seksual, yang marak terjadi di pesantren. Masalah ini muncul karena pesantren tidak memiliki sistem pengelolaan yang memadai. Tanpa regulasi dan pengawasan yang ketat, kasus-kasus seperti ini akan terus terjadi. Peningkatan kasus yang dilaporkan akhir-akhir ini bukan berarti masalahnya baru muncul, tetapi karena semakin banyak korban yang berani melapor. Faktanya, permasalahan ini sudah ada sejak lama.

Mari kita pikirkan bagaimana kita bisa mengelola anak-anak usia remaja yang tinggal bersama di satu tempat selama bertahun-tahun dengan infrastruktur yang tidak memadai. Psikologi dan kebutuhan fisik anak-anak usia remaja tentu berbeda. Dalam banyak pesantren, mereka tinggal dalam kondisi yang sangat jauh dari layak.

Misalnya, kamar tidur di pesantren sering kali hanya cukup untuk menyimpan barang-barang mereka. Satu kamar bisa dihuni oleh 60-70 orang, yang jelas tidak memungkinkan mereka tidur di sana. Akibatnya, mereka tidur di masjid, emper kelas, atau tempat-tempat lain secara tidak teratur. Bayangkan dampaknya jika pola hidup seperti ini berlangsung selama bertahun-tahun.
Ini masalah besar yang memerlukan perhatian serius. Infrastruktur yang tidak memadai menciptakan lingkungan yang tidak kondusif, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental. Tanpa perubahan signifikan, kita hanya akan memperbesar risiko munculnya masalah-masalah baru, termasuk kasus-kasus perundungan.

Solusi dari semua ini adalah membangun governing system yang sesuai untuk pesantren. Tanpa sistem yang jelas, standar operasional, dan regulasi yang ketat, semua perdebatan hanya akan berputar di tempat. Pesantren harus dikelola dengan cara yang profesional, mencakup pengawasan yang memadai, peningkatan kualitas infrastruktur, dan perhatian khusus terhadap kesejahteraan anak didik.

Masalah ini bukan hanya tentang pesantren sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga tentang pesantren sebagai tempat tinggal dan pembentukan karakter generasi muda. Oleh karena itu, kita perlu memikirkan sistem pengelolaan yang tidak hanya mencakup aspek akademis, tetapi juga mencakup aspek-aspek kehidupan sehari-hari para santri. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung perkembangan mereka secara menyeluruh.

Hanya dengan pendekatan yang berbasis sistem, kita dapat menyelesaikan masalah-masalah mendasar di pesantren. Upaya ini harus menjadi prioritas jika kita benar-benar ingin menjadikan pesantren sebagai tempat yang layak dan bermartabat bagi generasi mendatang.

KH. Yahya Cholil Staquf

Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Pemerintah dan DPR Harus Meringankan Jamaah



Jakarta

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menanggapi usulan biaya haji 2024 yang tengah ramai dibahas, khususnya dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Haji DPR. Sebagai organisasi Islam dengan basis massa terbesar di Indonesia, NU memiliki perhatian besar terhadap kebijakan haji.

Gus Yahya menjelaskan salah satu faktor utama yang mempengaruhi biaya haji adalah nilai tukar mata uang. Sebab, seluruh kegiatan ibadah haji berlangsung di Arab Saudi dan menggunakan mata uang riyal. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap riyal menjadi aspek yang sangat menentukan besaran biaya yang harus ditanggung jemaah.

“Kalau dilihat dari harga-harga di sana, menurut teman-teman yang terlibat dalam pengelolaan haji, sebenarnya perubahan harga di Arab Saudi itu tidak terlalu signifikan. Harga-harga di sana relatif stabil. Masalahnya ada pada nilai tukar rupiah terhadap riyal yang berubah-ubah,” ujar Gus Yahya saat jumpa pers di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025).


“Jadi, biaya dalam rupiah naik bukan karena harga di Arab Saudi, tetapi karena fluktuasi nilai tukar,” papar Gus Yahya.

Ia menekankan persoalan ini bukan sekadar soal efisiensi manajemen dalam pengelolaan haji, tetapi juga terkait dengan kinerja ekonomi nasional secara lebih luas. Stabilitas nilai tukar, kata Gus Yahya, mencerminkan kondisi perekonomian secara keseluruhan yang berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan jemaah haji. Pihaknya berharap pemerintah dan DPR bisa menetapkan biaya yang meringankan jemaah.

“Kita harus memahami bahwa ini bukan hanya soal manajemen yang efisien, tetapi juga kinerja ekonomi nasional. Pemerintah dan DPR perlu bekerja sama untuk menetapkan biaya haji yang paling meringankan bagi jamaah, sejalan dengan situasi ekonomi yang ada,” tambahnya.

Gus Yahya juga menyampaikan keyakinannya bahwa pemerintah bersama DPR akan berupaya sebaik mungkin dalam menentukan besaran biaya haji. Baginya, yang terpenting adalah memastikan kebijakan tersebut dapat memberikan keringanan bagi jemaah, mengingat ibadah haji adalah kewajiban bagi umat Islam yang mampu secara finansial.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI mengusulkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp 93.389.684,99 atau sekitar Rp 93,3 juta.

Usulan ini merujuk pada nilai tukar Dolar Amerika sebesar Rp 16.000 dan Riyal Arab Saudi sebesar Rp 4.266,67. Sementara itu, besaran yang dibayarkan oleh jemaah haji 2025 atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) mencapai Rp 65,3 juta.

Biaya yang harus dibayar jemaah mengalami kenaikan hampir Rp 10 juta dari tahun sebelumnya. Pada 2024, Bipih rata-rata Rp 56,04 juta.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

BPKH Temui Ketum PBNU, Minta Dukungan Revisi UU Keuangan Haji



Jakarta

Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Fadlul Imansyah bersama Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengadakan pertemuan. Silaturahmi berlangsung di Gedung PBNU, Jakarta hari ini.

“Alhamdulillah hari ini kami sudah melakukan silaturahmi dengan Ketum PBNU, ada beberapa hal yang kami diskusikan,” kata Fadlul kepada wartawan usai pertemuan, Rabu (19/2/2025).

Lebih lanjut ia mengungkap pertemuan itu diadakan untuk meminta dukungan tambahan terkait rencana revisi undang-undang pengelolaan keuangan haji.


“Karena saat ini seperti yang telah diketahui sebelumnya, kita sudah dalam proses untuk melakukan revisi atau perubahan undang-undang 34 tahun 2014 untuk menyelaraskan dengan penyelenggaraan ibadah haji di undang-undang nomor 8 tahun 2019,” paparnya.

Ke depannya, terang Fadlul, ini menjadi satu pijakan untuk memberi peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. Ia merasa dukungan dari PBNU sangat dibutuhkan untuk memperoleh opini yang menguatkan kelembagaan dalam penyelenggaraan ibadah haji.

“Yang pasti kami butuh dukungan dan butuh beberapa support dari PBNU sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia agar mendapatkan pendapat atau opini yang menguatkan kelembagaan BPKH dalam penyelenggaraan ibadah haji,” urainya.

Selain itu, BPKH juga meminta dukungan PBNU terkait porsi pembagian antara nilai manfaat dengan Bipih.

“Karena seperti yang kita ketahui bersama, MUI sudah memberikan ijtima terkait dengan porsi yang disarankan untuk pembagian nilai manfaat. Ke depannya akan kita lakukan sesuai dengan roadmap,” lanjut Fadlul.

Meski demikian, BPKH juga membutuhkan dukungan serta fatwa dari Bahtsul Masail terkait ketetapan MUI tersebut.

“Namun kami butuh dukungan dan fatwa juga mungkin dari Bahtsul Masail terkait dengan ketetapan MUI sehingga semuanya bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat,” tandasnya.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Doa Buka Puasa Shahih 13, 14 dan 15 Muharram Arab-Latin


Jakarta

Mendahului doa buka puasa sebelum membatalkan puasa pada waktunya adalah sunnah berpuasa seperti pada pengamalan puasa 13, 14, dan 15 Muharram. Puasa tiga hari tersebut yang dikenal juga dengan puasa Ayyamul Bidh.

Dijelaskan Said Hawwa dalam buku Al-Islam membaca doa ketika hendak berbuka puasa termasuk sunnah yang dianjurkan karena termasuk dalam salah satu waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah SAW bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ


Artinya: “Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil, dan doanya orang yang terzalimi.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)

Dalam riwayat lainnya bersumber dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash RA yang mendengar perkataan Rasulullah SAW, “Sesungguhnya, bagi orang yang berpuasa, pada saat berbuka ada doa yang tidak ditolak.” (HR Ibnu Majah)

Adapun puasa Ayyamul Bidh adalah puasa yang diamalkan pada 13, 14, dan 15 tiap bulannya. Landasannya didasarkan dari sebuah hadits Abu Dzar Al Ghifari, Rasulullah SAW bersabda, “Hai Abu Dzar, kalau kau hendak berpuasa sunnah setiap bulan, lakukanlah puasa pada 13, 14 dan 15.” (HR Tirmidzi)

Doa Buka Puasa Shahih 13, 14, 15 Muharram

Puasa pertengahan bulan ini dikerjakan mulai dari masuknya waktu Subuh hingga terbenam matahari. Untuk membatalkan puasa, muslim dianjurkan untuk mengawalinya dengan doa buka puasa.

1. Doa Buka Puasa Muharram Versi Pertama

ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ

Dzahabaz zhama’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru, insyaallah

Artinya: “Rasa dahaga telah hilang, kerongkongan telah basah dan atas kehendak Allah pahala telah ditetapkan. Insya Allah.” (HR Abu Dawud)

Doa ini termaktub dalam Al-Adzkar: Doa dan Dzikir dalam Al-Qur’an dan Sunnah (Edisi Indonesia) karangan Imam Nawawi yang diterjemahkan Masturi Irham dan Muhammad Aniq.

2. Doa Buka Puasa Muharram Versi Kedua

اَللّٰهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Allaahumma lakasumtu wabika aamantu wa’alaa rizqika afthortu birahmatika yaa arhamar-roohimiina.

Artinya: “Ya Allah karenaMu aku berpuasa, dengan-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah dan dengan rezeki-Mu aku berbuka (puasa), dengan rahmat-Mu, Ya Allah yang Tuhan Maha Pengasih.” (HR Bukhari dan Muslim)

Bacaan doa ini termasuk dalam himpunan doa dan dzikir dari Abu Hurairah Abdul Salam terbitan PT Gramedia Pustaka Utama.

Waktu Buka Puasa

Untuk waktu berbuka dapat disesuaikan pada masing-masing wilayah. Acuannya bersumber dari riwayat Rasulullah SAW yang menyebutkan buka puasa dimulai pada waktu Magrib atau saat matahari tenggelam.

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا ، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

Artinya: “Jika malam telah datang dari sini dan siang telah tertutup dari sini, serta matahari terbenam, itulah waktu berbuka bagi yang berpuasa.” (HR Bukhari)

Sementara itu, dikutip dari buku Dahsyatnya 7 Puasa Wajib, Sunnah, dan Thibbun Nabawi oleh Maryam Kinanti N, ada perbedaan pendapat yang menyatakan kapan doa buka puasa diamalkan.

Ada yang berpendapat diamalkan setelah membatalkan puasa dengan air, kurma, atau semacamnya pertama kali. Pendapat lainnya menyebut doa buka puasa diamalkan sebelum berbuka puasa.

Jadwal Puasa 13, 14, 15 Muharram

Pemerintah menetapkan awal Muharram 1446 H jatuh pada Minggu, 7 Juli 2024. Hal ini juga sejalan dengan hasil hisab Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang sudah memenuhi kriteria imkanur rukyat MABIMS. Dengan kata lain, berikut jadwal puasa pertengahan bulan Muharram yang bisa diamalkan:

  • 13 Muharram 1446 H bertepatan dengan Jumat, 19 Juli 2024
  • 14 Muharram 1446 H bertepatan dengan Sabtu, 20 Juli 2024
  • 15 Muharram 1446 H bertepatan dengan Minggu, 21 Juli 2024

Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Falakiyahnya menetapkan 1 Muharram 1446 H sehari setelah pemerintah yaitu pada Senin, 8 Juli 2024 berdasarkan istikmal. Jadi, jadwal puasa Ayyamul Bidh berdasarkan kalender Hijriah NU adalah sebagai berikut:

  • 13 Muharram 1446 H bertepatan dengan Sabtu, 20 Juli 2024
  • 14 Muharram 1446 H bertepatan dengan Minggu, 21 Juli 2024
  • 15 Muharram 1446 H bertepatan dengan Senin, 22 Juli 2024

(rah/kri)



Sumber : www.detik.com