Tag Archives: perang khandaq

Ini Beda Jamak, Qashar, dan Qodho dalam Sholat Menurut Fikih Islam


Jakarta

Islam mengajarkan bahwa ibadah tidak dimaksudkan untuk memberatkan, melainkan menyesuaikan dengan kemampuan dan kondisi setiap individu. Salah satu buktinya adalah adanya keringanan dalam pelaksanaan sholat, seperti qashar, jamak, dan qodho.

Qashar, jamak, dan qodho adalah tiga jenis keringanan yang dapat dilakukan saat bepergian, mengalami kesulitan, atau tidak sempat sholat tepat waktu. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hajj ayat 78,

…وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ


Artinya: “Berjuanglah kamu pada (jalan) Allah dengan sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…”

Menurut Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI, potongan ayat tersebut menjelaskan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW bukanlah agama yang sempit dan sulit, tetapi agama yang lapang dan tidak menyulitkan hamba yang melakukannya.

Salah satu bentuknya adalah dalam pelaksanaan sholat. Dalam keadaan tertentu, seseorang dibolehkan melaksanakan sholat dengan cara yang berbeda dari biasanya, seperti dengan qashar, jamak, atau qodho. Ketiga hal ini harus tetap berlandaskan pada aturan syar’i dan memiliki ketentuan yang jelas.

Sholat Qashar

Qashar adalah meringkas sholat fardhu empat rakaat menjadi dua rakaat. Keringanan ini hanya berlaku untuk sholat Dzuhur, Ashar, dan Isya. Dalam buku Seri Fikih Kehidupan karya Ahmad Sarwat, Lc., MA., dijelaskan bahwa qashar boleh dilakukan oleh musafir yang memenuhi syarat tertentu, seperti bepergian sejauh minimal 88 km dan bukan untuk maksiat.

Selain itu, qashar mulai boleh dilakukan setelah seseorang benar-benar keluar dari wilayah tempat tinggalnya. Rasulullah SAW sendiri pernah melaksanakan sholat qashar selama berada di Mina. Ibnu Abbas meriwayatkan:

“Aku pernah sholat bersama Rasulullah SAW di Mina selama empat hari, dan kami mengqashar sholat.” (HR Muslim)

Sholat Jamak

Berbeda dengan qashar yang meringkas rakaat, jamak adalah menggabungkan dua waktu sholat dalam satu waktu pelaksanaan. Dzuhur bisa dijamak dengan Ashar, dan Maghrib bisa dijamak dengan Isya. Pelaksanaannya bisa dilakukan di awal waktu (jamak taqdim) atau di akhir waktu (jamak takhir).

Meskipun jamak sering dilakukan saat safar, keringanan ini juga berlaku pada kondisi lain, seperti hujan lebat, sakit, atau saat ibadah haji. Rasulullah SAW sendiri pernah menjamak sholat dalam peristiwa haji wada’, Nabi SAW menjamak Maghrib dan Isya di Muzdalifah:

“Nabi SAW menjamak antara Maghrib dan Isya di Muzdalifah pada haji wada’.” (HR Bukhari)

Dalam riwayat lain, saat turun hujan, para sahabat juga melaksanakan sholat Maghrib dan Isya secara jamak:

“Sesungguhnya termasuk sunnah bila hari hujan untuk menjamak antara Maghrib dan Isya.” (HR Atsram)

Sholat Qodho

Qodho berarti mengerjakan sholat setelah keluar dari waktunya. Ini dilakukan ketika seseorang lupa, tertidur, atau berada dalam kondisi yang membuatnya tidak bisa melaksanakan sholat tepat waktu. Rasulullah SAW sendiri pernah mengalami kondisi tertidur hingga melewatkan waktu Subuh, lalu beliau melaksanakannya setelah bangun. Dalam Perang Khandaq, beliau juga menjamak dan mengqodho empat waktu sholat sekaligus karena kesibukan dalam pertempuran.

Menurut buku Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah, sholat qodho sebaiknya dilaksanakan secepat mungkin setelah menyadari telah meninggalkannya. Tidak dianjurkan mendahulukan sholat sunnah sebelum qodho sholat wajib. Bacaan dalam sholat qodho mengikuti tata cara sholat aslinya. Sebagai contoh, pada sholat Dzuhur yang diqodho, bacaan niat dan surat dilakukan dengan suara pelan seperti sholat Dzuhur pada waktunya.

Mazhab Syafi’i juga menganjurkan untuk menjaga urutan dalam mengqodho sholat. Misalnya, jika yang tertinggal adalah Dzuhur dan Ashar, maka sebaiknya Dzuhur dikerjakan lebih dahulu. Namun, jika terbalik, sholat tersebut tetap sah menurut mazhab ini.

Sholat yang tertinggal karena udzur tetap harus diganti. Bahkan bagi yang sengaja meninggalkannya, mayoritas ulama tetap mewajibkan qodho meskipun ia berdosa. Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak perlu mengganti sholat yang ditinggalkan selama masa tersebut, namun bila ia suci di tengah waktu sholat, maka wajib melaksanakannya.

Perbedaan Jamak, Qashar, dan Qodho

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, jamak, qashar, dan qodho adalah tiga jenis keringanan dalam sholat yang diberikan dalam kondisi tertentu. Meskipun tujuannya sama, yaitu memberi kemudahan, ketiganya memiliki perbedaan yang jelas.

Qashar dilakukan dengan meringkas jumlah rakaat sholat empat menjadi dua saat sedang bepergian jauh. Jamak berarti menggabungkan dua waktu sholat, seperti Dzuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya, karena alasan seperti safar, hujan, atau sakit.

Sementara itu, qodho dilakukan untuk mengganti sholat yang terlewat karena lupa, tertidur, atau keadaan darurat, dan dilaksanakan setelah waktunya habis. Ketiganya memiliki syarat dan ketentuan masing-masing, sehingga tidak bisa dipertukarkan.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Perang Khandaq dan Strategi Parit



Jakarta

Salah satu peristiwa bulan Syawal dalam sejarah Islam adalah meletusnya Perang Khandaq. Perang ini melibatkan kaum muslimin dan pasukan gabungan dari Quraisy, Yahudi, dan Ghathafan.

Menurut Sirah Nabawiyah yang disusun oleh Ibnu Hisyam, Perang Khandaq terjadi pada bulan Syawal tahun 5 H atau 627 M. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Kitab Tarikh-nya menyebut ini adalah pendapat yang shahih karena Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal tahun 3 H.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, seusai Perang Uhud, orang-orang musyrik berjanji kepada Rasulullah SAW untuk menemui beliau pada tahun ke-4. Namun, mereka melanggar karena kegersangan tahun tersebut dan pada tahun ke-5 baru mereka datang.


Pada saat itu, kaum Yahudi bani Nadhir yang pindah ke Khaibar menghasut kabilah-kabilah Arab di sekitar Khaibar agar memerangi kaum muslimin, sebagaimana diceritakan dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW II karya Moenawar Chalil.

Dikutip dari buku Sejarah Terlengkap Peradaban Islam karya Abul Syukur al-Azizi, berikut adalah keterangan dan kisah mengenai Perang Khandaq selengkapnya.

Latar Belakang Perang Khandaq

Perang Khandaq adalah perang antara kaum muslimin melawan pasukan gabungan dari kaum Quraisy, Yahudi, serta Ghathafan. Perang ini disebut juga Perang Ahzab, yang artinya Perang Gabungan.

Dinamakan perang Khandaq yang berarti parit karena kaum muslimin menggali parit di sekeliling kota Madinah sebagai mekanisme pertahanan agar mencegah kaum kafir agar tidak bisa menerobos kota Madinah. Perang ini dimulai karena beberapa kaum dan pihak merasa tidak terima setelah diusir dari Madinah lantaran telah melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama.

Selain itu, penyebab lain terjadinya perang ini adalah karena ketakutan kaum kafir Makkah akan kekuatan kaum muslimin di Madinah yang semakin berkembang. Perang Khandaq sangat terkenal di kalangan muslim di berbagai masa, lantaran perang ini merupakan adu strategi dan perang urat saraf.

Strategi Parit dalam Perang Khandaq

Terdapat tiga figur utama yang menjadi faktor utama dalam perang ini. Selain Nabi Muhammad SAW sebagai panglima perang dari pihak muslimin, aktor utama lain dalam Perang Khandaq adalah Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, serta Nu’aim bin Mas’ud yang setia dan loyal menjalankan tugas dan perannya masing-masing.

Kisah luar biasa dalam Perang Khandaq bermula dari ide brilian Salman al Farisi yang kepada nabi untuk membangun parit. Ide itu sesungguhnya didasari dari kebiasaan orang-orang di kampung halamannya, Persia.

Mereka akan membangun parit pertahanan ini dilakukan jika sedang dalam situasi takut diserang, terutama oleh pasukan berkuda. Kondisi seperti itulah pula yang dialami oleh kaum muslimin pada saat itu.

Pembangunan parit seperti itu sebenarnya tidak dikenal dalam strategi perang orang Arab. Hal ini dikarenakan mereka sebelumnya hanya mengenal teknik seperti gerilya, yaitu maju, mundur, gempur, atau lari.

Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW yang mendengarkan strategi “unik” ini kemudian sepakat dengan usul Salman. Bahkan, beliau pulalah yang membuat peta penggalian, memanjang dari ujung utara hingga ke selatan.

Waktu itu, setiap sepuluh orang pasukan persiapan kaum muslim diwajibkan menggali parit sepanjang 40 meter (lebar 4,62 meter dan dalam 3,234 meter). Setelah enam hari (dalam riwayat lain, 10 hari), panjang parit yang berhasil digali adalah mencapai 5.544 meter.

Kisah heroik ditunjukkan oleh Nu’aim bin Mas’ud yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pemecah belah kaum kafir Quraisy, bani Ghathafan, dan kaum Yahudi yang bersekongkol. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib juga memiliki pengalaman yang tak kalah menarik.

Hal ini lantaran ia harus berduel dengan Amr bin Abdi Wudd, yakni salah satu pimpinan pihak musuh yang terkenal jago pedang. Pada awalnya Rasulullah SAW tidak ingin untuk memberikan tanggung jawab kepada Ali untuk menghadapi Amr karena ia dianggap masih terlalu muda.

Rasulullah SAW ingin memilih sosok sahabat yang lebih tua dan dianggap sepadan. Namun, di luar perkiraan Rasulullah SAW ternyata Ali bersikeras.

Sebenarnya, nabi cukup khawatir terhadap keselamatan Ali. Hal ini bukan tanpa dilandasi alasan yang jelas, melainkan pada perang sebelumnya di Uhud, beliau telah kehilangan sang paman, yaitu Hamzah yang tewas secara mengenaskan.

Berkat pertolongan Allah SWT, Ali berhasil memenangkan pertarungan. Kemudian Amr bin Abdi Wudd tewas di tangan Ali yang masih tergolong muda pada saat itu.

Peristiwa inilah yang menjadi titik puncak yang mengakibatkan pasukan musuh mundur dari lokasi perang meskipun jumlah mereka berjumlah lebih dari 10.000 tentara. Selain itu, mundurnya kaum kafir dari lokasi peperangan karena kondisi kota Madinah saat itu cuaca sangatlah dingin.

Kaum kafir musuh umat muslim yang masih tertahan di tenda-tenda karena tidak bisa memasuki kota Madinah. Banyak di antara mereka yang mati kedinginan dan terserang penyakit malaria dalam peristiwa bulan Syawal tersebut.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com