Tag Archives: perang uhud

Sosok Burung Elang Hari Uhud yang Jadi Perisai Rasulullah


Jakarta

Burung elang hari Uhud adalah julukan salah satu sahabat nabi yang berperan besar dalam Perang Uhud. Ia tak gentar melawan musuh dan sigap melindungi Rasulullah SAW.

Sosok yang menjapat julukan Burung elang hari Uhd adalah Thalhah bin Ubaidillah RA. Thalhah RA merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga.

Lantas, bagaimana Thalhah RA bisa dijuluki dengan burung elang hari Uhud? Berikut kisahnya.


Gelar Thalhah bin Ubaidillah

Dirangkum dari buku Ensiklopedia Sahabat Nabi karya Muhammad Raji Hasan Kinas dan buku Al Akhbar Titisan yang Tertulis karya Tebyan A’maari Machalli, Thalhah bin Ubaidillah RA adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Tayyim. Thalhah RA termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga.

Thalhah RA adalah pemuda yang berprofesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah RA memiliki kelebihan dalam strategi berdagang. Ia sosok yang cerdik dan pintar, sehingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua.

Rasulullah SAW memberikan gelar untuk Thalhah RA saat Perang Dzatil Asyirah, “Thalhah al-Fayyadh” yang artinya yang berlimpah kebaikan. Saat Perang Uhud, Rasulullah SAW memberikannya gelar “Thalhah al-Khayr” yang artinya pemilik kebajikan. Saat Perang Hunain, Rasulullah SAW juga memberinya gelar “Thalhah al-Jud” yang artinya sang dermawan.

Keislaman Thalhah bin Ubaidillah

Thalhah RA termasuk salah satu dari delapan orang yang lebih dulu memeluk Islam. Suatu ketika, Thalhah RA datang menemui Abu Bakar As Siddiq RA. Mereka saling bercerita. Setelah giliran Thalhah RA bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra, Abu Bakar As Siddiq RA tercengang. Lalu Abu Bakar RA mengajak Thalhah RA untuk menemui Rasulullah SAW.

Di hadapan Rasulullah SAW, Thalhah RA langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. Ketika Thalhah RA dan al-Zubair RA memeluk Islam, Rasulullah SAW mempersaudarakan mereka di Makkah. Setelah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Thalhah RA dengan Abu Ayyub al-Anshari RA.

Banyak rintangan yang dihadapi oleh Thalhah RA setelah ia masuk Islam. Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh Thalhah RA. Bahkan ibunya sendiri mencaci makinya.

Tak hanya itu, seorang lelaki Quraisy yang bernama Naufal bin Khuwailid menyeret dan mengikat Abu Bakar RA dan Thalhah RA dan mendorong mereka ke algojo sehingga darah mengalir dari tubuh mereka. Maka dari itulah mereka mendapatkan gelar “Al-Qarinain” yang artinya sepasang sahabat yang mulia.

Dari banyaknya siksaan yang menimpa Thalhah RA, ia tetap mempertahankan dan menegakkan Islam. Hal ini menyebabkan Thalhah RA memiliki banyak gelar dan sebutan.

Kisah Thalhah Dapat Julukan Burung Elang Hari Uhud

Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, Thalhah RA mendapat kehormatan untuk menyertai mereka. Beberapa saat kemudian, Perang Uhud terjadi.

Saat itu barisan kaum Muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari sisi Rasulullah SAW. Hanya sebelas orang Anshar dan Thalhah RA yang tersisa.

Rasulullah SAW dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke bukit, namun mereka dihadang oleh kaum musyrikin.

Rasulullah SAW berseru, “Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga.” Thalhah bin Ubaidillah RA berkata, “Aku Wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW kemudian menahannya dan berkata, “Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu.”

Salah satu prajurit Anshar berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW berkata, “Ya, majulah.” Kemudian prajurit Anshar itu maju melawan prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.

Thalhah RA selalu menjadi orang pertama yang mengajukan diri, namun Rasulullah SAW menahannya agar untuk tetap ditempat. Hingga sebelas prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah RA bersama Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW berkata, “Sekarang engkau, wahai Thalhah.” Kemudian dengan semangat jihad yang berkobar, Thalhah RA menerjang menyerang kafir agar tidak menghampiri Rasulullah SAW. Hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.

Ketika Abu Ubaidah bin Jarrah RA hampir sampai di dekat Rasulullah SAW, Rasulullah SAW memerintahkan untuk membantu Thalhah RA. Thalhah RA ditemukan tergeletak dan berlumuran darah. Tak kurang dari 79 luka bekas pedang, lembing, hingga panah.

Kaum musyrikin mengira bahwa Rasulullah SAW telah tewas. Akhirnya mereka pergi meninggalkan medan perang.

Kemudian Rasulullah SAW bersama Thalhah RA naik ke bukit di ujung medan pertempuran. Thalhah RA menciumi tangan, tubuh, dan kaki Rasulullah SAW seraya berkata, “Aku tebus engkau Ya Rasulullah dengan ayah ibuku.” Rasulullah SAW tersenyum dan berkata, “Engkau adalah Thalhah kebajikan.”

Di hadapan para sahabat, Rasulullah SAW bersabda, “Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh…” Yang dimaksud Rasulullah SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah RA mendapat julukan “Burung elang hari Uhud.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Sahabat Nabi SAW yang Dijuluki Kepercayaan Umat



Jakarta

Abu Ubaidah bin al-Jarrah namanya. Sahabat Nabi Muhammad SAW yang satu ini dikenal dengan pribadinya yang cerdas dan pemalu.

Mengutip dari 99 Kisah Menakjubkan di Alquran oleh Ridwan Abqary, Abu Ubaidah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Dirinya merupakan sosok yang baik hati, taat beribadah, serta rendah hati.

Abu Ubaidah berasal dari suku Quraisy keturunan Fihir. Karena keberaniannya itu, ia tidak pernah tertinggal saat umat Islam dan kafir Quraisy berperang.


Abu Ubaidah terus membela umat Islam dengan gagah untuk menjunjung kebenaran. Ia menjadi orang pertama yang digelari Amirul Umara yang artinya Perdana Menteri.

Dikisahkan dalam buku Ensiklopedia Biografis Sahabat Nabi susunan Muhammad Raji Hasan Kinas, Abu Ubaidah menjadi orang yang berdiri tegap di barisan Nabi Muhammad SAW saat Perang Badar berlangsung. Sementara itu, sang ayah yang bernama Abdullah bin Al Jarrah berada di barisan pasukan musyrikin.

Meski demikian, Abu Ubaidah terus menghindari sang ayah saat peperangan berlangsung. Sayangnya, ia ditakdirkan berhadapan dengan ayahnya sendiri dan harus mengalahkannya.

Sosoknya yang berani ini juga terlihat saat dirinya mengikuti Perang Uhud. Abu Ubaidah menolong Rasulullah SAW yang terkena serpihan besi akibat lemparan musuh.

Dengan gagah, Abu Ubaidah mencabut serpihan besi itu dengan giginya. Ini menyebabkan kedua giginya tanggal. Setelah kejadian ini, Abu Ubaidah digelari Amin al-Ummah yang berarti kepercayaan umat oleh Nabi Muhammad SAW.

Julukan lainnya yang diperoleh Abu Ubaidah adalah al-Qawiy al-Amin yang artinya yang kuat yang terpercaya. Gelar tersebut ia dapatkan karena mengikuti seluruh peperangan bersama sang rasul.

Abu Ubaidah juga sering ditunjuk sebagai pemimpin. Diceritakan oleh Urwah bin Az Zubair RA, ketika Perang Dzatus Salasil, Nabi Muhammad SAW mengangkat Amr bin Ash sebagai komandan pasukan.

Pasukan tersebut memasuki Syam dari arah Bala. Sementara itu, satu pasukan lainnya menyusul dari arah Qudha’ah. Melihat jumlah musuh yang sangat banyak membuat Amr bin Ash mengirim utusan menghadap Rasulullah SAW untuk meminta bantuan.

Mendengar hal itu, Nabi SAW lalu mengirim pasukan yang terdiri dari orang-orang Muhajirin. Di antara pasukan tersebut, sang rasul menunjuk Abu Ubadiah sebagai komandan.

Ketika pasukan Abu Ubadiah bertemu pasukan Amr, maka Amr bin Ash berkata,

“Aku adalah komandan karena aku yang meminta pasukan tambahan kepada Rasulullah SAW,”

Mendengar hal itu, orang-orang Muhajirin tidak setuju. Mereka lalu berkata,

“Bolehlah engkau menjadi komandan pasukanmu, tapi Abu Ubaidah tetap menjadi komandan pasukan Muhajirin,”

Amr lalu membantah, “Kalian adalah bala bantuan yang kuminta,”

Di tengah ketegangan itu, Abu Ubaidah menenghi mereka seraya berkata,

“Wahai Amr, harap engkau ketahui bahwa Rasulullah SAW berpesan kepadaku, ‘Jika engkau sudah bertemu rekanmu, hendaklah kalian saling mematuhi.’ Kalau memang engkau tidak mau patuh padaku, akulah yang akan patuh kepadamu,”

Selanjutnya, Abu Ubaidah menyerahkan kepemimpinan kepada Amr bin Ash. Sosok Abu Ubaidah yang lembut itu menandakan dirinya bijak dan tidak egois.

Abu Ubaidah wafat karena sakit kolera. Diterangkan dalam buku 125 Sahabat Nabi Muhammad oleh Mahmudah Mastur, ketika terjadi penaklukan negeri Syam, Abu Ubaidah juga ditujuk sebagai pemimpin.

Di sana, ia menetap cukup lama sebelum akhirnya wabah kolera merebak. Umar bin Khattab memerintahkannya untuk segera keluar dari sana, tapi Abu Ubaidah mengirim surat kepada Umar yang berisi:

“Wahai Umar, aku tidak ingin memikirkan diriku sendiri, sementara banyak orang lain yang tertimpa penyakit. Aku tidak ingin meninggalkan mereka sampai Allah putuskan perkara ini,”

Umar bin Khattab menangis membaca surat dari Abu Ubaidah. Setelahnya, ia meninggal dunia akibat kolera yang dideritanya.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abbad ibn Bisyr, Sahabat Rasulullah SAW Pemilik Tongkat Bercahaya



Jakarta

Abbad ibn Bisyr ibn Waqasy adalah sahabat Rasulullah SAW dari kalangan Anshar. Ia berasal dari suku Aus keturunan Bani Asyahli.

Merangkum buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi yang ditulis Muhammad Raji Hassan Kunnas dijelaskan Abbad memiliki dua nama panggilan, yaitu Abu Bisyr dan Abu al-Rabi.

Abbad termasuk sahabat setia Rasulullah SAW. Ia berada di barisan pertama dalam membela ajaran Islam. Abbad turut serta dalam Perang Badar, Perang Uhud, dan peperangan lainnya bersama Rasulullah SAW.


Abbad termasuk sahabat yang dicintai Rasulullah SAW.

Aisyah RA, pernah berkata tentang Abbad, “Ada tiga orang Anshar yang keutamaan mereka sebanding. Mereka semua dari Bani Abdul Asyhal, yaitu Sa’d ibn Muaz, Usaid ibn Hudhair, dan Abbad ibn Bisyr.” Itulah kesaksian Ummul Mukminin.

Peran Abbad dalam Perang Dzaturriqa

Diriwayatkan dari sahabatnya, Ibn Yasar dari Uqail ibn Jabir bahwa Jabir ibn Abdullah al-Anshari berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah dari tempat perlindungan kami di kebun kurma dalam Perang Dzaturriqa. Dalam perang itu, seorang wanita musyrik terkena lemparan anak panah dari pasukan muslim.”

Usai peperangan, dan setelah Rasulullah pulang ke markas, suami wanita musyrik itu datang dan melihat apa yang terjadi pada istrinya. Ia marah dan bersumpah akan membalas dendam hingga salah seorang sahabat Nabi SAW bersimbah darah. Diam-diam, ia mencari tahu di mana Nabi SAW menginap malam itu.

Saat Nabi SAW hendak masuk rumah, beliau bersabda, “Siapakah yang mau berjaga malam ini?”

Amar ibn Yasar dan Abbad ibn Bisyr bangkit dan berkata, “Kami (siap berjaga), wahai Rasulullah.”

Keduanya kemudian berjaga dekat gerbang Syi’ib. Saat itu Nabi SAW dan para sahabat menginap di Syi’ib, di sebuah lembah.

Ketika berjaga, Abbad bertanya kepada Amar, “Kau ingin aku berjaga di awal atau di akhir malam?”

Amar menjawab, “Kau berjaga di awal malam, dan aku di akhir malam.” Kemudian Amar berbaring dan tertidur pulas. Sementara Abbad mendirikan salat sunnah sambil berjaga.

Ketika itulah suami wanita musyrik itu datang. Ketika melihat Abbad yang sedang salat, lelaki itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung melepaskan panah ke arah Abbad dan tepat mengenai tubuhnya.

Meskipun tubuhnya dihantam anak panah, ia tetap mendirikan salat dan berusaha menyelesaikannya.

Lelaki itu kemudian kembali melemparkan panah. Dan Abbad tetap berdiri dalam salatnya. Untuk ketiga kalinya lelaki itu meluncurkan panah, dan Abbad mencabut panah yang tertancap di tubuhnya, lalu ia rukuk, lantas sujud. Baru setelah selesai salat Abbad membangunkan Ammar dan berkata, “Bangunlah, ada orang yang datang.”

Ammar terkejut ketika melihat suami wanita musyrik itu berada di dekat mereka. Ketika melihat mereka berdua, lelaki itu tahu, mereka menjadi benteng hidup bagi Muhammad dan menjadikan diri mereka sebagai penebus sumpahnya.

Amar kaget melihat sahabatnya Abbad berlumuran darah, “Subhanallah! Kenapa kau tidak membangunkanku saat pertama kali kau terkena panah?”

Abbad menjawab, “Aku sedang membaca salah satu surat dan aku tak mau memutuskan bacaanku sampai selesai. Saat beberapa anak panah menancap di tubuhku, aku pun menyelesaikan salat membangunkanmu. Demi Allah, jika tidak karena tugas berjaga yang diperintahkan Rasulullah, niscaya jiwaku sudah lepas dari raga sebelum aku memutuskan atau menyelesaikan bacaanku.”

Abbad tak pernah absen mengikuti peperangan bersama Rasulullah SAW sampai beliau wafat. Ia pernah mendengar beliau bersabda di depan kaum Anshar, “Wahai Anshar, kalian (bagaikan) pakaian dalam dan manusia bagaikan pakaian luar. Maka, jangan mengikuti orang-orang sebelum kalian.”

Pada saat itu, kaum Anshar ingin agar tidak ada lagi orang yang lari dari medan perang seperti yang terjadi saat Perang Uhud dan Hunain. Ucapan Rasulullah SAW itu menegaskan bahwa mereka adalah para penolong agama Allah dan RasulNya.

Janji setia yang pernah mereka ucapkan di Aqabah benar-benar mereka tunaikan. Sedikit pun tak terlintas dalam benak mereka keinginan meninggalkan Rasulullah sampai beliau wafat menghadap Allah SWT. Mereka teguh memegang janji yang pernah diucapkan meskipun beliau telah tiada.

Ketakwaan Abbad ibn Bisyr

Abbad membagi kehidupannya menjadi dua bagian, waktu malam ia gunakan untuk ibadah dan membaca Al-Quran, sedangkan siang harinya ia manfaatkan untuk berjihad melawan kaum kafir.

Kebiasaan Abbad membaca kalam Allah SWT setiap malam sangat menarik hati setiap orang yang mendengarnya. Pada suatu malam, saat ia menunaikan tahajud di Masjid Nabawi, suara bacaannya yang lembut terdengar hingga kamar Ummul Mukminin Aisyah RA. Saat itu Rasulullah SAW berada di sana.

Beliau bersabda kepada istrinya, “Ini suara Abbad ibn Bisyar.”

Aisyah menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”

Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, ampunilah dia!” (menurut Ibn al-Atsir, “Ya Allah, kasihilah Abbad”).

Abbad ibn Bisyr Pemilik Tongkat Bercahaya

Dalam kitab Musnad Imam Ahmad, ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Bahz ibn Asad dari Hamad ibn Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa Usaid ibn Hudhair dan Abbad ibn Bisyr menemani Rasulullah SAW pada suatu malam. Kemudian mereka keluar meninggalkan beliau.

Tiba-tiba tongkat salah seorang dari mereka memancarkan cahaya terang sehingga mereka dapat berjalan diterangi cahaya itu. Saat keduanya berpisah, tongkat mereka masing-masing mengeluarkan cahaya.

Suatu malam menjelang Perang Yamamah, Abbad bermimpi sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Abbad ibn Bisyr berkata, “Hai Abu Said, aku bermimpi langit terbuka untukku, kemudian tertutup lagi. Aku menafsirkannya, insya Allah, sebagai kesyahidan.”

Abu Said berkata, “Demi Allah, sungguh baik mimpimu itu.”

Keesokan harinya Abbad bersama beberapa sahabat bergabung dalam pasukan Khalid ibn Walid untuk memerangi Musailamah al-Kazzab. Mimpi dan harapan Abbad menjadi kenyataan. Ia terbunuh sebagai syahid dalam peperangan itu. Sungguh mimpi orang bertakwa adalah kebenaran.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Uhud dan Kesalahan Fatal Penyebab Kalahnya Pasukan Muslim


Jakarta

Perang Uhud adalah peristiwa bersejarah dalam Islam di masa Rasulullah SAW. Terjadinya perang ini disebabkan karena kekalahan pada perang sebelumnya.

Perang Uhud adalah upaya balas dendam dari kaum Quraisy setelah kekalahan mereka di Perang Badr. Pernyataan tersebut ditulis dalam buku Sang Panglima Tak Terkalahkan “Khalid Bin Walid” karya Hanatul Ula Maulidya. Perang Uhud terjadi pada 15 Syawal di Tahun ketiga Hijriyah (325 M).


Dalam pertempuran ini, Nabi Muhammad SAW mengerahkan 1.000 pasukan, tetapi 300 di antaranya, yang dipimpin oleh Abdullah ibn Abi al-Munafik, membelot. Akibatnya, pasukan Rasulullah tersisa 700 orang, termasuk 50 penunggang kuda.

Menghadapi jumlah musuh yang lebih banyak, Nabi Muhammad SAW menyusun strategi dengan menempatkan pasukan di atas Jabal Uhud untuk menghadapi perang ini.

Persiapan Kedua Pihak Menghadapi Perang

Merangkum buku Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Setelah kalah di Perang Badr, kebencian masyarakat Makkah terhadap kaum Muslim semakin membara. Quraisy merasa kehilangan banyak pemimpin dan bertekad untuk membalas dendam, sehingga mereka melarang penduduk Makkah meratapi korban Badr dan menunda tebusan tawanan agar kaum Muslim tidak merasa lebih unggul.

Quraisy sepakat untuk melancarkan serangan besar-besaran sebagai bentuk balas dendam. Pemimpin seperti Ikrimah bin Abu Jahl, Shafwan bin Umayyah, dan Abu Sufyan bin Harb sangat antusias dalam persiapan ini. Mereka mengumpulkan barang dagangan yang hilang dan menggugah semangat warga kaya untuk memberikan dukungan finansial. Shafwan membujuk penyair Abu Azzah untuk membantu membangkitkan semangat kabilah-kabilah.

Setelah setahun persiapan, mereka berhasil mengumpulkan sekitar tiga ribu prajurit, termasuk lima belas wanita untuk memberikan semangat. Pasukan ini terdiri dari tiga ribu unta, dua ratus orang penunggang kuda, dan tujuh ratus prajurit bersenjata. Abu Sufyan ditunjuk sebagai komandan tertinggi, dengan Khalid bin Al-Walid memimpin pasukan berkuda.

Sementara itu, di Madinah, umat Islam dalam keadaan siaga. Setiap Muslim siap siaga dengan senjata, bahkan saat salat. Juga ada sekumpulan Anshar seperti Sa’d bin Mu’adz yang selalu menjaga dekat Rasulullah SAW.

Di setiap pintu gerbang Madinah terdapat penjaga untuk mengantisipasi serangan mendadak. Selain itu, sejumlah muslim bertugas memata-matai gerakan musuh, berkeliling di jalur-jalur yang mungkin dilalui para musyrik untuk menyerang orang-orang Muslim.

Meletusnya Bara Peperangan

Merangkum kembali dari sumber sebelumnya, saat pertempuran dimulai, dua pihak saling mendekat. Thalhah bin Abu Thalhah Al-Abdari, pembawa bendera musyrik dan penunggang kuda Quraisy yang terkenal berani, muncul menantang adu tanding sambil menunggang unta.

Tak seorang pun berani menyambut tantangannya karena ketakutan akan keberaniannya. Namun, Az-Zubair akhirnya maju dengan semangat, melompat seperti singa, dan sebelum Thalhah bisa turun dari untanya, Az-Zubair menusukkan pedangnya, membuat Thalhah terjatuh dan tewas.

Nabi Muhammad SAW yang menyaksikan pertarungan ini segera mengangkat suaranya dalam takbir, yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Beliau memuji Az-Zubair dan bersabda, “Sesungguhnya setiap Nabi itu mempunyai pengikut setia. Adapun pengikut setiaku adalah Az-Zubair.”

Setelah Az-Zubair mengalahkan Thalhah bin Abu Thalhah, pertempuran semakin memanas, terutama di kalangan pasukan musyrik. Pertempuran berkecamuk di seluruh medan, sementara umat Islam, dipenuhi iman, menyerbu musuh dengan semangat, berteriak “Matilah, matilah!” selama Perang Uhud.

Di titik lain, Wahsy bin Harb, seorang budak dari Habasyah yang mahir melempar tombak, melihat Hamzah bin Abdul Muththalib yang bertarung dengan gagah, mengalahkan banyak musuh. Wahsy bersembunyi di balik batu dan pohon, menunggu kesempatan.

Saat Hamzah sedang bertarung dengan Siba’ bin Abdul Uzza dan berhasil membunuhnya, Wahsy memanfaatkan momen itu. Dia melemparkan tombaknya, mengenai perut bagian bawah Hamzah hingga tembus ke selangkangan. Hamzah terluka parah dan akhirnya jatuh dan meninggal.

Perang Uhud semakin berjalan dengan cepat. Kaum Muslim yang berperang di garis depan awalnya tidak menyadari perkembangan situasi yang terjadi. Namun, begitu mereka mendengar suara Rasulullah SAW, mereka segera bergegas menghampiri beliau.

Setibanya di lokasi, mereka menemukan keadaan yang mengkhawatirkan. Rasulullah SAW terluka, enam orang Anshar tewas, dan orang lainnya terluka parah, sementara Sa’d dan Thalhah masih bertarung dengan berani.

Para sahabat segera menggunakan tubuh dan senjata mereka untuk melindungi Rasulullah SAW dari serangan musuh. Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW, adalah orang yang pertama tiba dan melihat Thalhah yang dengan gagah berani melindungi Rasulullah SAW.

Bersama Abu Ubaidah, ia berusaha melepaskan dua keping rantai topi besi yang menancap di pipi Nabi Muhammad SAW. Abu Ubaidah bahkan rela menggunakan giginya untuk mencabut kepingan besi tersebut, meskipun hal itu menyebabkan giginya goyah.

Setelah melewati situasi yang sangat berbahaya, sahabat lebih banyak berkumpul untuk melindungi sekitar Rasulullah SAW, termasuk Abu Dujanah, Mush’ab bin Umair, dan Ali bin Abu Thalib.

Kesalahan Fatal Penyebab Kalahnya Prajurit Muslim

George F Nafziger dalam bukunya Islam at War menggambarkan keadaan dalam kekalahan perang Uhud. Saat perang berlangsung, pasukan muslim sempat unggul.

Keunggulan ini disebabkan karena strategi Rasulullah SAW dalam menempatkan 150 pasukan pemanah di atas bukit untuk melindungi pasukan yang ada di bawah bukit.

Rasulullah menginstruksikan pasukan pemanah agar jangan berpindah posisi, apapun yang terjadi.

Akan tetapi imbauan Rasulullah ini tidak dihiraukan. Ketika pasukan Quraisy berjatuhan, pemanah muslimin justru berbondong-bondonv turun dari bukit untuk berebut harta rampasan perang.

Hal inilah yang menjadi penyebab pasukan Quraisy yang sebelumnya sudah mundur menjadi kembali karena aman dari ancaman pemanah.

Dalam Perang Uhud, sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib ikut gugur. Ia dibunuh oleh Wahsyi bin Harb, seorang budak Quraisy yang kemudian masuk Islam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Jabir bin Abdullah Bersama Unta Tuanya


Jakarta

Jabir bin Abdullah adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW. Nama lengkapnya adalah Jabir bin Abdullah bin Haram bin Tsa’labah bin Ka’ab.

Mengutip buku Sejarah Hidup Para Penyambung Lidah Nabi yang ditulis oleh Imron Mustofa, Jabir bin Abdullah dilahirkan 16 tahun sebelum peristiwa hijrah, nasabnya berakhir pada Khajraj. Di tengah-tengah masyarakat waktu itu, ia dikenal dengan julukan Abu Abdillah Al-Anshari dan merupakan ahli fikih dan mufti Madinah pada masanya.

Jabir RA dikenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dan ia dikaruniai umur yang panjang oleh Allah SWT hingga bisa menyaksikan kehidupan cucu Rasulullah SAW.


Dalam buku Fikih Sirah karya Said Ramadhan Al-Buthy disebutkan bahwa Rasulullah SAW sangat mengerti cobaan berat yang dipikul Jabir bin Abdullah RA dan keluarganya.

Ayah Jabir bin Abdullah merupakan salah seorang pejuang Islam yang syahid di medan Perang Uhud. Sehingga, sebagai anak sulung, Jabir RA harus memikul tanggung jawab untuk merawat dan menafkahi beberapa saudaranya.

Oleh karena itu, kehidupan Jabir bin Abdullah terbilang berat, dan hanya memiliki sedikit harta. Salah satu kisah perhatian Rasulullah SAW kepada Jabir yaitu saat Jabir tertinggal di belakang rombongan sahabat bersama untanya yang kurus dan lemah. Berikut kisah lengkap Jabir bin Abdullah dan untanya.

Kisah Jabir bin Abdullah dan Unta Tuanya

Mengutip kembali kisah dalam buku Sejarah Hidup Para Penyambung Lidah Nabi, kisah Jabir bin Abdullah dan Rasulullah SAW ini diawali saat Jabir bin Abdullah keluar bersama Rasulullah SAW pada Perang Dzat Ar-Riqa’, dari Nakhl dengan mengendarai seekor unta yang lemah.

Ketika Rasulullah SAW kembali dari Perang Dzat Ar-Riqa’, teman-temannya dapat berjalan dengan lancar. Sementara Jabir tertinggal di belakang, hingga beliau menyusulnya.

Beliau bersabda kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Jabir menjawab, “Wahai Rasulullah, untaku berjalan sangat pelan.”

Rasulullah SAW bersabda, “Suruh ia duduk.” Jabir pun mendudukkan untanya dan beliau juga mendudukkan untanya. Setelah itu Rasulullah SAW memerintahkan, “Berikan tongkatmu kepadaku!”

Lalu, Jabir pun mengerjakan perintah Rasulullah SAW dan beliau mengambil tongkat yang dimintanya, kemudian beliau menusuk lambung unta Jabir beberapa kali kemudian menyuruhnya, “Naikilah untamu!”

Jabir segera menaiki untanya. Kemudian, Jabir dibuat terkejut dengan untanya yang lemah secara tiba-tiba bisa menyalip unta Rasulullah SAW.

Jabir berkata, “Demi Allah, yang mengutus beliau dengan membawa kebenaran, untaku mampu menyalip unta beliau.”

Jabir dan Rasulullah SAW pun berbincang, kemudian Rasulullah SAW berkata, “Wahai Jabir, apakah engkau bersedia menjual untamu kepadaku?” Jabir menjawab, “Tidak wahai Rasulullah, tetapi aku menghibahkannya kepadamu.” Beliau menawarnya, “Juallah untamu ini kepadaku!”

Jabir menjawab, “Kalau begitu, hargailah untaku ini.” Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana kalau satu dirham?” Jabir menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah. Kalau harganya seperti itu, engkau merugikan aku.”

Rasulullah SAW kembali menawarnya, “Dua dirham?” Jabir menjawab, “Aku tidak mau seharga itu, wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW terus menaikkan penawaran hingga harga unta itu mencapai satu uqiyah (kira-kira setara dengan 40 dirham).

Jabir berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ridha dengan harga itu?” Beliau menjawab, “Ya.” Jabir berkata, “Kalau begitu unta ini menjadi milikmu.”

“Ya, aku telah terima,” jawab Rasulullah SAW. Lalu, Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah?” “Sudah, wahai Rasulullah,” jawab Jabir.

Rasulullah SAW kembali bertanya, “Dengan gadis ataukah janda?” “Dengan janda,” jawabnya. Rasulullah SAW bertanya kembali, “Kenapa engkau tidak menikahi gadis hingga engkau bisa bercanda dengannya dan ia bisa bercanda denganmu?”

Jabir menceritakan kepada Rasulullah SAW, “Ayahku gugur di Perang Uhud dan menginggalkan tujuh orang anak perempuan. Aku menikahi seorang wanita yang dewasa sehingga bisa mengurus dan mengasuh mereka.”

“Setibanya di Shirar (sebuah tempat kira-kira 5 km dari kota Madinah) nanti, aku perintahkan penyiapan unta untuk disembelih, kemudian kita adakan jamuan daging unta pada hari tersebut, hingga istrimu mendengar kabar tentang kita dan ia melepaskan bantalnya,” perintah Rasulullah SAW kepada Jabir.

“Aku tidak memiliki bantal wahai Rasulullah,” jawab Jabir. Rasulullah SAW berkata, “Engkau akan memilikinya, insya Allah. Karena itu, jika engkau telah tiba di rumahmu, maka lakukanlah perbuatan orang cerdik.”

Kedermawanan Rasulullah SAW kepada Jabir bin Abdullah

Sesampainya di Shirar, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan unta yang kemudian akan disembelih. Jabir dan para sahabat mengadakan jamuan makan pada hari itu.

Sore harinya, Rasulullah SAW masuk ke dalam rumahnya dan para sahabat pun masuk rumah masing-masing. Jabir menceritakan sabda Rasulullah SAW ini kepada istrinya.

Kemudian, istrinya menyuruh Jabir untuk mangikuti sabda Nabi SAW tersebut dan berkata, “Lakukanlah itu, dengar dan taatlah.”

Esok paginya, Jabir membawa untanya, menuntun, dan mendudukkannya di depan pintu masjid Rasulullah SAW. Kemudian, ia duduk di dekat masjid.

Ketika Rasulullah SAW keluar dan melihatnya, beliau bersabda, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Ini unta yang dibawa Jabir.” Beliau bertanya, “Di mana Jabir?”

Jabi pun dipanggil untuk menemui Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW berkata, “Wahai anak saudaraku, ambillah untamu, karena ia menjadi milikmu!”

Kemudian beliau memanggil Bilal dan berkata kepadanya, “Pergilah bersama Jabir, dan berikan kepadanya uang satu uqiyah!”

Jabir pergi bersama Bilal, dan kemudian Bilal memberinya uang satu uqiyah dan memberikan sedikit tambahan kepadanya. Betapa terpukaunya Jabir bin Abdullah pada kebaikan Rasulullah SAW.

Jabir menuturkan, “Demi Allah, pemberian beliau tersebut terus berkembang dan bisa dilihat tempatnya di rumahku, hingga aku mendapat musibah di Perang Al-Harrah belum lama ini.”

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Abdullah ibn Jubair, Komandan Pasukan Pemanah yang Syahid Tepati Janji ke Nabi


Jakarta

Abdullah ibn Jubair adalah salah satu sahabat nabi yang berasal dari kalangan Anshar keturunan suku Aus. Sebelum meletusnya Perang Uhud, Rasulullah SAW memilih 50 pemanah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Jubair.

Melansir buku Fikih Sirah yang ditulis Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Perang uhud terjadi karena beberapa tokoh Quraisy yang tidak terbunuh dalam perang Badar Kurba sepakat menuntut balas atas kematian teman-teman mereka. Untuk memerangi Rasulullah SAW mereka menggalang kekuatan dengan barang-barang berharga yang dulu dibawa kafilah pimpinan Abu Sufyan.

Abdullah Ibn Jubair Selalu Menjaga Janji

Abdullah ibn Jubair telah berjanji untuk selalu taat kepada Nabi Muhammad SAW, karena taat kepada Rasulullah SAW berarti taat kepada Allah.


Sedikit pun tidak ada keraguan dalam hatinya, apalagi niat untuk menggantikan rasa cintanya kepada beliau. Ia selalu mendahulukan kepentingan Nabi SAW dalam segala urusan dibanding kepentingan dirinya sendiri.

Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi yang ditulis Muhammad Raji Hasan Kinas menjelaskan bahwa sebelum perang berkecamuk, Rasulullah SAW telah berpesan kepada pasukan pemanah, “Jangan pernah meninggalkan posisi kalian ketika kalian melihat kami terdesak oleh serangan musuh!”

Perintah Nabi SAW itu sangat jelas dan mudah dipahami. Terlebih lagi, perintah itu keluar dari lisan seorang nabi yang tidak akan berbicara kecuali dengan petunjuk Allah.

Saat perang mulai berkecamuk, pasukan muslim berada di atas angin. Mereka dapat mendesak dan menghancurkan barisan musuh.

Saat itu, semua muslim merasa yakin, mereka akan segera meraih kemenangan besar seperti yang didapatkan di Badar. Tak sedikit pasukan musyrik lari menjauhi medan perang, meninggalkan berbagai perlengkapan dan perbekalan mereka.

Menyaksikan keadaan itu, kaum muslim menyangka bahwa perang telah usai dan mereka meraih kemenangan. Maka, nyaris semua orang berlari ke sana kemari memperebutkan harta rampasan dengan wajah yang ceria seraya meneriakkan pekik kemenangan.

Saat yang sama, pasukan pemanah memperhatikan dari atas apa yang terjadi di bawah. Mereka mengira, perang telah usai ketika melihat kawan-kawan mereka berlarian mengambil rampasan perang.

Mereka khawatir tidak kebagian barang yang ditinggalkan pasukan musyrik atau dari korban yang tewas. Semakin lama semakin gelisah. Sementara, mereka tak juga menerima perintah baru dari Rasulullah SAW tidak mau menunggu lebih lama, mereka membubarkan diri dan berlari menuruni bukit.

Mereka tak menghiraukan komandan mereka, Abdullah ibn Jubair, yang berteriak mengingatkan mereka agar bertahan di atas bukit. Mereka tak peduli meskipun Ibn Jubair mengingatkan mereka akan perintah Rasulullah SAW. Mereka seolah-olah tuli karena pikiran mereka dipenuhi keinginan untuk mendapatkan rampasan perang. Mereka lupa, sesungguhnya harta dunia pasti akan sirna dan akhirat merupakan pilihan yang terbaik dan abadi.

Tak semua pemanah beranjak meninggalkan posisi mereka. Ada sepuluh orang yang bertahan di puncak bukit, termasuk komandan mereka, Abdullah ibn Jubair. Mereka berdiri kukuh, mematuhi perintah Nabi SAW, panglima perang tertinggi. Sedikit pun tak terlintas di hati mereka untuk menukar ketaatan kepada Rasulullah SAW dengan harta dunia.

Ketidaktaatan pasukan pemanah harus dibayar mahal. Divisi kavaleri Quraisy, di bawah komando Khalid ibn al-Walid, wira perang yang sangat cakap, menantikan saat-saat itu di balik bukit. Mereka menunggu kaum muslim lengah.

Saat menyaksikan bukit tak lagi terjaga dengan baik, Khalid menyerbu dari balik bukit, lalu menyerang tangkas pasukan pemanah yang tersisa dan menumbangkan mereka semua.

Kavaleri Quraisy itu kemudian berderap menuruni bukit, menebas kaum muslim yang berlari serabutan karena tak menduga musuh berbalik menyerang. Abdullah ibn Jubair, komandan pasukan pemanah, yang setia pada perintah, gugur sebagai syahid.

Semoga Allah merahmatinya

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Sosok Abdullah bin Ubay, Pemimpin Kaum Munafik Madinah di Zaman Rasulullah


Jakarta

Abdullah bin Ubay adalah sosok munafik yang hidup pada zaman Rasulullah SAW. Ia menampakkan keislamannya secara lisan, tapi yang sebenarnya adalah ia menyembunyikan kekafirannya. Kisahnya menjadi salah satu penyebab turunnya ayat dalam Al-Qur’an.

Adapun ciri orang munafik dijelaskan secara umum dalam surah Al Munafiqun ayat 4. Allah SWT berfirman,

وَاِذَا رَاَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ اَجْسَامُهُمْۗ وَاِنْ يَّقُوْلُوْا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْۗ كَاَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۗيَحْسَبُوْنَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْۗ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْۗ قَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۖاَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ


Artinya: “Apabila engkau melihat mereka, tubuhnya mengagumkanmu. Jika mereka bertutur kata, engkau mendengarkan tutur katanya (dengan saksama karena kefasihannya). Mereka bagaikan (seonggok) kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan (kutukan) ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Maka, waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)?”

Abdullah bin Ubay dan Sifat Munafiknya

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Anshari. Dia berasal dari bani Auf, kabilah Khazraj, pemimpin kabilah Khazraj pada masa jahiliah. Inilah salah satu kabilah yang menampung dan menolong kaum Muhajirin.

Dikutip dari buku Tokoh Yang Diabadikan Al-Qur`an 4 karya Abdurrahman Umairah, Abdullah bin Ubay adalah ayahanda seorang sahabat yang mulia, yaitu Abdullah, dan sepupu Amir sang pendeta. Amir telah mengakui adanya Tuhan pada masa jahiliah, menggunakan pakaian berbahan kasar, dan berperilaku sebagai pendeta.

Sebelum Muhammad SAW diutus, dia senantiasa mencari informasi tentang kedatangannya, mulai menceritakan hal itu kepada kaumnya, dan menyampaikan bahwa kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai berita gembira.

Setelah Nabi SAW lahir, Amir merasa iri kepadanya, menzaliminya, menetap dalam kekafirannya, memaklumkan perang terhadap kaum muslimin, dan ikut Perang Uhud bersama kaum musyrikin. Rasulullah SAW pun menamainya sebagai orang fasik.

Abdullah bin Ubay adalah orang yang dihormati secara luas oleh kaum jahiliah. Dia memiliki kekayaan yang banyak sehingga disegani.

Kekayaan itu dikumpulkannya dengan berbagai cara. Di antaranya melalui perdagangan, dengan meminjamkannya kepada orang yang membutuhkan melalui sistem riba, dan menawarkan budak perempuan (pelacur) ke pangkuan orang-orang keji.

Dari pekerjaan pelacur itu, dia menarik keuntungan dan mendapatkan anak laki-laki untuk menambah jumlah pelayan dan sekutunya. Dia senantiasa menawarkan budak perempuan kepada tamu-tamunya yang singgah di rumahnya supaya dianggap sangat dermawan, mendapat keuntungan materi, dan mendapatkan simpati dari orang lain yang kemudian menjadi pengikut dan pembelanya.

Sebelum Rasulullah SAW hijrah, penduduk Madinah dan para pemuka masyarakatnya mengumpulkan batu marjan untuk dibuat mahkota bagi Abdullah bin Ubay dan mengangkatnya sebagai raja dan pemimpin mereka.

Setelah Rasulullah SAW datang, manusia menjauh dari sisi Abdullah bin Ubay, kemudian berpindah ke sisi Rasulullah SAW. Bahkan kabilah, kerabat, dan keluarga yang merupakan manusia yang paling dekat dengan Abdullah bin Ubay pun menjadi pengikut Rasulullah SAW.

Karena Abdullah bin Ubay tidak memiliki strategi untuk menghalanginya, dia menampakkan keislamannya dan menyembunyikan kekafirannya. Caranya itu diikuti oleh sejumlah pelayan dan budaknya yang sangat membutuhkan bantuan dan pemberiannya, serta oleh sekelompok orang yang hatinya telah dikunci mati oleh Allah SWT.

Dengan demikian, dia menjadi pemimpin bagi sekelompok manusia yang dikenal sebagai kaum munafik yang ikut mewarnai dunia Islam periode pertama.

Turunnya Surah Al-Munafiqun karena Kemunafikan Abdullah bin Ubay

Kemunafikan Abdullah bin Ubay juga menjadi alasan turunnya surah Al-Munafiqun. Diceritakan dalam buku Berdakwah dengan Hati karya Syaikh Ibrahim bin Shalih, hal tersebut diterangkan dalam riwayat dari Zaid bin Arqam, ia berkata,

“Kami keluar bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Ketika itu orang-orang mengalami kesulitan. Maka Abdullah bin Ubay berkata kepada teman-temannya, ‘Jangan berinfak kepada orang dekat Rasulullah SAW sampai mereka menjauhi. Kalau kita pulang ke Madinah negeri kita, yang lebih mulia akan mengeluarkan yang paling hina’.”

Ucap Zaid, “Maka aku melaporkannya kepada Rasulullah.”

Mendengar laporan itu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk menanyakannya. Abdullah bin Ubay bersumpah bahwa ia tidak berkata seperti itu.

“Zaid bohong”, ucap Abdullah bin Ubay. Maka ada ganjalan dalam batin Zaid karena hal itu, sampai Allah SWT menurunkan ayat yang membenarkannya, yaitu dalam surah Al-Munafiqun ayat 1. Allah SWT berfirman,

اِذَا جَاۤءَكَ الْمُنٰفِقُوْنَ قَالُوْا نَشْهَدُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُ اللّٰهِۘ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُهٗۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَكٰذِبُوْنَۚ ۝١

Latin: idzâ jâ’akal munâfiqûna qâlû nasy-hadu innaka larasûlullâh, wallâhu ya’lamu innaka larasûluh, wallâhu yasy-hadu innal-munâfiqîna lakâdzibûn

Artinya: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasulullah SAW. Dan Allah SWT mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya, dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.”

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Siapa Sahabat Rasulullah yang Buruk Rupa tapi Bisa Menikahi Bidadari?


Jakarta

Ada sahabat Rasulullah yang memiliki penampilan fisik yang buruk dan miskin, namun ia berhasil menikahi seorang gadis cantik yang salihah. Ia adalah Julaibib.

Nama Julaibib adalah nama yang tidak biasa dan tidak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Bukan pula orang tuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib.

Dalam buku 99 Asmaul Husna Kisah dan Mukjizat yang ditulis Chris Oetoyo, dijelaskan bahwa tampilan fisik dan kesehariannya juga menjadi alasan sulitnya orang lain mendekat dengannya.


Penampilan fisik dan keseharian Julaibib sangat menyedihkan. Wajahnya jelek dan menyeramkan, pendek, bungkuk, hitam, dan miskin. Kainnya sudah kusam dan pakaiannya lusuh.

Ia tidak memiliki rumah untuk berteduh. Ia sungguh miskin, namun ketika Allah SWT berkehendak menurunkan rahmat-Nya, tidak ada satu makhluk pun yang bisa menghalangi.

Ia selalu berada di shaf terdepan ketika salat maupun jihad. Meski hampir semua orang memperlakukannya seolah ia tidak ada, tetapi Rasulullah SAW memperlakukan Julaibab sama seperti umat lainnya.

Julaibib tidak pernah menyesali apa yang ada pada dirinya. Ia yakin bahwa Allah SWT mempunyai rencana sendiri untuknya.

Pada suatu hari, Julaibib menerima hidayah atas bantuan Rasulullah SAW. Akhirnya Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi menikah dengan seorang gadis cantik yang salihah. Berikut kisah selengkapnya.

Kisal Julaibib RA yang Menikahi Bidadari Salehah

Dikisahkan dalam buku Jangan Berhenti Mencoba karya Nasrul Yung, Julaibib yang tinggal di shuffah masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Rasulullah SAW,

“Julaibib…”, begitu lembut beliau memanggil. “Tidakkah engkau ingin menikah?” lanjut beliau.

“Siapakah orangnya ya Rasulullah, yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah SWT pada kata-kata ataupun mukanya. Rasulullah pun tersenyum. Mungkin memang tidak ada orangtua yang berkenan pada Julaibib.

Di hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah SAW menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau ingin menikah?”.

Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama, tiga kali, dan tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah, Rasulullah SAW menggenggam lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar.

“Aku ingin menikahkan putri kalian.” Kata Rasulullah SAW pada si tuan rumah.

“Betapa indahnya dan betapa berkahnya.” Begitu si tuan rumah menjawab dengan berseri-seri, mengira bahwa sang Rasul lah calon menantunya.

“Oh… ya Rasulullah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”

“Tetapi bukan untukku.”, kata Rasulullah SAW. “Kupinangkan putri kalian untuk Julaibib.”

“Julaibib?” nyaris berteriak ayah sang gadis. “Ya, untuk Julaibib.” Jawab Rasulullah SAW

“Ya Rasulullah…” terdengar helaan napas berat ayah sang gadis. “Saya meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini.”

Setelah meminta pertimbangan sang istri, ternyata ibu dari sang gadis itu pun menolak.

“Dengan Julaibib?” Istri seorang pemimpin kaum Anshar pun turut terkejut.

“Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lacak, tidak berpangkat, tidak bernasab, tidak berkabilah, dan tidak bertahta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kami menikah dengan Julaibib.”

Perdebatan itu tidak berlangsung lama, Kemudian sang putri cantik asal Madinah itu mendengarnya dari balik tirai dan berkata dengan lembut, “Siapa yang meminta?”.

Sang ayah dan ibunya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW lah yang meminta.

“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah yang meminta, maka tidak akan membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Jawab sang gadis.

Sang gadis yang salehah kemudian membaca surah Al-Ahzab ayat 36, https://www.detik.com/hikmah/quran-online/al-ahzab/tafsir-ayat-36-3569

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْۗ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
Arab Latin: wa mâ kâna limu’miniw wa lâ mu’minatin idzâ qadlallâhu wa rasûluhû amran ay yakûna lahumul-khiyaratu min amrihim, wa may ya’shillâha wa rasûlahû fa qad dlalla dlalâlam mubînâ

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Rasulullah SAW dengan tertunduk berdoa untuk si gadis salehah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Jangan Engkau jadikan hidupnya payah dan bermasalah.”

Akhirnya dilaksanakanlah pernikahan antara Julaibib si buruk rupa dengan gadis tercantik Madinah putri pemuka Anshar.

Mengutip buku Tetes Embun karya Iqbal Syafi’i, beberapa hari kemudian setelah Julaibib dan istrinya menikah, terjadilah perang Uhud.

Mendapatkan seruan dari Rasulullah SAW untuk berperang, Julaibib dengan antusias mengikutinya. Ia termasuk pasukan terdepan di perang itu, namun ditengah peperangan, ia pergi dengan syahid.

Rasulullah SAW bersedih atas kepergian Julaibib, karena ia baru saja menikah. Disaat pemakamannya, Rasulullah SAW tiba-tiba memalingkan wajahnya dari Julaibib.

Lalu ada sahabat yang menanyakan sebabnya, beliau menjawab, “Kulihat para bidadari memperebutkannya, hingga salah seorang dari mereka tersingkap betisnya.” Karena itulah Rasulullah SAW memalingkan wajahnya.

Si gadis cantik salehah asal Madinah itu tidak mencintai Julaibib kecuali karena diminta Rasulullah SAW, Julaibib pun tidak mencintai kecuali karena Rasulullah SAW. Jadi, dibawah naungan sang Rasul lah keduanya saling mencintai.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abdullah bin Amr yang Jasadnya Tetap Utuh setelah 46 Tahun Lamanya


Jakarta

Dalam sejarah Islam, terdapat kisah menakjubkan tentang Abdullah bin Amr, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud. Jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh bahkan puluhan tahun setelah kematiannya menjadi salah satu keistimewaannya sebagai sahabat nabi.

Sebelum perang, Abdullah bin Amr merasa yakin bahwa ia akan gugur dalam pertempuran tersebut. Kisah jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh menjadi sebuah keajaiban yang menggambarkan betapa tinggi kedudukan beliau di sisi Allah SWT, bahkan setelah syahid. Inilah kisah jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh setelah 46 tahun lamanya.

Dibalik Kematian Abdullah bin Amr

Dikisahkan dalm buku Biografi 60 Sahabat Rasulullah SAW yang ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid, ketika 73 orang kaum Anshar membaiat Rasulullah SAW dalam Baiat Aqabah II, Abdullah bin Amr bin Haram adalah salah seorang dari mereka.


Demikian juga, ketika Rasulullah SAW memilih beberapa yang terbaik dari mereka, Abdullah bin Amr adalah salah satu yang terpilih. Rasulullah SAW menunjuknya sebagai orang pilihan dari kaumnya, Bani Salamah.

Abdullah bin Amr menyerahkan dirinya, harta, dan keluarganya untuk mengabdi kepada Islam. Termasuk saat Perang Badar dan Perang Uhud, ia menunjukkan keberanian yang luar biasa.

Sebelum Perang Uhud, Abdullah bin Amr merasa yakin bahwa ia akan gugur dalam pertempuran tersebut. Hatinya terbang karena bahagia. Ia panggil anaknya, Jabir bin Abdullah, lalu berpesan kepadanya,

“Aku merasa yakin akan gugur dalam perang ini. Bahkan, mungkin aku akan menjadi muslim pertama yang menjadi syuhada. Demi Allah, aku tak meninggalkan seorang pun yang lebih aku cintai sesudah Rasulullah, melebihi dirimu. Sungguh aku memiliki utang maka bayarlah utangku dan berbuat baiklah kepada para saudaramu!”

Setelah Perang, Abdullah bin Amr adalah salah seorang yang pertama kali terbunuh. Jabir bin Abdullah, anaknya, turut serta ketika kaum muslimin mencari jasad para syuhada, termasuk jasad ayahnya di antara para syuhada.

Ia menemukan ayahnya di tengah-tengah tubuh para syuhada, yang jasadnya telah diperlakukan dengan kejam oleh kaum musyrikin sebagaimana yang dialami oleh para pahlawan lainnya.

Ketika Jabir dan beberapa keluarga menangisi sang syuhada Islam, Abdullah bin Amr bin Haram, Rasulullah SAW melihat mereka, lalu bersabda,

“Kalian tangisi atau tidak maka ia telah berada dalam naungan sayap-sayap para malaikat.”

Iman Abdullah bin Amr sangatlah kokoh. Cintanya kepada syahid di jalan Allah SWT adalah puncak harapan dan keinginannya. Suatu ketika, Rasulullah SAW memberitahukan suatu kabar besar yang menggambarkan keinginannya untuk menjadi syuhada.

Suatu hari Rasulullah SAW bersabda kepada Jabir putra Abdullah bin Amr,

“Wahai Jabir, Allah tidak pernah berfirman kepada seorang pun, kecuali dari balik tabir. Namun, Dia telah berfirman kepada ayahmu secara langsung. Dia berfirman kepada ayahmu:

“Wahai hamba-Ku, mintalah kepada-Ku, Aku pasti memberimu!”

Abdullah bin Amr berkata: “Wahai Tuhan, aku minta kepada-Mu agar Engkau kembalikan aku ke dunia untuk sekali lagi berperang di jalan-Mu.”

Allah SWT menjawab: “Sesungguhnya, Aku telah berfirman bahwa mereka tidak akan dikembalikan ke dunia.”

Abdullah bin “Amr berkata: ‘Kalau begitu, sampaikanlah nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami kepada orang-orang sesudahku!”

Selanjutnya, Allah SWT menurunkan surat Ali Imran ayat 169-170 berikut:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati’.”

Jasad Abdullah bin Amr yang Tetap Utuh

Kisah jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh terjadi ketika kaum muslimin mulai mengenali para syuhada, keluarga Abdullah bin Amr pun berhasil menemukan jasadnya, istri Abdullah kemudian mengangkat jasad sang suaminya dan menaruhnya di atas unta, bersama dengan jasad saudara laki-lakinya yang juga syahid dalam pertempuran tersebut.

Sang istri membawa keduanya ke Madinah untuk dimakamkan di sana sebagaimana yang dilakukan oleh keluarga syuhada lainnya.

Namun, seorang utusan Rasulullah SAW menyusul mereka dan menyerukan perintah Rasulullah SAW,

“Makamkanlah para korban yang gugur di tempat mereka gugur!” Akhirnya, setiap dari mereka pun kembali dengan membawa pahlawan syahidnya. Nabi sendiri memimpin pemakaman para sahabat yang menjadi syuhada. Mereka yang telah menepati apa yang mereka janjikan dengan Allah, mengorbankan nyawa yang berharga dengan mendekatkan diri dan tawadhu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketika tiba giliran Abdullah bin Amr untuk dimakamkan, Rasulullah SAW menyeru,

“Makamkanlah Abdullah bin ‘Amr dan ‘Amr bin Jamûh dalam satu liang karena saat di dunia mereka berdua saling mencintai dan saling setia!”

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Kisah Karomah Para Wali Allah yang ditulis oleh Abul Fida’ Abdurraqib bin Ali Al-Ibi, Abdullah bin Amr memiliki ciri khas berkulit merah, berkepala botak, dan berpostur tinggi. Begitu pun dengan Amr bin Jamuh yang juga memiliki postur tubuh tinggi, sehingga keduanya dapat dikenali. Makam mereka terletak di area yang rawan terkena banjir. Akibatnya, ketika terjadi banjir, kuburan mereka terbongkar.

Ketika kubur mereka dibongkar, jasad mereka ditemukan masih dalam keadaan utuh. Kain kafan mereka masih dalam kondisi sempurna, bahkan luka di wajah Abdullah bin Amr masih tampak.

Saat anaknya, Jabir, mencoba menggeser tangannya dari luka, darah mengalir dengan deras. Namun, ketika tangannya dikembalikan ke posisi semula, darah berhenti mengalir. Jabir merasa bahwa ayahnya seolah tidur dengan tenang, tanpa ada perubahan.

Kain selimut yang digunakan sebagai kafan untuk menutupi wajahnya, masih dalam keadaan utuh. Begitu pula dengan mantel yang menyelimuti kedua kakinya. Padahal, sudah berlalu empat puluh enam tahun sejak saat itu.

Awalnya, Jabir berkeinginan untuk memindahkan makam ayahnya ke tempat lain. Namun, para sahabat Rasulullah SAW keberatan. Mereka berkata,

“Jangan melakukan perubahan sedikit pun dan jangan memindahkan mereka ke tempat lain. Hal itu karena tempat kubur mereka bisa dilewati oleh pipa sehingga bisa membahayakan.”

Mengenai kisah ini, Ibnu Sa’ad mengatakan,

“Kami mendapatkan cerita dari Amr bin Al-Haitsam Abu Qathan, dari Hisyam Ad-Dastawa’i, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir Radhiyallahu Anhu, ia berkata, ‘Mayat para pahlawan yang gugur dalam Perang Uhud harus dibongkar ketika Khalifah Mu’awiyah membuat saluran mata air yang melewati tanah pekuburan mereka. Ketika kami bongkar, mayat-mayat mereka masih dalam keadaan utuh, padahal sudah berlangsung empat puluh tahun yang lalu. “

Ibnu Ishaq juga mengemukakan tentang kisah jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh ini, ia mengatakan,

“Aku mendapatkan cerita dari beberapa orang tua kaum Anshar. Mereka berkata, ‘Ketika Khalifah Mu’awiyah mengeluarkan kebijakan membuat mata air yang saluran pipanya harus melewati tanah pekuburan para pahlawan syahid yang gugur pada Perang Uhud, kami terpaksa melakukan pembongkaran terhadap kubur Amr bin Al-Jamuh dan Amr bin Abdullah Al-Anshari. Kami mendapati mayat mereka berdua masih utuh, termasuk kain kafan mereka yang masing-masing hanya berupa dua lembar selimut dan sepotong mantel. Sepertinya mereka baru saja dikubur kemarin’.”

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Sejarah Perang Uhud dan Tewasnya Pasukan Muslim



Jakarta

Perang Uhud adalah salah satu peristiwa bersejarah dalam Islam. Pertempuran ini juga menjadi pembelajaran bagi kaum muslimin karena lalai.

Perang ini berlangsung pada 15 Syawal 3 Hijriah atau 625 Masehi. Peristiwa tersebut berlangsung satu tahun setelah Perang Badar.

Menukil dari buku Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik oleh Mahdi Rizqullah Ahmad dkk, kala itu pihak Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan membawa 3.000 tentara serta beberapa wanita pelayan.


Sementara itu, pasukan muslim terdiri dari 1.000 gabungan penduduk Makkah dan Madinah. Namun, dalam perjalanan menuju Gunung Uhud salah seorang pemimpin bani terbesar Quraisy yang bernama Abdullah bin Ubay membelot hingga membawa 300 pasukan muslim. Artinya, sisa prajurit Islam hanya 700 orang.

Dikisahkan dalam buku Sang Panglima Tak Terkalahkan Khalid bin Walid susunan Hanatul Ula Maulidya, pasukan muslim harus terus maju dan mengalahkan kafir Quraisy. Perang Uhud sendiri dijadikan senjata balas dendam besar-besaran akibat kekalahan kafir Quraisy pada Perang Badar.

Akhirnya, Rasulullah SAW menempatkan sebanyak 50 pasukan pemanah di atas Gunung Uhud untuk melakukan serangan apabila pasukan berkuda kafir Quraisy menyerbu. Ia berpesan agar prajurit yang berada di atas gunung tidak meninggalkan tempat apa pun yang terjadi.

Pasukan kafir Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan bin Harb mulanya terkalahkan. Pasukan muslim mengungguli awal pertempuran.

Namun, ketika pasukan pemanah di atas bukit melihat harta rampasan perang maka kondisi langsung berbalik. Kala itu, beberapa prajurit berkata sambil teriak,

“Harta rampasan. Kita sudah menang! Apalagi yang kita tunggu?”

Hal tersebut menyebabkan pasukan pemanah lainnya ikut turun mengambil harta rampasan perang. Akhirnya, komandan pasukan pemanah Abdullah bin Jubair mengingatkan prajuritnya akan pesan Nabi SAW kepada mereka.

Alih-alih mendengarkan sang komandan, prajurit pemanah itu justru tetap mengambil harta rampasan. Akhirnya, kesempatan tersebut dijadikan senjata bagi pasukan kafir Quraisy untuk menyerang pasukan muslim.

Pada Perang Uhud, Hamzah yang merupakan paman Rasulullah SAW terbunuh. Ini disebabkan salah seorang budak bernama Wahsyi yang mengintainya dan menombak beliau hingga mengenai perutnya.

Mengutip dari Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam yang diterjemahkan Fadhli Bahri, Ibnu Ishaq mengatakan bahwa para sahabat Nabi SAW yang terbunuh di Perang Uhud sekitar 60 orang.

Wallahu a’lam

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com