Tag Archives: perawi

Pengertian, Ciri, Jenis, dan Contohnya



Jakarta

Hadits mutawatir adalah hadits yang dikenal dengan istilah yang dihubungkan dengan banyaknya jumlah perawi. Berikut ini adalah penjelasan hadits mutawatir selengkapnya dengan pengertian, ciri, jenis, dan contohnya.

Dikutip dari buku Ilmu Memahami Hadits Nabi tulisan KH. M. Ma’shum Zein, M.A., secara bahasa, mutawatir memiliki arti yang sama dengan kata mutatâbi yang artinya beruntun atau beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jarak.

Sedangkan menurut istilah, ada beberapa penjelasan mutawatir sebagai berikut. Dari As Suyuthi dalam Kitab Tadrib mengatakan,


مَا رَوَاهُ جَمْعُ عَنْ جَمْعِ تُحِيْلُ العَادَةَ تَوَاظُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ

Artinya: “Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.”

Semenara itu, Ajjaj dalam Kitab Ushul berpendapat,

مَارَوَاهُ جَمْعُ تُحِيْلُ الْعَادَةَ تَوَاظُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِم مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ إِلَى مُنْتَهَاه

Artinya: “Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka lebih dahulu bersepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir mata rantai sanad, pada setiap thabaqat atau generasi.”

Lalu, pendapat lain dari ‘Ithr dalam Kitab Manhaj mengatakan,

الَّذِي رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيرٌ لَا يُمْكِنُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ إِلَى انْتِهَاءِ السَّنَدِ وَكَانَ مُسْتَنِدُهُمْ أَلْحِس

Artinya: “Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang terhindar dari adanya kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal mata rantai sanad) sampai akhir sanad berdasarkan pancaindra.”

Untuk itu, hadits mutawatir menurut istilah didefinisikan sebagai hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya dan menurut akal tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits. Dalam meriwayatkan hadits, para perawi satu ini bersandar pada sesuatu yang bisa diketahui dengan pancaindra, seperti pendengaran.

Adapun ciri dari hadits mutawatir dikutip dari Kitab Shahih Bukhari-Muslim tulisan Fu’ad Abdul Baqi adalah sebagai berikut.

Ciri-ciri Hadits Mutawatir

  • Diriwayatkan banyak perawi. Para ahli hadits memiliki perbedaan pandangan perihal jumlah minimal perawi hadits mutawatir ini. Abu Thayyib berpendapat paling sedikit empat orang perawi, sedang Syaikh Mahmud ath-Thahhan menyebut 10 orang.
  • Jumlah banyak orang yang meriwayatkannya ini ada pada semua tingkatan sanadnya.
  • Menurut adat, mustahil para perawi sepakat untuk berbohong lantaran mereka berada di negeri atau bangsa yang berbeda.
  • Sandaran hadits ini dilakukan menggunakan pancaindra, misal pendengaran atau penglihatan. Sehingga kalimat haditsnya seperti, “Kami mendengar..” atau “Kami melihat…” Jika penyandaran hadits berlandaskan akal perawi maka tidak disebut sebagai hadits mutawatir.

Jika dilihat dari ciri-cirinya di atas, terdapat ulama yang menyebut keberadaan hadits mutawatir tidak ada sama sekali. Tetapi Syaikh Manna Al-Qaththan berkata lain. Menurutnya hadits mutawatir itu ada, tetapi jumlahnya tak cukup banyak bila dibanding hadits ahad.

Apabila menilik hadits mutawatir berdasarkan macamnya maka terdapat dua macam seperti yang dijelaskan oleh para ulama. Dua macam hadits mutawatir adalah sebagai berikut.

Jenis Hadits Mutawatir dan Contohnya

  • Mutawatir Lafzhi yaitu hadits yang mutawatir lafaz dan maknanya. Contohnya adalah Hadits riwayat Abu Hurairah, “Barangsiapa yang berdusta atas (nama)ku secara sengaja, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR Bukhari)

Dikatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, dan jumlah yang meriwayatkannya terus bertambah.

  • Mutawatir Maknawi yakni hadits yang maknanya mutawatir sementara lafaznya tidak. Contohnya adalah mengenai tata cara mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits-hadits yang meriwayatkan seperti ini terdapat sekitar 100 hadits.

Begitulah pembahasan kali ini mengenai hadits mutawatir. Semoga tulisan kali ini dapat menambah wawasan kita dalam beragama. Aamiin yaa Rabbal’alamiin.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Contoh Hadits Shahih Lengkap dengan Sanad, Matan dan Rawi


Jakarta

Sanad, matan, dan rawi merupakan unsur penting dalam ilmu hadits. Berikut contoh hadits shahih lengkap dengan sanad, matan, dan rawinya.

Dijelaskan dalam buku Memahami Ilmu Hadits karya Asep Herdi, sanad menurut bahasa artinya sandaran tempat atau bersandar, sedangkan menurut istilah sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada jalan hadits.

Sanad terdiri dari semua penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam kitabnya hingga jalurnya sampai pada Rasulullah SAW. Sanad berfungsi menggambarkan keaslian riwayat.


Lebih lanjut dijelaskan, sebuah hadits bisa terdiri dari beberapa sanad dengan jumlah penutur atau perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya (thaqabah).

Adapun, matan menurut bahasa artinya tanah yang tinggi. Para ahli hadits mendefinisikan matan sebagai kalimat tempat berakhirnya sanad atau lafaz-lafaz hadits yang di dalamnya mengandung makna tertentu. Sederhananya matan adalah ujung sanad (gayah al-sanad) atau redaksi hadits.

Ada dua hal penting dalam memahami matan suatu hadits. Pertama, ujung sanad yang menjadi sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad SAW atau bukan. Kedua, hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya dan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Unsur pokok dari sebuah hadits adalah rawi. Rawi atau ar rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-hadits). Rawi juga termasuk orang yang menerima dan memindahkan hadits.

Rawi menjadi unsur yang tak terpisahkan dari sanad. Sebab, sanad hadits pada setiap lapisan sanadnya juga disebut rawi. Meski demikian, ada hal yang membedakan keduanya, yakni pada pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits kemudian menghimpunnya dalam kitab disebut perawi.

Untuk lebih jelasnya, berikut contoh hadits shahih lengkap dengan sanad, matan, dan rawinya. Hadits ini termuat dalam kitab Shahih Bukhari edisi bahasa Indonesia yang disusun oleh Yoli Hemdi, terbitan Gramedia Pustaka Utama.

Contoh Hadits Shahih

حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كسب زَوْجِهَا عَنْ غَيْر أمره فَلَهُ نِصْفُ أَجْرٍ

Artinya: Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq dari Ma’mar dari Hammam berkata, aku mendengar Abu Hurairah RA berkata, Nabi SAW bersabda, “Jika seorang istri bersedekah dari harta hasil usaha suaminya tanpa perintah suaminya maka bagi suaminya mendapat separuh pahalanya.” (HR Bukhari)

Penjelasan hadits

  • Sanad: Jika diurutkan dari namanya, Yahya bin Ja’far sampai Nabi Muhammad SAW adalah sanad dari hadits tersebut.
  • Matan: Kalimat “Jika seorang istri bersedekah dari harta hasil usaha suaminya tanpa perintah suaminya maka bagi suaminya mendapat separuh pahalanya.” adalah matan hadits.
  • Rawi: Imam Bukhari adalah perawinya. Ia juga juga termasuk mudawwin atau pencatat hadits.

Apabila dipecah berdasarkan tingkatan periwayatannya, maka Abu Hurairah RA adalah rawi dari tingkatan sahabat; Abdur Razaq, Ma’mar, dan Hammam adalah rawi dari tingkatan tabi’in; dan Imam Bukhari adalah rawi dari tingkatan mudawwin.

Contoh hadits shahih lain adalah sebagai berikut,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَعْقُوبَ الْكِرْمَانِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ حَدَّثَنَا يُونُسُ قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ الزُّهْرِيُّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلُ رَحِمَهُ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Ya’qub Al-Kirmani, telah menceritakan kepada kami Hassan, telah menceritakan kepada kami Yunus, berkata Muhammad, dia adalah Az-Zuhri, dari Anas bin Malik RA, berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya atau meninggalkan nama sebagai orang baik setelah kematiannya hendaklah dia menyambung silaturahmi.” (HR Bukhari)

Penjelasan hadits

  • Sanad: Jika diurutkan dari namanya, Muhammad bin Abu Ya’qub Al-Kirmani sampai Rasulullah SAW adalah sanad.
  • Matan: Kalimat “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya atau meninggalkan nama sebagai orang baik setelah kematiannya hendaklah dia menyambung silaturahmi.” dalam hadits tersebut adalah matan.
  • Rawi: Imam Bukhari adalah perawinya. Ia juga juga termasuk mudawwin atau pencatat hadits.

Apabila dipecah berdasarkan tingkatan periwayatannya, maka Anas bin Malik RA adalah rawi dari tingkatan sahabat; Muhammad bin Abu Ya’qub Al-Kirmani, Hassan, Yunus, Muhammad, Az-Zuhri adalah rawi dari tingkatan tabi’in; dan Imam Bukhari adalah rawi dari tingkatan mudawwin.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Imam Bukhari dan Doa Ibu yang Disebut Sembuhkan Kebutaannya



Jakarta

Imam Bukhari memiliki nama asli Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari. Imam Bukhari memiliki kisah yang berkaitan dengan doa ibu.

Dikutip dari Biografi Imam Empat Mazhab dan Imam Perawi Hadits karya Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Imam Bukhari adalah seorang perawi hadits. Ia lahir pada tahun 194 H dan meninggal dunia pada tahun 256 H atau pada usia 62 tahun yang kurang 13 hari.

Imam Bukhari banyak menulis hadits dari para penghafal hadits seperti Al-Makiy bin Ibrahim Al-Balkhi, ‘Abdullah bin Musa Al-‘Abbasi, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakin, ‘Abdullah bin ‘Utsman Al-Marwazi, ‘Ali bin Al-Madini, Yahya bin Mu’in, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Banyak orang telah belajar dan mendapatkan hadits dari Imam Bukhari dan kurang lebih 90.000 orang telah belajar kitab Bukhari.


Beliau menuntut ilmu sejak berusia 10 tahun dan belajar dari para ahli hadits sejak berusia 11 tahun. Imam Bukhari pernah berkata yaitu,

“Aku telah mengeluarkan dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) kurang lebih 600.000 hadits. Dan aku tidak menulis satu hadits pun kecuali sebelumnya aku mengerjakan salat dua rakaat terlebih dahulu.”

Sebelum menjadi imam besar dan menuliskan buku serta hadits yang kita jadikan sebagai landasan hingga sekarang, Imam Bukhari memiliki kisah semasa kecil yang berkaitan dengan doa ibu. Dikutip dari Majalah Ar-Risalah Menata Hati Menyentuh Ruhani Edisi 227 dikisahkan ibu dari Imam Al-Bukhari.

Kisah Imam Bukhari dan Doa Ibu

Imam Bukhari lahir di Bukhara, Samarkand. Ia adalah anak kecil yatim yang dulunya pernah mengalami gangguan penglihatan tepatnya kebutaan.

Sang ibunda tak pernah putus dalam mendoakannya di sepertiga malam. Hingga pada suatu malam, sang ibunda berjumpa dengan Nabi Ibrahim AS dalam tidurnya yang berkata,

“Wahai ibu, sungguh Allah telah mengembalikan kedua mata putramu karena kamu sering berdoa kepada-Nya.”

Keesokan harinya, penglihatan Al-Bukhari benar-benar telah kembali. Perasaan gegap gempita lantaran kembalinya penglihatan putranya, membuat sang ibunda mewakafkan hidup putranya untuk ilmu.

Pada usia 16 tahun, sang ibunda mengajaknya umrah ke Makkah bersama saudaranya. Seusai umrah, Al- Bukhari menetap di Makkah untuk menuntut ilmu. Sementara ibundanya kembali pulang bersama saudaranya.

Pada masa setelahnya, Al-Bukhari menjadi Syaikh Al-Muhadditsin atau gurunya para ahli hadits. Kitab beliau, Shahih Al-Bukhari, menjadi kitab rujukan paling shahih setelah Al-Qur’an.

Dilengkapi melalui tulisan The Great Mothers Biografi Ibunda Para Ulama tulisan Ibnu Marzuqi al-Gharani, dijelaskan bahwa keshalihahan ibunda Al-Bukhari ini menjadi tanda kematangan sikapnya dalam beragama. Ia memiliki sikap tawakkal sekaligus raja’ (pengharapan) yang sangat luar biasa kepada Allah SWT.

Kualitas luar biasa dari kecerdasan hati semacam inilah yang mampu membuatnya sukses membesarkan Imam Bukhari tanpa keberadaan sosok suami. Sifat dan sikap ibunda Imam Bukhari pada akhirnya mampu menjadi pelita bagi sang putra.

Doa seorang ibu maupun orang tua pada umumnya sangat mustajab atau manjur. Oleh karena itu, tak ayal Imam Bukhari mendapatkan kesembuhan dan kemampuan yang luar biasa berkat ikhtiar dan doa dari ibundanya.

Berkenaan dengan mustajabnya doa seorang ibu pernah disinggung dalam sejumlah hadits Rasulullah SAW. Salah satunya dalam hadits berikut,

“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi, yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizhalimi.” (HR Abu Dawud)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga jenis doa yang mustajab (terkabul), tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizhalimi, doa orang yang bepergian, dan doa kejelekan kedua orang tua kepada anaknya.” HR Bukhari)

Selain itu, diriwayatkan pula, “Tiga doa yang tidak tertolak, yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa, dan doa seorang musafir.” (HR Baihaqi)

Begitulah pembahasan kali ini mengenai kisah Imam Bukhari dan doa ibu yang mustajab. Semoga dapat memberikan inspirasi dan wawasan baru ya, detikers!

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Murid Abu Hurairah yang Wafat saat Mengimami Salat



Jakarta

Dia adalah Zurarah bin Aufa Al Qadhi. Sosoknya juga dikenal dengan nama Abu Hajib Al ‘Amiri Al Bashri sebagai imam besar, hakim, perawi hadits, dan ulama kenamaan dari Bashrah.

Semasa hidupnya, Zurarah bin Aufa memang dikenal Imam Nasa’i dan imam lain di kalangan ahli hadits sebagai sosok perawi yang terpercaya dan kuat ingatannya atau tsiqah. Ia wafat pada tahun ke-93 Hijriah.

Salah satu murid dari Abu Hurairah ini diceritakan wafat saat dirinya sedang menjadi imam salat berjemaah. Kisah ini pun dibenarkan oleh hampir seluruh riwayat shahih dalam buku Rab Man Maata Wahua Yushalli oleh Mahmud bin Abul Malik Al-Zugbi terjemahan Yusni Amru dan Fuad Nawawi.


Zurarah bin Aufa wafat secara mendadak di wilayah Abdul Malik bin Marwan pada awal kunjungannya ke daerah Hijaz, Irak. Kisah kematian perawi yang merupakan guru dari ahli hadits Qatadah ini banyak diceritakan oleh para ahli hadits.

Salah satu kisahnya diceritakan oleh ‘Utab bin Al Matsani Al Qusyairi dari Bazin bin Hakim–murid Zurarah bin Aufa. Bahzin bercerita, saat itu Zurarah bin Aufa tengah mengimami salat berjamaah di Masjid Bani Qusyair. Bahzin menjadi salah satu makmumnya.

Menurut penuturan Bahzin, saat Zurarah membaca surah Al Muddatsir sampai ayat ke-8, mendadak beliau ambruk hingga dinyatakan meninggal dunia. Diceritakan oleh Bahzin, beliau sudah dinyatakan meninggal saat makmumnya hendak mengangkat tubuhnya.

“Aku termasuk yang membawa beliau sampai kediamannya. Setibanya di Hajaj, daerah Bashrah, orang-orang datang mengerubuti rumahnya,” demikian keterangan Bahzin.

Ibnu Katsir juga pernah menceritakan kematian Zurarah bin Aufa. Disebutkan, Ibnu Aufa, begitu Zurarah bin Aufa juga disapa, saat itu tengah menjadi imam untuk salat Subuh, bertepatan dengan dirinya membaca surah Al Muddatsir ayat 8.

“Saat sampai ayat ke-8, dia ambruk, lalu meninggal dunia. Dia wafat di Bashrah dalam usia 70 tahun,” terangnya.

Meski demikian, ada riwayat lain bersumber dari Abu Daud Al Thayalisi menyatakan, Zurarah bin Aufa wafat pada saat beliau dalam keadaan sujud salat di tengah-tengah menjadi imam salat berjemaah. Ada pula yang menyebutnya beliau wafat saat menjadi imam salat dua hari raya atau salat Id.

Wallahu a’lam.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com