Tag Archives: perbuatan zina

Bagaimana Islam Memandang Status Anak Hasil Zina? Ini Penjelasannya


Jakarta

Nasab atau garis keturunan memiliki peran penting dalam kehidupan seorang anak. Identitas, hak-hak hukum, hingga kedudukan sosial banyak bergantung pada kejelasan asal-usul keluarga. Oleh sebab itu, syariat menempatkan urusan nasab dalam posisi yang sangat dijaga, salah satunya melalui pernikahan yang sah.

Salah satu tujuan utama dari pernikahan yang sah adalah menjaga keturunan. Melalui pernikahan, hubungan antara suami, istri, dan anak menjadi jelas secara hukum dan agama.

Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 1,


يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Artinya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia berkembang biak melalui hubungan antara suami dan istri. Ini menunjukkan pentingnya membangun keluarga melalui pernikahan yang sah, agar keturunan terjaga dengan baik.

Lalu, bagaimana jika seorang anak lahir dari hubungan di luar pernikahan? Apakah tetap punya hak? Apakah diakui secara hukum? Untuk menjawabnya, berikut penjelasan tentang status anak hasil zina menurut pandangan Islam.

Nasab Anak Hasil Zina dalam Islam

Pandangan Islam tentang anak hasil zina cukup jelas. Anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan sah tetap memiliki nasab, tetapi hanya kepada ibunya. Hal ini dijelaskan dalam penelitian Sabilal Rasyad berjudul Status Hukum Anak di Luar Perkawinan dalam Hukum Islam dan Implementasinya dalam Perkembangan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Jurnal Hukum Islam Vol. 15 No. 1, Juni 2017).

Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa pengakuan nasab kepada ayah hanya berlaku dalam tiga kondisi, yaitu:

  1. Pernikahan sah
  2. Pernikahan fasid (pernikahan yang batal karena cacat syarat atau rukun)
  3. Senggama syubhat (hubungan yang terjadi karena kekeliruan)

Pendapat ini juga dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuh, yang menyebutkan bahwa penetapan nasab kepada ayah biologis hanya berlaku jika memenuhi salah satu dari tiga syarat tersebut.

Jika tidak memenuhi syarat di atas, hubungan nasab dengan ayah tidak diakui. Para ulama sepakat zina tidak bisa menjadi dasar untuk menetapkan nasab antara anak dan ayahnya.

Rasulullah SAW juga bersabda, “Anak itu (nasabnya) milik pemilik ranjang (suami sah), dan bagi pezina hanya mendapat batu.” (HR Muslim)

Hadits ini menjadi dasar hukum yang kuat bahwa anak hasil zina tidak terhubung secara nasab dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya.

Dalam Islam, status anak yang lahir dari hubungan zina memiliki beberapa konsekuensi hukum. Berikut penjelasannya dari buku Hukum Keperdataan Anak Di Luar Kawin karya Karto Manalu:

1. Tidak Memiliki Hubungan Nasab dengan Ayah Biologis

Anak hanya dianggap memiliki hubungan keturunan dengan ibunya. Ayah biologis tidak memiliki tanggung jawab hukum, seperti memberi nafkah.

2. Tidak Ada Hak Waris antara Anak dan Ayah

Anak tidak bisa mewarisi harta dari ayah biologisnya, begitu pula sebaliknya. Hak waris hanya berlaku dari ibu dan keluarga pihak ibu.

3. Tidak Bisa Diwalikan oleh Ayah Biologis

Jika anak perempuan ingin menikah, ayah biologisnya tidak bisa menjadi wali nikah. Peran tersebut akan digantikan oleh wali hakim.

Fatwa MUI tentang Perlakuan terhadap Anak Hasil Zina

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menetapkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 yang membahas kedudukan anak hasil zina dan bagaimana perlakuan yang semestinya diberikan kepadanya.

Fatwa ini menjadi salah satu rujukan penting dalam memahami status anak yang lahir di luar pernikahan menurut hukum Islam.

Berikut isi utama fatwa tersebut:

  1. Anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab, hak waris, nafkah, maupun hak wali nikah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya.
  2. Anak hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga pihak ibu.
  3. Anak tidak memikul dosa dari perbuatan zina orang tuanya.
  4. Laki-laki pezina dapat dikenai sanksi oleh pihak berwenang demi menjaga kejelasan keturunan (hifzh al-nasl).
  5. Pemerintah berwenang mewajibkan laki-laki tersebut untuk:
    • Memberikan nafkah kepada anak yang lahir dari perbuatannya.
    • Memberikan bagian harta melalui wasiat wajibah setelah ia meninggal.

Penjelasan ini menegaskan bahwa kewajiban laki-laki tersebut tidak menjadikan adanya hubungan nasab antara dirinya dan anak yang lahir, melainkan langkah yang diambil agar hak-hak anak tetap terpenuhi.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Pasangan Sesama Jenis di Aceh Dihukum Cambuk, Ini Ketentuannya dalam Islam


Jakarta

Pasangan sesama jenis dikenakan hukum cambuk di Banda Aceh. Eksekusi kedua pemuda berinisial QH dan RA itu berlangsung di Taman Bustanussalatin (Taman Sari) Banda Aceh, Selasa (26/8/2025).

Dilansir laporan detikSumut, keduanya menjalani hukuman bersama delapan terpidana lain. Pencambukan dihentikan setiap hitungan 10 karena petugas medis memeriksa kesehatan dan menanyakan kesanggupan yang dicambuk.

QH dicambuk terakhir kali dan terlihat mengangkat tangan sesekali sehingga algojo menghentikan cambukan. Usai dicek kondisi kesehatan dan diberi air mineral, QH kembali dicambuk dengan rotan. Pria tersebut sempat menangis dan sujud pada cambukan terakhir.


“Keduanya divonis masing-masing 80 kali namun setelah dikurangi tahanan terpidana dicambuk 76 kali,” ungkap Kasi Pidum Kejari Banda Aceh Isnawati kepada wartawan.

Pendapat Ulama tentang Hukuman bagi Pelaku Homoseksual

Diterangkan dalam buku Rekonstruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam yang disusun Imron Rosyadi, para ulama sepakat atas keharaman menyukai sesama jenis dan tergolong pada perbuatan keji atau fahisyah. Tindakan tersebut menimbulkan kerusakan sosial terutama moral. Al-Qur’an mengecam perilaku homoseksual yang pernah terjadi pada zaman Nabi Luth AS.

Terdapat banyak perbedaan pendapat terkait bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku homoseksual. Namun, secara garis besar terdapat tiga hukuman yang diberikan kepada mereka.

Pertama, pelaku homoseksual harus dirajam secara mutlak tanpa mempertimbangkan apakah sudah menikah atau belum. Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Ishaq bin Rahawaih dan al-Sya’bi. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni juga mengatakan bahwa Imam Hambali dan Imam Syafi’i berpendapat demikian.

Kedua, hukuman bagi pelaku homoseksual disamakan dengan hukuman zina. Apabila mereka sudah menikah, maka dihukum rajam sedangkan jika belum maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Tidak ada perbedaan hukuman antara pelaku homoseksual maupun lesbian.

Ketiga, pelaku penyuka sesama jenis cukup dikenakan ta’zir bukan hadd zina. Abu Hanifah berpandangan bahwa homoseksual tak dapat dikenakan hukuman yang sama dengan hadd zina karena terdapat perbedaan antara zina dan homoseksual.

Pada konteks homoseksual tidak ditemukan unsur ketidakjelasan nasab sebagaimana diakibatkan perbuatan zina. Demikian juga dalam homoseksual tidak melahirkan mudarat yaitu tersia-siakannya anak karena hubungan mereka tidak melahirkan keturunan.

Berangkat dari alasan tersebut, Abu Hanifah berpendapat hukuman bagi pelaku homoseksual adalah ta’zir yang pengaturan lebih lanjutnya diserahkan kepada pemerintah.

Sejalan dengan itu, berdasarkan Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang LGBT ditegaskan pelaku sodomi baik lesbian maupun gay hukumnya haram dan merupakan bentuk kejahatan. Mereka dikenakan hukuman ta’zir yang tingkat hukumannya bisa maksimal yaitu sampai pada hukuman mati.

Dalam hal korban kejahatan homoseksual, sodomi dan pencabulan anak-anak maka pelakunya dikenakan pemerataan hukuman hingga hukuman mati.

Larangan Menyukai Sesama Jenis dalam Islam

Menukil dari buku Akidah Akhlak oleh Toto Edidarmo dkk, perilaku seks menyimpang dilarang dalam agama Islam dan termasuk dosa besar. Larangan menyukai sesama jenis dalam Islam tercantum dalam sejumlah dalil, salah satunya surah Al A’raf ayat 80-82,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦٓ أَتَأْتُونَ ٱلْفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْعَٰلَمِينَ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِ ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِۦٓ إِلَّآ أَن قَالُوٓا۟ أَخْرِجُوهُم مِّن قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ

Artinya: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.”

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Ujaran Kasih Sayang, Mengubah Kabut Menjadi Terang



Jakarta

Imam Ahmad meriwayatkan dalam sebuah alHadits, bahwa waktu itu muncul seorang pemuda yang menghadap Rasulullah SAW. Dengan berterus terang ia pamit mohon dijinkan melakukan zina. Berzina dengan seorang perempuan.

Waktu itu Rasulullah bersama para sahabat beliau. Terbayang betapa suasana pada saat pemuda itu melapor begitu membuat para sahabat geram. Sangat marah, walau tidak berani lancang melangkahi Rasulullah. Mereka bahkan, ada yang hendak memenggal saja kepala pemuda itu. Pada waktu itu pedang dan senjata yang serupa memang biasanya dibawa tanpa ijin kepolisian.

Namun apa yang mereka perhatikan pada wajah Rasulullah. Beliau tenang. Tidak sekali pun tampak wajah marah, geram sebagaimana para sahabat yang emosional.
Rasulullah menasihati pemuda itu dengan penuh kasih sayang. Rasulullah bertutur dengan lembut dan bijaksana. Rahasia bertutur yang wajib dijadikan tauladan. Bagi setiap kita apalagi yang berjuang menjadi pimpinan. Pemimpin yang semestinya menjadi panutan.


“Apakah kamu rela kalau ibumu dizinai orang?” tanya Rasulullah.
Pemuda itu langsung menjawab,” pasti tidak.”
“Demikian juga orang lain, tidak suka bila ibu-ibu mereka dizinai.”
“Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” lanjut Rasulullah.
“Tidak, sungguh demi Allah,” jawab sang pemuda.
“Demikian pula orang lain, tidak suka bila itu dilakukan pada anak gadis mereka.”
“Apakah engkau suka bila saudarimu yang dizina?”
Dengan tegas pemuda itu mengatakan tidak sembari bersumpah.
“Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka,”
“Apakan engkau suka bila perbuatan zina dilakukan kepada saudari ibumu?”
Pemuda itu menjawab dengan jawaban yang sama, bahkan bersumpah dengan nama Allah tidak menginginkannya.
“Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.”
Setelah itu, Rasulullah berdoa dan meletakkan tangannya di dada pemuda itu, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.”
Nasihat Rasulullah ditutup dengan doa kepada Allah. Doa tulus dari Rasul pilihan. Dikabulkan Tuhan.
Pemuda tersebut akhirnya menjadi orang yang paling membenci zina.

Pada masa menjadi Ibu Negara, Ibu Tien Soeharto pernah berpesan. Yang intinya agar jangan membiasakan putra-putri yg masih kecil. Mendengarkan kosa kata/ujaran kurang baik dari para orang tuanya. Biasakan mereka selalu menerima pelajaran cinta dan kasih sayang. Melalui percakapan keseharian di dalam rumah-rumah tempat mereka tinggal. Nanti mereka akan berkembang menjadi generasi penerus yang ujarannya selalu mengarah kepada kebaikan, pujian, ujaran penuh kasih sayang. Mereka sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menghina orang. Bahkan mereka tak pernah memiliki selera berucap yang bermakna makian.
Semoga nasihat bu Tien kita praktikkan!

Terpapar kisah seorang Lurah Mbah Singo yang hanya memiliki putra semata wayang.
“Cah bagus (Anak baik/ganteng), mari ke sini ke pendopo.”

Terbayang panggilan sebutan, bukan panggilan nama. Ialah sebutan penuh kasih sayang, penuh rasa kepemilikan yang sangat dalam. Panggilan lembut seorang bapak kepada putranya.

Sebelum itu, boleh jadi sebagian sidang pembaca menduga bahwa putra semata wayang Mbah Lurah anaknya ngganteng, pinter dan shaleh.

Sabar tunggu dulu! Putra Mbah Lurah tidak pernah sekolah, pun tidak pernah mengaji. Tumbuh menjadi dewasa. Menjadi pencuri! Padahal bapaknya pimpinan kelurahan.

“Ada apa Pak,” yang dipanggil menjawab sekenanya. “Aku ini sumpek (saya ini sedang kesal).”
“Sumpek opo (kesal karena apa)?” sambut Mbah Lurah.
“Aku ini kan maling. Setiap malam dikepung orang, malam berikutnya dikepung orang lagi. Saya ini ingin menjadi sakti. Supaya saya bisa mengamati seluruh orang sedang orang-orang tidak satu pun yang bisa melihat saya.” Dia meluncurkan maksudnya melalui kata-kata lalu berhenti.
“Gampang, ya cari saja tempat yang gelap sehingga tidak terlihat,” Mbah Lurah menjawab datar.
“Sudah Pak, tapi disenter,” putranya menjawab seraya mendesak bapaknya agar mengabulkan permintaannya.
Ketika itu waktu ba’da shalat Ashar menuju Maghrib.
“Oh, kalau gitu hayo mandi dulu. Bersihkan badan lalu ganti baju. Nanti diberitahu bagaimana caranya.”
Setelah putranya sudah bersih dan berpakaian rapi, Mbah Lurah melanjutkan pembicaraan.
“Gini loh, kalau kamu ingin sakti gampang. Pokonya hari ini ikut saya sowan (berkunjung) ke Ndresmo. InsyaAllah kamu akan menjadi sakti.”
“Iya Pak,” berangkatlah mereka berdua.
Sampai di Ndresmo Mbah Yai dawuh (berkata),
“Mbah Lurah,”
“Njih Mas,” sambut Mbah Lurah.
“Tidak biasanya ke sini bersama putranya?”
Lanjut Mbah Yai.
“Begini Mas, putra saya ini maling. Setiap malam dikejar-kejar orang. Dia ingin menjadi orang sakti. Sekiranya dia tidak dilihat orang sedang dia mampu mengawasi setiap orang.”

Stop! Sampai di sini sebagian kita mungkin tak pernah menyangka dengan keterbukaan Mbah Lurah. Meminta pemuka agama Mbah Yai pewaris Nabiy mengabulkan perbuatan yang tidak dihalalkan agama. Tidak persis sama dengan kisah pemuda yang ijin berzina. Namun beda-beda tipis. Bahkan ijin mengajak berbuat ‘maksiyat’ berjemaah. Mendukung pekerjaan mencuri yang pastinya haram.

Tapi sekali lagi sabar. Rupanya Mbah Yai tipe pemimpin yang meneladani Nabiy.
“Baik. Pokoknya tolong tinggallah di sini dulu. Nanti pulang akan menjadi orang sakti,” ujar Mbah Yai seolah tidak perduli apakah kesaktiannya akan digunakan untuk maslahat atau untuk sebaliknya.

Selanjutnya, Mbah Yai ternyata mendidik, membina putra Mbah Lurah dengan penuh kasih sayang. Melalui masa yang cukup panjang, pelan, disiplin. Diiringi doa kepada Tuhan, sambil terus mendahulukan utamanya kasih sayang, akhirnya sang pemuda memang sakti betulan.

Dulunya yang bercita-cita menjadi maling tampa bisa kelihatan. Setelah dibina oleh Mbah Yai, putra Mbah Lurah berubah menjadi pelopor agama yang berilian.

Putra Mbah Lurah Singo itu kemudian terkenal dengan sebutan Mbah yai Mustofa. Wali Allah yang karomahnya diketahui banyak orang. Cita-cita menjadi maling, berubah menjadi Mbah Yai yang alim. Subhaanallah.

Semoga kita pun selalu membiasakan ujaran yang bermakna kasih-sayang. Betapa indahnya jika itu bisa mengubah kabut menjadi terang. Dari maksiat betulan menjadi maslahat sungguhan.

Hayo kita sama bermohon kepada Tuhan. Agar selamanya mendahulukan ujaran yang berisikan makna kasih sayang. Meneladani kasih sayang Tuhan, aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com