Tag Archives: puasa

Bolehkah Niat Puasa Senin Kamis setelah Subuh? Ini Penjelasannya


Jakarta

Bagi umat Islam, ibadah puasa sunah Senin dan Kamis adalah amalan yang sangat dianjurkan. Rasulullah SAW sendiri senantiasa melaksanakannya.

Namun, seringkali muncul pertanyaan tentang waktu niat puasa ini, terutama apakah boleh berniat setelah waktu subuh? Mari kita telaah lebih jauh berdasarkan dalil dan penjelasan para ulama.

Keutamaan Puasa Senin Kamis

Menukil kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq terjemahan Abu Aulia dan Abu Syauqina, puasa Senin Kamis memiliki keutamaan yang besar. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:


إِنَّ الْأَعْمَالَ تُعْرَضُ كُلَّ اثْنَيْنِ وَخَمِيْسٍ فَيَغْفِرُ اللَّهُ لِكُلِّ مُسْلِمٍ أَوْ لِكُلِّ مُؤْمِنٍ إِلَّا الْمُتَهَاجِرَيْنِ فَيَقُولُ : أَخِّرُوهُمَا

Artinya: “Sesungguhnya amal-amal manusia dilaporkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis. Lalu Allah mengampuni setiap muslim atau setiap mukmin, kecuali dua orang yang saling menjauh. Allah berkata, ‘Tangguhkanlah untuk keduanya’.” (HR Ahmad dalam Musnad Ahmad)

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan alasan khusus beliau berpuasa di hari Senin:

ذَاكَ يَوْمَ وُلِدْ فِيهِ، وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ

Artinya: “Itu adalah hari kelahiranku dan diturunkannya wahyu kepadaku.” (HR Muslim dalam Shahih Muslim dan Ahmad dalam Musnad Ahmad)

Keutamaan ini menjadikan puasa Senin Kamis sebagai amalan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan.

Niat Puasa Senin Kamis

Arba’in an-Nawawi dalam kitab Syarah Hadits Shahih yang diterjemahkan Abd. Rouf mengatakan, dalam setiap ibadah, niat adalah pondasi utama yang menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan. Hal ini ditegaskan dalam hadits terkenal riwayat Umar bin Khattab RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari dan Muslim)

Batas Waktu Niat Puasa Senin Kamis: Bolehkah setelah Subuh?

Perbedaan mendasar antara puasa wajib (seperti puasa Ramadan) dan puasa sunnah (seperti Senin Kamis) terletak pada batas waktu niatnya. Fadhlan Fatazka dalam buku Jamuan Ramadhan karya menjelaskan, tanpa niat, puasa seseorang tidak akan sah dan berakhir sia-sia.

Untuk puasa wajib, niat harus dilakukan pada malam hari, yaitu sebelum terbit fajar (waktu subuh). Hadits Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan:

“Barang siapa tidak berniat puasa di waktu malam maka tidak ada puasa baginya (tidak sah).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

“Barang siapa tidak berniat puasa sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR Baihaqi dan Addaruquthni)

Namun, hal ini berbeda dengan puasa sunnah. Dijelaskan dalam buku Fikih Puasa karya Ali Musthafa Siregar, waktu niat puasa sunnah dimulai dari tenggelamnya matahari (waktu magrib) hingga tergelincirnya matahari (waktu zuhur) pada hari puasa tersebut.

Syaratnya adalah orang yang berniat tersebut belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak subuh.

Ini berarti, detikers boleh niat puasa Senin Kamis setelah subuh asalkan belum makan, minum, atau melakukan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak subuh hingga waktu niat tersebut.

Sebagai contoh, jika Anda bangun di pagi hari dan lupa berniat puasa Senin Kamis di malam sebelumnya, Anda masih bisa berniat puasa hingga menjelang waktu Zuhur, asalkan Anda belum mengonsumsi apapun sejak subuh.

Mengacu pada jadwal sholat, niat puasa sunnah Senin dapat dilakukan mulai dari waktu magrib di hari Minggu hingga sekitar pukul 12:00 WIB (waktu zuhur) pada hari Senin. Demikian pula untuk puasa Kamis, niatnya bisa dilakukan dari magrib hari Rabu hingga waktu zuhur pada hari Kamis.

Bacaan Niat Puasa Senin Kamis

Berikut adalah bacaan niat untuk puasa Senin dan Kamis:

Niat Puasa Senin

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitu shauma yaumil itsnaini lillâhi ta’âlâ

Artinya: “Aku berniat puasa sunah hari Senin karena Allah ta’âlâ.”

Niat Puasa Kamis

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ الخَمِيْسِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitu shauma yaumil khamîsi lillâhi ta’âlâ

Artinya: “Aku berniat puasa sunah hari Kamis karena Allah ta’âlâ.”

Dengan memahami perbedaan waktu niat ini, kita bisa lebih tenang dan yakin dalam menjalankan ibadah puasa sunah Senin dan Kamis. Semoga Allah SWT menerima setiap amalan kita.

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Keutamaan Hari Asyura dan Tasu’a: Mana yang Lebih Utama?


Jakarta

Bulan Muharram merupakan bulan yang dimuliakan dalam Islam. Di dalamnya terdapat dua hari penting yang dianjurkan untuk berpuasa: Hari Tasu’a (9 Muharram) dan Hari Asyura (10 Muharram).

Namun sering muncul pertanyaan di kalangan umat Islam: mana yang lebih utama, puasa Tasua atau Asyura?

Berikut penjelasan lengkap mengenai keutamaan keduanya berdasarkan hadits Nabi, penjelasan ulama, hingga manfaatnya bagi kesehatan.


Muharram: Bulan Mulia untuk Berpuasa

Rasulullah SAW menganjurkan puasa di bulan Muharram sebagai puasa terbaik setelah Ramadan, dalam sebuah hadits sahih disebutkan:

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Dan salat yang paling utama setelah salat fardhu adalah salat malam.” (HR Muslim)

Di antara amalan puasa di bulan Muharram, puasa Tasu’a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram) menjadi ibadah yang sangat dianjurkan. Bahkan, Nabi Muhammad SAW secara langsung menganjurkan puasa ini:

“Sungguh, jika aku masih hidup sampai tahun depan niscaya aku akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10.” (HR Al Khallal dengan sanad yang bagus dan dipakai hujjah oleh Ahmad)

Inilah dasar mengapa puasa Tasua dan Asyura memiliki keutamaan tinggi. Lalu, apa saja keutamaan dari kedua puasa ini dan adakah di antara keduanya yang lebih utama? Mari kita telusuri lebih jauh.

Keutamaan Hari Tasu’a dan Asyura dalam Syariat Islam

Dalam buku Panduan Muslim Sehari-hari karya Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El Sutha, disebutkan beberapa keutamaan hari Tasu’a dan Asyura. Bagi yang berpuasa di hari tersebut, mereka akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah SAW. Berikut penjelasannya.

1. Penghapus Dosa Setahun Lalu

Salah satu keutamaan paling signifikan dari puasa Asyura adalah kemampuannya menghapus dosa setahun yang lalu. Ini menunjukkan betapa besar rahmat Allah SWT bagi hamba-Nya yang berpuasa di hari Asyura, Rasulullah SAW bersabda:

“Puasa Arafah menghapus dosa dua tahun yang lalu dan yang akan datang, sementara puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR Muslim)

2. Puasa Terbaik Kedua Setelah Ramadan

Bulan Muharram secara keseluruhan merupakan bulan terbaik untuk berpuasa setelah Ramadan. Hal ini menunjukkan betapa besar nilai ibadah puasa yang dikerjakan di bulan Muharram, termasuk puasa Tasu’a dan Asyura.

Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW pernah ditanya: “Salat manakah yang lebih utama setelah salat fardhu?”, kemudian Rasulullah menjawab, “Yaitu salat di tengah malam.” Lalu ada lagi yang bertanya kepadanya, “Puasa manakah yang lebih utama setelah puasa Ramadhan?”, dan Rasulullah bersabda, “Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan bulan Muharram.” (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Daud)

3. Pahala Setara 10 Ribu Orang Berhaji

Dalam kitab Fadha ‘Ilul Quqat (Edisi Indonesia) karya Imam Baihaqi, salah satu keutamaan puasa Asyura adalah mendapatkan pahala yang setara dengan ibadah haji. Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura, ditulis untuknya pahala ibadah enam puluh tahun termasuk di dalamnya ibadah puasa dan salatnya; barangsiapa berpuasa pada hari Asyura akan diberi pahala sepuluh ribu malaikat; barangsiapa berpuasa di hari Asyura akan diberi pahala yang setara dengan pahala seribu orang yang haji dan umrah; barangsiapa berpuasa di hari Asyura akan diberi pahala sepuluh ribu mati syahid; barangsiapa berpuasa Asyura sesungguhnya ia seperti orang yang memberi makan seluruh orang fakir dari umat Muhammad SAW dan membuat mereka semua kenyang; barangsiapa membelai anak yatim dengan tangannya pada hari Asyura, maka akan diberikan untuknya untuk setiap rambut satu derajat di surga.”

4. Pembeda dengan Bangsa Yahudi

Pelaksanaan puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram memiliki makna penting sebagai pembeda dari bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi berpuasa hanya pada hari Asyura (10 Muharram) sebagai bentuk syukur atas kemenangan Nabi Musa AS atas Firaun. Dengan berpuasa Tasu’a bersama Asyura, umat Muslim menunjukkan identitasnya dan membedakan diri dari mereka. Dari Ibnu Abbas RA:

“Nabi SAW datang di Madinah, tiba-tiba beliau mendapati orang-orang Yahudi pada berpuasa Asyura (10 Muharram). Mereka berkata, ‘Ini adalah hari kemenangan Musa terhadap Firaun.’ Lalu Nabi SAW bersabda kepada sahabat-sahabatnya, ‘Kamu adalah lebih berhak atas Musa daripada mereka, oleh sebab itu berpuasalah’!” (HR Bukhari)

Mana yang Lebih Utama: Tasu’a atau Asyura?

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa puasa Asyura (10 Muharram) memiliki keutamaan yang lebih besar dalam hal penghapusan dosa dan pahala yang berlipat ganda. Namun, puasa Tasu’a (9 Muharram) memiliki peran penting sebagai pelengkap dan pembeda dari praktik Yahudi.

Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk menggabungkan keduanya, yaitu berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram, untuk mendapatkan seluruh keutamaan dan manfaatnya. Ini sesuai dengan sunah Nabi Muhammad SAW yang ingin berpuasa pada kedua hari tersebut jika beliau masih hidup hingga tahun depan.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Bolehkan Puasa Asyura Tanpa Puasa Tasua?


Jakarta

Puasa Asyura adalah ibadah sunnah pada 10 Muharram. Rasulullah SAW menganjurkan mengawalinya dengan puasa Tasua, sehari sebelumnya. Namun, bolehkah jika puasa Asyura tanpa Tasua?

Anjuran puasa Asyura dan Tasua bersandar pada dalil hadits-hadits shahih. Dalam kitab terjemahan Riyadhus Shalihin susunan Imam an-Nawawi dan Bulughul Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani terdapat hadits keutamaan puasa Asyura bisa menghapus dosa setahun yang lalu.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ {أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ. قَالَ: “يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ, وَسُئِلَ عَنْ صِيَامٍ يَوْمٍ عَاشُورَاءَ. قَالَ: “يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ” وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ, قَالَ : ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ, وَبُعِثْتُ فِيهِ, أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ.


Artinya: Dari Abu Qatadah Al-Anshari, bahwasanya Rasulullah ditanya tentang puasa pada hari Arafah, maka beliau bersabda, “Puasa Arafah menghapus dosa tahun yang lalu dan tahun berikutnya.” Dan ditanya tentang puasa hari Asyura, maka beliau berkata, “Menghapus dosa tahun yang lalu.” Kemudian beliau ditanya tentang puasa hari Senin, lalu beliau menjawab, “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan, diutus, dan diturunkan wahyu kepadaku.” (HR Muslim)

Pelaksanaan puasa Asyura umumnya diawali dengan puasa Tasua pada 9 Muharram, sebagaimana anjuran Rasulullah SAW. Lantas, bolehkah puasa Asyura tanpa puasa Tasua?

Hukum Puasa Asyura Tanpa Tasua

Pada dasarnya boleh melakukan puasa Asyura tanpa puasa Tasua. Namun, para ulama berpendapat sebaiknya berpuasa Asyura bersama puasa Tasua. Pendapat ini bersandar pada hadits Rasulullah SAW yang memerintahkan puasa Asyura dengan puasa sehari sebelum atau setelahnya untuk membedakan dengan ibadah orang Yahudi.

Menurut penjelasan dalam Syarah Riyadhus Shalihin, hari Asyura (10 Muharram) adalah hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa AS dan kaumnya, sementara menenggelamkan Firaun dan pengikutnya. Orang-orang Yahudi memperingati hari tersebut dengan berpuasa.

Nabi Muhammad SAW melihat tradisi puasa Asyura tersebut dilaksanakan oleh orang-orang Yahudi di Madinah. Beliau lantas bersabda,

نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ

Artinya: “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian semua.”

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

لَئِنْ بَقِيَتْ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ رَوَاهُ مسلم.

Artinya: “Seandainya aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharram.” (HR Muslim)

Hadits tersebut menjadi hujjah para ulama berkaitan dengan anjuran puasa Asyura bersama Tasua.

Imam Syafi’i Anjurkan Puasa 9, 10, dan 11 Muharram

Jika seseorang hanya berpuasa Asyura tanpa Tasua, dianjurkan baginya berpuasa pada 11 Muharram. Hal ini dijelaskan A.R Shohibul Ulum dalam buku Fiqih Seputar Wanita mengacu pada pendapat Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i menyatakan sunnah hukumnya berpuasa pada 9, 10, dan 11 Muharram. Kesunnahan puasa tiga hari sekaligus itu dipaparkan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm dan al-Imlaa’.

Jadwal Puasa Tasua dan Asyura 2025

Berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia 2025 terbitan Kementerian Agama RI, puasa Tasua dan Asyura 2025 akan dilaksanakan akhir pekan ini. Dalam kalender tersebut, 1 Muharram 1447 Hijriah jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025.

Jadwal puasa Tasua dan Asyura 2025: Sabtu-Minggu, 5-6 Juli 2025

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Puasa Asyura Menurut Muhammadiyah: Dalil dan Jadwal 2025


Jakarta

Puasa Asyura adalah ibadah sunnah yang dikerjakan pada 10 Muharram. Tahun ini, ada perbedaan pelaksanaan puasa Asyura dalam kalender Masehi antara Muhammadiyah dan pemerintah.

Hal tersebut terjadi karena perbedaan metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan dalam kalender Hijriah. PP Muhammadiyah mulai tahun ini menggunakan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Kalender ini menggunakan metode hisab atau perhitungan astronomi, bukan rukyat seperti yang digunakan pemerintah dan Nahdlatul Ulama.

Jadwal Puasa Asyura 2025 Muhammadiyah: Sabtu, 5 Juli

Berdasarkan KHGT seperti dilansir situs Muhammadiyah, 1 Muharram 1447 Hijriah jatuh pada Kamis, 26 Juni 2025. Dengan demikian puasa Asyura menurut Muhammadiyah dilaksanakan pada Sabtu, 5 Juli 2025.


Puasa Asyura umumnya diikuti dengan puasa Tasua sehari sebelumnya atau 9 Muharram. Dengan demikian, jadwal puasa Tasua dan Asyura 2025 menurut Muhammadiyah jatuh pada:

  • Puasa Tasua 9 Muharram: Jumat, 4 Juli 2025
  • Puasa Asyura 10 Muharram: Sabtu, 5 Juli 2025

Dalil Puasa Asyura

Dalil puasa Asyura bersandar pada sejumlah hadits. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya berpuasa pada hari Asyura, termasuk sehari sebelumnya (hari Tasua).

Di antara hadits yang menjadi sandaran puasa Asyura adalah riwayat Sayyidah Aisyah RA, sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِهِ حَتَّى فُرِضَ رَمَضَانُ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ [متفق عليه]

Artinya: “Dari Aisyah RA, bahwa orang-orang Quraisy pada zaman jahiliah biasa berpuasa pada hari Asyura. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan untuk berpuasa pada hari tersebut hingga diwajibkannya puasa Ramadan. Setelah itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang ingin berpuasa pada hari Asyura, silakan berpuasa, dan barang siapa yang tidak ingin, silakan berbuka.” (Muttafaq ‘Alaih)

Menurut penjelasan Muhammadiyah dalam situsnya, hadits tersebut menunjukkan pelaksanaan puasa Asyura sudah dikenal sejak zaman jahiliah yang kemudian disyariatkan Rasulullah SAW. Pensyariatan puasa Asyura terjadi sebelum turun kewajiban puasa Ramadan.

Puasa Asyura memiliki keutamaan tersendiri. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah SAW pernah ditanya keutamaan puasa hari Asyura. Beliau menjawab puasa tersebut menghapus dosa setahun yang lalu. Berikut bunyi haditsnya,

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ سُئِلَ عَنْ صِيَامٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Artinya: Dari Abu Qatadah RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari Asyura. Beliau menjawab, “Puasa tersebut dapat melebur dosa setahun yang lalu.” (HR Muslim)

Adapun terkait puasa Tasua, Rasulullah SAW belum sempat melaksanakannya, tetapi beliau bersabda,

لَئِنْ بَقِيَتْ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ رَوَاهُ مسلم.

Artinya: “Seandainya aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharram.” (HR Muslim)

Puasa Tasua dan Asyura kemudian menjadi ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Sikat Gigi Saat Puasa Hukumnya Makruh Atau Tidak?


Jakarta

Menjaga kebersihan mulut adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Bahkan Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya untuk rutin membersihkan gigi, baik dengan bersiwak atau sikat gigi.

Sebagaimana sabda beliau, “Aku sering menganjurkan kalian untuk menggosok gigi” (HR Bukhari). Bahkan, Aisyah RA pernah bersaksi bahwa hal pertama yang Nabi SAW lakukan saat memasuki rumahnya adalah menggosok gigi.

Namun, apakah sikat gigi saat puasa dapat membatalkan ibadah? Mari kita telaah berbagai pandangan ulama mengenai hukum sikat gigi saat berpuasa.


Pendapat Ulama Mengenai Sikat Gigi Saat Puasa

Ada beberapa pandangan di kalangan ulama mengenai hukum sikat gigi saat puasa, yang penting untuk kita pahami. Mengutip buku Fikih Puasa karya Ali Musthafa Siregar, berikut penjelasannya.

1. Mazhab Syafi’iyah: Makruh Setelah Zuhur

Menurut ulama Syafi’iyah, sikat gigi saat puasa hukumnya makruh, terutama jika dilakukan setelah matahari tergelincir (waktu Zuhur). Pendapat ini didasarkan pada tujuan agar bau mulut orang yang berpuasa tetap terjaga, sebagaimana dijelaskan dalam At-Tadzhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib karya Musthafa Dib Al-Bugha dan Kitab Matan Abu Syuja‘.

Hal ini berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA: “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misik (kasturi)” (HR Bukhari dan Muslim).

Bau mulut ini dianggap sebagai salah satu tanda ibadah puasa yang istimewa di mata Allah. Oleh karena itu, menjaga bau mulut tersebut dianggap lebih baik.

2. Mazhab Hanafi dan Maliki: Tidak Membatalkan Puasa

Berbeda dengan Syafi’iyah, Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa sikat gigi saat puasa tidak membatalkan puasa yang sedang dijalani. Para ulama dari mazhab ini berargumen bahwa jika sikat gigi itu dilarang, niscaya Rasulullah SAW akan menjelaskannya secara gamblang, sebagaimana syariat lainnya. (Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim dalam Kitab Fiqh as-Sunnah li An-Nisa’)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam kitab Zadul Ma’ad, menjelaskan bahwa berkumur dianjurkan saat berpuasa, dan itu bahkan lebih dalam daripada bersiwak. Logikanya, jika berkumur saja diperbolehkan, apalagi sikat gigi.

Ibnu Qayyim juga menegaskan kalau Allah SWT tidak menghendaki hamba-Nya mendekatkan diri dengan bau mulut yang tidak sedap. Membiarkan bau mulut tidak enak bukanlah bagian dari ibadah yang disyariatkan.

Ibnu Qayyim menafsirkan hadits tentang bau mulut orang berpuasa yang lebih harum dari kasturi sebagai dorongan untuk meningkatkan semangat berpuasa. ukan alasan untuk mengabaikan kebersihan mulut.

Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa tidak ada kesepakatan mutlak di antara ulama. Namun, intinya adalah:

  • Sikat gigi saat puasa tidak membatalkan puasa, selama tidak ada air atau pasta gigi yang tertelan.
  • Waktu terbaik untuk sikat gigi adalah sebelum imsak dan setelah berbuka.
  • Jika khawatir dengan pendapat yang memakruhkan sikat gigi setelah Zuhur, detikers bisa memilih untuk sikat gigi sebelum waktu Zuhur atau menggunakan siwak yang kering.
  • Jika terpaksa harus sikat gigi di siang hari, berhati-hatilah agar tidak ada air atau pasta gigi yang tertelan.

Pada akhirnya, menjaga kebersihan adalah ajaran utama dalam Islam. Detikers bisa memilih pendapat yang paling meyakinkan, namun tetap utamakan kehati-hatian agar puasa tetap sah dan sempurna.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Mau Dosa Setahun Dihapus? Jangan Lewatkan Puasa Asyura!


Jakarta

Bulan Muharram adalah awal tahun baru Hijriah. Bulan ini penuh keberkahan dan kesempatan untuk mengumpulkan pahala.

Puasa Asyura yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram merupakan salah satu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan di bulan ini. Puasa ini punya keutamaan luar biasa sebagai penghapus dosa.

Dalam sebuah hadits riwayat oleh Abu Qatadah RA, Rasulullah SAW bersabda:


صَوْمُ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ، سَنَةٍ قَبْلَهُ وَسَنَةٍ بَعْدَهُ

Artinya: “Puasa Asyura menghapus dosa setahun dan puasa Arafah menghapus dosa dua tahun: setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR Muslim dan At-Tirmidzi)

Dalam redaksi lain, disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: “Puasa tersebut dapat melebur dosa setahun yang lalu.” (HR Muslim)

Subhanallah! Ini adalah kesempatan emas untuk membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan yang mungkin telah kita lakukan.

Dosa Apa Saja yang Dihapus dengan Puasa Asyura?

Imam Baihaqi dalam kitab Fadha’ilul Auqat (terjemahan Muflih Kamil) menjelaskan bahwa keutamaan puasa Asyura sebagai penghapus dosa berlaku bagi mereka yang menjalankannya dan memiliki dosa-dosa yang memang perlu diampuni. Namun, bagaimana jika seseorang berpuasa tanpa membawa dosa yang perlu dikaffarahkan? Imam Baihaqi menyebut bahwa mereka tetap akan memperoleh ganjaran berupa derajat yang dilipatgandakan.

Meski demikian, ada satu hal penting yang perlu dicermati. dalam kitab al-Da’ wa al-Dawa’, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa meskipun puasa Asyura memiliki keutamaan menghapus dosa secara umum sesuai dengan janji Allah SWT, hal itu tetap memiliki syarat dan penghalang.

Salah satu penghalang utama terhapusnya dosa dengan puasa Asyura adalah kebiasaan melakukan dosa besar secara terus-menerus. Jika seseorang belum meninggalkan dosa besar, maka puasa tidak akan memberikan efek pengampunan sebagaimana yang dijanjikan.

Hal ini juga berlaku pada puasa Ramadan dan salat lima waktu, yang baru akan menghapus dosa-dosa kecil apabila diiringi dengan usaha meninggalkan dosa besar.

Ibnu Qayyim menyandarkan pendapatnya pada Surah An-Nisa ayat 31:

اِنْ تَجْتَنِبُوْا كَبَاۤىِٕرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُّدْخَلًا كَرِيْمًا ٣١

Artinya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang (mengerjakan)-nya, niscaya Kami menghapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami memasukkanmu ke tempat yang mulia (surga).”

Ibnu Qayyim menambahkan, “Dari sini dapat diketahui bahwa dijadikannya sesuatu sebagai sebab penghapus dosa tidak menghalanginya untuk bekerja sama dengan sebab lain dalam menghapus dosa. Dua sebab penghapus dosa tentu lebih kuat dan lebih sempurna daripada hanya satu sebab. Ketika sebab penghapus dosa semakin kuat, daya hapusnya pun menjadi lebih kuat, lebih sempurna, dan lebih luas.”

Ini berarti, puasa Asyura adalah pelengkap dan penyempurna bagi upaya kita dalam menjauhi dosa-dosa, terutama dosa besar.

Puasa Asyura Warisan Umat Nabi Musa AS

Puasa Asyura yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada umat Islam ternyata sudah lebih dulu dilakukan oleh umat Nabi Musa AS. Dalam Mukasyafatul Qulub karya Imam al-Ghazali (terjemahan Jamaluddin), disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA terkait hal ini.

Dikisahkan bahwa ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi tengah melaksanakan puasa pada hari Asyura. Beliau kemudian bertanya tentang puasa tersebut.

Mereka menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Nabi Musa dan Bani Israil menang melawan kaum Firaun. Jadi, kami berpuasa sebagai bentuk pengagungan kepada Nabi Musa.”

Mendengar itu, Nabi SAW bersabda, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.”

Nabi SAW kemudian memerintahkan umatnya untuk berpuasa hari Asyura. Sebagai pembeda dengan kaum Yahudi, Rasulullah SAW menganjurkan puasa Asyura diiringi dengan puasa Tasu’a sehari sebelumnya (9 Muharram) atau sehari sesudahnya (11 Muharram).

Dengan demikian, puasa Asyura bukan hanya amalan yang mulia dengan keutamaan penghapus dosa. Tetapi juga merupakan bagian dari sejarah panjang ibadah para Nabi.

Niat Puasa Asyura

Dikutip dari buku Meraih Surga dengan Puasa karya H Herdiansyah Achmad, berikut niat puasa Asyura:

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَأَ سُنَّةَ لِلَّهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitu shauma yauma ‘asyûra-a sunnata-lillâhi ta’âla.

Artinya: “Saya berniat puasa Asyura sunnah karena Allah Ta’ala.”

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Tata Cara Mandi Wajib Sebelum Melaksanakan Puasa Muharram


Jakarta

Bulan Muharram adalah bulan yang istimewa dalam kalender Hijriah. Di bulan ini, Muslim dianjurkan untuk melaksanakan berbagai amalan baik, salah satunya adalah puasa Tasu’a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram).

Sebelum menunaikan ibadah puasa, penting untuk memastikan diri dalam keadaan suci dari hadas besar. Karena kita harus melaksanakan sholat ketika berpuasa sebagai bentuk kewajiban yang tidak bisa ditinggal.

Untuk mensucikan diri, umat Islam dianjurkan untuk melakukan mandi wajib. Bagaimana caranya?


Mengapa Penting Mandi Wajib?

Mandi wajib atau mandi junub adalah rukun untuk menghilangkan hadas besar, yang menjadi syarat sahnya berbagai ibadah seperti sholat, membaca Al-Qur’an, dan berdiam diri di masjid. Dalil mengenai kewajiban mandi untuk menghilangkan hadas besar termaktub dalam firman Allah SWT di Surah Al-Ma’idah ayat 6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٦

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.”

Kapan Harus Mandi Wajib?

Beberapa kondisi yang mewajibkan seseorang untuk mandi besar antara lain:

  • Bersetubuh
  • Mengeluarkan mani (baik karena bersetubuh, mimpi basah, atau sebab lainnya)
  • Setelah selesai nifas
  • Setelah melahirkan
  • Setelah selesai haid

Meskipun tidak ada dalil khusus yang mewajibkan mandi khusus sebelum puasa Tasu’a dan Asyura, namun jika Anda berada dalam kondisi berhadas besar, mandi wajib tetap harus dilakukan agar ibadah sholat dan puasa Anda sah di sisi Allah SWT.

Niat Mandi Wajib Sebelum Melaksanakan Puasa Muharram

Niat adalah rukun penting dalam mandi wajib. Tanpa niat, mandi Anda tidak akan sah. Berikut adalah niat mandi wajib:

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَكْبَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitul ghusla liraf ‘il hadatsil akbari fardhal lillaahi ta’aala

Artinya: “Aku berniat mandi besar untuk menghilangkan hadas besar fardu kerena Allah ta’ala.”

Tata Cara Mandi Wajib Sebelum Melaksanakan Puasa Muharram

Agar mandi wajib Anda sempurna dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, perhatikan tata cara berikut ini sebagaimna dikutip dari kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq yang diterjemahkan Khairul Amru Harahap dkk.

  1. Membasuh Kedua Tangan: Awali dengan membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali.
  2. Membasuh Kemaluan: Bersihkan kemaluan dari kotoran yang menempel.
  3. Berwudhu: Lakukan wudhu seperti wudhu untuk sholat, dimulai dari membasuh wajah, tangan, mengusap kepala, hingga membasuh kaki.
  4. Menyiram Kepala: Siramkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyela-nyela rambut hingga air membasahi pangkal rambut. Pastikan seluruh bagian kepala terbasahi.
  5. Menyiram Seluruh Tubuh: Siramkan air ke seluruh tubuh, dimulai dari bagian tubuh sebelah kanan terlebih dahulu, kemudian sebelah kiri.
  6. Membersihkan Area Sulit Terjangkau: Pastikan untuk membersihkan area-area yang sering terlewatkan seperti ketiak, bagian dalam telinga, pusar, dan sela-sela jari kaki. Gosok anggota tubuh yang bisa dijangkau tangan untuk memastikan kebersihan menyeluruh.

Doa Setelah Mandi Wajib

Setelah selesai mandi wajib, dianjurkan untuk membaca doa. Doa ini adalah bentuk kesyukuran atas kesucian yang telah diperoleh, menurut Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar terjemahan Arif Hidayat.

أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ، وَرَسُولُهُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ، سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ، وَأَتُوبُ إلَيْكَ

Latin: Asyhadu an lā ilāha illallāhu wahdahū lā syarīka lahū, wa asyhadu anna Muhammadan abduhū wa rasūluhū. Allāhummaj’alnī minat tawwābīna, waj’alnī minal mutathahhirīna. Subhānakallāhumma wa bi hamdika asyhadu an lā ilāha illā anta, astaghfiruka, wa atūbu ilayka.

Artinya: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Ya Allah jadikanlah saya termasuk golongan orang-orang yang bertobat. Dan jadikanlah saya termasuk golongan orang-orang yang suci. Maha Suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau dan aku meminta ampunan dan bertaubat pada-Mu).”

Dengan memahami dan mengamalkan tata cara mandi wajib ini, Anda akan siap untuk menjalankan ibadah puasa Tasu’a dan Asyura di bulan Muharram dengan hati yang tenang dan tubuh yang suci. Semoga Allah menerima setiap amal ibadah kita.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kapan Puasa Ayyamul Bidh Bulan Juli 2025? Ini Jadwal, Niat dan Keutamaannya


Jakarta

Puasa Ayyamul Bidh adalah amalan yang dilakukan setiap pertengahan bulan pada kalender Hijriah. Kapan puasa Ayyamul Bidh Juli 2025?

Sebelum mengetahui jadwal puasa Ayyamul Bidh Juli 2025, ada baiknya muslim memahami makna dari amalan sunnah tersebut. Dalil terkait puasa Ayyamul Bidh merujuk pada hadits dari Qatadah bin Milhan RA,

“Rasulullah SAW menyuruh kami untuk berpuasa pada Ayyamul Bidh yakni tanggal 13, 14, dan 15.” (HR Abu Dawud)


Menurut buku Panduan Praktis Ibadah Puasa yang disusun Syamsuddin dan Ahmad Syahirul Alim, penamaan Ayyamul Bidh karena bertepatan dengan bulan purnama. Momen tersebut menunjukkan lingkaran cahaya bulan yang tampak sempurna.

Kapan Puasa Ayyamul Bidh Juli 2025?

Mengacu pada Kalender Hijriah Indonesia 2025 yang diterbitkan Kementerian Agama RI, berikut jadwal puasa Ayyamul Bidh Juli 2025.

  • Rabu, 9 Juli 2025 / 13 Muharram 1447 H
  • Kamis, 10 Juli 2025 / 14 Muharram 1447 H
  • Jumat, 11 Juli 2025 / 15 Muharram 1447 H

Bacaan Niat Puasa Ayyamul Bidh

Berikut bacaan niat puasa Ayyamul Bidh yang dikutip dari buku Koleksi Doa & Dzikir Sepanjang Masa yang disusun Ustaz Ali Amrin Al Qurawy.

نَوَيْتُ صَوْمَ أَيَّامِ الْبِيْضِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitu shauma ayyâmil bîdl lillâhi ta’âlâ

Artinya: “Saya niat puasa Ayyamul Bidh (hari-hari yang malamnya cerah), karena Allah ta’âlâ.”

Bolehkah Puasa Ayyamul Bidh Tidak 3 Hari?

Puasa Ayyamul Bidh dianjurkan untuk dikerjakan selama tiga hari berturut-turut. Lalu, bagaimana jika muslim hanya mengerjakan puasa tersebut satu atau dua hari saja?

Syaikh Ibn Baz dalam kitab Fatawa Ibn Baz menyebut kebolehan puasa Ayyamul Bidh meski hanya satu hari.

“Jika tidak memungkinkan, boleh tidak berpuasa pada tanggal 13 Hijriah. Jadi ia berpuasa pada tanggal 14 dan 15 Hijriah,” kata Syaik Ibn Baz yang diterjemahkan Syed Muhammad Soleh al Munajid pada buku buku Supaya Ramadhan Sempurna.

Tetapi perlu dipahami, puasa Ayyamul Bidh lebih utama jika dikerjakan tiga hari sesuai ajaran Rasulullah SAW. Dengan begitu, keutamaan yang diraih muslim menjadi lebih sempurna.

Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh

Berikut beberapa keutamaan puasa Ayyamul Bidh yang dikutip dari buku Minhajul Muslim karya Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi yang diterjemahkan Fedrian Hasmand.

  • Laksana puasa setahun
  • Wasiat dari Rasulullah SAW
  • Sunnah Rasulullah SAW semasa hidupnya
  • Mengistirahatkan organ tubuh agar tidak cepat rusak

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Puasa Bulan Mulud: Niat, Jadwal dan Keutamaannya


Jakarta

Puasa bulan Mulud menjadi amalan sunnah yang bisa dikerjakan umat Islam. Puasa ini memiliki sejumlah keutamaan sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Mulud merujuk pada bulan Maulid Nabi atau Rabiul Awal, bulan ketiga dalam kalender Hijriah. Sebutan Mulud ini terdapat dalam penanggalan Jawa.


Puasa Bulan Mulud

Tidak ada puasa khusus pada bulan Mulud. Namun, ada puasa-puasa sunnah yang bisa dikerjakan setiap bulannya, termasuk pada bulan Mulud. Beberapa di antaranya puasa Ayyamul Bidh, puasa Senin dan Kamis, dan puasa Daud.

Anjuran pelaksanaan puasa tersebut bersandar pada hadits-hadits shahih. Umat Islam bisa mengerjakannya begitu masuk bulan Mulud.

Berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia 2025 terbitan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 1 Mulud atau Rabiul Awal 1447 H jatuh pada 25 Agustus 2025. Dengan demikian, jadwal puasa sunnahnya sebagai berikut.

1. Ayyamul Bidh

Puasa Ayyamul Bidh dikerjakan tiga hari setiap bulan. Dianjurkan pada 13, 14, dan 15 sebagaimana hadits berikut,

وَعَنْ أَبِي ذَرٍ الله قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ نَصُومَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ: ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ. رَوَاهُ النَّسَابِيُّ وَالتَّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ )

Artinya: Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan agar kami berpuasa sunnah tiga hari dalam satu bulan, yaitu tanggal 13, 14, dan 15.” (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Jadwal Puasa Ayyamul Bidh Mulud

  • Sabtu, 6 September 2025 (13 Rabiul Awal 1447 H)
  • Minggu, 7 September 2025 (14 Rabiul Awal 1447 H)
  • Senin, 8 September 2025 (15 Rabiul Awal 1447 H)

Niat Puasa Ayyamul Bidh

نَوَيْتُ صَوْمَ أَيَّامِ البَيْضِ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ayyaamil biidhi sunnatan lillaahi ta’aalaa.

Artinya: “Saya niat puasa Ayyamul Bidh, sunnah karena Allah ta’ala.”

2. Senin dan Kamis

Puasa Senin dan Kamis adalah amalan yang selalu dilakukan Rasulullah SAW. Menurut sebuah riwayat dari Aisyah RA, “Rasulullah SAW sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis.” (HR Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Imam Ahmad)

Jadwal Puasa Senin dan Kamis Mulud

  • Senin, 25 Agustus 2025
  • Kamis, 28 Agustus 2025
  • Senin, 1 September 2025
  • Kamis, 4 September 2025
  • Senin, 8 September 2025
  • Kamis, 11 September 2025
  • Senin, 15 September 2025
  • Kamis, 18 September 2025
  • Senin, 22 September 2025

Niat Puasa Senin

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمَ اْلاِثْنَيْنِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى

Nawaitu sauma yaumal itsnaini sunnatan lillahi ta’aalaa.

Artinya: “Saya niat puasa sunnah hari Senin, sunnah karena Allah Ta’ala.”

Niat Puasa Kamis

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى

Nawaitu sauma yaumal khomiisi sunnatan lillahi ta’aalaa.

Artinya: “Saya niat puasa sunnah hari Kamis, sunnah karena Allah Ta’ala.”

3. Puasa Daud

Puasa Daud adalah puasa yang dikerjakan oleh Nabi Daud AS. Menurut sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW menyebut puasa Nabi Daud adalah puasa yang paling disukai Allah SWT, tak ada yang lebih baik darinya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ الصَّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا

Artinya: Dari Abdullah bin Amr RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya puasa (sunnah) yang paling disenangi Allah ialah puasa Nabi Daud, dan salat (sunnah) yang paling disenangi Allah adalah salat Nabi Daud AS. Nabi Daud tidur separuh malam. Lalu salat sepertiga malam, kemudian tidur lagi seperenam malam. Beliau berpuasa sehari lalu berbuka sehari. (HR Muslim)

Dalam riwayat Bukhari redaksinya cukup panjang yang penggalannya berbunyi: “Tidak ada puasa yang lebih baik dari puasa Nabi Daud AS, yaitu puasa setengah masa. Puasalah sehari dan tidak puasa sehari.” (Dikeluarkan Bukhari pada kitab ke-30, kitab Shaum)

Puasa Nabi Daud bisa dikerjakan secara selang-seling, sehari berbuka, sehari puasa. Pada bulan Mulud ini, umat Islam bisa mengerjakannya mulai 25 Agustus 2025 hingga 22 September 2025.

Niat Puasa Daud

نَوَيْتُ صَوْمَ دَاوُدَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma daawuda sunnatan lillaahi ta’aalaa.

Artinya: “Aku niat puasa Daud, sunnah karena Allah Ta’ala.”

Bacaan niat puasa Ayyamul Bidh, Senin-Kamis, dan Daud di atas dinukil dari buku Dahsyatnya Puasa Wajib dan Sunah Rekomendasi Rasulullah karya Amirulloh Syarbini dan Sumantri Jamhari.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Fidyah Puasa Ramadan, Diberikan kepada Siapa?



Jakarta

Mengeluarkan fidyah dari harta menjadi keringanan bagi sebagian golongan muslim yang tak mampu berpuasa Ramadan. Namun, kepada siapa fidyah diberikan?

Sebelumnya, mari kita cari tahu mengenai fidyah.

KH Muhammad Syafi’i Hadzami lewat bukunya Taudhihul Adillah menjelaskan apa itu fidyah. Fidyah adalah sesuatu yang diberikan dari harta tertentu, atas jalan tertentu, diberikan kepada orang tertentu, sebagai pengganti dari yang ditebus.


Fidyah menjadi pengganti atau penebus yang dihukumi wajib atas orang yang tidak bisa menunaikan puasa Ramadan lantaran sejumlah sebab. Di antaranya karena orang tua renta dan lemah, orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, wanita hamil dan menyusui yang khawatir kesehatan anaknya, serta orang meninggal yang mempunyai utang puasa wajib.

Kadar Fidyah yang Dikeluarkan

Dari penjelasan arti di atas, bisa dipahami kalau fidyah dikeluarkan dari harta. Menukil buku 125 Masalah Puasa, Muhammad Najmuddin Zuhdi & Muhammad Anis Sumaji menyebut bahwa berapa kadar fidyah yang harus dikeluarkan belum jelas dalam sejumlah nash.

Sehingga para ulama memberikan pandangan mereka terkait besaran fidyah tersebut, yakni setiap banyaknya hari puasa Ramadan yang ditinggalkan, maka harus dikeluarkan fidyah sejumlah satu mud.

Begitu juga pendapat Imam Ghazali melalui kitab Ihya Ulumiddin yang menyebut fidyah dibayarkah sebanyak satu mud setiap hari yang tertinggal. Adapun satu mud menurutnya sekitar 6 ons atau 600 gram.

Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi dalam kitab al-Imam al-Syafi’i fii Mazhabihi al-Qadim wa al-Jadid mengemukakan fidyah diberikan berupa beras, gandum, kurma atau bahan makanan pokok lain yang biasa dikonsumsi di wilayah setempat

Mengutip laman Baznas, madzhab Maliki dan Syafi’i berpemahaman bahwa fidyah mesti dikeluarkan sebesar 1 mud makanan pokok, atau sekitar 6 ons (setara 675 gram). Sementara kalangan Hanafiyah berpandangan fidyah diberikan sejumlah 2 mud atau setengah sha’ makanan pokok, dengan takaran 1,5 kg.

Selain itu, ulama madzhab Hanafi membolehkan fidyah dibayarkan dalam bentuk uang senilai dengan takaran makanan pokok yang biasa dimakan. Fidyah uang setara makanan pokok ini juga dihitung sebanyak hari puasa yang ditinggalkan.

Baznas selaku badan pengelola zakat nasional menetapkan nilai fidyah dalam bentuk uang sebesar Rp. 60.000 per hari dan per jiwa, berdasarkan SK Ketua Baznas Nomor 07 Tahun 2013 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah untuk Wilayah Ibukota DKI Jakarta Raya dan sekitarnya.

Lantas, Kepada Siapa Fidyah Diberikan?

M. Quraish Shihab dalam bukunya M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman menjelaskan fidyah itu diberikan dengan memberi makan seorang miskin. Ia mengambil Surat Al-Baqarah ayat 184 sebagai dalil:

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ

Artinya: “…Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…”

Imam Al-Ghazali melalui kitab karangannya juga menyebut fidyah diberikan kepada satu orang fakir miskin per hari sebanyak yang yang ditinggalkan. Ia turut mengambil ayat di atas sebagai dasar hukumnya. Demikian pula pandangan Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi dalam kitabnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com