Tag Archives: puasa

Ibu Menyusui Tidak Berpuasa, Wajib Bayar Fidyah dan Qadha?


Jakarta

Karena kondisinya seorang ibu yang menyusui biasanya melewatkan puasa Ramadan, hal ini dikarenakan khawatir akan mengganggu kesehatan bayinya. Lalu bagaimana hukum ibu menyusui yang tidak puasa di bulan Ramadan?

Bila seseorang tidak berpuasa maka dia harus membayar fidyah atau qadha puasa di bulan-bulan berikutnya, perintah ini disampaikan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an.

أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ


Arab-Latin: Ayyāmam ma’dụdāt, fa mang kāna mingkum marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar, wa ‘alallażīna yuṭīqụnahụ fidyatun ṭa’āmu miskīn, fa man taṭawwa’a khairan fa huwa khairul lah, wa an taṣụmụ khairul lakum ing kuntum ta’lamụn

Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Bagaimana bagi ibu menyusui yang melewatkan puasanya? Berikut ini dalil-dalil mengenai wanita hamil dan menyusui yang boleh tidak berpuasa di bulan Ramadan.

Dalil Wanita Hamil dan Menyusui di Bulan Ramadan

Dari Anas bin Malik Al Ka’bi ra, ia berkata, “Kuda Rasulullah SAW lari kepada kami, lalu aku datangi Rasulullah, aku mendapatinya sedang makan pagi, beliau berkata, “Mendekat dan makanlah!”. Aku katakan : “Aku sedang puasa” lalu beliau berkata: “Mendekatlah, aku akan mengabarkan kepadamu tentang puasa, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menggugurkan puasa dan setelah salat bagi musafir dan juga puasa bagi wanita hamil atau menyusui.” (HR. Tirmidzi).

Dalil lainnya dilihat dari hadits Anas bin Malik Al-Ka’Biz, Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah salat dan puasa bagi orang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR An-Nasa’i).

Hukum Puasa Wanita Menyusui

Dilansir dari buku Fikih Puasa ditulis oleh Ali Musthafa Siregar dijelaskan para ulama sepakat mengenai wanita hamil dan wanita menyusui, bila mereka khawatir atau kondisi dirinya dan anaknya. Berikut ini rincian qadha bagi wanita menyusui dan hamil:

· Apabila keduanya berbuka, karena takut akan kondisi anaknya saja, maka wajib qadha dan fidyah.

· Apabila keduanya berbuka karena takut akan kondisi dirinya saja maka wajib qadha saja.

· Apabila keduanya berbuka karena takut atas diri dan anaknya, maka wajib qadha saja.

Selain itu, dilansir dari buku Buka Puasa Bersama Rasulullah SAW Hati-hati Jangan Sampai Puasa Anda Menjadi Sia-sia! ditulis oleh Muhammad Ridho al-Thurisinai dijelaskan menurut Syaikh Utsaimin bahwa wanita hamil tidak luput dari hal ini:

  1. Wanita muda dan kuat bila berpuasa tidak mengganggu dirinya dan kandungannya, maka ia wajib puasa.
  2. Wanita yang tidak sanggup berpuasa karena kandungannya dan fisiknya lemah, dan wanita telah melahirkan serta mempunyai banyak halangan, seperti masalah menyusui anaknya karena membutuhkan asupan makanan dan minum, apalagi di musim panas. Dengan udzur yang jelas, maka wanita tersebut hendaknya tidak berpuasa.
  3. Supaya mampu memberikan ASI yang dibutuhkan anaknya, dan setelah itu ia wajib qadha puasa.

Ibu Menyusui dan Ibu Hamil Membayar Fidyah

Dari lama Baznas Jogja Kota dijelaskan fidyah akan dibayarkan kepada orang miskin, jumlah fidyah sesuai dengan puasa yang dilewatkannya, satu fidyah dibayarkan untuk satu hari puasa kepada satu fakir miskin, atau bisa juga diberikan kepada satu fakir miskin.

Waktu pembayaran fidyah ketika wanita tersebut tidak melaksanakan puasa atau diakhirkan ke akhir puasa Ramadan

Waktu fidyah tidak mempunyai batas. Jadi tidak harus dibayarkan di bulan Ramadan, bisa juga sesudah bulan Ramadan.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Hukum Membayar Utang Puasa Ramadan bagi Wanita



Jakarta

Bagi setiap muslim yang baligh dan berakal wajib untuk melaksanakan puasa Ramadan, tidak terkecuali seorang wanita. Apabila seorang wanita memiliki udzur diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan dihitung sebagai utang puasa.

Syaikh Ali Raghib dalam buku Ahkam Ash-Sholah: Panduan Lengkap Hukum-Hukum Seputar Sholat mengatakan, keringanan meninggalkan puasa bagi wanita ini bersandar pada hadits yang berbunyi,

“Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan keringanan bagi musafir dari shaum dan sebagian salatnya, sementara keringanan bagi wanita hamil dan menyusui adalah dalam shaumnya.” (HR Bukhari dan Muslim)


Dijelaskan lebih lanjut, wanita yang meninggalkan puasa memiliki kewajiban membayar utang tersebut di luar bulan Ramadan. Dalam hal ini, hukum membayar utang puasa Ramadan bagi wanita adalah wajib.

Adapun, bagi wanita hamil dan menyusui juga memiliki kewajiban untuk meng-qadha puasa yang ditinggalkannya. Hal itu didasarkan pada alasan karena mereka memang wajib untuk berpuasa. Ketika mereka memutuskan untuk tidak berpuasa, maka puasa menjadi utang bagi mereka, yang tentu wajib dibayar dengan cara diqadha.

Ketetapan ini disampaikan oleh Ibn Abbas RA yang menyatakan,

اِنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أتِي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذَرٍ، أَفَاصُوْمُ عَنْهَا؟ فَقَالَ: اَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنُ فَقَضَيْتِهِ أَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكَ عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَصُوْمِي عَنْ أُمَك

Artinya: “Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah SAW ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki kewajiban berpuasa nadzar. Perlukah aku berpuasa untuk membayarkannya? Rasul menjawab, “Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki utang, lalu engkau membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi utangnya?” wanita itu menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah SAW lalu bersabda, “Karena itu, berpuasalah engkau untuk membayar utang puasa ibumu.” (HR Muslim)

Abdul Syukur al-Azizi dalam buku Lengkap Fiqh Wanita: Manual Ibadah dan Muamalah Harian Muslimah Shalihah turut menjelaskan kewajiban membayar utang puasa bagi wanita.

Dikatakan, bagi wanita yang meninggalkan puasa karena haid dan nifas wajib meng-qadha puasa dan tidak perlu membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) setelah berakhirnya bulan Ramadan hingga bulan Sya’ban.

Dalam membayar utang puasanya, seorang wanita boleh melakukannya pada hari di mana pun ia mampu berpuasa, boleh mengakhirkannya selama belum datang bulan Ramadan berikutnya. Hal ini didasarkan pada hadits dari Aisyah RA yang berkata, ” Aku punya utang puasa Ramadan dan aku tidak mampu membayarnya, kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR Muslim)

Menurut Imam Ibnu Qudamah, andaikan mengakhirkan membayar utang puasa Ramadan boleh lewat Ramadan berikutnya, tentulah akan dikerjakan oleh Aisyah RA.

Tata Cara Qadha Puasa bagi Wanita Hamil dan Menyusui

Masih di dalam buku yang sama, bagi wanita hamil dan menyusui waktu meng-qadha puasa, harus melaksanakannya antara bulan Ramadan yang sudah dijalani sampai datang bulan Ramadan berikutnya. Akan tetapi, cara meng-qadha puasa bagi wanita hamil dan menyusui berbeda dengan wanita haid. Berikut penjelasannya,

  • Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya saja bila berpuasa, maka ia hanya wajib meng-qadha puasa tanpa harus membayar fidyah pada hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.

Kondisi ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Seperti yang dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 184,

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ١٨٤

Artinya: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

  • Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya dan buah hatinya, hanya diwajibkan untuk meng-qadha puasa tanpa harus membayar fidyah. Ia hanya wajib mengganti puasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkan ketika telah sanggup melaksanakannya. Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i sepakat dengan hal tersebut.
  • Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan buah hati saja, maka diperbolehkan untuk meninggalkan ibadah puasa. Terkait kondisi ini beberapa ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat hanya wajib qadha saja tanpa membayar fidyah.

Namun, mayoritas ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui yang hanya mengkhawatirkan bayinya, wajib meng-qadha puasa sekaligus membayar fidyah.

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas RA berkata, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR Abu Dawud yang dishahihkan oleh Syekh Albani dalam Irwa’ul Ghalil)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

4 Syarat agar Wanita Bebas Masuk Pintu Surga Mana Saja



Jakarta

Rasulullah SAW dalam haditsnya pernah menyebutkan empat perkara yang dapat menjadi penyebab wanita muslim dapat masuk surga melalui pintu mana saja. Hadits tersebut pun dinyatakan bersanad hasan oleh Syaikh Al Albany.

Berdasarkan hadits yang termaktub dalam Kitab Tsalatsuna Darsan Lis Shaimat oleh Syeikh Abu Anas Husen Al ‘Ali, berikut bunyi hadits dari Abdurrahman bin Auf RA yang mengutip sabda Rasulullah SAW.

إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ


Artinya: “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban dalam Shahih al Jami’)

4 Syarat Wanita Bebas Pilih Pintu Masuk Surga

1. Menjaga Salat 5 Waktu

Kriteria pertama agar seluruh pintu surga dibukakan bagi wanita muslim adalah menjaga salat lima waktu selama berada di luar momen diharamkannya salat seperti, haid dan nifas.

Pentingnya amalan salat ini bahkan pernah ditekankan dalam hadits Rasulullah SAW. Disebutkan, salat adalah amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak.

“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salatnya. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari sholat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR Tirmidzi dan An Nasa’i)

2. Puasa Ramadan

Puasa Ramadan dapat menjadi tantangan bagi wanita muslim saat harus mengqodho puasa yang ditinggalkannya karena alasan syar’i seperti masa haid, masa hamil, melahirkan hingga nifas. Utamanya, menurut buku Dakwah bil Qolam oleh Mohamad Mufid, dibutuhkan komitmen untuk mengerjakannya di luar bulan puasa.

3. Menjaga Kehormatan Diri

Mengutip Mohamad Mufid, menjaga kehormatan diri yang dimaksud dapat dilakukan dengan menahan pandangan, memelihara kemaluan, berjilbab syar’i, hingga menutup aurat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surah An Nur ayat 31,

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التّٰبِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya: Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, para perempuan (sesama muslim), hamba sahaya yang mereka miliki, para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Hendaklah pula mereka tidak mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.

4. Taat pada Suami

Ketaatan seorang istri pada suaminya menjadi salah satu perkara yang menjadi penyebab seorang wanita muslim dapat bebas memilih pintu surga. Landasan keterangan ini juga dapat bersumber dari hadits yang dikisahkan Abu Hurairah RA.

Ia berkata bahwa pernah bertanya pada Rasulullah SAW tentang siapakah wanita yang paling baik. Lalu, Rasulullah SAW pun menjawab. “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR An Nasa’i)

Dalam riwayat lain disebutkan, “Tiap-tiap istri yang meninggal dunia dan diridai oleh suaminya maka ia akan masuk surga.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Wallahu a’lam.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Bagaimana Cara Mengqadha Puasa bagi Ibu Hamil dan Menyusui?



Jakarta

Dalam Islam, puasa Ramadhan merupakan hal yang wajib dilakukan oleh seluruh muslim. Namun, kewajiban ini bisa gugur ketika seseorang memiliki halangan, seperti sakit, safar, pikun atau orang lanjut usia, wanita haid maupun nifas, hingga termasuk ibu hamil dan menyusui.

Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam Wa Adillatuhu menyebut, ibu hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan apabila mereka khawatir dirinya atau anaknya mendapat mudharat. Kekhawatiran yang dimaksud seperti, lemahnya kecerdasan, meninggal dunia, atau sakit.

“Kekhawatiran yang diperhitungkan adalah yang berdasarkan praduga kuat dengan dasar pengalaman sebelumnya atau dasar informasi seorang dokter muslim yang mahir,” demikian penjelasannya.


Gugurnya kewajiban ini harus dibayar atau diqadha di bulan setelah Ramadan. Selain itu, wanita atau ibu yang sedang hamil atau menyusui ternyata diberikan keringanan juga oleh Allah SWT.

Puasa Ramadhan bagi Ibu Hamil atau Menyusui

Dikutip melalui Fikih Wanita Empat Mazhab karya Dr. Muhammad Utsman Al-Khasyt, Bagi wanita yang sedang hamil atau menyusui, diperbolehkan tidak berpuasa jika dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan dirinya atau bayinya. Hukum ini tetap berlaku meskipun anak yang disusui bukan berasal dari ibunya sendiri, meskipun dengan kondisi sang ibu merupakan ibu susu yang diupah.

Kekhawatiran akan kesehatan ini didasarkan pada keterangan dokter atau dengan penelitian yang sudah dikuatkan sebelumnya. Lebih lanjut, kebolehan untuk meninggalkan puasa Ramadhan bagi kondisi tersebut adalah adalah qiyas kepada orang sakit dan musafir sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

إن الله تبارك وتعالى وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطَرَ الصَّلَاةِ وَعَنِ الخيلى و المرضيح الصوم

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengangkat dari seorang musafir yaitu puasa dan separuh sholatnya; sementara dari wanita hamil atau menyusui hanya puasa saja.” (HR Ahmad dari Anas bin Malik)

Dijelaskan bahwa musafir diangkat kewajiban berpuasa dan kewajiban sholatnya di sepanjang hari hanya menjadi separuh atau bisa mengqasharnya. Sedangkan, bagi wanita hamil atau menyusui akan diangkat kewajiban puasanya.

Lalu, untuk mengganti hilangnya puasa wajib Ramadhan menurut berbagai mazhab perlu dilakukan “pembayaran” atau qadha. Lalu, bagaimana cara mengqadha puasa bagi ibu hamil dan menyusui?

Cara Mengqadha Puasa bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Ada perbedaan pendapat di kalangan imam besar mazhab. Menurut Mazhab Hanafi, bagi ibu hamil dan wanita menyusui diwajibkan mengqadha puasanya tanpa membayar fidyah.

Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali menyetujui bahwa selain mengamalkan puasa qadha, keduanya perlu membayar fidyah jika mengkhawatirkan kondisi bayi. Namun, tidak perlu membayar fidyah jika tidak mengkhawatirkan kondisi bayinya.

Sementara menurut Mazhab Maliki, wanita menyusui diwajibkan menqadha puasa dan membayar fidyah. Di lain sisi, wanita hamil hanya perlu menqadhanya saja.

Sebab tidak diwajibkannya puasa Ramadhan ibu hamil dan wanita menyusui lantaran adanya fisik yang lemah. Oleh karena itu, Dr. Muhammad Utsman Al-Khasyt berpendapat, bagi orang seperti itu hanya wajib membayar fidyah tanpa mengqadhanya yang diumpamakan seperti dengan orang yang sudah lanjut usia.

Adapun besaran fidyah atau memberi makan kepada satu orang miskin sebagai ganti dari setiap satu hari yang seseorang tidak berpuasa di dalamnya, bukan merupakan satu perkara yang harus berupa bahan makanan yang macam dan kadarnya sudah tertentu. Melainkan hendaknya disesuaikan dengan adat dan kebiasaan, namun diutamakan bahwa ukuran dan kadarnya adalah merupakan ukuran dan kadar rata-rata dari jenis makanan harian yang biasa dimakan oleh orang yang membayar fidyah.

Sebaga informasi, wanita hamil dan wanita menyusui disebut haram berpuasa jika hal ini menyebabkan bahaya kesehatan terhadap dirinya atau bayi yang sedang dirawatnya. Allah SWT berfirman melalui Al-Qur’an, yaitu:

…وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ…١٩٥

Artinya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…”

Dijelaskan dalam tulisan Muhammad Utsman Al-Khasyt juga bahwa jika menyayangi janin atau bayi yang sedang menyusui merupakan sesuatu yang wajib. Tidak berpuasa menjadi sesuatu hal yang wajib karena tak ada jalan lain kecuali dengan tidak berpuasa.

Itulah pembahasan mengenai cara menqadha puasa bagi ibu hamil dan menyusui, semoga bermanfaat.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

‘Seks Kilat’ Jadi Pilihan Selama Bulan Puasa? Seksolog Wanti-wanti Hal Ini


Jakarta

Melakukan hubungan suami istri selama bulan Ramadan adalah perkara yang susah-susah gampang. Apalagi, pasutri hanya memiliki waktu yang terbatas, mulai dari setelah berbuka puasa hingga sebelum sahur.

Alhasil, banyak pasutri yang bingung menentukan waktu bercinta terbaik selama bulan puasa. Tak jarang, ‘seks kilat’ atau quickie menjadi solusi untuk melampiaskan hasrat dan gairah bersama pasangan.

Meski begitu, seksolog Zoya Amirin, MPsi, FIAS, tidak menyarankan pasutri untuk melakukan seks kilat selama bulan puasa. Menurutnya, melakukan seks secara spontan dapat mengurangi kualitas dari hubungan bercinta itu sendiri.


Zoya menjelaskan kualitas seks sangat memengaruhi kondisi psikologis setiap pasangan. Karena itu, dia menyarankan agar pasutri bisa sama-sama menjadwalkan hubungan intim ketimbang melakukan ‘seks kilat’ selama bulan puasa.

Dia menambahkan, menjadwalkan bercinta dapat membantu pasutri untuk mempersiapkan diri masing-masing sehingga lebih fokus saat melakukan hubungan intim. Dengan demikian, baik suami dan istri bisa mendapatkan manfaat dari seks yang berkualitas.

“Kalau saya sih sangat-sangat mengusulkan untuk dua-duanya itu membuat waktu ya. Ketika direncanakan, itu berarti sampai hari H-nya nanti kita mengatur suasana hati, apa ya yang dibutuhkan untuk bisa supaya bercinta dengan nikmat saat bulan puasa,” ungkap Zoya saat dihubungi detikcom.

Terkait frekuensi bercinta selama bulan puasa, Zoya tidak mematok target yang spesifik. Dia menyarankan agar pasutri lebih fokus pada kualitas bercinta itu sendiri ketimbang kuantitasnya.

“Disarankan menyempatkan waktu sebisa mungkin, kalau bisa dalam sebulan ini empat kali ya bagus. Kalau misalnya dua kali saja, minimal itu sudah oke kok,” tutur Zoya.

“Yang penting lakukanlah dengan mencari kualitas, bukan hanya, ‘kita harus berapa kali’. Cari gimana caranya berdua bisa mengatasi stres sama-sama, bisa menikmati hubungan seksual ini, akhirnya kan dua-duanya happy,” ucapnya.

(ath/ath)

Sumber : health.detik.com

Image : unsplash.com/ Spacejoy

Waswas Mimpi Basah di Siang Hari saat Puasa? Dokter Beberkan Trik Mencegahnya


Jakarta

Pada pria, mimpi basah memang alamiah. Tapi tidak seperti yang dibayangkan banyak orang, pengalaman yang bisa bikin puasa batal ini ternyata bisa dicegah.

“Mimpi basah itu muncul kalau kita ada hasrat. Kita kepengen, terus kependem,” kata praktisi kesehatan seksual dr Akbari Wahyudi Kusumah, SpU dari Mayapada Hospital Jakarta Selatan.

“Untuk menghilangkan itu, gampang kok. Dialihkan. Caranya buat badan kita capek dan super sibuk. Saking capek dan sibuknya, sudah nggak mikirin apa-apa lagi,” bebernya dalam perbincangan dengan detikcom baru-baru ini.


Makin banyak aktivitas positif, menurut dr Akbari, makin mudah mengalihkan pikiran dari hal-hal yang berisiko membatalkan puasa. Dengan alasan itu pula, malas-malasan dan tidur seharian saat sedang berpuasa juga secara medis tidak dianjurkan.

Tetapi mengingat mimpi basah merupakan siklus alamiah, apakah ada dampaknya jika sperma yang sudah matang tidak dikeluarkan? Menurut dr Akbari, pada dasarnya tidak ada dampak serius jika seorang pria tidak mimpi basah.

“Kalaupun penuh, sperma akan diserap kok sama badan. Nggak akan tumpah kayak baskom gitu,” terangnya.

(up/up)

Sumber : health.detik.com

Image : unsplash.com/ Spacejoy

Mager Mandi Wajib usai Bercinta di Bulan Puasa? Awas, Bisa Begini Dampaknya


Jakarta

Berhubungan intim saat bulan puasa terkadang bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pasangan suami istri. Pasalnya, waktu yang terbatas membuat pasutri tidak bisa leluasa ‘melampiaskan’ gairah.

Jika dilakukan setelah berbuka, terkadang perut merasa kenyang atau begah sehingga niat bercinta pun urung. Jika bercinta dilakukan setelah Magrib, ini tentu terlalu mepet dengan salat Tarawih.

Karenanya, banyak pasutri yang akhirnya bercinta setelah waktu salat Isya dan Tarawih. Tapi biasanya, usai bercinta mereka memilih untuk tidak mandi dan segera tidur karena takut terlambat bangun sahur.


Praktisi kesehatan seksual, dr Akbari Wahyudi Kusumah, SpU, mewanti-wanti kebiasaan tersebut. Dia mengatakan setergesa apapun kondisinya, pasutri tetap harus menyempatkan diri untuk bersih-bersih setelah bercinta.

Karena jika tidak, sperma dan cairan yang menempel pada tubuh dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, khususnya pada wanita.

“Spermanya itu nanti kan bikin gatel. Dan sperma juga, jujur bau sih sebenarnya. Jadi rasanya tidak nyaman,” ujarnya kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Sementara itu, cairan vagina yang tidak segera dibersihkan juga dapat menyebabkan rasa tidak nyaman. Karena itu, dr Akbari sangat menyarankan agar pasutri tidak menunda untuk bersih-bersih usai melakukan hubungan seks.

“Buat laki-laki juga sama sebenernya, ya kalau nggak cepet-cepet dibersihin kan lengket juga,” tandasnya.

(ath/suc)

Sumber : health.detik.com

Image : unsplash.com/ Spacejoy

Begah Habis Buka Puasa Bikin Malas Bercinta? Begini Tips dari dr Boyke


Jakarta

Merencanakan waktu bercinta saat bulan puasa kerap menjadi perkara yang susah susah gampang. Sekalinya menemukan waktu yang pas, terkadang ada saja hal yang akhirnya membuat niat untuk bercinta urung.

Misalnya, rasa begah yang muncul setelah berbuka puasa. Rasa tidak nyaman pada perut ini terkadang bisa bertahan lama, hingga akhirnya membatalkan rencana untuk melakukan hubungan intim,

Pakar seks dr Boyke Dian Nugraha menjelaskan hal tersebut sebenarnya tidak lepas dari kesalahan dalam memilih makanan saat berbuka puasa. Menurutnya, saat berbuka puasa sebaiknya tidak mengonsumsi makanan yang berkarbohidrat, gula, atau lemak berlebih.


Sebagai gantinya, dr Boyke menyarankan untuk berbuka dengan menggunakan kurma dan air hangat. Hal tersebut untuk mencegah munculnya rasa begah yang dapat mengganggu rencana di malam harinya.

“Biasakan berbuka puasa itu pertama dengan kurma, minum air hangat, kemudian dia kan beribadah, sudah turun dulu semua yang dimakan waktu berbuka, terus kemudian sedikit demi sedikit makan, kemudian tarawih, pulang tarawih mau melakukan nggak apa-apa,” ungkap dr Boyke kepada detikcom beberapa waktu lalu.

dr Boyke juga meluruskan anggapan yang menyebut begah dapat disebabkan posisi bercinta tertentu. Menurutnya, rasa begah memang berasal dari masalah pada lambung itu sendiri.

“Posisi-posisi yang berkaitan dengan seks misal posisi wanita di bawah, kemudian pria di bawah, itu sebenarnya nggak terlalu banyak berpengaruh, orang-orang yang biasanya begah seperti itu, itu biasanya adalah mereka-mereka yang di awalnya juga sudah ada gangguan-gangguan daripada penyakit maag itu sendiri, lambungnya itu sendiri, misalnya gerd, pasti, mereka penyakit gastritis tentu harus lebih bersabar lagi,” jelasnya.

Bagi pasutri yang memiliki keluhan demikian, ada beberapa posisi seks yang disarankan oleh dr Boyke. Bagi wanita yang mengalami sakit maag, dr Boyke menyarankan untuk bercinta dengan posisi woman on top atau cowgirl.

“Yang paling enak mungkin untuk wanita yang mengidap sakit maag itu posisi wanita yang di atas, itu lebih enak kemudian si prianya di bawah,” ujarnya.

“Jadi pada mereka yang memang menderita sakit yang berhubungan dengan lambung, daerah-daerah perut di situ jangan sampai tertekan, pada posisi wanita yang di atas itu tentu yang ditekan adalah bagian perut si laki-laki,” sambung dr Boyke.

Sedangkan untuk pria yang mengalami sensasi tidak nyaman di perut, dr Boyke menganjurkan untuk bercinta dalam posisi miring atau duduk.

“Mungkin posisi miring atau posisi duduk atau posisi dari belakang kalau ada sakit maag itu bisa membantu, yang nggak boleh tentu missionary position, tapi pada dasarnya variasi seks tersebut asal tidak ada sakit dan mengikuti aturan puasa itu entah itu konsumsi makannya sedikit-sedikit, itu nggak jadi masalah,” tandasnya.

(ath/suc)

Sumber : health.detik.com

Image : unsplash.com/ Spacejoy

Ereksi ‘Uhuy’ Pagi Hari Ganggu Persiapan Sahur? Dokter Punya Tips Menjinakkannya


Jakarta

Kaum pria punya siklus hormonal yang memicu nocturnal penile tumescence (NPT), yakni ereksi ‘spontan’ yang bisa muncul tanpa rangsang apapun di pagi hari. Terjadi begitu saja tanpa bisa dikendalikan.

Pada hari biasa, hal ini normal-normal saja dialami. Namun di bulan puasa, ereksi yang tidak diharapkan seperti ini kerap bikin tidak nyaman saat harus menjalankan berbagai aktivitas termasuk menyiapkan sahur.

Apakah ada cara yang efektif untuk menjinakkan ereksi spontan semacam ini? Sebenarnya ada, akan tapi pakar disfungsi ereksi dari Mayapada Hospital Jakarta Selatan, dr Akbari Wahyudi Kusumah, SpU lebih menyarankan untuk melihat hal itu dari sisi positifnya.


“Jujur, kalau itu wajib ada. Itu normal banget bagi laki-laki,” kata dr Akbari dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (15/3/2024).

Jalan terbaik, siram air dingindr Akbari Wahyudi Kusumah, SpU – Urolog

“Begitu itu nggak ada, siap-siap mohon maaf ya, itu tanda-tanda awal untuk disfungsi ereksi,” tambahnya.

Dalam pemeriksaan disfungsi ereksi, dr Akbari menyebut bahwa pertanyaan pertama yang akan disampaikan ke pasien adalah ada tidaknya ereksi di pagi hari. Berbagai penelitian mengatakan, tanda-tanda disfungsi ereksi kerap diawali dengan hilangnya ereksi di pagi hari.

Namun jika memang dirasa cukup mengganggu, sebenarnya bisa-bisa saja dikendalikan. Bisa dengan mengalihkan pikiran ke hal-hal lain, atau jika perlu bisa dengan sedikit ‘paksaan’ terhadap Mr P yang sedang berdiri.

“Jalan terbaik, siram air dingin,” saran dr Akbari.

(up/up)

Sumber : health.detik.com

Image : unsplash.com/ Spacejoy

Kata Zoya Amirin soal Libido Turun Saat Puasa, Penyebab dan Cara Mengatasinya


Jakarta

Bercinta menjadi momen yang penting untuk pasangan suami istri dalam menjalin hubungan. Tidak hanya baik untuk kesehatan, bercinta nyatanya juga penting untuk meningkatkan keharmonisan pasangan.

Namun, selama bulan puasa tak jarang pasangan kesulitan menemukan momen yang tepat untuk bercinta. Hal ini dipengaruhi perubahan jadwal dan pola hidup selama bulan puasa dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.

Seksolog Zoya Amirin, MPsi, FIAS menuturkan bahwa pada minggu awal-awal bulan Ramadan, perubahan libido cenderung mengalami penurunan yang tinggi.


“Kalau pada saat minggu-minggu pertama dengan banyaknya perubahan sih kemungkinan drop-nya relatif tinggi ya. Kalau nanti sudah mulai menyesuaikan, mulai masuk minggu-minggu depan, menurut saya sudah lebih oke sih,” kata Zoya ketika berbincang dengan detikcom.

Untuk mengatasi hal tersebut, Zoya menuturkan perencanaan hubungan intim perlu dilakukan. Bukan sebagai beban, menurutnya hal ini krusial agar pasangan bisa mencurahkan seluruh energi dan perhatian untuk mempersiapkan seks yang berkualitas.

Cara ini diharapkan dapat membuat rasa senang ketika berhubungan intim dapat dirasakan oleh dua belah pihak, tidak hanya pada satu pihak saja.

“Nah, kenapa harus direncanakan? Supaya dua-duanya secara aktif, itu terkoneksi secara seksual. ‘Saya mau nyiapin ini ah, saya mau pakai lilin wangi untuk bikin suasana romantis, saya mau pakai pakaian tertentu,’ dan sebagainya,” jelasnya.

Walaupun selama bulan puasa waktu untuk bercinta menjadi terbatas, Zoya sangat menyarankan pasangan suami istri untuk tetap berusaha menyempatkan waktu melakukan hubungan intim.

Penyesuaian pola hidup selama bulan puasa menurutnya dapat memberi tekanan psikologis tersendiri, sehingga bercinta dapat menjadi ‘obat’ stres yang baik untuk pasangan.

“Disarankan menyempatkan waktu sebisa mungkin, kalau bisa dalam sebulan ini empat kali ya bagus. Kalau misalnya dua kali saja, minimal itu sudah oke kok,” ucapnya.

“Yang penting lakukanlah dengan mencari kualitas, bukan hanya, ‘kita harus berapa kali’. Cari gimana caranya berdua bisa mengatasi stres sama-sama, bisa menikmati hubungan seksual ini, akhirnya kan dua-duanya happy,” tandas Zoya.

(avk/up)

Sumber : health.detik.com

Image : unsplash.com/ Spacejoy