Tag Archives: qadha sholat

Kapan Sholat Boleh Diqashar, Dijamak, atau Diqodho? Begini Ketentuannya


Jakarta

Sholat merupakan ibadah utama yang tetap wajib dilaksanakan dalam berbagai keadaan. Ketika seorang muslim menghadapi kondisi sulit seperti bepergian jauh, sakit, atau hujan lebat, Islam memberikan kemudahan berupa keringanan (rukhshah) dalam pelaksanaannya.

Di antaranya adalah qashar (meringkas sholat), jamak (menggabungkan dua waktu sholat), dan qadha (mengganti sholat di luar waktunya). Setiap keringanan ini memiliki syarat tertentu yang perlu dipahami agar tidak disalahgunakan. Kemudahan ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 286:

…لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ


Artinya: “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya…”

Berikut penjelasan lengkapnya berdasarkan Seri Fikih Kehidupan karya Ahmad Sarwat, Lc., MA.

Sholat Qashar Rukhshah Saat Safar

Qashar adalah meringkas sholat yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat, berlaku untuk Dzuhur, Ashar, dan Isya. Namun, tidak semua perjalanan membolehkan qashar. Para ulama menyebutkan bahwa qashar hanya bisa dilakukan jika seseorang benar-benar dalam keadaan safar dengan jarak tertentu.

Mayoritas ulama seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal menetapkan jarak minimal safar sekitar 88 km, berdasarkan ukuran 4 burud, sebagaimana disebut dalam hadits Ibnu Abbas:

“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar sholat bila kurang dari 4 burud, dari Makkah ke Usfan.” (HR Ad-Daruquthni)

Ada pula pendapat lain seperti Abu Hanifah yang menetapkan batasnya adalah tiga hari perjalanan, dan Ibnu Taimiyah yang tidak mensyaratkan jarak tertentu selama seseorang sudah dalam perjalanan dan keluar dari tempat tinggalnya.

Selain jarak, syarat lain adalah bahwa tujuan perjalanan harus mubah (diperbolehkan secara syariat). Perjalanan untuk maksiat tidak membolehkan qashar, menurut mayoritas ulama.

Qashar juga hanya sah dilakukan setelah keluar dari batas wilayah tempat tinggal, bukan saat masih di rumah. Bahkan, sholat qashar tidak boleh dilakukan jika status safarnya telah berakhir saat sholat berlangsung, misalnya karena sudah sampai tujuan atau berniat mukim.

Selain itu, perjalanan harus memiliki tujuan yang jelas. Bila tidak tahu arah atau tujuan pasti, seperti orang berburu tanpa arah, maka tidak termasuk safar yang membolehkan qashar.

Sholat Jamak Menggabungkan Dua Waktu Sholat

Masih dari sumber sebelumnya, dijelaskan bahwa sholat jamak adalah menggabungkan dua sholat fardu dalam satu waktu pelaksanaan. Hanya dua pasang waktu sholat yang bisa dijamak, yaitu Dzuhur dengan Ashar, serta Maghrib dengan Isya. Penggabungan ini dilakukan dengan dua cara: jamak taqdim, yaitu dilakukan di waktu sholat pertama, dan jamak ta’khir, yaitu dilakukan di waktu sholat kedua.

Keringanan ini diberikan kepada orang yang sedang dalam perjalanan (safar), dengan syarat yang hampir sama dengan sholat qashar, yaitu sudah berniat safar, benar-benar keluar dari tempat tinggal, dan jarak perjalanannya mencapai batas minimal yang ditentukan para ulama.

Selain dalam kondisi safar, jamak juga dibolehkan dalam keadaan lain, seperti sakit, hujan, ibadah haji, atau ketika mengalami kesulitan besar yang menyulitkan pelaksanaan sholat pada waktunya. Dalam keadaan sakit, misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Malik, dan sebagian ulama dari mazhab Syafi’i membolehkan jamak berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas:

“Rasulullah SAW menjamak sholat bukan karena takut dan bukan pula karena hujan.” (HR Muslim)

Saat ibadah haji, Rasulullah SAW juga pernah menjamak Maghrib dan Isya di Muzdalifah, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Nabi SAW menjamak antara Maghrib dan Isya di Muzdalifah pada haji wada.” (HR Bukhari)

Begitu pula ketika hujan turun dan menyulitkan untuk datang ke masjid, para sahabat seperti Ibnu Umar pernah menjamak Maghrib dan Isya bersama imam. Hal ini sesuai dengan riwayat:

“Sesungguhnya termasuk sunnah bila hari hujan untuk menjamak antara Maghrib dan Isya.” (HR Atsram)

Dalam kondisi darurat lainnya, misalnya terjebak macet, sedang operasi medis, atau situasi bencana, sebagian ulama juga membolehkan jamak. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam memberikan keringanan ketika ada kesulitan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al Hajj ayat 78,

وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ…

Artinya: “Berjuanglah kamu pada (jalan) Allah dengan sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…”

Sholat Qadha Mengganti Sholat yang Terlewat

Sholat yang tidak dikerjakan pada waktunya wajib diganti atau diqadha. Qadha berlaku bagi siapa saja yang meninggalkan sholat karena uzur syar’i, seperti perang, perjalanan, sakit, atau tertidur.

Rasulullah SAW sendiri pernah tidak melaksanakan empat waktu sholat dalam Perang Khandaq, lalu beliau mengqadha semuanya begitu memungkinkan. Bagi wanita yang haid atau nifas, tidak ada kewajiban qadha untuk sholat yang ditinggalkan selama masa haid itu. Namun jika suci dan waktu sholat masih tersisa, ia wajib sholat.

Dalam situasi tertentu seperti tidak ada air dan tanah (untuk bersuci), atau sedang di atas kendaraan yang tidak memungkinkan sholat, maka qadha dapat menjadi solusi. Bahkan jika seseorang tertidur atau lupa, ia tetap wajib mengqadha. Nabi SAW juga pernah tertidur hingga melewatkan sholat Subuh, lalu menunaikannya setelah bangun.

Mengenai orang yang meninggalkan sholat secara sengaja, jumhur ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) menyatakan bahwa ia tetap wajib mengganti sholatnya meskipun berdosa. Tidak menggantinya hanya akan menambah dosa.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Keluar Darah Haid Saat Salat, Ini yang Harus Dilakukan Muslimah


Jakarta

Waktu keluarnya darah haid terkadang tidak menentu. Ada juga darah haid keluar saat sedang menunaikan salat. Bagaimana hukumnya dan apa yang harus dilakukan seorang muslimah?

Semua ulama mazhab sepakat bahwa haram bagi wanita haid untuk mengerjakan salat, baik fardhu maupun sunnah. Larangan mengerjakan salat bagi wanita haid bersandar pada sabda Rasulullah SAW,

فَإِذَا أَقبَلَتْ حَيضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي


Artinya: “Apabila datang masa haidmu, tinggalkanlah salat dan jika telah berlalu, mandilah kemudian salatlah.” (HR Bukhari)

Muhammad Jawad Mughniyah menerangkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah, semua ulama mazhab sepakat bahwa yang dimaksud darah haid dalam hal ini adalah darah yang keluar pada wanita yang berusia minimal 9 tahun. Apabila datang sebelum waktu itu, semua sepakat bahwa itu darah penyakit.

Terkait lama masa haid, mazhab Syafi’i berpendapat, haid berlangsung minimal sehari semalam dan paling lama 15 hari. Semua mazhab sepakat bahwa haid itu tidak ada batas masa sucinya yang dipisah dengan dua kali haid. Demikian menurut pemaparan Muhammad Jawad Mughniyah.

Kewajiban Salat Gugur saat Keluar Darah Haid

Diterangkan dalam kitab Fiqh as Sunnah li an-Nisa’ karya Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, para ulama telah berijma’ bahwa kewajiban salat gugur bagi wanita haid, sehingga ia tidak perlu menggantinya ketika telah suci. Pendapat ini turut dijelaskan dalam al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi dan al-Muhalla karya Ibnu Hazm.

Dalil yang menjadi sandaran para ulama terkait hal ini adalah hadits yang berasal dari Mu’adzah, bahwasanya seorang wanita bertanya kepada Aisyah, “Apakah salah seorang dari kita harus mengganti salatnya jika ia telah suci?”

Maka Aisyah bertanya, “Apakah engkau dari golongan Hurriyah? Kami juga mengalami haid pada masa Nabi SAW dan beliau tidak memerintahkan kami untuk melakukannya,” atau Aisyah berkata, “Dan kami tidak melakukannya (mengqadhanya).” (HR Bukhari dan Muslim)

Meski demikian, ada ketentuan khusus yang membuat wanita haid wajib mengqadha (mengganti) salatnya. Hal ini berkaitan dengan waktu keluarnya darah haid.

Ketentuan Qadha Salat bagi Wanita Haid

Masih dalam kitab yang sama diterangkan, apabila seorang wanita mengalami haid sebelum waktu Ashar, sementara ia belum menunaikan salat Zuhur, maka saat suci ia harus mengganti salat Zuhurnya. Dalam kasus ini, wanita masih memiliki kewajiban salat dan ia harus menggantinya selama salat itu telah masuk waktunya.

Apabila seorang wanita telah suci dari haid pada waktu salat Ashar, maka ia wajib melaksanakan salat Zuhur dan Ashar pada hari itu. Begitu pula apabila ia suci sebelum matahari terbit (masuk waktu salat Subuh), maka ia wajib untuk melaksanakan salat Maghrib dan Isya dari malam tersebut.

Dalam al-Fatawa juga dikatakan, “Oleh karena itulah, maka jumhur ulama seperti Malik, Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa apabila seorang wanita suci dari haidnya di penghujung siang, wajib baginya untuk melaksanakan salat Zuhur dan Ashar sekaligus.”

“Dan apabila ia menjadi suci di penghujung malam, wajib baginya untuk melaksanakan salat Maghrib dan Isya sekaligus, sebagaimana yang dinukil dari Abdurrahman ibn Auf, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas, karena di saat mempunyai udzur kedua salat tersebut memiliki waktu yang sama,” imbuhnya.

Keluar Darah Haid saat Salat Maka Salatnya Batal

Jika keluar darah haid saat melaksanakan salat, maka salatnya batal. Namun, bila ragu apakah ia haid atau tidak, maka salatnya sah. Sedangkan jika mengetahuinya setelah ia melakukan salat, maka salat yang telah dilaksanakan itu menjadi batal. Demikian seperti dijelaskan dalam buku Ahkam Banuwan (Edisi Indonesia: Fikih Perempuan) karya Muhammad Wahidi.

Menurut Muh. Hambali dalam buku Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari, yang harus dilakukan wanita ketika ia merasakan keluarnya darah haid di tengah-tengah salat, wajib baginya melanjutkan salatnya. Sebab, wudhunya tidak batal.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com