Tag Archives: qaf

Larangan Bicara di 3 Waktu Ini dalam Islam, Apa Saja?


Jakarta

Islam sangat menekankan adab menjaga lisan, termasuk larangan berbicara pada waktu-waktu tertentu yang dianggap tidak tepat. Dalam kondisi tertentu, berbicara bisa menjadi sumber kekeliruan, mengganggu ibadah, atau bahkan mengurangi pahala.

Allah SWT berfirman dalam surah Qaf ayat 18,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ


Artinya: “Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”

Ayat ini menjadi pengingat bahwa setiap ucapan memiliki konsekuensi. Karena itu, umat Islam diajarkan untuk menahan diri dari berbicara pada situasi tertentu.

Waktu-waktu yang Dilarang untuk Berbicara dalam Islam

Berikut tiga waktu yang secara jelas dilarang untuk berbicara dalam ajaran Islam.

1. Larangan Berbicara saat Khutbah Jumat

Salah satu waktu yang dilarang untuk berbicara menurut ajaran Islam adalah ketika khatib sedang menyampaikan khutbah Jumat. Hal ini dijelaskan dalam buku Fikih Sunnah Jilid 2 karya Sayyid Sabiq. Para ulama sepakat bahwa mendengarkan khutbah merupakan kewajiban. Oleh sebab itu, berbicara saat khutbah berlangsung tidak diperbolehkan, bahkan jika tujuannya baik seperti menegur orang lain agar diam.

Larangan ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW:

“Barang siapa yang berbicara pada hari Jumat ketika imam sedang berkhutbah, maka dia seperti keledai yang membawa kitab. Dan orang yang berkata kepada orang lain, ‘diamlah’, maka Jumatnya tidak sempurna.” (HR Ahmad dan Abu Daud)

2. Larangan Berbicara saat Buang Hajat

Dijelaskan dalam buku Fiqih Wanita: Edisi Lengkap karya Syaikh Kamil Muhammad, berbicara ketika sedang buang air kecil atau besar tidak dianjurkan dalam Islam. Walaupun pembicaraan itu berkaitan dengan hal baik seperti menjawab salam atau adzan, tetap disarankan untuk diam selama berada di kamar mandi.

Ibnu Umar RA meriwayatkan:

“Ada seseorang yang melewati Nabi SAW yang ketika itu sedang buang air kecil. Orang tersebut memberi salam, namun Rasulullah tidak membalasnya.” (HR Jamaah kecuali Bukhari)

3. Larangan Berbicara saat Salat

Berbicara saat menjalankan salat juga termasuk dalam hal yang dilarang. Dalam buku Panduan Shalat Lengkap dan Praktis Wajib dan Sunnah karya Ahmad Sultoni dijelaskan bahwa percakapan di tengah salat dapat membatalkan salat. Umat Islam diperintahkan untuk menjaga kekhusyukan dan menghindari ucapan yang bukan bagian dari ibadah.

Zaid bin Al-Arqam RA menceritakan:

“Dahulu kami biasa berbicara saat salat. Seseorang berbicara dengan temannya di dalam salat. Lalu turunlah firman Allah: ‘Berdirilah untuk Allah dengan khusyuk.’ Setelah itu kami diperintahkan diam dan dilarang berbicara dalam salat.” (HR Jamaah kecuali Ibnu Majah)

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Tingkat Ketebalan Alam Ghaib Seseorang



Jakarta

Mempelajari alam ghaib bukan hal yang mudah. Terlebih, alam ghaib tidak dapat dijangkau oleh panca indera, sehingga dibutuhkan hati dan pikiran yang tenang untuk memahami hal tersebut.

Berkenaan dengan itu, Prof Nasaruddin Umar dalam detikKultum detikcom, Selasa (11/4/2023) membahas tentang alam ghaib. Dia menilai, definisi alam ghaib bagi setiap individu berbeda.

“Definisinya sangat relatif bagi setiap orang. Ada yang alam ghaibnya sangat tebal, ada yang alam ghaibnya sangat transparan,” urainya.


Tingkat ketebalan alam ghaib itu menunjukkan bahwa diri kita masih perlu pembersihan. Orang yang batinnya suci seperti wali atau nabi umumnya alam ghaibnya sudah sangat transparan.

Sebaliknya, mereka yang alam ghaibnya masih tebal harus memperbaiki kualitas spiritualnya. Bulan suci Ramadan menjadi momentum untuk membersihkan diri agar mendapat pandangan batin yang tajam.

“Orang yang diberikan ketajaman batin itu bisa menembus alam ghaib, conntohnya sebelum ada musibah, ada mimpi yang datang di tengah malam. Ada orang yang seperti itu,” kata Prof Nasaruddin menjelaskan.

Dia menegaskan, masing-masing orang alam ghaibnya tidak sama. Dalam sebuah hadits, ada istilah yang menyebut seseorang mampu meminjam mata Tuhan untuk melihat dan telinga Tuhan untuk mendengar.

Contoh nyata dari istilah tersebut ialah Nabi Muhammad SAW. Menurut penuturan Prof Nasaruddin, Rasulullah mampu melihat masa depan dan masa silam, hal ini tentu menunjukkan tingkat ketebalan alam ghaib beliau yang sudah transparan.

“Tapi nanti kalau kita sudah berada di alam barzah, kita sudah bukan lagi berada di alam ghaib karena kita menjadi bagian dari ghaib itu sendiri,” urainya.

Pun, ketika kita berada di alam barzah kita masih akan mengalami alam ghaib berikutnya, yaitu surga dan neraka. Dengan demikian, Prof Nasaruddin mengimbau kaum muslimin untuk mengevaluasi perjalanan hidup, apakah semakin hari semakin transparan alam ghaib kita atau sebaliknya.

Dalam surat Qaf ayat 22, Allah SWT berfirman:

لَّقَدْ كُنتَ فِى غَفْلَةٍ مِّنْ هَٰذَا فَكَشَفْنَا عَنكَ غِطَآءَكَ فَبَصَرُكَ ٱلْيَوْمَ حَدِيدٌ

Arab latin: Laqad kunta fī gaflatim min hāżā fa kasyafnā ‘angka giṭā`aka fa baṣarukal-yauma ḥadīd

Artinya: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam,”

“Mari para pemirsa kita bermohon kepada Allah SWT semoga pandangan batin kita semakin dipertajam, terutama di bulan suci Ramadan ini,” pungkasnya.

Selengkapnya detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Alam Ghaib dapat disaksikan DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Rasulullah Beri Kunci agar Hidup Diliputi Pertolongan Allah



Jakarta

Setiap manusia akan diuji sesuai batas kemampuannya sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 286. Jika hidup terasa berat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar mendapat pertolongan Allah SWT.

Ibnu Rajab dalam kitab Jamiul Ulum Hikam fi Syarhi Haditsi Sayyidil Arab wal Ajm yang diterjemahkan Fadhli Bahri memaparkan hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan hal ini. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA, Nabi SAW bersabda,

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتِ : احْفَظِ اللَّهُ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهُ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ الله، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَحَفْتِ الصُّحُفُ.


Artinya: “Hai anak muda, aku ajarkan beberapa kalimat kepadamu: jagalah Allah niscaya Allah menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau dapatkan Allah di depanmu, jika engkau minta mintalah kepada Allah, jika engkau minta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah, ketahuilah jika seluruh umat sepakat untuk memberimu manfaat dengan sesuatu maka mereka tidak dapat memberimu manfaat dengan sesuatu tersebut kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu, jika mereka sepakat untuk memberimu madzarat dengan sesuatu maka mereka tidak dapat memberimu madzarat dengan sesuatu kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu, pena-pena telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR At-Tirmidzi dan ia mengatakannya hasan shahih)

At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits serupa dari Hanasy ash-Shan’ani dari Ibnu Abbas dengan redaksi,

احْفَظِ اللَّهُ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّحَاءِ يَعْرِفُكَ فِي الشَّدَّةِ، وَاعْلَمْ أَنْ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِكَ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

Artinya: “Jagalah Allah niscaya engkau mendapatkan-Nya di depanmu, kenali Allah pada saat makmur niscaya Allah kenal denganmu pada saat sulit, ketahuilah apa yang tidak engkau dapatkan tidak akan engkau dapatkan, dan apa yang mesti engkau dapatkan tidak akan terlepas darimu, ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama musibah dan bersama kesulitan ada kemudahan.”

Ibnu Rajab juga memaparkan hadits lain dengan redaksi yang lebih lengkap dari banyak jalur. Adapun, jalur yang paling shahih kata Ibnu Rajab adalah jalur Hanasy ash-Shan’ani yang diriwayatkan At-Tirmidzi.

Penjelasan Hadits

Hadits-hadits di atas, kata Ibnu Rajab, mengandung wasiat-wasiat luhur dan perkara penting hingga sebagian ulama yang merenungkannya terkagum-kagum.

Ibnu Rajab menjelaskan, maksud sabda Nabi SAW “Jagalah Allah niscaya Allah menjagamu” adalah jagalah hukum-hukum Allah SWT, hak-hak-Nya, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya. Orang yang berbuat seperti ini termasuk orang-orang yang menjaga hukum-hukum Allah SWT yang dipuji melalui firman-Nya,

هٰذَا مَا تُوْعَدُوْنَ لِكُلِّ اَوَّابٍ حَفِيْظٍۚ ٣٢ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِ وَجَاۤءَ بِقَلْبٍ مُّنِيْبٍۙ ٣٣

Artinya: “(Dikatakan kepada mereka,) “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang bertobat lagi patuh. (Dialah) orang yang takut kepada Zat Yang Maha Pengasih (sekalipun) dia tidak melihat-Nya dan dia datang (menghadap Allah) dengan hati yang bertobat.” (QS Qaf: 32-33)

Di antara perintah Allah SWT yang wajib dijaga adalah salat dan thaharah (bersuci). Selain itu, Allah SWT juga memerintahkan hamba-Nya menjaga kepala dan perut sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,

“Malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya ialah engkau menjaga kepala beserta apa yang dimuatnya dan menjaga perut beserta apa yang dikandungnya.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi)

Namun, hadits tersebut dinilai dhaif.

Adapun, maksud penjagaan Allah SWT terhadap hamba-Nya adalah menjaga kemaslahatan dunianya, seperti menjaga badan, anak, keluarga, dan hartanya. Orang yang menjaga Allah SWT di masa muda dan kuat, maka Allah SWT akan menjaganya saat tua dan lemah.

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com