Tag Archives: Rasulullah SAW

Tata Cara dan Niat Sholat Hajat Lengkap dengan Doanya


Jakarta

Tata cara dan niat sholat hajat perlu dipahami muslim sebelum mengerjakannya. Sebagaimana diketahui, sholat hajat adalah amalan agar Allah SWT mengabulkan hajat seseorang.

Menukil dari kitab Al Wajiz fi Fiqh As-Sunnah Sayyid Sabiq susunan Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al Faifi terjemahan Tirmidzi, dalil terkait sholat hajat bersandar pada riwayat dari Abu Darda RA.

“Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakannya, kemudian dia sholat dua rakaat dan disempurnakannya, maka Allah akan memberikan kepadanya apa yang dia inginkan, baik segera atau ditunda.” (HR Ahmad)


Selain itu, para ulama menguatkan dalil tentang sholat hajat sesuai dengan firman Allah SWT pada surah Al Baqarah ayat 45.

وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ

Artinya: “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”

Tata Cara Mengerjakan Sholat Hajat

Menurut buku Kitab Lengkap Panduan Shalat yang ditulis M Khalilurrahman Al Mahfani dan Abdurrahim Hamdi, cara pengerjaan sholat hajat mengacu pada hadits dari At Tirmidzi. Sholat sunnah ini dapat dilaksanakan dua hingga dua belas rakaat dengan salam setiap dua rakaat.

Berikut tata cara mengerjakannya,

  1. Berniat sholat hajat dua rakaat
  2. Takbiratul ihram
  3. Membaca doa iftitah
  4. Membaca surah Al Fatihah dan surah pendek, dianjurkan surah Al Kafirun dan surah Al Ikhlas satu kali
  5. Rukuk
  6. I’tidal dan tuma’ninah
  7. Lakukan sujud sambil membaca tasbih tiga kali
  8. Duduk di antara dua sujud
  9. Sujud kedua kalinya dengan bacaan yang sama
  10. Bangun dari sujud dan lakukan rakaat kedua seperti cara di atas
  11. Salam untuk mengakhiri sholat
  12. Membaca doa setelah sholat hajat

Niat Sholat Hajat: Arab, Latin dan Artinya

Berikut bacaan niat sholat hajat yang dikutip dari buku Shalat Tahajud dan Shalat Hajat oleh Mahmud asy-Syafrowi.

اُصَلِّى سُنَّةَ الْحَاجَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلهِ تَعَالَى

Ushollii sunnatal haajati rok’aataini lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat sholat hajat sunnah hajat dua raka’at karena Allah Ta’ala.”

Doa setelah Sholat Hajat yang Dapat Diamalkan

Usai mengerjakan sholat hajat, ada bacaan yang bisa diamalkan muslim. Menukil dari buku Panduan Sholat Wajib & Sunnah Sepanjang Masa Rasulullah SAW yang ditulis ustaz Arif Rahman, muslim bisa membaca zikir dan istighfar terlebih dahulu sampai 100 kali.

Berikut bacaannya,

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ وَأَتُوبُ إِلَيْه

Astaghfirullahal ‘azhim rabbi min kulli dzanbin wa atubu ilaih

Artinya: “Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung dari setiap dosa dan aku bertobat kepada-Nya.”

Setelah itu, lanjutkan dengan membaca sholawat kepada Rasulullah SAW minimal 100 kali. Lafaznya sebagai berikut,

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاةَ الرِّضا وَارْضَ عَنْ اَصْحَابِه رِضَاءَ الرِّضا

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin shalatar-ridha wardha’an ashhabihir riddhar-ridha

Artinya: “Wahai Tuhanku, limpahkan kesejahteraan kepada junjungan kami, Nabi Muhammad SAW, kesejahteraan yang diridai, dan ridailah sahabat-sahabat beliau semuanya.”

Lalu, baca doa sebagaimana diriwayatkan Tirmidzi dan Ibnu Abu Aufa. Berikut bunyinya,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الحَلِيْمُ الكَرِيْمُ ، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيْم ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ ، أَسْأَلُكَ مُوْجِبَاتِ رَحْمَتِكَ ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ ، وَالغَنِيْمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

Laa ilaaha illallaahul haliimul kariim. Subhaanallahi rabbil ‘arsyil ‘azhiim. Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. As aluka muujibaati rahmatika wa ‘aazaaima maghfiratika wal ghaniimata min kulli birri wassalaamata min kulli itsmin laa tada’ lii dzamban illa ghafartah walaa hamman illaa farajtah walaa haajatan hiya laka ridhan illa qadhaitah yaa arhamar raahimiin.

Artinya: “Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Lembut dan Maha Penyantun. Maha Suci Allah, Tuhan pemelihara Arsy yang Maha Agung. Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Kepada-Mu-lah aku memohon sesuatu yang mewajibkan rahmat-Mu, dan sesuatu yang mendatangkan ampunan-Mu dan memperoleh keuntungan pada tiap-tiap dosa. Janganlah Engkau biarkan dosa daripada diriku, melainkan Engkau ampuni dan tidak ada sesuatu kepentingan, melainkan Engkau beri jalan keluar, dan tidak pula sesuatu hajat yang mendapat kerelaan-Mu, melainkan Engkau kabulkan. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.”

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Sunnah-sunnah Hari Jumat yang Bisa Diamalkan Muslim


Jakarta

Hari Jumat disebut memiliki banyak keutamaan dalam Islam. Bahkan, Jumat dikatakan sebagai penghulu segala hari atau Sayyidul Ayyam.

Menukil dari buku Rahasia & Keutamaan Hari Jumat oleh Komarudin Ibnu Mikam, Jumat adalah hari raya bagi muslim. Jumat juga menjadi rajanya hari di sisi Allah SWT.

Dari Sa’ad bin Ubadah RA berkata,


“Rajanya hari di sisi Allah adalah hari Jumat. Ia lebih agung dari pada hari raya kurban dan hari raya Fitri. Di dalam Jumat ada lima keutamaan. Pada hari Jumat Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkan dari surga ke bumi. Pada hari Jumat Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari Jumat pula Nabi Adam wafat. Di dalam hari Jumat terdapat waktu yang tiada seorang hamba meminta sesuatu di dalamnya kecuali Allah mengabulkan permintaannya, selama tidak meminta dosa atau memutus tali silaturahmi. Hari Kiamat juga terjadi di hari Jumat. Tiada malaikat yang didekatkan di sisi Allah, langit dan bumi, angin, gunung dan batu, kecuali ia khawatir terjadinya kiamat saat hari Jumat.” (HR Imam Syafi’i dan Ahmad)

Jumat juga menjadi hari disyariatkannya pria muslim untuk mengerjakan salat Jumat. Hal ini tertuang dalam surah Al Jumu’ah ayat 9,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Berkaitan dengan itu, ada sejumlah sunnah Rasulullah SAW yang bisa diamalkan muslim pada hari Jumat. Apa saja itu? Berikut bahasannya yang dikutip dari buku Panduan Amalan Hari Jumat susunan Mahmud Ahmad Mustafa.

Sunnah Rasulullah SAW pada Hari Jumat

1. Mengamalkan Surah Al Kahfi

Sunnah yang dapat dikerjakan pada hari Jumat adalah mengamalkan surah Al Kahfi. Terdapat keutamaan dibaliknya sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dari Abu Sa’id Al Khudri RA,

“Barang siapa yang membaca surah Al Kahfi pada hari Jumat, maka akan ada cahaya yang meneranginya di antara dua Jumat.” (HR Al Hakim dan Baihaqi)

2. Perbanyak Amal Kebaikan

Mengerjakan amal kebaikan pada hari Jumat akan dilipatgandakan pahalanya. Oleh karenanya, muslim dianjurkan untuk perbanyak mengerjakannya.

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Amal-amal kebaikan itu akan berlipat ganda (pahalanya) pada hari Jumat.” (HR At Thabrani)

3. Membaca Surah Ad Dukhan

Selain surah Al Kahfi, muslim juga bisa membaca surah Ad Dukhan. Dengan mengamalkannya, niscaya akan diampuni dosanya.

Rasulullah SAW bersabda,

“Barangsiapa membaca Há mim Ad-Dukhan (surah Ad Dukhan) pada malam Jumat, maka ia terampuni.” (HR Tirmidzi)

4. Menghadiri Majelis Taklim

Diterangkan dalam Ihya Ulumuddin oleh Imam Al Ghazali terjemahan Purwanto, salah satu sunnah lainnya pada hari Jumat adalah menghadiri majelis taklim atau ilmu agama. Hendaknya, majelis dihadiri pada pagi sebelum atau sesudah salat Jumat.

5. Sedekah

Pada hari Jumat, muslim juga dianjurkan bersedekah. Ini disebabkan pahala kebaikan pada Jumat berlipatganda, sehingga sayang jika tidak dimanfaatkan dengan cara bersedekah.

6. Ziarah Kubur ke Makam Orang Tua

Ziarah kubur dapat dilakukan kapan saja. Namun, dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah RA disebutkan bahwa mengunjungi makam orang tua pada Jumat akan diampuni dosanya. Nabi SAW bersabda,

“Siapa yang ziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada setiap hari Jumat, Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan ia dicatat sebagai orang yang berbakti kepada orang tuanya.” (HR Hakim, At Tirmidzi, dan At Thabrani)

7. Mengamalkan Sayyidul Istighfar

Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa pada hari Jumat masuk ke dalam masjid, lalu dia salat empat rakaat (salat sunnah), dan pada setiap rakaatnya ia membaca Al-Fatihah dan Qul huwallahu ahad (surah Al- Ikhlas) lima puluh kali hingga menjadi dua ratus kali dalam empat rakaat, maka ketika datangnya ajal dia akan melihat tempatnya di dalam surga atau (tempat itu) akan diperlihatkan kepadanya.” (HR Daraqutni Al-Khattab)

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Niat, Tata Cara dan Waktunya


Jakarta

Sholat Rebo Wekasan merupakan amalan yang dianjurkan pada Rabu terakhir bulan Safar. Amalan ini dilakukan untuk mohon perlindungan Allah SWT.

Anjuran sholat Rebo Wekasan disebutkan dalam kitab Kanz Al-Najah Wa Al-Surur karya Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki. Dalam kitab tersebut dikatakan Allah SWT menurunkan 320 ribu bala bencana pada Rabu terakhir bulan Safar. Oleh karena itu, dianjurkan salat empat rakaat.


Menurut penelitian Rebo Wekasan Menurut Perspektif KH. Abdul Hamid Dalam Kanz Al-Najah Wa Al-Surur karya Umma Farida yang terbit dalam Jurnal THEOLOGIA Vol 30 No 2 (2019), sholat empat rakaat yang dimaksud adalah sholat sunnah mutlak. Amalan ini kemudian dikenal dengan sholat Rebo Wekasan.

Niat Sholat Rebo Wekasan

Niat sholat Rebo Wekasan dilakukan dengan niat sholat mutlak. Berikut bacaannya:

أُصَلِّيْ سُنَّةً رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushallî sunnatan rak’ataini lillâhi ta’âla

Artinya: “Saya niat sholat sunnah dua rakaat karena Allah ta’ala.”

Tata Cara Sholat Rebo Wekasan

Tata cara sholat Rebo Wekasan menurut keterangan Syekh Abdul Hamid dalam kitabnya dilakukan sebanyak empat rakaat. Berikut rinciannya:

  • Dilakukan empat rakaat dengan dua kali salam
  • Awali dengan niat sholat sunnah mutlak dua rakaat
  • Setelah baca surah Al Fatihah, baca surah Al Kautsar 17 kali, Al Ikhlas 5 kali, Al Falaq 1 kali dan An Nas 1 kali setiap rakaat
  • Lanjutkan sholat seperti pada umumnya
  • Salam
  • Tutup dengan doa

Waktu Pelaksanaan Sholat Rebo Wekasan

Mengacu pada Kalender Hijriah Indonesia 2025 terbitan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Rabu terakhir bulan Safar 1447 H atau Rebo Wekasan 2025 jatuh pada Rabu, 20 Agustus 2025.

Sebagian ulama mengerjakan sholat Rebo Wekasan pada malam Rabu, sebagian lainnya pada Rabu pagi.

Hukum Sholat Rebo Wekasan

Dalil sholat Rebo Wekasan secara khusus tidak terdapat dalam hadits-hadits shahih. Pelaksanaannya juga menjadi perdebatan pandangan di kalangan ulama.

Ulama yang menganjurkan sholat Rebo Wekasan, Syekh Abdul Hamid, menegaskan pelaksanaannya dilakukan dengan niat sholat sunnah mutlak.

Syekh Abdul Hamid dalam kitabnya mengatakan, “Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah sholat Safar (Rebo Wekasan), maka barang siapa menghendaki sholat di waktu-waktu terlarang tersebut, maka hendaknya diniati sholat sunnah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Sholat sunah mutlak adalah sholat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya.”

Kebolehan pelaksanaan sholat Rebo Wekasan dengan niat sholat sunnah mutlak juga karena mengacu pada sebuah hadits yang menepis adanya kepercayaan datangnya malapetaka bulan Safar. Berikut bunyi haditsnya,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pandangan lain, meski dilakukan dengan niat sholat sunnah mutlak, KH Hasyim Asy’ari menghukuminya haram. Menurutnya anjuran sholat sunnah mutlak yang ditetapkan dalam hadits shahih tak berlaku untuk sholat Rebo Wekasan karena anjuran tersebut hanya berlaku untuk sholat-sholat yang disyariatkan.

Pendapat KH Hasyim Asy’ari tersebut diterangkan dalam himpunan fatwanya sebagaimana dikutip dari kumpulan Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur, dilansir NU Online.

Pelaksanaan sholat Rebo Wekasan konon memang menjadi amalan para sufi, tapi tidak ada dasar atau nash yang bisa dijadikan hujjah untuk pelaksanaannya.

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Tanggal, Sejarah, Doa dan Amalan


Jakarta

Safar 1447 H sudah memasuki seminggu terakhirnya. Salah satu hari penting pada penghujung bulan ini terletak pada Rabu terakhir atau sering disebut Rabu Wekasan.

Rabu Wekasan atau Rebo Wekasan 2025 oleh sebagian orang diyakini sebagai hari turunnya bala bencana. Karena itu, muncul tradisi tolak bala pada hari tersebut.


Rabu Wekasan 2025 Jatuh pada 20 Agustus

Berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia 2025 terbitan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, hari terakhir bulan Safar 1447 H atau Rabu Wekasan 2025 jatuh pada 20 Agustus 2025. Safar akan berakhir pada Minggu, 24 Agustus 2025 dan umat Islam akan masuk Rabiul Awal atau Mulud.

Berikut kalender Safar 1447 H selengkapnya.

  • 1 Safar: 26 Juli 2025
  • 2 Safar: 27 Juli 2025
  • 3 Safar: 28 Juli 2025
  • 4 Safar: 29 Juli 2025
  • 5 Safar: 30 Juli 2025
  • 6 Safar: 31 Juli 2025
  • 7 Safar: 1 Agustus 2025
  • 8 Safar: 2 Agustus 2025
  • 9 Safar: 3 Agustus 2025
  • 10 Safar: 4 Agustus 2025
  • 11 Safar: 5 Agustus 2025
  • 12 Safar: 6 Agustus 2025
  • 13 Safar: 7 Agustus 2025
  • 14 Safar: 8 Agustus 2025
  • 15 Safar: 9 Agustus 2025
  • 16 Safar: 10 Agustus 2025
  • 17 Safar: 11 Agustus 2025
  • 18 Safar: 12 Agustus 2025
  • 19 Safar: 13 Agustus 2025
  • 20 Safar: 14 Agustus 2025
  • 21 Safar: 15 Agustus 2025
  • 22 Safar: 16 Agustus 2025
  • 23 Safar: 17 Agustus 2025
  • 24 Safar: 18 Agustus 2025
  • 25 Safar: 19 Agustus 2025
  • 26 Safar: 20 Agustus 2025 (Rabu Wekasan)
  • 27 Safar: 21 Agustus 2025
  • 28 Safar: 22 Agustus 2025
  • 29 Safar: 23 Agustus 2025
  • 30 Safar: 24 Agustus 2025

Sejarah Rabu Wekasan

Dalam Kanzun Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shufur, kitab acuan Tajwid Madura, karya Abdul Hamid terdapat keterangan dari seorang sufi bahwa Allah SWT menurunkan 320.000 bala bencana pada Rabu Wekasan. Ulama yang meyakini turunnya bala pada pada Rabu Wekasan menganjurkan mengerjakan sejumlah amalan sebagai upaya mencegah bala itu.

Menurut catatan detikHikmah, anjuran ini disebutkan dalam Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (biasa disebut: Mujarrobat al-Dairobi), kitab Al-Jawahir Al-Khams karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar, Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.

Amalan Rabu Wekasan 2025

Salah satu amalan yang dikerjakan pada Rabu Wekasan adalah salat empat rakaat. Menurut Gus Arifin dalam buku Jejak Cahaya di Atas Sajadah: Khazanah Salat-Salat Sunah Lengkap, ajaran salat Rabu Wekasan tertulis dalam Kanzun Najah karya Syekh Hamid dan Risalah Bahjatul Mardiyyah fil Fawaidil Ukhrhiyah karangan Syekh Muhammad Dawud Al-Fathani.

Berikut tata caranya:

“Setiap hari Rabu akhir bulan Safar turun 320.000 bala (penyakit), barang siapa yang salat empat rakaat pada hari itu, lalu setiap rakaat setelah membaca Al Fatihah ia membaca innaa a’thainaa kal kautsar (Al Kautsar) 17 kali, qulhuwallahu ahad (Al Ikhlas) 5 kali, dan mu’awwidzatain (Al Falaq dan An Nas) masing-masing satu kali, kemudian setelah salam, berdoa kemudan wafaq-nya (kertas yang ada tulisan huruf-huruf Arab tertentu) digunting lanas dibenamkan ke dalam air dan airnya diminum, insyaallah akan selamat dari semua penyakit.”

Doa Rabu Wekasan 2025

Selain salat, umat Islam bisa memanjatkan doa tolak bala pada Rabu Wekasan. Menukil NU Online, berikut bacaan doanya.

اللَّهُمَّ افْتَحْ لَنَا أَبْوَابَ الخَيْرِ وَأَبْوَابَ البَرَكَةِ وَأَبْوَابَ النِّعْمَةِ وَأَبْوَابَ الرِّزْقِ وَأَبْوَابَ القُوَّةِ وَأَبْوَابَ الصِّحَّةِ وَأَبْوَابَ السَّلَامَةِ وَأَبْوَابَ العَافِيَةِ وَأَبْوَابَ الجَنَّةِ اللَّهُمَّ عَافِنَا مِنْ كُلِّ بَلَاءِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ وَاصْرِفْ عَنَّا بِحَقِّ القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَبِيِّكَ الكَرِيْمِ شَرَّ الدُّنْيَا وَعَذَابَ الآخِرَةِ،غَفَرَ اللهُ لَنَا وَلَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى المُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ

Allȃhummaftah lanȃ abwȃbal khair, wa abwȃbal barakah, wa abwȃban ni’mah, wa abwȃbar rizqi, wa abwȃbal quwwah, wa abwȃbas shihhah, wa abwȃbas salȃmah, wa abwȃbal ‘ȃfiyah, wa abwȃbal jannah. Allȃhumma ‘ȃfinȃ min kulli balȃ’id dunyȃ wa ‘adzȃbil ȃkhirah, washrif ‘annȃ bi haqqil Qur’ȃnil ‘azhȋm wa nabiyyikal karȋm syarrad dunyȃ wa ‘adzȃbal ȃkhirah. Ghafarallȃhu lanȃ wa lahum bi rahmatika yȃ arhamar rȃhimȋn. Subhȃna rabbika rabbil ‘izzati ‘an mȃ yashifūn, wa salȃmun ‘alal mursalȋn, walhamdulillȃhi rabbil ‘ȃlamȋn.

Artinya: “Ya Allah, bukalah bagi kami pintu kebaikan, pintu keberkahan, pintu kenikmatan, pintu rezeki, pintu kekuatan, pintu kesehatan, pintu keselamatan, pintu afiyah, dan pintu surga. Ya Allah, jauhkan kami dari semua ujian dunia dan siksa akhirat. Palingkan kami dari keburukan dunia dan siksa akhirat dengan hak Al-Qur’an yang agung dan derajat nabi-Mu yang pemurah. Semoga Allah mengampuni kami dan mereka. Wahai Zat yang maha pengasih. Maha suci Tuhanmu, Tuhan keagungan, dari segala yang mereka sifatkan. Semoga salam tercurah kepada para rasul. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam.”

Menurut penjelasan dalam 1001 Hal yang Paling Sering Ditanyakan tentang Islam karya Abu Muslim, kepercayaan bahwa Allah SWT menurunkan bala bencana pada Rabu terakhir bulan Safar adalah tidak benar. Tidak ada nash baik dalam Al-Qur’an dan hadits yang menyatakan hal ini.

Anggapan turunnya bala atau kesialan pada bulan Safar dibantah dengan hadits. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada penyakit menular, tidak ada thiyarah (merasa sial dengan sebab adanya burung tertentu atau hewan-hewan tertentu), tidak hamah (merasa sial dengan adanya burung gagak), dan tidak ada pula merasa sial pada bulan Safar.” (HR Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Dalil Sholat Dhuha, Jelaskan Keutamaan Ibadah di Pagi Hari


Jakarta

Sholat Dhuha memiliki banyak keutamaan. Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan sholat Dhuha melalui beberapa hadits shahih.

Dianjurkannya sholat Dhuha telah dijelaskan dalam beberapa sabda Rasulullah SAW. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: أَوْصَانِى خَلِيلِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ. (رواه مسلم)


“Kawan karibku (Rasulullah) SAW mewasiatiku tiga hal: Puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat, dan shalat witir sebelum tidur” (HR. Muslim).

Kemudian dari Abu Darda disebutkan,

عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ: أَوْصَانِى حَبِيبِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَبِأَنْ لاَ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ. (رواه مسلم

“Kekasihku (Rasulullah) SAW mewasiatiku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selama aku masih hidup: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha, dan aku tidak tidur sehingga shalat witir dahulu” (HR. Muslim).

Pengertian Sholat Dhuha

Dalam buku Sholat Dhuha Dulu, Yuk karya Imron Mustofa, sholat dhuha adalah sholat sunnah yang dikerjakan pada waktu dhuha, yaitu setelah terbitnya matahari setinggi tombak (sekitar 15 menit setelah matahari terbit) hingga menjelang waktu zuhur. Waktu terbaik melaksanakannya adalah saat matahari sudah mulai naik, kira-kira pukul 09.00 hingga 11.00 pagi.

Sholat dhuha sering disebut juga sebagai sholat “awwabin”, yaitu sholat bagi orang-orang yang banyak kembali (bertaubat) kepada Allah.

Dalil Keutamaan Sholat Dhuha

Dirangkum dari buku Berkah Shalat Dhuha oleh M. Khalilurrahman Al-Mahfani, disebutkan beberapa dalil dari Rasulullah SAW yang khusus menjelaskan keutamaan sholat Dhuha.

1. Ibadah Setara Sedekah

Dari Abu Dzar, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

يُصْبِحُ علَى كُلِّ سُلَامَى مِن أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بالمَعروفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِن ذلكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُما مِنَ الضُّحَى

Artinya: “Setiap ruas dari anggota tubuh di antara kalian pada pagi hari, harus dikeluarkan sedekahnya. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan semua itu dapat disepadankan dengan mengerjakan sholat dhuha dua rakaat.” (HR Muslim)

2. Amalan Sunah Cadangan pada Hari Hisab

Abu Hurairah meriwayatkan hadits, bahwa Nabi SAW bersabda:

إنَّ أوَّلَ ما يُحاسَبُ به العَبْدُ يَوْمَ القِيامةِ مِن عَمَلِه صَلاتُه، فإن صلَحَتْ فقدْ أَفلَحَ وأَنجَحَ، وإن فَسَدَتْ فقدْ خابَ وخَسِرَ، فإن انْتَقَصَ مِن فَريضتِه شيءٌ قالَ الرَّبُّ تَعالى: انْظُروا هلْ لعَبْدي مِن تَطَوُّعٍ، فُيُكَمَّلُ بها ما انْتَقَصَ مِن الفَريضةِ، ثُمَّ يكونُ سائِرُ عَمَلِه على ذلك

Artinya: “Sesungguhnya yang pertama kali dihisab pada diri hamba pada hari kiamat dari amalannya adalah sholatnya. Apabila benar (sholatnya) maka ia telah lulus dan beruntung, dan apabila rusak (sholatnya) maka ia akan kecewa dan rugi. Jika terdapat kekurangan pada sholat wajibnya, maka Allah berfirman, ‘Perhatikanlah, jikalau hamba-Ku mempunyai sholat sunnah maka sempurnakanlah dengan sholat sunnahnya sekadar apa yang menjadi kekurangan pada sholat wajibnya. Jika selesai urusan sholat, barulah amalan lainnya.” (HR An-Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

3. Dicukupi Kebutuhan Hidupnya

Dari Abu Darda, ia berkata bahwa Rasulullah SAW menjelaskan hadits Qudsi, Allah SWT berfirman:

يا ابنَ آدمَ اركعْ لي من أولِ النهارِ أربعَ ركَعاتٍ أكْفِكَ آخِرَه

Artinya: “Wahai anak Adam, rukuklah (sholatlah) karena Aku pada awal siang (sholat dhuha) empat rakaat, maka Aku akan mencukupi (kebutuhan)mu sampai sore hari.” (HR Tirmidzi)

4. Diampuni Dosanya Meski Sebanyak Buih di Lautan

مَنْ حَافَظَ عَلَى شُفْعَةٍ الضُّحَى غُفِرَلَهُ ذُنُوْبَهُ وَ اِنْ كَانَتْ مِثْلُ زَبَدِ الْبَخْرِ

Artinya: “Barang siapa yang menjaga sholat dhuha, maka dosa dosanya akan diampuni walau sebanyak buih di lautan.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

5. Dibangunkan Istana di Surga

Hadits keutamaan sholat dhuha lainnya berasal dari Anas bin Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَن صلَّى الضّحى ثِنْتَيْ عشرة ركعة بَنى الله له قَصرا من ذَهب في الجنَّة

Artinya: “Barang siapa sholat dhuha dua belas rakaat, maka Allah akan membangun baginya istana dari emas di surga.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

Pajak dan Zakat Sudah Ada Sejak Zaman Rasulullah, Seperti Ini Praktiknya


Jakarta

Pajak merupakan salah satu instrumen penting dalam pengelolaan keuangan negara modern. Namun dalam perspektif Islam, pengaturan keuangan umat sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW, meski tidak disebut sebagai “pajak” dalam istilah modern.

Pada masa Rasulullah SAW, sistem pengelolaan harta lebih difokuskan pada kewajiban keagamaan dan kontribusi sosial umat Islam. Rasulullah SAW menata mekanisme pemasukan dan pengeluaran harta negara secara jelas melalui baitul mal, dengan landasan Al-Qur’an dan sunnah.

Dikutip dari buku Pajak dan Syariat Islam: Tinjauan Historis dan Sosiokultural karya Mochammad Arif Budiman, pemasukan pemerintah Islam berasal dari zakat, kharaj, fay, ghaniman, khumus, wakaf, jizyah, usyur dan dharibah/nawa’ib. Jenis-jenis pemasukan ini ada yang berlaku khusus untuk muslim atau nonmuslim saja dan ada pula yang berlaku untuk semua penduduk tanpa membedakan agama yang dianut.


Pendapatan Negara di Masa Rasulullah SAW

Abu Ubaid dalam Kitab Al Amwal, Abu Yusuf dalam Kitab Al Kharaj, Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’atul Fatawa dan Imam Al Mawardi dalam Kitab Al Ahkam Al Shulthaniyah menjelaskan pendapatan Negara (Mawarid Ad-Daulah) pada zaman pemerintahan Rasulullah SAW (610-632M) dan Khulafaurrasyidin (632-650M) diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Ghanimah, Fa’i, dan Shadaqah atau Zakat. Fa’i dibagi lagi atas 3 macam yaitu Kharaj, ‘Usyr dan, Jizyah.

1. Ghanimah

Dilansir dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak, Minggu (17/8/2025) pada masa pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah (622-632 M/1-10 H), terdapat sistem keuangan negara yang teratur dan bersumber dari beberapa pos pendapatan. Sumber utama pendapatan negara pada saat itu adalah ghanimah, yaitu harta rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir melalui peperangan.

Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 1 dan 41 bahwa harta ghanimah harus dibagi dengan ketentuan 4/5 menjadi hak pasukan yang ikut berperang, sedangkan 1/5 sisanya dibagikan untuk Allah SWT, Rasulullah SAW, kerabat beliau, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Dari harta inilah kebutuhan negara ditopang, termasuk gaji tentara, biaya perang, peralatan, hingga biaya hidup Nabi SAW dan keluarganya.

Hal ini juga merupakan keistimewaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anfal ayat 69,

فَكُلُوا۟ مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَٰلًا طَيِّبًا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2. Fa’i

Selain ghanimah, sumber kedua adalah fa’i, yakni harta rampasan yang diperoleh tanpa adanya peperangan. Harta ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 6, dibagikan untuk Allah, Rasulullah SAW, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Karena fa’i diperoleh tanpa pertempuran, tentara tidak memiliki hak atasnya. Salah satu contoh fa’i pertama adalah harta yang diperoleh dari Bani Nadhir, sebuah suku Yahudi di Madinah yang melanggar perjanjian.

3. Kharaj

Pendapatan ketiga berasal dari kharaj, yaitu sewa tanah yang dikenakan kepada non-muslim setelah penaklukan wilayah, seperti pada peristiwa penaklukan Khaibar tahun ke-7 H. Awalnya tanah-tanah yang ditaklukkan menjadi milik negara, namun pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, kebijakan ini berubah. Umar berijtihad agar tanah tetap dimiliki oleh penduduk non-muslim, namun mereka diwajibkan membayar sewa (kharaj) atas tanah yang mereka kelola.

4. Ushr

Sumber berikutnya adalah ‘ushr, yaitu semacam bea masuk atas barang dagangan yang melewati perbatasan negara. Bea ini hanya dipungut sekali dalam setahun untuk barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tarifnya berbeda antara muslim dan non-muslim: Muslim membayar sebesar 2,5%, sedangkan non-muslim sebesar 5%. Menariknya, bagi kaum muslim, pembayaran ini dihitung sebagai zakat.

5. Jizyah

Pendapatan kelima adalah jizyah, yaitu pajak kepala yang dibebankan kepada non-muslim, khususnya ahli kitab. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan jaminan perlindungan jiwa, harta, tempat ibadah, serta dibebaskan dari kewajiban militer.

6. Zakat

Adapun sumber keenam adalah zakat, yakni kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab tertentu. Zakat ini diatur langsung oleh Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 103.

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Pada masa Rasulullah SAW, zakat mulai diberlakukan pada tahun ke-2 H, dan pelaksanaannya secara penuh baru diwujudkan pada tahun ke-9 H.

Selain sumber utama tersebut, terdapat pula pendapatan sekunder yang sifatnya tidak tetap, seperti harta ghulul (hasil korupsi yang dikembalikan), kaffarat (denda tebus kesalahan), luqathah (barang temuan), waqaf, uang tebusan tawanan, rikaz (harta karun), pinjaman, hadiah, maupun amwal fadhla (kelebihan harta). Seluruh sumber ini menjadikan negara pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah setelah beliau, seperti Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, hingga Harun Al-Rasyid, mengalami surplus dan kejayaan ekonomi.

Dari keseluruhan sumber tersebut, terlihat jelas bahwa pendapatan negara pada masa Islam awal berasal dari dua pihak: dari kaum kafir melalui ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, dan ‘ushr; serta dari kaum muslimin melalui zakat. Namun seiring dengan meluasnya wilayah Islam, banyak kaum kafir yang akhirnya masuk Islam. Hal ini berdampak pada berkurangnya sumber pendapatan dari pihak non-muslim, sementara kebutuhan negara tetap harus ditanggung.

Situasi ini kemudian mendorong para ulama melakukan ijtihad untuk merumuskan sumber pendapatan baru. Salah satu hasil ijtihad tersebut adalah ditetapkannya pajak (dharibah) sebagai sumber keuangan negara pada masa kini, guna menggantikan sebagian pos pendapatan yang tidak lagi relevan sebagaimana praktik pada masa Rasulullah SAW.

Pajak dalam Pandangan Islam

Dikutip dari buku Sistem Perpajakan dalam Perekonomian Islam: Kontribusi Abu Yusuf karya Dr. Nasaiy Aziz, MA dan Nurhasibah, pajak sudah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, zaman khulafaur Rasyidin dan zaman-zaman sesudahnya. Kemudian antar periode tersebut terdapat perbedaan yang substansial, sehingga sumber pajak juga berbeda dan berubah-ubah antar periode dalam penetapannya.

Pajak mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (muamalah), oleh sebab itu ia merupakan bagian dari syariat. Tanpa adanya rambu-rambu syariat dalam perpajakan, maka pajak dapat menjadi alat penindas oleh penguasa pada rakyat (kaum muslim).

Gusfahmi dalam buku Pajak Menurut Syariah, ketika pajak tidak memiliki batasan syariat, pemerintah akan menetapkan dan memungut pajak sesuka hati dan menggunakannya menurut apa yang diinginkannya (pajak dianggap sebagai upeti hak milik penuh sang raja).

Abdurrahman Al-Maliki dalam As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla berpendapat bahwa kewajiban negara adalah menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana, seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karena itu, jika kas negara kosong atau tidak mencukupi, maka pajak menjadi sesuatu yang wajib dipungut. Akan tetapi, menurut Al-Maliki, hukum Islam mengharamkan negara mengambil harta rakyat dengan cara paksa. Jika pemungutan dilakukan secara sewenang-wenang dan merampas hak rakyat, maka hal tersebut haram hukumnya karena sama dengan tindakan perampasan.

Al-Marghinani dalam kitab al-Hidayah juga menegaskan bahwa apabila sumber pendapatan negara tidak cukup, maka negara berhak menghimpun dana dari rakyat untuk kepentingan umum. Selama manfaat dari dana tersebut kembali kepada rakyat, maka masyarakat berkewajiban menanggung biayanya.

Dilansir dari laman Jakarta Islamic Center, Minggu (17/8/2025), penerapan pajak sebagai sumber pendapatan negara di luar zakat sejatinya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, kemudian diteruskan pada era Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, hingga kekhalifahan Islam setelahnya. Pajak dalam tradisi Islam memiliki berbagai istilah, seperti jizyah, ‘usyr, kharaj, dan dharibah.

Sebagaimana negara modern saat ini, penerimaan negara dari pajak pada masa Islam klasik juga dialokasikan untuk membiayai berbagai kebutuhan pemerintahan. Dana tersebut digunakan dalam berbagai sektor kehidupan, seperti pembangunan, keamanan, pendidikan, serta pemeliharaan fasilitas umum.

Misalnya, pada masa Dinasti Abbasiyah, sejumlah khalifah mengalokasikan anggaran khusus dari pajak untuk memperluas tanah negara yang kemudian menjadi salah satu sumber penting keuangan pemerintahan. Strategi ini terbukti memberikan dampak positif, sehingga pada masa Khalifah al-Mansur dan Harun ar-Rasyid, negara memiliki keuangan yang lebih dari cukup untuk menopang kebutuhan rakyat.

Kewajiban membayar pajak dalam Islam tidak hanya dibebankan kepada umat Islam, melainkan juga kepada non-muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam. Kelompok non-muslim diwajibkan membayar jizyah sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan mereka di negara Islam sekaligus sebagai imbalan atas perlindungan keamanan, ketertiban, serta pemanfaatan fasilitas umum yang mereka nikmati.

Dana yang terkumpul dari pajak diperuntukkan bagi kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi para pemungut pajak. Adapun pemungut pajak hanya mendapatkan upah (remunerasi) sebagai balasan atas tugas mereka dalam mengelola dan mengumpulkan pajak dari masyarakat. Dengan demikian, sistem pajak dalam Islam bukan hanya sekadar mekanisme ekonomi, tetapi juga instrumen sosial untuk menciptakan keadilan, pemerataan, dan perlindungan bagi seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

30 Kata-Kata Ulang Tahun Romantis Islami untuk Istri Tercinta


Jakarta

Momen mengenang hari kelahiran ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk saling mendoakan. Bagi seorang suami, bisa memberikan hadiah istimewa kepada istri berupa doa dan kalimat ucapan romantis di hari ulang tahunnya.

Pernikahan dalam Islam bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan sebuah ikatan suci yang disebut mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kuat). Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa pernikahan bertujuan untuk menciptakan ketenteraman, cinta, dan kasih sayang antara suami dan istri.


Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).

Menjadi sosok kepala keluarga yang baik adalah tugas bagi seluruh suami, termasuk memperlakukan sang istri dengan hal romantis di hari ulang tahunnya.

Kata-kata Ucapan Ulang Tahun Romantis untuk Istri

Berikut beberapa pilihan kata-kata romantis dan ucapan penuh doa di hari kelahirann istri tercinta:

  1. Barakallahu fii umrik, istriku sayang. Semoga Allah selalu memberkahimu dan menjagamu dalam cinta-Nya.
  2. Selamat ulang tahun, cintaku. Semoga engkau selalu sehat, bahagia, dan istiqamah dalam iman.
  3. Istriku, engkau adalah doa terindahku. Semoga Allah selalu menjadikanmu wanita shalihah hingga akhir hayat.
  4. Barakallahu fii umrik, belahan jiwaku. Semoga setiap langkahmu selalu dalam ridha Allah.
  5. Selamat ulang tahun, bidadariku. Aku berdoa semoga Allah menjaga senyum indahmu setiap hari.
  6. Semoga usiamu selalu penuh berkah, istriku tercinta. Aku bersyukur Allah memberiku pendamping sepertimu.
  7. Cintaku, selamat ulang tahun. Semoga engkau selalu menjadi cahaya penuntun menuju surga.
  8. Barakallahu fii umrik, sayangku. Semoga Allah melimpahkan kesehatan dan kebahagiaan padamu.
  9. Selamat ulang tahun, istriku. Semoga cinta kita selalu dirahmati Allah hingga jannah.
  10. Istriku, engkau hadiah terindah dari Allah. Semoga usia barumu membawa keberkahan.
  11. Barakallahu fii umrik, cintaku. Semoga Allah menjaga hatimu dalam ketaatan.
  12. Selamat ulang tahun, sayang. Semoga Allah melipatgandakan amal dan kebahagiaanmu.
  13. Semoga engkau selalu menjadi wanita shalihah dan penyejuk hati, istriku. Barakallahu fii umrik.
  14. Selamat ulang tahun, istriku tercinta. Semoga Allah mengaruniakanmu panjang umur dalam kebaikan.
  15. Sayangku, semoga setiap doamu dikabulkan Allah. Barakallahu fii umrik.
  16. Selamat ulang tahun, istriku. Aku berdoa Allah selalu menuntunmu menuju kebaikan.
  17. Barakallahu fii umrik, belahan jiwaku. Semoga engkau selalu sehat, sabar, dan bahagia.
  18. Istriku, selamat ulang tahun. Semoga Allah menjadikan hidupmu penuh cahaya iman.
  19. Cintaku, semoga hari-harimu selalu indah dalam lindungan Allah. Barakallahu fii umrik.
  20. Selamat ulang tahun, istriku sayang. Engkau doa terindah yang Allah kabulkan untukku.
  21. Semoga Allah menambah keberkahan usiamu, istriku tercinta. Barakallahu fii umrik.
  22. Selamat ulang tahun, kekasih halal ku. Semoga engkau selalu jadi sumber kebahagiaan keluarga.
  23. Sayangku, semoga cinta kita selalu tumbuh dalam ridha Allah. Barakallahu fii umrik.
  24. Selamat ulang tahun, istriku. Aku mencintaimu karena Allah, hingga ke surga-Nya.
  25. Istriku, engkau anugerah tiada tara. Semoga Allah menjadikanmu bahagia dunia akhirat.
  26. Barakallahu fii umrik, sayangku. Semoga Allah selalu menguatkan cinta kita dalam iman.
  27. Selamat ulang tahun, cintaku. Semoga Allah menjaga langkahmu dan menenangkan hatimu.
  28. Sayang, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya di setiap usiamu. Barakallahu fii umrik.
  29. Selamat ulang tahun, istriku tercinta. Semoga engkau selalu menjadi bidadari surgaku.
  30. Istriku, semoga Allah memberkahimu di usia baru ini. Aku selalu mencintaimu karena-Nya.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

Makna Innalillahiwainnailaihirojiun dan Kapan Harus Dibaca?


Jakarta

Setiap manusia pasti akan menghadapi ujian dan musibah dalam hidup. Musibah bisa datang dalam berbagai bentuk, mulai dari kehilangan harta, kesulitan, sakit, hingga kematian.

Saat menghadapi musibah, hati yang tenang dan kesabaran menjadi kunci untuk tetap teguh dan berserah kepada Allah SWT. Islam mengajarkan doa dan dzikir yang membantu menghadapi ujian tersebut, salah satunya bacaan istirja’ atau bacaan innalillahiwainnailaihirojiun.


Bacaan Innalillahiwainnailaihirojiun dan Maknanya

Berikut bacaan Innalillahiwainnailaihirojiun beserta maknanya:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ

Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn(a).

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali.”

Berdasarkan buku Sukses Dunia-Akhirat Dengan Doa-Doa Harian karya Mahmud Asy Syafrowi, istilah istirja’ berasal dari kata dasar raja’a yang berarti “kembali” atau berusaha untuk kembali.

Maksudnya, kita berupaya kembali kepada Allah SWT, menyerahkan diri sepenuhnya, dan mengembalikan seluruh urusan kita kepada-Nya. Segala sesuatu yang kita miliki, seperti kehidupan, kesehatan, keluarga, keturunan, jabatan, dan harta, sebenarnya hanyalah titipan dari-Nya. Suatu saat, semuanya akan diminta kembali oleh Sang Pemilik. Bahkan diri kita sendiri pun bukan sepenuhnya milik kita, karena tubuh ini akan hancur dan nyawa akan kembali kepada-Nya.

Yang menarik dalam ucapan istirja’ adalah penggunaan dhamir “na” yang berarti “kita”, bukan “ni” yang berarti “saya”. Dhamir ini menunjukkan mutakallim ma’al ghair, yakni subjek yang dimaksud tidak hanya pengucap, tetapi juga orang lain. Dengan kata lain, ungkapan ini menekankan bahwa saya, Anda, kalian semua, beserta segala yang kita miliki, sejatinya adalah milik Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya.

Karena semua yang kita miliki berasal dari Allah SWT, setiap kehilangan atau pengambilan titipan-Nya disebut sebagai musibah, sekecil apa pun. Musibah tidak hanya berupa sakit atau kematian, seperti yang umumnya dipahami, tetapi mencakup segala hal yang tidak menyenangkan bagi manusia, baik besar maupun kecil. Rasulullah SAW bersabda,

“Apa yang menimpa seorang mukmin dari hal yang tidak disukainya, maka itu dinamakan musibah.” (HR Thabrani)

Oleh sebab itu, ucapan istirja’ relevan tidak hanya saat menghadapi kematian, tetapi juga dalam berbagai situasi lain, seperti ketakutan, kelaparan, kemiskinan, dan cobaan hidup lainnya.

Kapan Innalillahiwainnailaihirojiun Dibaca?

Menurut buku Fikih Basmalah (Merenda Makna, Menyelami Hukum Dan Menyusur Hikmah) karya Qosim Arsadani, bacaan istirja’ umumnya dibaca ketika seseorang terkena musibah. Musibah yang dimaksud bisa mengenai diri sendiri maupun orang lain, baik berupa kehilangan harta, kesulitan, maupun kematian.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 156,

اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

Arab latin: Allażīna iżā aṣābathum muṣībah(tun), qālū innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn(a).

Artinya: (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).

Dari Ummu Salamah RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Siapa saja yang terkena musibah, hendaknya membaca: ‘Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan kepada-Nya akan kembali. Wahai Allah, di sisi-Mu saya berharap dengan musibahku, maka berilah aku pahala dan gantilah untukku sebabnya dengan sesuatu yang lebih baik’.” (HR Ahmad)

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Makna Surah At Taubah Ayat 128-129, Lengkap Arab Latin dan Terjemahan


Jakarta

Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi umat Islam, berisi petunjuk dan nasihat yang relevan sepanjang zaman. Setiap ayat memiliki makna dan keutamaan tersendiri, termasuk dua ayat terakhir surah At-Taubah, yaitu ayat 128 dan 129.

Pada masa awal Islam, Al-Qur’an belum tersusun seperti sekarang. Mengutip buku Pengantar Studi Sejarah Peradaban Islam karya Dr. Muhammad Husain Mahasnah, dua ayat terakhir surah At-Taubah ditemukan oleh Zaid bin Tsabit. Kaum muslimin menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an pada pelepah kurma, kulit, tulang, batu, dan kayu. Ayat-ayat ini masih tersebar dan dijaga oleh para sahabat, sebelum akhirnya dihimpun menjadi mushaf utuh.

Berikut akan dibahas bacaan surah At-Taubah ayat 128-129 beserta makna dan keistimewaannya.


Bacaan Surah At Taubah Ayat 128-129

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Arab latin: laqad jā`akum rasụlum min anfusikum ‘azīzun ‘alaihi mā ‘anittum ḥarīṣun ‘alaikum bil-mu`minīna ra`ụfur raḥīm

Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin,” (QS At Taubah: 128)

فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ

Arab latin: fa in tawallau fa qul ḥasbiyallāhu lā ilāha illā huw, ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul-‘arsyil-‘aẓīm

Artinya: “Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung,” (QS At Taubah: 129)

Makna Surah At Taubah Ayat 128-129

Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan dua ayat terakhir surah At-Taubah (ayat 128-129) merupakan penutup yang sangat penting. Menurut riwayat dari Ubay bin Ka’ab, ayat ini adalah bagian terakhir yang turun kepada Rasulullah SAW, kemudian dicatat oleh para sahabat dan ditempatkan sebagai penutup surah ketika mushaf dikumpulkan pada masa Abu Bakar.

Ayat 128 menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus dari kalangan manusia sendiri. Sebagian mufassir berpendapat kata “kamu” ditujukan khusus kepada bangsa Arab, sebab Nabi lahir dari Quraisy. Namun ada pula yang menafsirkan bahwa panggilan itu berlaku bagi seluruh manusia, sebab risalah Islam bersifat menyeluruh.

Kedua pandangan ini saling melengkapi, karena memang Nabi Muhammad SAW diutus pertama kali kepada bangsanya, lalu membawa rahmat untuk seluruh alam. Hal ini terlihat dari para sahabat yang berasal dari berbagai bangsa pada masa itu, seperti Bilal al-Habsyi yang berkulit hitam, Shuhaib ar-Rumi yang berkulit putih dan Salman al-Farisi yang berkulit kuning. Dengan itu, jelaslah bahwa Islam adalah agama universal.

Dalam ayat ini tergambar sifat utama Rasulullah SAW. Beliau merasa berat jika umatnya tertimpa kesusahan, selalu menginginkan kebaikan bagi mereka, serta penuh kasih sayang dan belas kasih.

Kisah nyata yang menggambarkan hal ini adalah perhatian beliau terhadap keluarga sahabat Ja’far bin Abi Thalib setelah gugur di medan Mu’tah. Nabi tidak hanya berduka atas syahidnya Ja’far, tetapi juga memastikan keluarganya tetap terjaga dan diberi penghiburan. Kasih sayang seperti ini menunjukkan betapa dalamnya kepedulian beliau terhadap umat.

Sementara itu, ayat 129 menegaskan sikap yang harus diambil ketika ada yang menolak ajaran. Rasulullah SAW tidak diperintahkan untuk memaksa, melainkan tetap bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Pesan ini menunjukkan bahwa keberhasilan dakwah tidak bergantung pada penerimaan manusia, tetapi pada pertolongan Allah, Tuhan Pemilik ‘Arsy yang agung. Sikap ini sekaligus menyeimbangkan kasih sayang Nabi yang begitu besar kepada umat dengan keyakinan penuh bahwa segala urusan pada akhirnya berada di tangan Allah.

Kedua ayat ini menutup surah At-Taubah dengan sangat indah. Di satu sisi tergambar kasih sayang Rasulullah SAW yang begitu luas kepada manusia, dan di sisi lain terdapat pengingat bahwa kekuatan sejati ada pada tawakal kepada Allah.

Keistimewaan Membaca Surah At-Taubah Ayat 128-129

Masih dari sumber sebelumnya, keistimewaan membaca kedua ayat ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnus Sunni dari Abu Darda’. Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa yang membaca pada waktu pagi dan petang: Hasbiyallahu La Ilaha Illa Huwa ‘Alaihi Tawakkaltu Wa Huwa Rabbul ‘Arsyil ‘Azhim, sebanyak tujuh kali, maka Allah akan mencukupkan baginya segala urusan yang menyusahkan, baik dalam perkara dunia maupun akhirat.”

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa membaca ayat penutup surah At-Taubah dengan penuh keyakinan akan menghadirkan ketenangan, menumbuhkan sikap tawakal, serta mendatangkan kecukupan dari Allah SWT dalam berbagai urusan hidup.

Wallahu a’lam.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Sholat Dhuha Tidak Boleh Dikerjakan Rutin Tiap Hari?


Jakarta

Sholat Dhuha menjadi amalan sunnah yang dianjurkan bagi umat Islam. Sholat yang dikerjakan pagi hari ini juga menjadi amalan untuk melancarkan rezeki. Namun, benarkah sholat Dhuha tidak boleh dikerjakan setiap hari?

Dalil tentang anjuran sholat Dhuha berasal dari hadits riwayat Abu Hurairah,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: أَوْصَانِى خَلِيلِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ. (رواه مسلم)


“Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Kawan karibku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatiku tiga hal: Puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat, dan shalat witir sebelum tidur” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain dari Abu ad-Dardak,

عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ: أَوْصَانِى حَبِيبِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَبِأَنْ لاَ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ. (رواه مسلم

“Dari Abu ad-Dardak (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatiku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selama aku masih hidup: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha, dan aku tidak tidur sehingga shalat witir dahulu” (HR. Muslim).

Hukum Sholat Dhuha Tiap Hari

Dikutip dari buku Sholat Dhuha Dulu, Yuk karya Imron Mustofa, ada perbedaan pedapat di kalagan ulama mengenai pelaksanaan sholat Dhuha. Menurut jumhur ulama, sholat Dhuha boleh dan sunnah dikerjakan setiap hari. Mereka berdasar pada hadits berikut,

“Amal yang paling dicintai oleh Allah ialah amal yang kontinyu, walaupun sedikit.” (HR Muslim)

Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sholat Dhuha tidak boleh dikerjakan setiap hari karena Rasulullah SAW sama sekali tidak mencontohkannya. Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW rajin mengerjakan sholat Dhuha sehingga para sahabat mengira bahwa beliau tidak pernah meninggalkannya. Kemudian, beliau tidak terlihat lagi mengerjakan sholat tersebut sehingga para sahabat pun menyangka bahwa beliau tidak mengerjakannya lagi.

Pendapat bahwa sholat Dhuha tidak boleh dikerjakan setiap hari juga berasal dari hadits dari Aisyah RA, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah, “Apakah Nabi SAW selalu melaksanakan sholat Dhuha?” Aisyah menjawab, “Tidak, kecuali beliau baru tiba dari perjalanannya” (HR. Muslim)

Dilansir dari laman Muhammadiyah, Selasa (19/8/2025), Rasulullah SAW melakukan sholat Dhuha pada sebagian waktu karena keutamaannya dan beliau meninggalkannya pada waktu lain karena takut akan difardhukan.

Nabi SAW tidak melakukan sholat Dhuha terus-menerus sebab beliau khawatir akan dijadikan fardhu. Namun ini adalah untuk beliau.

Adapun untuk umat Islam, disunnahkan untuk terus-menerus melakukannya sebagaimana dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abu ad-Dardak.

Dalam hadits riwayat Abu Dzar disebutkan,

عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى. (رواه مسلم)

Artinya : Dari Abu Dzarr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: “Hendaklah setiap pagi setiap sendi salah seorang di antara kamu melakukan sedekah. Setiap tasbih itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, amar ma’ruf itu sedekah, nahi munkar itu sedekah. Semua itu dicukupi dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu dhuha” (HR. Muslim).

Wallahu a’lam.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com