Tag Archives: Rasulullah SAW

Kisah Malaikat Malik Bertemu Rasulullah SAW Tanpa Tersenyum



Jakarta

Malaikat Malik merupakan malaikat yang bertugas menjaga pintu neraka. Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa Malaikat Malik bermuka masam ketika bertemu Rasulullah SAW.

Pertemuan tersebut terjadi saat Rasulullah SAW melakukan Isra Mi’raj. Imam Al-Qusyairi dalam Kitab al-Mi’raj, menceritakan mengenai kisah Nabi Muhammad SAW yang melakukan perjalanan suci tersebut.

Saat melakukan Isra’ Miraj Nabi Muhammad SAW diajak oleh Malaikat Jibril untuk menaiki Buraq. Dalam perjalanan itu, Nabi Muhammad SAW melihat malaikat yang banyak sekali jumlahnya. Beliau melihat tangga yang menjulang dari Bayt al-Muqaddas ke langit dunia.


Kemudian Nabi Muhammad SAW meneruskan perjalanan hingga sampai ke langit dunia yang disebut al-raqi. Ketika memasukinya, semua malaikat senantiasa tersenyum gembira. Sampai akhirnya Rasulullah SAW bertemu dengan satu malaikat yang juga menyambutnya seperti yang lainnya, tetapi tanpa tersenyum dan tidak tampak kegembiraan di wajahnya.

Malaikat Jibril lalu berkata tentangnya, “Seandainya dia tersenyum selain kepada selainmu, tentu dia akan tersenyum padamu.”

Akan tetapi dia tidak pernah tersenyum kepada siapa pun, dia adalah Malaikat Malik penjaga neraka. Dia tidak pernah tersenyum sama sekali, mukanya selalu masam, cemberut, marah, dan menyeramkan karena begitu marahnya kepada para penghuni neraka sebagaimana Tuhan marah kepada mereka.

Lalu, Rasulullah SAW bertanya, “Hai Jibril, maukah kamu menyuruhnya untuk menunjukkan neraka kepadaku?”

Jibril menjawab, “Ya.” Lalu Jibril berkata, “Hai Malik, Muhammad Rasul Allah ingin melihat neraka.”

Malaikat Malik lalu membukakan penutup neraka dan terlihatlah neraka yang bergolak dan mendidih, sangat hitam, berasap, dan apinya juga hitam pekat.

Ada yang meronta-ronta dan menggelegak hampir pecah lantaran marah. Begitulah gambaran neraka.

Sebelum bertemu dengan Malaikat Malik dan saat menaiki tangga di sebelah kanan Rasulullah SAW ada 400 ribu malaikat, di sebelah kirinya juga ada 400 ribu malaikat, di depannya 1000 malaikat dan di belakangnya juga 1000 malaikat.

Setiap malaikat mempunyai dua sayap berwarna hijau. Kemudian, Malaikat Jibril membimbing Nabi Muhammad SAW menaiki tangga. Pada setiap tangga ada satu malaikat yang bermahkotakan cahaya dengan dua sayap berwarna hijau.

Setiap malaikat itu disertai lima ratus malaikat lainnya. Semuanya berkata, “Selamat datang bagimu wahai Muhammad.”

Ada pendapat yang menyebut, jarak antar anak tangga sejauh perjalanan selama 40 tahun lamanya dan begitu seterusnya hingga terdapat 55 anak tangga.

Nabi Muhammad SAW kemudian melihat malaikat di udara yang jumlahnya tidak terhingga bertanya kepada Malaikat Jibril tentang mereka. Lalu Malaikat Jibril menjawab, “Mereka adalah para malaikat yang layang-layang di udara sejak langit dan bumi diciptakan.”

Kepala malaikat yang melayang di udara itu berada di bawah sayapnya. Tidak ada satupun dari mereka yang melihat tubuhnya masing-masing, karena mereka demikian takut kepada Allah SWT. Mereka selalu membaca tasbih dan menangis, namun tidak diketahui ke mana jatuhnya air mata mereka.

Kisah Malaikat Malik bertemu Rasulullah SAW turut diceritakan oleh Nur Syam dalam buku Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal.

Dijelaskan bahwa Malaikat Malik yang bertugas menjaga neraka, digambarkan tidak pernah tertawa, bahkan juga ketika bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, sehingga Nabi SAW pun bertanya kepada Malaikat Jibril.

Lalu Malaikat Jibril menjawab, kalau Malaikat Malik tertawa maka hawa panas neraka akan berkurang sehingga membuat senang orang-orang yang di neraka.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Mulutnya Keluar Cahaya



Jakarta

Sahabat nabi adalah orang-orang terpilih yang memiliki beragam kisah dan tentunya dekat dengan Rasulullah SAW. Salah satu kisah yang diabadikan ini adalah sebuah kisah sahabat nabi yang mulutnya keluar cahaya.

Kisah ini banyak dituliskan, salah satunya adalah bersumber dari buku Beli Surga dengan Al Qur’an karya Ridhoul Wahidi dan M. Syukron Maksum. Sahabat nabi yang dimaksud adalah Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah, Qatadah bin Nu’man, dan Qois bin Ashim.

Kisah Sahabat Nabi yang Mulutnya Keluar Cahaya

Kisah ini sejatinya diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib RA. Ia bercerita, saat itu, Rasulullah SAW mengirim pasukan untuk menyerang suatu kaum yang memusuhi kaum muslimin.


Ketika Rasulullah tidak mendapatkan berita perkembangan keadaan pasukannya tersebut, lalu beliau bersabda, “Andaikan ada orang yang dapat mencari kabar tentang mereka dan memberitahukannya kepada kami.”

Beberapa saat kemudian datanglah seseorang dan mengabarkan bahwa muslim utusan beliau telah meraih kemenangan dalam penyerangan itu. Setelahnya, saat pasukan kaum muslimin pulang dari peperangan menuju Madinah, Rasulullah SAW dan para sahabat menyambut mereka di dekat Madinah.

Sesampai dekat Madinah, pemimpin pasukan, Zaid bin Haritsah turun dari untanya dan mencium tangan Rasulullah. Rasulullah SAW kemudian merangkul dan seraya mencium kepalanya.

Lalu, Zaid diikuti oleh Abdullah bin Rawahah dan Qois bin Ashim. Nabi Muhammad SAW merangkul mereka berdua.

Selanjutnya, seluruh pasukan berkumpul di depan Rasulullah SAW. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW dan beliau menjawab salam mereka. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,

“Ceritakanlah apa yang terjadi selama bepergian kepada saudara-saudara kalian yang berada di sini, agar Aku memberikan kesaksian dari apa-apa yang kalian ucapkan, karena Jibril telah memberitahukan kepadaku tentang kebenaran yang kalian ucapkan.”

Salah seorang pasukan kemudian menjawab, “Ya Rasulullah, ketika kami berada di dekat pasukan lawan, kami mengutus seorang mata-mata dari pihak mereka agar memberitahukan kepada pasukan kami mengenai kondisi dan jumlah mereka. Kemudian mata-mata tersebut menemui kami dan berkata, ‘Jumlah mereka seribu orang’, sedangkan jumlah kami dua ribu orang.”

“Namun yang seribu pasukan lawan itu hanya menunggu di luar benteng kota. Sedangkan yang tiga ribu menunggu di jantung kota. Mereka sengaja menggunakan tipu daya dengan berbohong bahwa kekuatan mereka hanya seribu tentara supaya kami berani melawan mereka dan memenangkan pertempuran.”

Cerita itu pun berlanjut, pasukan musuh di dalam kota kemudian menutup pintu gerbangnya, pasukan muslim kemudian menanti di luar. Ketika malam telah tiba, mereka tiba-tiba membuka pintu gerbang di kala pasukan muslim lelap tidur.

Namun, hal itu terkecuali Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah, Qatadah bin Nu’man, dan Qois bin Ashim yang sedang sibuk mengerjakan salat malam dan membaca Al-Qur’an di empat sudut perkemahan.

Di dalam kondisi yang gelap gulita itu, para musuh menyerang kaum muslim dan mereka menghujani mereka dengan panah hingga mereka tidak mampu menghalau karena gelapnya malam. Di tengah kekacauan tersebut, tiba-tiba kaum muslim tersebut melihat cahaya yang datangnya dari pembaca Al-Qur’an.

Cahaya seperti api mereka saksikan keluar dari mulut Qais bin Ashim, dan keluar cahaya seperti bintang kejora keluar dari mulut Qatadah bin Nu’man. Lalu, dari mulut Abdullah bin Rawahah keluar sinar seperti cahaya rembulan dan keluar sinar seperti cahaya Matahari dari mulut zaid bin Haritsah.

Keempat cahaya itulah yang menerangi muslim dan membuat gelapnya malam berubah seperti hari masih siang. Akan tetapi musuh kaum muslim tetap melihat seakan masih dalam keadaan kegelapan.

Sang panglima perang, Zaid bin Haritsah, kemudian memimpin pasukan muslim memasuki daerah lawan. Pasukan muslim dapat mengepung, membunuh sebagian mereka dan menawan mereka. Selanjutnya mereka mampu memasuki jantung kota dan mengumpulkan ghanimah perang.

“Wahai Rasulullah, yang membuat kami sangat heran adalah cahaya yang keluar dari keempat sahabat tersebut, dan kami tidak melihatnya sebelumnya. Cahaya dari mulut mereka itu mampu menerangi kami sehingga kami menang dan menebarkan kegelapan bagi musuh-musuh.” terang salah satu pasukan itu.

Begitulah kisah sahabat nabi yang mulutnya keluar cahaya yang diduga karena keempat sahabat tersebut adalah pembaca Al-Qur’an yang taat beribadah kepada Allah SWT. Wallahua’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Wirid Fatimah az-Zahra, Hadiah dari Rasulullah SAW saat Putrinya Mengeluh Lelah



Jakarta

Kecintaan Nabi Muhammad SAW terhadap putrinya tidak lantas membuat Beliau memanjakan secara berlebihan. Fatimah Az-Zahra diajari membaca wirid oleh Nabi Muhammad SAW ketika ia mengeluh lelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Fatimah az-Zahra Radhiyallahu Anha, putri tercinta Nabi Muhammad SAW menikah dengan Ali bin Abi Thalib yang juga merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW. Ketika menikah, keduanya hidup serba sederhana.

Dikutip dari buku 115 Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasulullah SAW oleh Fuad Abdurahman dikisahkan bahwa ketika menikah, perlengkapan rumah tangga yang dimiliki Fatimah dan Ali hanyalah dua buah batu penumbuk gandum, dua buah tempat air dari kulit kambing, bantal yang terbuat dari ijuk pohon kurma, dan sedikit minyak wangi.


Mereka juga tidak punya pembantu atau pelayan. Fatimah bekerja seorang diri, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah hingga kedua tangannya kasar dan melepuh.

Sang suami, Ali ra seringkali membantu pekerjaan istrinya di rumah. Namun tetap saja pekerjaan ini terasa berat.

Fatimah Meminta Pembantu pada Nabi Muhammad SAW

Suatu ketika Rasulullah SAW pulang dari salah satu peperangan dengan membawa tawanan dan harta rampasan perang dalam jumlah cukup banyak. Ali ra kemudian menyarankan kepada istrinya untuk meminta seorang pembantu kepada beliau agar bisa meringankan pekerjaan rumah tangganya. Fatimah pun menyetujuinya.

Putri Rasulullah SAW itu pergi menemui ayahnya. Tiba di hadapan sang ayah, Fatimah ditanya, “Apa keperluanmu, Putriku?”

Fatimah terdiam. la tidak kuasa mengatakan maksud kedatangannya.

la hanya berkata, “Tidak ada, wahai Rasulullah. Aku ke sini hanya untuk menyampaikan salam kepadamu.”

Kemudian Fatimah beranjak pulang ke rumahnya. Saat tiba di rumah, sang suami telah menunggunya dan bertanya, “Bagaimana hasilnya, wahai Istriku?”

“Aku tak kuasa mengatakannya kepada Rasulullah. Aku merasa malu meminta seorang pembantu kepadanya,” Fatimah menjawab pelan.

“Bagaimana kalau kita berdua mendatangi Rasulullah?” saran Ali.

Fatimah ra. menganggukkan kepala, kemudian mereka pergi menghadap Rasulullah SAW untuk menyampaikan keinginan mereka. Namun, tanggapan Rasulullah SAW sungguh di luar perkiraan mereka.

Beliau berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memberi kalian, sementara banyak fakir miskin kaum Muslim dengan usus berbelit-belit karena kelaparan.”

Rasulullah SAW Mengajari Wirid pada Fatimah az-Zahra

Malam hari itu, Rasulullah SAW mendatangi Fatimah dan Ali. Keduanya sudah berbaring di tempat tidur dan bersiap untuk istirahat.

Mereka bangkit menyambut kedatangan ayahanda yang mulia. Namun, beliau berujar lembut, “Tetaplah di tempat kalian!”

Rasulullah SAW kemudian bersabda,

أَلَا أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَا إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا أَنْ تُكَبِّرَا اللَّهَ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ وَتُسَبِّحَاهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَتَحْمَدَاهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَهْوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

Artinya: “Maukah kalian berdua aku ajarkan sesuatu yg lebih baik daripada apa yg kalian minta? Apabila kalian berbaring hendak tidur, maka bacalah takbir tiga puluh empat kali, tasbih tiga puluh tiga kali, dan tahmid tiga puluh tiga kali. Sesungguhnya yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu”. (HR. Muslim)

“Sejak malam itu,” Ali menuturkan, “Aku tidak pernah meninggalkan wiridan yang diajarkan Rasulullah.

Amalan ini juga dapat diamalkan oleh seluruh umat muslim. Wirid ini bisa menjadi obat kala lelah bekerja, sesungguhnya Allah SWT meridhoi orang-orang yang bekerja dalam mencari rezeki halal.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Imam Bukhari dan Doa Ibu yang Disebut Sembuhkan Kebutaannya



Jakarta

Imam Bukhari memiliki nama asli Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari. Imam Bukhari memiliki kisah yang berkaitan dengan doa ibu.

Dikutip dari Biografi Imam Empat Mazhab dan Imam Perawi Hadits karya Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Imam Bukhari adalah seorang perawi hadits. Ia lahir pada tahun 194 H dan meninggal dunia pada tahun 256 H atau pada usia 62 tahun yang kurang 13 hari.

Imam Bukhari banyak menulis hadits dari para penghafal hadits seperti Al-Makiy bin Ibrahim Al-Balkhi, ‘Abdullah bin Musa Al-‘Abbasi, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakin, ‘Abdullah bin ‘Utsman Al-Marwazi, ‘Ali bin Al-Madini, Yahya bin Mu’in, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Banyak orang telah belajar dan mendapatkan hadits dari Imam Bukhari dan kurang lebih 90.000 orang telah belajar kitab Bukhari.


Beliau menuntut ilmu sejak berusia 10 tahun dan belajar dari para ahli hadits sejak berusia 11 tahun. Imam Bukhari pernah berkata yaitu,

“Aku telah mengeluarkan dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) kurang lebih 600.000 hadits. Dan aku tidak menulis satu hadits pun kecuali sebelumnya aku mengerjakan salat dua rakaat terlebih dahulu.”

Sebelum menjadi imam besar dan menuliskan buku serta hadits yang kita jadikan sebagai landasan hingga sekarang, Imam Bukhari memiliki kisah semasa kecil yang berkaitan dengan doa ibu. Dikutip dari Majalah Ar-Risalah Menata Hati Menyentuh Ruhani Edisi 227 dikisahkan ibu dari Imam Al-Bukhari.

Kisah Imam Bukhari dan Doa Ibu

Imam Bukhari lahir di Bukhara, Samarkand. Ia adalah anak kecil yatim yang dulunya pernah mengalami gangguan penglihatan tepatnya kebutaan.

Sang ibunda tak pernah putus dalam mendoakannya di sepertiga malam. Hingga pada suatu malam, sang ibunda berjumpa dengan Nabi Ibrahim AS dalam tidurnya yang berkata,

“Wahai ibu, sungguh Allah telah mengembalikan kedua mata putramu karena kamu sering berdoa kepada-Nya.”

Keesokan harinya, penglihatan Al-Bukhari benar-benar telah kembali. Perasaan gegap gempita lantaran kembalinya penglihatan putranya, membuat sang ibunda mewakafkan hidup putranya untuk ilmu.

Pada usia 16 tahun, sang ibunda mengajaknya umrah ke Makkah bersama saudaranya. Seusai umrah, Al- Bukhari menetap di Makkah untuk menuntut ilmu. Sementara ibundanya kembali pulang bersama saudaranya.

Pada masa setelahnya, Al-Bukhari menjadi Syaikh Al-Muhadditsin atau gurunya para ahli hadits. Kitab beliau, Shahih Al-Bukhari, menjadi kitab rujukan paling shahih setelah Al-Qur’an.

Dilengkapi melalui tulisan The Great Mothers Biografi Ibunda Para Ulama tulisan Ibnu Marzuqi al-Gharani, dijelaskan bahwa keshalihahan ibunda Al-Bukhari ini menjadi tanda kematangan sikapnya dalam beragama. Ia memiliki sikap tawakkal sekaligus raja’ (pengharapan) yang sangat luar biasa kepada Allah SWT.

Kualitas luar biasa dari kecerdasan hati semacam inilah yang mampu membuatnya sukses membesarkan Imam Bukhari tanpa keberadaan sosok suami. Sifat dan sikap ibunda Imam Bukhari pada akhirnya mampu menjadi pelita bagi sang putra.

Doa seorang ibu maupun orang tua pada umumnya sangat mustajab atau manjur. Oleh karena itu, tak ayal Imam Bukhari mendapatkan kesembuhan dan kemampuan yang luar biasa berkat ikhtiar dan doa dari ibundanya.

Berkenaan dengan mustajabnya doa seorang ibu pernah disinggung dalam sejumlah hadits Rasulullah SAW. Salah satunya dalam hadits berikut,

“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi, yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizhalimi.” (HR Abu Dawud)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga jenis doa yang mustajab (terkabul), tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizhalimi, doa orang yang bepergian, dan doa kejelekan kedua orang tua kepada anaknya.” HR Bukhari)

Selain itu, diriwayatkan pula, “Tiga doa yang tidak tertolak, yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa, dan doa seorang musafir.” (HR Baihaqi)

Begitulah pembahasan kali ini mengenai kisah Imam Bukhari dan doa ibu yang mustajab. Semoga dapat memberikan inspirasi dan wawasan baru ya, detikers!

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Saat Abu Bakar & Umar Mendengar Kabar Wafatnya Nabi SAW



Jakarta

Terdapat sebuah kisah mengharukan yang terjadi tak lama setelah Rasulullah SAW menghembuskan nafas terakhirnya, yakni ketika para sahabat beserta kaum muslim kala itu mendengar kepergian Nabi panutannya. Seperti apa kisahnya?

Menukil As-Siraah an-Nabaiwiyah fii Dhau’i al-Mashaadir al-Ashliyyah: Diraasah Tahliiliyyah susunan Mahdi Rizqullah Ahmad, jumhur ulama berpendapat bahwa meninggalnya Rasul SAW bertepatan dengan hari Senin, pada tanggal 12 Rabiul Awal, di usianya yang 63 tahun.

Diketahui, beliau mengalami sakit yang cukup parah selama beberapa hari sebelum menghadap Ilahi. Kemudian beliau wafat di rumah Aisyah, pada jatah hari gilirannya, dan berada tepat di pelukan Aisyah.


Menjelang Wafatnya Rasulullah SAW

Dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam diceritakan tak lama menjelang wafatnya, ketika Nabi SAW sakit dan suhu tubuhnya meninggi, beliau keluar dari kediaman Aisyah untuk menemui kaum muslim. Lalu berangkatlah beliau ke masjid.

Ibnu Ishaq berkata bahwa az-Zuhri menuturkan, “Ayyub bin Yasar mengatakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW keluar dari rumah dengan memakai ikat kepala, lalu duduk di mimbar.

Kalimat pertama yang diucapkannya adalah doa untuk para syuhada perang Uhud, memohonkan ampunan untuk mereka, dan bershalawat untuk mereka. Setelah itu, beliau bersabda: ‘Sesungguhnya, seorang hamba diberi pilihan oleh Allah antara dunia dengan apa yang ada di sisi-Nya. Kemudian ia memilih apa yang ada di sisi Allah.’

Abu Bakar memahami perkataan tersebut dan tahu bahwa hamba yang dimaksud adalah diri beliau sendiri. Ia pun menangis dan berkata, ‘Tetapi kami akan menebus engkau dengan jiwa kami dan anak-anak kami.’

Beliau bersabda, ‘Tenanglah, Abu Bakar!’ Beliau meneruskan, ‘Lihatlah pintu-pintu masjid yang terbuka ini. Tutuplah kecuali pintu yang mengarah ke rumah Abu Bakar, sebab aku benar-benar tidak kenal seseorang yang lebih baik persahabatannya denganku selain dirinya’.”

Ibnu Hisyam berkata, “Ada yang meriwayatkan: ‘Kecuali pintu Abu Bakar’.”

Ada yang meriwayatkan daari keluarga Abu Sa’id bin Al-Mu’alla, bahwa Rasul SAW bersabda pada hari itu, “Seandainya aku boleh menjadikan seseorang sebagai kekasihku, tentu akan kujadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Akan tetapi, cukuplah persahabatan, persaudaraan, dan iman sampai Allah menghimpun kita di sisi-Nya.” (Muttafaq Alaih)

Reaksi Umar dan Abu Bakar saat Wafatnya Nabi SAW

Masih dari Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam, Ibnu Ishaq mendengar dari az-Zuhri dan Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah: “Ketika Rasul SAW wafat, Umar bin Khattab berdiri dan berkata: ‘Ada orang-orang munafik yang menganggap Rasulullah sudah wafat. Sebenarnya Rasulullah tidak wafat!

Beliau hanya pergi menemui Tuhannya seperti kepergian Musa bin Imran. Musa meninggalkan kaumnya selama 40 malam lalu kembali kepada mereka setelah dikatakan bahwa ia wafat. Demi Allah, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga! Lalu aku akan memotong tangan dan kaki orang-orang munafik yang menganggap beliau sudah wafat!”

Setelah menerima berita duka tentang wafatnya Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq bergegas kembali. Ia berhenti di pintu masjid, sementara Umar masih bicara kepada orang banyak.

Abu Bakar tidak menoleh kanan kiri, melainkan terus masuk ke tempat Rasulullah di rumah Aisyah. Jenazah beliau sudah diselubungi selimut Yaman di sudut rumah. Abu Bakar mendekati jenazah beliau dan menyingkapkan selubung di wajahnya.

Ia mendekat lalu menciumnya (jenazah Rasulullah), sesudah itu berkata, ‘Demi ayah bundaku! Kematian yang ditentukan Allah SWT atas dirimu telah engkau rasakan. Setelah itu, tak ada lagi kematian yang menimpa dirimu selama-lamanya.’

Setelah mengembalikan selimut ke wajah Rasulullah, Abu Bakar keluar. Saat itu Umar masih saja bicara. Abu Bakar berkata, ‘Tenanglah, Umar, diamlah!’

Namun, Umar menolak diam. Ia terus saja meracau. Melihat Umar tak bisa dihentikan, Abu Bakar menghadap ke arah orang-orang. Saat orang-orang mendengar suara Abu Bakar, mereka pun berpaling kepadanya dan meninggalkan Umar.

Abu Bakar memuji Allah SWT, lalu berkata, ‘Saudara-saudara, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup tak pernah mati.’

Kemudian Abu Bakar membaca firman Allah SWT yang tertuang dalam Surat Ali Imran ayat 144:

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗوَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ – 144

Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh engkau berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Kala itu, kaum muslim seakan tak tahu bahwa ayat ini pernah diturunkan sampai Abu Bakar membacakannya pada hari itu. Mereka mengambil ayat tersebut dari Abu Bakar, padahal ayat itu sebenarnya sudah mereka ketahui.

Abu Hurairah menirukan perkataan Umar, “Demi Allah, sesaat setelah mendengar Abu Bakar membacakan ayat tersebut, aku pun tersadar lalu roboh ke tanah karena kedua kakiku tak mampu menopang tubuhku. Terbuka mataku kini bahwa Rasulullah benar-benar sudah wafat.”

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Cerita Romantis Aisyah Istri Rasulullah, Bisa Jadi Teladan bagi Pasutri



Jakarta

Kisah rumah tangga Aisyah RA bersama Rasulullah SAW dipenuhi dengan keberkahan dan kasih sayang. Aisyah merupakan istri yang romantis kepada Rasulullah SAW, begitupun sebaliknya.

Disebutkan dalam buku Rumah Tangga Seindah Surga oleh Ukasyah Habibu Ahmad, Aisyah RA di usianya yang relatif muda telah menunjukkan tanda-tanda luar biasa sebagai pendamping seorang nabi. Ia mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi sehingga mengangkat derajat dan martabatnya di kalangan wanita seusianya.

Dua tahun setelah wafatnya Khadijah RA, turunlah waktu kepada Rasulullah SAW untuk menikahi Aisyah RA. Mendengar kabar tersebut Abu Bakar ash-Shiddiq selaku ayah dari Aisyah bersama istrinya begitu bahagia. Tak lama setelah itu, Rasulullah SAW menikahi Aisyah dengan mahar sebesar 500 dirham.


Aisyah merupakan satu-satunya istri Rasulullah SAW yang dinikahi dalam keadaan masih gadis. Meskipun usianya tergolong muda, ia tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan sang Nabi, sebab tingkat keilmuan dan kecerdasannya terbilang sangat tajam.

Dalam kehidupan Rasulullah SAW, Aisyah RA termasuk istri yang sangat istimewa dan romantis karena sangat paham cara membahagiakan suami. Selain itu, ia juga memberikan kontribusi besar terhadap perjuangan dakwah Rasulullah SAW.

Keromantisan Aisyah Istri Rasulullah SAW

Mengutip dari buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul karya Ustadzah Azizah Hefni, berikut beberapa cerita keromantisan Aisyah istri Rasulullah SAW bersama suaminya.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Aisyah RA pernah berkata, “Suatu ketika aku minum dan aku sedang haid, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah SAW, lalu beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain, aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya.” (HR Muslim).

Hal itu menunjukkan bahwa antara Rasulullah SAW dan Aisyah membangun rumah tangga dengan saling mengasihi dan memanjakan. Kesibukan Rasulullah SAW dalam memperjuangkan dan menyebarkan agama Allah SWT tidak menjadikan beliau lupa untuk menjalin kemesraan bersama istri tercinta.

Keromantisan Aisyah dengan Rasulullah SAW juga ditunjukkan tatkala mereka pernah mandi bersama dalam satu bejana. Dalam sebuah hadits, Aisyah RA pernah berkata,

“Aku dan Rasulullah pernah mandi bersama dalam satu wadah (kami bergantian menciduk airnya). Beliau sering mendahuluiku dalam mengambil air sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!'” (HR Bukhari Muslim).

Kasih sayang dan kemesraan Rasulullah SAW dengan Aisyah tidak hanya ditunjukkan dari tindakan beliau, tetapi juga melalui ekspresi verbal. Rasulullah SAW memberikan panggilan khusus kepada Aisyah RA.

Beliau kerap memanggil Aisyah dengan sebutan ‘humaira’, artinya pipi yang kemerah-merahan sebab kulit Aisyah yang sangat putih hingga terlihat kemerahan saat tertimpa sinar matahari.

Selain panggilan humaira, terkadah Rasulullah SAW juga memanggil Aisyah dengan sebutan ‘aisy’. Dalam budaya Arab, pemenggalan huruf terakhir dari nama menunjukkan sebagai tanda kasih sayang.

Salah satu sikap manja Aisyah yang sangat menyenangkan Rasulullah SAW yaitu Aisyah selalu menyisir rambut Rasulullah SAW sebab beliau senang dengan rambut yang rapi. Hal ini disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa Aisyah pernah berkata, “Aku menyisir rambut Rasulullah, padahal aku sedang haid.” (HR Bukhari).

Aisyah selalu menyisir rambut Rasulullah SAW dengan hati-hati, begitu lembut dan penuh cinta. Aisyah pernah mengungkapkannya, “Bila aku mengurakkan rambut Rasulullah, aku belah orakan rambut beliau dari ubun-ubunnya dan aku uraikan di antara kedua pelipis beliau.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Meskipun Rasulullah SAW disibukkan dengan dakwah dan mengurus kepentingan umat, beliau turut membantu pekerjaan Aisyah ketika di rumah. Beliau tidak segan menambal pakaian sendiri, memerah susu, dan mengurus keperluan sendiri.

Mengenai kebiasaan Rasulullah SAW di rumah, Aisyah RA juga pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Apa yang dilakukan Rasulullah SAW di rumah?” Lalu Aisyah menjawab, “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya.” (HR Bukhari).

Keromantisan dari cerita Aisyah RA bersama Rasulullah SAW tersebut bisa dijadikan sebagai teladan bagi pasangan suami istri.

Dengan segala kerendahan hatinya, Rasulullah SAW tidak segan membantu pekerjaan rumah tangga dan tidak membebankan pekerjaan rumah tangga kepada sang istri. Begitu pula sikap Aisyah RA sebagai istri Rasulullah yang senantiasa melayani beliau dengan kelembutan dan penuh kasih sayang.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pohon Kurma yang Menangis pada Hari Jumat, Kenapa?



Jakarta

Semasa Rasulullah SAW masih berdakwah, banyak sekali kisah yang menarik untuk kita dengarkan dan ambil pelajarannya. Salah satunya adalah sebuah kisah pohon kurma yang menangis pada hari Jumat.

Kisah ini diabadikan dalam salah satu riwayat dari Jabir bin Abdullah RA. Mengutip Mukhtashar Shahih al-Bukhari oleh Imam Zainuddin az Zubaidi, Jabir berkata,

“Apabila Rasulullah khutbah, beliau biasa berdiri di bawah pohon kurma. Ketika sebuah mimbar disediakan untuk beliau, kami mendengar pohon kurma itu menangis seperti tangisan unta betina yang hamil maka beliau turun dari mimbar dan mengelus pohon tersebut.” (HR Bukhari)


Kisah Pohon Kurma Menangis pada Hari Jumat

Kisah ini dapat diawali dengan menengok kembali tugas dan pekerjaan Rasulullah SAW sesudah berhijrah dari Makkah ke Madinah. Mengutip tulisan Ustaz Dr. Miftahur Rahman El-Banjary dalam buku Cinta Seribu Dirham Merajut Kerinduan kepada Rasulullah Al-Musthafa. Pekerjaan pertama Rasulullah SAW sesampainya di Madinah adalah membangun masjid.

Masjid itu diberi nama Masjid Nabawi yang didirikan tepat dimana unta Rasulullah berhenti. Tanah tempat unta itu berhenti adalah miliki anak yatim bersaudara.

Selanjutnya, diketahui bahwa tanah yang telah dibeli tersebut berbentuk seperti bujur sangkar dengan luas hanya sekitar 1.060 meter persegi. Masjid yang didirikan pada awal masa itu pun sangat sederhana, hanya berupa tanah lapang yang dikelilingi tembok tanah liat menyerupai lingkaran.

Saat masjid ini sudah beroperasi, Rasulullah SAW seringkali melakukan dakwah dengan berdiri menghadap ke arah jamaah. Beliau berdiri di bagian masjid paling depan dengan bersandar pada satu batang pohon kurma, di bagian kanan yang sekarang kita kenal sebagai mihrab nabi.

Ketika jumlah jemaah semakin bertambah banyak, orang-orang berdesakan memenuhi masjid. Mereka yang duduk di barisan belakang atau paling jauh dari Rasulullah SAW tidak bisa melihat wajah beliau.

Para sahabat saat itu juga kasihan melihat Rasulullah SAW yang kelelahan jika berdiri terlalu lama saat berdakwah. Sebagian sahabat ada yang mengusulkan untuk membuat mimbar khusus bagi Rasulullah.

Di atas mimbar itu, Rasulullah akan dapat sesekali duduk beristirahat atau bahkan menyampaikan khutbahnya sambil duduk. Di samping itu pula, para sahabat yang berada di posisi paling belakang tetap bisa menyaksikan wajah Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW kemudian menyetujuinya.

Pada suatu hari Jumat ketika mimbar yang dibuat khusus untuk Rasulullah selesai, Beliau keluar dari pintu kamarnya. Beliau berjalan menuju mimbar dengan melewati sebuah pohon kurma itu.

Ketika Rasulullah SAW menaiki mimbar untuk berkhutbah, seketika para sahabat yang hadir di masjid itu mendengar bunyi rintihan memelas seperti menangis. Bahkan, debu-debu dari tembok masjid itu berguguran.

Suara tangisan itu terdengar semakin lama semakin kencang. Para sahabat yang mencari sumber suara tangisan itu merasa semakin kebingungan.

Rasulullah SAW kemudian turun dari mimbar dan mendekati pohon kurma yang sering beliau gunakan sebagai sandaran. Beliau meletakkan tangannya yang mulia pada batang pohon kurma itu kemudian mengusap dan memeluknya.

Atas izin Allah SWT, perlahan-perlahan suara tangisan tersedu sedu itu perlahan mereda. Belum terjawab rasa penasaran dalam diri para sahabat yang hadir, Rasulullah SAW pun mengajak berbicara kepada pohon kurma itu.

Rasulullah berkata, “Maukah kamu aku pindahkan ke kebun kamu semula, berbuah dan memberikan makanan kepada kaum mukminin atau aku pindahkan kamu ke surga, setiap akar kamu menjadi minuman dari minuman-minuman di surga, lalu para penghuni surga menikmati buah kurmamu.”

Pohon kurma tanpa keraguan memilih pilihan yang kedua. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Af’al insya Allah! Demi Allah, yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, jika tidak aku tenangkan dia, niscaya dia akan terus merintih hingga hari kiamat karena kerinduannya kepadaku.”

Dalam redaksi lain, mengutip Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam Hadza al Habib Muhammad Rasulullah Ya Muhibb, diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah terlihat berbicara dengan sebatang pohon kurma. Kemudian, wanita dari Anshar berkata kepada beliau,

“Wahai Rasulullah, aku memiliki anak seorang tukang kayu. Bolehkah aku menyuruhnya membuatkan mimbar untuk engkau dari pohon itu untuk berkhutbah?”

Rasulullah menjawab, “Ya, boleh.” Maka si tukang kayu membuatkan beliau mimbar dari pohon kurma tersebut.

Pada suatu Jumat, Rasulullah SAW sudah mulai berkhutbah di atas mimbar, bukan lagi di atas potongan pohon kurma seperti pada masa awal pendirian masjid. Tiba-tiba batang kurma yang dijadikan mimbar itu menangis seperti tangis seorang bayi.

Rasulullah SAW berkata, “Batang pohon ini menangis karena merasa telah dilupakan.” demikian diterjemahkan Iman Firdaus dalam buku My Beloved Prophet.

Dalam riwayat Bukhari dikatakan, “Batang kurma tersebut berteriak seperti teriakan seorang bayi. Rasulullah lalu turun dari mimbar itu dan memeluknya, sementara mimbar dari pohon kurma itu terus menangis. Rasulullah berkata, “Pohon kurma ini menangis karena mendengar zikir diucapkan di atasnya.”

Menurut Syaikh Abu Bakar, pohon kurma tersebut menangis karena mendengar zikir Rasulullah SAW dan sedih karena berpisah dengan Beliau yang selalu berkhutbah di atasnya. Padahal pohon kurma tersebut merupakan benda mati yang tak memiliki roh dan akal.

Hal ini, kata Syaikh Abu Bakar, menjadi tanda dan bukti yang menunjukkan kenabian Muhammad SAW dan kebenaran risalahnya. Dan hal ini juga merupakan mukjizat besar yang hanya dimiliki oleh Rasulullah SAW.

Ibnu Hajar dalam pendapat yang dikutip Imam An Nawawi melalui Syarah Riyadush Shalihin Jilid 3 menambahkan, hadits tentang kisah pohon kurma yang menangis tersebut menjadi bukti bahwa Allah SWT terkadang memberi nalar pada benda mati bak seekor hewan bahkan seperti seekor hewan yang mulia. Wallahu’alam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Latar Belakang Terjadinya Perang Tabuk antara Kaum Muslimin dan Bangsa Romawi



Jakarta

Perang Tabuk adalah salah satu perang yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Perang ini melibatkan kaum Muslimin dan bangsa Romawi.

Latar belakang terjadinya Perang Tabuk adalah keinginan Rasulullah SAW untuk menyerang Romawi sebagai kekuatan militer terbesar di muka bumi pada waktu itu dan dalam rangka menyebarkan agama Islam.

Merangkum Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, keinginan Rasulullah SAW tersebut terjadi setelah dibunuhnya duta Rasulullah SAW, Al-Harits bin Umair di tangan Syuhrabil bin Amr Al-Ghasaani, tepatnya saat Al-Harits membawa surat beliau yang ditujukan kepada pemimpin Bushra.


Setelah itu beliau mengirimkan satuan pasukan yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah yang kemudian bertempur dengan pasukan Romawi dengan pertempuran yang besar dan meninggalkan pengaruh bagi bangsa Arab.

Pada saat Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap menyerang Romawi. Saat itu kaum Muslimin sedang berada di masa-masa sulit.

Biasanya saat hendak berperang, Rasulullah SAW selalu memberikan kiasan mengenai tujuan. Namun dalam Perang Tabuk, Rasulullah SAW menjelaskan secara terus terang kepada kaum Muslimin.

Hal ini dikarenakan mereka akan melakukan perjalanan jauh, melalui masa-masa sulit, dan banyak musuh yang akan dihadapi. Tujuan dari Rasulullah SAW langsung mengatakan hal tersebut supaya kaum Muslimin melakukan persiapan yang matang.

Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk mempersiapkan perbekalan, menganjurkan orang-orang kaya untuk berinfak dan membiayai jihad di jalan Allah SWT.

Setiap orang yang mendengar suara Rasulullah SAW menyerukan perang melawan Romawi ini segera menjalankan perintah beliau. Dengan cepat, orang-orang Islam mempersiapkan pertempuran. Kabilah-kabilah berdatangan ke Madinah dari segala penjuru, tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang rela tertinggal dalam pertempuran ini.

Perang antara kaum Muslimin dan bangsa Romawi ini berhasil dimenangkan oleh kaum Muslimin. Meskipun dalam keadaan yang sulit mereka berhasil memenangkan peperangan tersebut.

Tentara Islam kembali dari Tabuk dengan kemenangan dan keberhasilan gemilang. Mereka menyudahi misi ini dengan tidak menemukan kesulitan berarti Allah SWT menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan

Di tengah perjalanan, tepatnya di atas sebuah bukit, dua belas orang munafik berusaha membunuh Rasulullah SAW. Namun, hal itu berhasil digagalkan oleh Hudzaifah.

Maka Hudzaifah bangkit dan memukul kuda orang-orang yang hendak menyerang tersebut dengan menggunakan tongkat yang ia bawa. Orang orang itu pun melarikan diri Rasulullah SAW memberitahu Hudzaifah tentang nama-nama orang itu, serta apa tujuan mereka. Karena kejadian ini, Hudzaifah dijuluki sebagai penjaga rahasia Rasulullah SAW.

Peperangan ini mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi pamor orang-orang mukmin dan menguatkan mereka di Jazirah Arab. Kini orang-orang mulai menyadari bahwa tidak ada satu kekuatan kecuali kekuatan Islam.

Sisa harapan dan angan-angan yang masih bersemayam di hati orang-orang munafik dan jahiliyah mulai sirna. Sebelumnya mereka masih berharap banyak terhadap pasukan Romawi untuk melumat pasukan muslimin.

Namun, setelah peperangan ini membuat mereka sudah kehilangan nyali dan pasrah terhadap kekuatan yang ada karena mereka sudah tidak mempunyai celah dan peluang untuk melakukan konspirasi.

Maka tidak ada yang mereka lakukan kecuali mengiba kepada orang-orang muslim agar diperlakukan dengan lemah lembut sementara Allah SWT memerintahkan untuk bersikap keras terhadap mereka.

Bahkan Allah SWT memerintahkan untuk menolak sedekah mereka, melakukan salat jenazah untuk mereka, memintakan ampunan dan berdiri di atas kubur mereka.

Allah SWT juga memerintahkan untuk menghancurkan sentral makar mereka yang diatasnamakan masjid (Masjid Dhirar) melecehkan dan menyingkap keburukan mereka, sehingga tidak ada lagi rahasia yang bisa mereka tutup-tutupi.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Abu Thalib Tetap Lindungi Nabi Muhammad SAW Meski Menolak Islam?



Jakarta

Abu Thalib adalah paman Nabi Muhammad SAW yang telah mengasuhnya sejak kepergian sang kakek, Abdul Muththalib. Abu Thalib sangat menyayangi Nabi Muhammad seperti anak kandungnya sendiri.

Disebutkan dalam buku Orang Kafir dalam Keluarga Nabi SAW oleh Ahmad Sarwat, Abu Thalib merupakan salah satu kerabat Nabi Muhammad SAW yang tidak mau mengakui kenabiannya tatkala semua orang beriman di usia 40 tahun.

Meskipun selalu melindungi semua perjuangan Nabi Muhammad SAW, hingga akhir hayatnya Abu Thalib tetap tidak mau bersyahadat. Lantas, mengapa Abu Thalib tetap melindungi Nabi Muhammad SAW meski tidak memeluk Islam semasa hidupnya?


Alasan Abu Thalib Melindungi Nabi Muhammad SAW

Abu Thalib tetap melindungi Nabi Muhammad SAW meski tidak memeluk Islam semasa hidupnya karena ia adalah paman Nabi Muhammad yang telah merawatnya sejak yatim piatu pada usia 8 tahun.

Mengutip dari Buku Pintar Sejarah Islam karya Qasim A. Ibrahim & Muhammad A. Saleh, Abu Thalib telah mengasuh dan melindungi Nabi dengan baik selama kurang lebih 42 tahun. Bahkan, Abu Thalib lebih mengutamakan Nabi dibanding anak-anak kandungnya sendiri.

Selama itu, Abu Thalib selalu setia melindungi, menemani, dan membela keponakannya hingga ajal menjemputnya, yakni sepuluh tahun setelah Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul.

Dilansir dari buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik karya Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A. ketika Nabi Muhammad menyiarkan Islam, beliau turut melarang adanya berhala-berhala yang disembah oleh para pembesar Quraisy dan kaumnya.

Suatu hari Abu Thalib pernah didatangi oleh pemuka kafir Quraisy, Abu Sufyan bin Harb, kemudian ia berkata,

“Abu Thalib, keponakanmu itu sudah mencaci maki berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan menganggap sesat nenek moyang kita. Sekarang harus kau hentikan ia. Kalau tidak, biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau mewakili pihak kami menghadapi dia.”

Namun, permintaan dari pemuka kafir Quraisy tersebut ditolak dengan baik oleh Abu Thalib. Kafir Quraisy pun tetap terus-terusan bersekongkol melawan dakwah Nabi Muhammad SAW.

Di hari yang lain, mereka mendatangi Abu Thalib dengan membawa seorang pemuda rupawan bernama Umarah bin Walid bin Mughirah yang akan mereka berikan kepada Abu Thalib sebagai anak angkat.

Sebagai gantinya, Abu Thalib harus menyerahkan Nabi Muhammad SAW kepada mereka. Akan tetapi, usaha dan upaya kafir Quraisy ini kembali ditolak oleh Abu Thalib.

Dengan kemauan yang keras dan gigih, para elite Quraisy mendatangi Abu Thalib lagi seraya berkata, “Engkau sebagai orang yang terhormat di kalangan kami. Kami telah meminta kepadamu agar menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga kau lakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan mencela berhala-berhala kita. Kau suruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia sampai salah satu pihak nanti binasa.”

Berat sekali bagi Abu Thalib untuk berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Namun, di sisi lain ia tak sampai hati menyerahkan atau membuat keponakannya itu kecewa atau ditimpa mara bahaya yang dirancang oleh pemuka Quraisy itu.

Abu Thalib kemudian memanggil Nabi Muhammad SAW dan menceritakan maksud para pemuka Quraisy tersebut. Ia mengimbau kepada Nabi Muhammad, “Jagalah aku, begitu juga jagalah dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”

Mendengar ucapan Abu Thalib itu, Nabi Muhammad SAW mengira pamannya tidak bersedia lagi melindunginya. Dengan nada yang santun, Nabi SAW pun berkata kepada pamannya,

“Paman, demi Allah! Kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau aku binasa karenanya.”

Setelah mengucapkan pernyataan itu, Nabi Muhammad SAW dengan ekspresi sedih menundukkan wajahnya seraya menangis meneteskan air mata. Ketika membalikkan badan hendak pergi, Abu Thalib memanggilnya, “Menghadaplah kemari, Anakku!”

Nabi Muhammad SAW pun berpaling mengharap ke arah Abu Thalib lalu pamannya berkata, “Pergilah dan lakukanlah apa yang kamu kehendaki. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan kamu kepada mereka karena alasan apapun untuk selama-lamanya.”

Pernyataan Abu Thalib itu sangat membesarkan dan meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan gerakan dakwahnya.

Demikianlah sosok Abu Thalib yang senantiasa melindungi dan membela Nabi Muhammad SAW dengan tulus meskipun dirinya tidak memeluk Islam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Menikah dengan Putri Nabi SAW, Apa Mahar dari Ali bin Abi Thalib?



Jakarta

Mahar atau maskawin menjadi suatu persyaratan yang wajib ada dalam pernikahan. Mahar menjadi salah satu hak istri yang jadi kewajiban bagi suami.

Mengutip dari buku Fiqh Keluarga Terlengkap karya Rizem Aizid, mahar adalah wadh (ganti) yang wajib diberikan kepada istri sebagai konsekuensi dari perkawinan (menikahi dan menyetubuhinya).

Dalam Islam, besar kecilnya mahar sangat bergantung pada kebiasaan, situasi, serta kondisi. Besar kecilnya mahar dalam Islam berpedoman pada sifat kesederhanaan dan ajaran kemudahan. Hal ini juga dapat dilihat salah satunya pada kisah Ali bin Abi Thalib ketika menikah dengan Fatimah, putri Rasulullah SAW.


Saat menikah dengan putri Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib adalah pemuda yang belum mapan dalam hal kepemilikan harta. Meski demikian, Rasulullah SAW memintanya untuk memberikan sesuatu terlebih dahulu kepada calon istrinya.

Lantas, apa mahar dari Ali bin Abi Thalib yang diberikan kepada putri Nabi? Berikut kisahnya tatkala Ali memberanikan diri melamar putri Rasulullah.

Ali bin Abi Thalib Melamar Fatimah Putri Rasulullah

Dikisahkan dalam buku Ali bin Abi Thalib RA karya Abdul Syukur al-Azizi, sebelum menikah dengan Fatimah, Sayyidina Ali pernah merasa tidak yakin kalau dirikan akan menjadi menantu yang ditunggu oleh Rasulullah SAW.

Ali bin Abi Thalib menyadari dirinya hanyalah pemuda miskin dan banyak dari kalangan sahabat Rasulullah SAW yang terlihat lebih pantas meminang Fatimah. Ia juga merasa bahwa secara ekonomi tidak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.

Namun, Ali bin Abi Thalib tidak bisa meminta Fatimah menantikannya hingga dirinya siap. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib pun memberanikan diri untuk menghadap Rasulullah SAW dan menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fatimah RA.

Sesampainya di rumah Rasulullah SAW, Ali RA hanya duduk di samping beliau dan tertunduk diam. Rasulullah SAW pun bertanya, “Wahai putra Abu Thalib, apa yang kamu inginkan?”

Sejenak Ali bin Abi Thalib RA terdiam dan tubuhnya penuh keringat. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah.”

Seluruh beban yang selama ini menghimpit batinnya terasa lepas setelah mengutarakan perasaannya itu. Mendengar pernyataan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW tidak terkejut karena beliau mengetahui Ali mencintai putrinya.

Sebagai ayah yang bijak, Rasulullah SAW tidak langsung menerima lamaran Ali bin Abi Thalib. Beliau menanyakan dahulu kepada putri tercintanya atas ketersedian menerima lamaran tersebut.

Setelah Fatimah menyetujui, kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada Ali bin Abi Thalib RA, apakah ia memiliki sesuatu yang bisa dijadikan mahar?

Ali bin Abi Thalib merasa malu kepada Rasulullah SAW karena ia tidak memiliki apapun yang dapat dijadikan mahar. Apalagi sejak kecil ia dihidupi oleh beliau. Peristiwa tersebut turut dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Ummu Salamah RA.

Mahar dari Ali bin Abi Thalib Saat Menikahi Putri Nabi

Dikisahkan bahwa pada saat itu, wajah Rasulullah SAW tampak berseri-seri. Seraya tersenyum, beliau bertanya kepada Ali bin Abi Thalib.

“Wahai Ali, apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan sebagai mas kawin?”

“Demi Allah, Anda sendiri mengetahui keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak Anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang, dan seekor unta,” Jawab Ali bin Abi Thalib.

“Tentang pedangmu itu, kamu tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah SWT. Dan, untamu itu kamu perlukan untuk mengambil air bagi keluargamu dan kamu memerlukannya dalam perjalanan jauh.

Oleh karena itu, aku hendak menikahkan kamu dengan maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Wahai Ali, kamu wajib bergembira karena Allah SWT sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkanmu di langit sebelum aku menikahkan kamu di bumi.”

Akhirnya, Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah dengan mahar baju besi yang dijualnya seharga 500 dirham dan menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW.

Kemudian, Rasulullah SAW membagi uang tersebut menjadi 3 bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian, dan satu bagian lagi dikembalikan kepada Ali RA sebagai biaya untuk jamuan makan bagi para tamu yang menghadiri pernikahan.

Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah pada bulan Dzulhijjah tahun kedua Hijriyah. Pernikahan mereka melahirkan dua orang putra dan dua orang putri. Putranya bernama Hasan dan Husein, sedangkan putrinya bernama Zainab dan Ummu Kultsum.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Islam tidak menetapkan jumlah baku mahar yang harus dibayar, melainkan menyesuaikan dengan kemampuan calon suami dan kesepakatan dengan calon istri.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com