Tag Archives: Rasulullah SAW

Kisah Juraij, Ahli Ibadah yang Durhaka terhadap Ibunya



Jakarta

Ada seorang ahli ibadah yang dikisahkan durhaka pada ibunya karena melalaikan panggilan dari sang ibu. Kisahnya bahkan diabadikan dalam riwayat hadits yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW.

Juraij namanya. Ia adalah sosok lelaki dari Bani Israil yang dikisahkan rajin beribadah bahkan disebut sebagai sosok pemilik rumah ibadah. Kisah tersebut bersumber dari Abu Hurairah RA yang pernah mengutip cerita dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengisahkan,

“Tidak ada seorang bayi pun yang dapat berbicara ketika sedang digoyang dalam buaian, kecuali Isa ibnu Maryam dan bayi yang disebut dalam cerita tentang Juraij,”


Lalu, dikutip dari buku Shahih Adabul Mufrad oleh Imam Bukhari, ada yang bertanya, “Wahai Nabi Allah, bagaimana cerita tentang Juraij?”

Rasulullah SAW menjawab, “Juraij adalah seorang yang selalu beribadah di tempat ibadahnya. Di bawah tempat ibadahnya ada seorang penggembala sapi, dan seorang perempuan dari desa tersebut berzina dengan penggembala sapi tersebut.”

Suatu hari, ibu Juraij datang saat Juraij sedang beribadah dan memanggilnya dengan nama ‘Juraij’ ketika dia sedang beribadah. Juraij merasa ragu antara menjawab ibunya atau melanjutkan salatnya.

Namun, pada akhirnya, Juraij memilih untuk melanjutkan salatnya. Ibunya memanggilnya kedua kalinya, dan Juraij kembali memilih salatnya.

Ibunya kemudian memanggil untuk ketiga kalinya dan dalam hatinya Juraij berpikir, “Ibuku atau salatku?’ Sekali lagi, dia memilih untuk melanjutkan salatnya.

Karena Juraij tidak kunjung menjawab panggilannya, ibunya marah dan berdoa, “Semoga Allah tidak mematikanmu, wahai Juraij, kecuali jika engkau melihat wajah perempuan-perempuan pelacur.” Setelah itu, ibunya pergi.

Pada suatu hari, tiba-tiba, seorang wanita yang melahirkan anak hasil perzinahan dihadapkan kepada seorang raja. Raja bertanya, “Siapa yang menghamilimu?”

Wanita itu menjawab, “Dari Juraij.” Raja bertanya lagi, “Pemilik tempat ibadah itu?” Wanita itu menjawab, “Ya.”

Raja kemudian memerintahkan bawahannya untuk menghancurkan tempat ibadah itu. Ia juga meminta bawahannya untuk membawa Juraij kepadanya.

Masyarakat kemudian menghancurkan tempat ibadah itu dengan berbagai macam alat seperti martil dan kapak, hingga tempat ibadah itu roboh. Juraij kemudian diikat dan ditarik melewati para wanita pelacur sambil tersenyum dan para pelacur itu ditampilkan di hadapannya di tengah kerumunan orang.

Sang raja berkata, “Apa yang mereka tuduhkan kepadamu?”

Juraij menjawab, “Apa yang mereka tuduhkan terhadapku?”

Raja berkata, “Mereka menuduhmu sebagai ayah anak ini.”

Juraij bertanya, “Di mana bayi itu?” Mereka menjawab, “Itu, bayi yang ada di pangkuannya.”

Juraij mendekati bayi itu dan bertanya, “Siapa ayahmu?’

Bayi itu menjawab, “Penggembala sapi.”

Setelah itu, sang raja pun merasa bersalah terlalu gegabah menuduh Juraij. Hingga ia pun menawarkan, “Apakah kami harus membangun kembali tempat ibadahmu dari emas?”

Juraij menjawab, “Tidak.” Sang raja bertanya lagi, “Dari perak?”

Juraij menjawab, “Tidak.” Lalu sang raja berkata, “Lalu dengan apa kami harus mengganti tempat ibadahmu?”

Juraij menjawab, “Kembalikan tempat ibadah itu seperti semula.” Namun, setelahnya, Juraij tersenyum seakan teringat sesuatu.

Sang raja bertanya, “Kenapa engkau tersenyum?”

Juraij menjawab, “(Aku tertawa) karena suatu perkara yang sudah kuketahui, yaitu terkabulnya doa ibuku terhadap diriku,”

Begitulah kisah Juraij, Allah SWT mengabulkan doa orang tua kepada anaknya dan menolong Juraij dengan mukjizat bayi yang bisa bicara agar menjadi pelajaran bagi umat muslim semua.

Kisah ini memiliki kaitan erat dengan bagaimana mustajabnya doa kedua orang tua apalagi yang dizalimi atau didurhakai. Rasulullah SAW dalam haditsnya pernah bersabda, “Terdapat tiga doa yang tidak pernah diragukan kemustajabannya, yaitu, doa orang orang yang dizhalimi (dianiaya), doa orang musafir, dan doa kedua orang tua kepada anaknya.”

Wallahu’alam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Bakar Temani Rasulullah SAW Hijrah ke Madinah


Jakarta

Rasulullah SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah untuk menyebarkan syiar dakwah ajaran Islam. Seorang sahabat mendampingi dengan setia, dia adalah Abu Bakar Ash Shiddiq RA.

Sebelum Rasulullah SAW melakukan perjalanan hijrah, Abu Bakar RA menjadi orang yang sangat ingin berhijrah. Abu Bakar RA bahkan telah menyiapkan beberapa keperluan yang nantinya akan dibawa selama perjalanan hijrah.

Merangkum buku, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid 1 yang ditulis oleh Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri, Ibu Ishaq mengatakan bahwa Abu Bakar RA seringkali meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk pergi berhijrah ke Madinah. Abu Bakar RA pun bahkan telah membeli dua ekor unta, sebagai kendaraan untuk persiapan berhijrah. Dua ekor unta itu kemudian ia pelihara di rumahnya, sambil menunggu waktu hijrah tiba.


Mengetahui Abu Bakar RA sangat bersemangat, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah engkau terlalu terburu-buru, mudah-mudahan Allah akan memberimu teman.”

Persiapan Hijrah Rasulullah SAW Ditemani Abu Bakar

Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah Ummul Mukminin berkata, “Rasulullah biasanya datang ke rumah Abu Bakar di waktu sore atau pagi. Pada hari Allah mengizinkan dan memerintahkan beliau untuk berhijrah, beliau datang pada tengah hari.”

Abu Bakar RA yang melihat kedatangan Rasulullah SAW ke rumahnya terkejut dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau tidak datang di waktu seperti ini melainkan untuk sesuatu yang penting.”

Kala itu di dalam rumah Abu Bakar RA hanya ada kedua anaknya, yaitu Aisyah RA dan saudarinya Asma’ binti Abu Bakar.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengizinkanku keluar dari Makkah untuk berhijrah.”

Aisyah RA berkata, “Demi Allah, aku belum pernah melihat orang menangis karena gembira, saat itu aku melihat pada Abu Bakar.”

Abu Bakar RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa aku boleh menemanimu ya Rasulullah?
Rasulullah SAW pun menjawab, “Engkau boleh menemaniku.”

Abu Bakar RA langsung berkata, “Ya Nabi Allah, sesungguhnya aku telah mempersiapkan dua ekor unta untuk berhijrah, silakan engkau ambil.”

Rasulullah SAW lalu mengambilnya, namun tidak secara cuma-cuma melainkan membelinya dari Abu Bakar RA. Keduanya kemudian melakukan persiapan untuk perjalanan panjang dari Makkah ke Madinah.

Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA kemudian menyewa Abdullah bin Uraiqith seorang dari Bani Ad-Dail bin Bakr dan ibunya yang berasal dari Bani Sahm bin Amr seorang musyrik, yang akan menjadi petunjuk jalan bagi mereka.

Akhirnya, Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA menyerahkan unta tersebut kepadanya sampai hari yang telah ditentukan oleh keduanya untuk melakukan perjalanan.

Pada tahun 622 Masehi atau 13 tahun pasca kenabian, Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekah menuju Madinah. Mereka melakukan perjalanan hijrah secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari kejaran kaum Quraisy.

Ancaman kepada Rasulullah SAW

Kaum Quraisy merasa marah karena mendengar kabar tentang banyaknya orang-orang kaum Anshar dan Muhajirin yang telah memeluk agama Islam. Atas dasar tersebut, mereka sangat mewaspadai keluarnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah.

Kaum Quraisy bahkan bersepakat membuat rencana untuk menyerang, dan telah menyusun rencana untuk membunuh Rasulullah SAW.

Ketika orang-orang kafir dari kaum Quraisy mengetahui bahwa Nabi SAW dan Abu Bakar RA sudah pergi dari Makkah, mereka langsung mencari dan menyiapkan hadiah seratus unta bagi orang yang berhasil menangkap Rasulullah SAW untuk diserahkan kepada mereka.

Abu Bakar RA merasa khawatir dan bersedih, setiap kali ada orang yang akan memburu mereka dalam perjalanan. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah engkau bersedih, karena sesungguhnya Allah bersama kita” lalu beliau melanjutkan membaca doa ” Ya Allah, lindungilah kami dari mereka menurut kehendak-Mu.”

Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat At Taubah ayat 40,

إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ ٱللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ثَانِىَ ٱثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِى ٱلْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَٰحِبِهِۦ لَا تَحْزَنْ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُۥ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱلسُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ ٱللَّهِ هِىَ ٱلْعُلْيَا ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA memilih untuk melewati Gunung Tsur setelah menempuh perjalanan sejauh 5 mil (sekitar 8 km). Tempat ini medannya sulit karena jalannya menanjak dan banyak bebatuan besar.

Abu Bakar Ash-Shiddiq RA sempat memapah beliau hingga tiba di sebuah gua di puncak gunung. Gua tersebut dikenal dengan Gua Tsur. Keduanya lalu bersembunyi di dalam gua selama tiga malam, dari malam Jumat hingga malam Minggu.

Kedatangan Rasulullah SAW di Madinah

Kedatangan Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA disambut baik oleh penduduk Madinah. Kaum muslimin di Madinah yang telah mendengar keberangkatan Abu Bakar RA dan Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah merasa sangat gembira.

Dikutip dari buku “Kisah Teladan Sepanjang Zaman: Rasullullah dan Para Sahabat” karya Syaikh Muhammad Yusuf, orang yang pertama kali melihat kedatangan Rasulullah SAW adalah seorang Yahudi. Pada saat itu orang Yahudi tersebut melihat kedatangan mereka dari atap rumahnya, setelah itu ia langsung berteriak keras memanggil penduduk Madinah untuk memberitahukan mengenai kedatangan Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA.

Penduduk Madinah pun segera keluar dan pergi ke batas kota untuk menyambut kedatangan mereka. Namun,orang-orang belum pernah melihat wujud dari Rasulullah SAW. Pada saat itu kaum Anshar langsung mendatangi dan menyalami Abu Bakar RA, karena mereka mengira Abu bakar RA adalah Rasulullah SAW.

Al Baihaqi telah meriwayatkan dalam Al-Bidayah: 3/197, dari Aisyah RA mengatakan, “Ketika Rasulullah dan Abu Bakar tiba di kota Madinah, saking bahagianya penduduk di sana banyak kaum wanita dan anak-anak membacakan syair:

“Telah muncul bulan purnama ke atas kami yang datang dari bukit, Tsaniyatil Wada’, wajib bersyukur atas kami dan atas ajakanya kepada Allah.”

Setibanya di Madinah, bertepatan dengan hari Senin bulan Rabi’ul Awal Rasulullah SAW tinggal di kediaman Bani Amir bin Auf. Selama di sana, beliau membangun masjid di Quba. Beliau menjadi orang yang meletakan batu pertama untuk pembangunan Masjid Quba, yang dibangun atas dasar ketakwaan kepada Allah SWT.

Peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah ini menjadi peristiwa yang kemudian dikenang sebagai awal tahun Hijriyah.

(rah/kri)



Sumber : www.detik.com

Hakim Agung Zaman Rasulullah yang Pandai Putuskan Perkara, Ini Sosoknya


Jakarta

Rasulullah SAW memiliki sahabat yang pandai memutuskan perkara. Kecerdasannya itu membuatnya disebut-sebut sebagai hakim agung era nabi.

Adalah Amr bin Ash. Diceritakan dalam buku Politik Hukum: Studi Perbandingan dalam Praktik Ketatanegaraan Islam dan Sistem Hukum Barat karya Abdul Manan, Rasulullah SAW pernah menunjuknya untuk menyelesaikan kasus.

Rasulullah SAW bersabda kepada Amr bin Ash, “Hai Amr, putuskanlah permasalahan ini.” Amr berkata, “Apakah aku akan berijtihad, sedangkan baginda Rasul masih di sini?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, kalau ijtihadmu benar, maka engkau akan mendapat dua pahala dan kalau salah engkau akan mendapat satu pahala.”


Imam Bukhari dan Muslim mengeluarkan riwayat tersebut dalam kitabnya. Al-Bukhari menyebutnya dalam bahasan Al-I’tisham bab Ajru Al-Hakim Idza Ijtahada fa Ashaba aw Akhtha’a dan Muslim menyebutnya dalam bahasan Al-Aqdhiyah bab Bayan Ajri Al-Hakim Idza Ijtahada fa Ashaba aw Akhtha’a. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i.

Sosok Amr bin Ash

Menurut sebuah riwayat sebagaimana dinukil Abdurrahman Ra’fat al-Basya dalam Shuwar min Hayatish Shabah 65 Syakhshiyyah, Amr bin Ash memeluk Islam setelah ia merenung dan berpikir cukup panjang. Rasulullah SAW pernah bersabda tentang diri Amr, “Para manusia telah masuk Islam, dan Amr bin Ash telah beriman.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi)

Abdurrahman Ra’fat al-Basya menjelaskan, barangkali maksud hadits tersebut adalah orang-orang yang masuk Islam pada tahap-tahap akhir.

Amr bin Ash juga dikenal sebagai ahli makar dan tipu daya bangsa Arab. Ia termasuk salah seorang paling jenius di antara mereka. Semasa hidupnya, Amr bin Ash berhasil menaklukkan dua daerah besar dan makmur. Keduanya adalah Palestina dan Mesir. Keberhasilannya dalam menaklukkan wilayah tersebut tak luput dari kecerdikan yang ia miliki.

Amr bin Ash tak sedikit mengucapkan sesuatu yang sarat akan makna. Ia pernah berkata bahwa manusia itu terbagi menjadi tiga, yakni manusia yang sempurna, separuh manusia, dan manusia yang tak bermakna.

Manusia yang sempurna, kata Amr bin Ash, adalah manusia yang lengkap agama dan akalnya. Ketika akan memutuskan suatu perkara, ia akan meminta pendapat orang-orang cerdas sehingga ia akan terus mendapatkan petunjuk.

Sedangkan separuh manusia, lanjut Amr bin Ash, adalah orang yang disempurnakan agama dan akalnya oleh Allah SWT. Jika ia akan memutuskan suatu perkara, ia tidak meminta pendapat orang lain dan ia berkata, “Manusia seperti apa yang mesti aku ikuti pendapatnya kemudian aku akan meninggalkan pendapatku dan mengikuti pendapatnya?” Hal ini membuatnya terkadang benar dan terkadang salah.

Adapun, manusia yang tak bermakna yang dimaksud Amr bin Ash adalah orang yang tidak beragama dan tidak berakal. Amr bin Ash menyebut, manusia jenis ini akan selalu keliru dan terbelakang.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah SAW Menerima Wahyu Pertamanya



Jakarta

Rasulullah SAW merupakan nabi sekaligus rasul penutup yang terakhir diutus oleh Allah SWT. Beliau lahir di Makkah pada 12 Rabiul Awwal tahun Gajah yang mana bertepatan dengan 570 M.

Ayah Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dan ibunya Aminah binti Wahab. Abdullah adalah seorang saudagar yang sering bepergian ke Negeri Syam.

Sayangnya, Abdullah wafat ketika usia kandungan Aminah 2 bulan. Akhirnya, Nabi Muhammad lahir tanpa sosok ayah.


Setelah lahir pun, ia diserahkan pada Halimah Sa’diah untuk disusui. Zaman dahulu, masyarakat Arab memiliki kebiasaan menyusui anak-anak mereka kepada perempuan desa seperti mengutip dari arsip detikHikmah.

Adapun, mengenai wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW ialah di Gua Hira yang berupa surat Al Alaq ayat 1-5. Dalam pendapat terkuatnya, momen penerimaan wahyu itu terjadi pada 17 Ramadan 610 M.

Dalam buku 1001 Fakta Dahsyat Mukjizat Kota Makkah oleh Asima Nur Salsabila, Gua Hira juga disebut sebagai Jabal Nur. Letaknya di sebelah timur laut Masjidil Haram yang berada di jalur jalan Thaif (Sael), sekitar 4 km dari Masjidil Haram.

Pada bukit tersebut, Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu: “Iqra” yang artinya bacalah. Kisah turunnya wahyu pertama Rasulullah diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA, ia berkata:

“Turunnya wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW dalam bentuk mimpi ketika waktu beliau tidur. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Semenjak saat itu hati beliau tertarik untuk mengasingkan diri (khalwat) ke Gua Hira. Dan di situ beliau beribadah selama beberapa malam, dan tidak pulang ke rumah istrinya Khadijah RA. Kemudian beliau membawa perbekalan yang cukup. Setelah perbekalannya habis, beliau kembali kepada Khadijah, untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya. Lalu beliau kembali ke Gua Hira, pada suatu ketika datang kepadanya kebenaran (wahyu), yaitu sewaktu beliau masih berada di Gua Hira.

Malaikat Jibril datang kepadanya, lalu berkata: “Bacalah,”

Nabi menjawab: “Aku tidak bisa membaca,”

Nabi menceritakan maka aku ditarik dan dipeluknya hingga aku kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan di suruh membaca. Malaikat Jibril berkata: “Bacalah,”

Aku menjawab: “Aku tidak bisa membaca,”

Lalu aku dilepaskannya dan di suruh membaca. Malaikat Jibril berkata: “Bacalah,”

Aku menjawab: “Aku tidak bisa membaca,”

Maka aku ditarik dan dipeluknya lagi untuk ketiga kali. Kemudian aku dilepaskannya sambil dia berkata:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya,” (QS Al-Alaq 1-5)

Disebutkan dalam buku Fikih Sirah karya Said Ramadhan Al-Buthy bahwa gambaran ketakutan yang dialami oleh Rasulullah SAW saat itu semakin tebal karena beliau mengira yang menemuinya di dalam Gua Hira adalah sebangsa Jin.

(aeb/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Cucu Nabi Muhammad SAW di Bulan Muharram


Jakarta

Kisah wafatnya cucu Rasulullah SAW pada bulan Muharram dianggap sebagai salah satu kejadian paling kelam pasca wafatnya Rasulullah SAW dalam sejarah Islam. Hal ini diterangkan melalui beragam riwayat.

Salah satu riwayat yang menerangkan akan kengenasan peristiwa ini adalah dari Imam as-Suyuthi yang mengutip dari hadits riwayat Tirmidzi tentang kisah Salma yang bertemu dengan Ummu Salamah RA, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sedangkan Husain terbunuh pada tahun 61 H). Dalam riwayat tersebut, Salma bertanya, “Mengapa Anda menangis?”

Ummu Salamah RA menjawab, “Semalam, aku bermimpi melihat Rasulullah SAW, kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Aku bertanya, ‘Mengapa engkau, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Aku baru saja menyaksikan pembunuhan Husain.'”


Meskipun para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang waktu terbunuhnya Sayyidina Husain RA. Namun mayoritas ulama, seperti Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, dan Ibnu Hajar al-Asqalani, cenderung yakin bahwa Husain wafat pada hari Asyura bulan Muharram tahun 61 H.

Sementara usianya juga menjadi perdebatan, ada yang menyebutkan 58 tahun, 55 tahun, dan 60 tahun. Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa usia Sayyidina Husain RA yakni 56 tahun.

Kisah Wafatnya Cucu Nabi Muhammad di Bulan Muharram

Kisah berawal dari Husain RA yang diuji dengan penderitaan yang sangat berat. Satu per satu orang yang dicintainya meninggalkan dunia ini.

Kakeknya, Rasulullah SAW, wafat karena sakit. Ibunya, Fatimah Az-Zahra RA, juga meninggal karena sakit. Sementara ayahnya, Ali bin Abi Thalib RA, tewas dibunuh saat sedang menjalankan salat subuh. Kakaknya, Hasan bin Ali RA, wafat sebagai syuhada.

Namun, Husain RA menghadapi semua ujian tersebut dengan penuh kesabaran.

Dikisahkan bahwa ketika Yazid bin Mu’awiyyah RA dinobatkan sebagai khalifah, Husain RA menolak tunduk kepadanya. Demikian pula dengan kaum muslimin lainnya. Sebab Yazid RA merupakan seorang yang korup. Dia gemar minum khamar dan menikmati kesenangan duniawi seperti bermain dengan kera dan anjing-anjingnya.

Namun, Yazid RA berhasil menduduki posisi kepemimpinannya karena mewarisi jabatan ayahnya, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan RA. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Rasulullah SAW.

Ketika berada di Makkah, Husain RA menerima banyak surat dukungan dari penduduk Kufah. Surat-surat itu penuh dengan harapan untuk kehadirannya di Kufah dan menjadi khalifah.

Husain saat itu berada di Madinah, ia menolak sumpah setia kepada Yazid RA karena kelakuan buruknya.

Akhirnya, Husain RA mengutus saudara sepupunya, Muslim bin Aqil RA, sebagai duta atau wakilnya untuk pergi ke Kufah. Husain RA meminta agar saudara sepupunya tinggal bersama orang-orang yang paling setia di Kufah.

Pada akhirnya, Muslim bin Aqil RA tinggal bersama Al Mukhtar. Rakyat Kufah pun menyambut kedatangannya dengan antusias. Namun, ternyata semua itu hanyalah kepalsuan belaka.

Menurut buku Sejarah Agung Hasan dan Husain karya Ukasyah Habibu Ahmad, Husain RA tetap pada pendiriannya untuk menuju Kufah. Setelah tiba di daerah Bathnur Rummah, ia mengirim surat kepada penduduk Kufah untuk memberitahukan bahwa dirinya sudah sampai di Bathnur Rummah.

Ia mengutus Qais bin Mashar as-Saidawi RA, namun nahas, Qais bin Mashar as-Saidawi RA tertangkap oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad RA dan kemudian dibunuh. Namun, Husain RA tetap melanjutkan perjalanannya hingga tiba di Zarud.

Ketika hendak meninggalkan wilayah tersebut, ia baru menerima berita bahwa Muslim bin Aqil RA dan Hani’ bin Urwah RA telah terbunuh. Selain itu, ia juga mendapatkan informasi tentang pengkhianatan dari orang-orang Kufah.

Setelah menyadari semua itu, Husain RA memutuskan untuk pulang. Namun, orang-orang Bani Aqil berpendapat, “Bagi kami, hidup tidak ada artinya setelah Muslim bin Aqil terbunuh. Kami tidak akan kembali sampai mati.”

Mendengar hal tersebut, Husain RA berkata, “Lalu, apa gunanya aku hidup setelah mereka mati?”

Husain RA memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan memperbolehkan rombongannya untuk memilih kembali atau tetap bersamanya. Ketika sampai di Zubalah, ia dan rombongannya bertemu dengan Umar bin Sa’ad dan Ibnul Asy’ats yang membawa surat dari Muslim bin Aqil RA yang berisi ketidakpedulian penduduk Kufah terhadap dirinya.

Meskipun sempat dihadang oleh al-Hurru bi Yazid at-Tamimi atas perintah Ubaidillah bin Ziyad RA, Husain RA akhirnya tiba di Karbala pada 2 Muharram 61 H. Kedatangannya disambut dingin oleh penduduk setempat yang konon mencapai 100.000 orang yang siap menyatakan janji setia kepada Husain RA. Ternyata kekhawatiran keluarga dan sahabat Husain RA menjadi kenyataan.

Pada akhirnya, Husain RA bersama rombongan dikepung selama beberapa hari, tepat pada tanggal 10 Muharram 61 H. Sebanyak 5.000 pasukan yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash RA menyerbu rombongan Husain RA.

Tujuan pengepungan ini adalah atas perintah Ubaidillah bin Ziyad RA yang hendak memaksa Husain RA untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah RA.

Menurut sejarawan, rombongan Husain RA hanya berjumlah 72 orang, terdiri dari 32 prajurit berkuda dan 40 pejalan kaki, sementara sisanya adalah anak-anak dan perempuan. Dengan jumlah yang tidak seimbang seperti itu, tentu saja pasukan Husain RA kalah telak. Dalam pertempuran itu, akhirnya hanya menyisakan dirinya dan sebagian keluarganya yang terdiri atas wanita dan anak-anak.

Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wan Nihayah mencatat bahwa pada 10 Muharram, pasukan Ubaidillah bin Ziyad RA memukul kepala Husain RA dengan pedang hingga berdarah. Husain RA membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya.

Balutan kain tersebut cepat dipenuhi oleh darah. Husain RA menerima luka di lehernya ketika seorang penembak melepaskan panah. Meskipun lehernya terluka, Husain RA tetap hidup dan berjalan menuju sungai karena merasa haus.

Namun, pasukan tidak mengizinkannya minum dan menghalangi Husain RA untuk mendapatkan air. Ibnu Katsir juga menyebutkan bahwa Husain RA terbunuh oleh Sina bin Anas bin Amr Nakhai, yang menusuk lehernya dengan tombak, kemudian menyampaikan kepala Husain kepada Khawali bin Yazid.

Meskipun ada perbedaan pendapat tentang waktu tewasnya Husain RA, mayoritas ulama meyakini bahwa ia wafat pada hari Asyura bulan Muharram tahun 61 H, pada usia sekitar 56 tahun.

Menurut Rizem Aizid dalam bukunya, Mahar Bidadari Surga, Husain RA meninggal sebagai syuhada dalam jihad fisabilillah. Sehingga jenazahnya tidak perlu dimandikan atau diberi kain kafan, cukup dikubur dengan pakaian yang ia kenakan ketika berjuang di medan perang.

Karenanya, Husain RA tidak mendapatkan kain kafan dari Malaikat Jibril, karena kehormatan syahidnya dalam berjuang di jalan Allah SWT.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Baiat Ridwan di Bawah Pohon Rindang Usai Utsman Diisukan Wafat



Jakarta

Rasulullah SAW melakukan baiat bersama para sahabat usai tersiar kabar bahwa Utsman bin Affan RA telah dibunuh. Baiat tersebut dikenal dengan Baiat Ridwan, isinya berbeda dengan Baiat Aqabah.

Baiat Ridwan adalah sumpah yang diikrarkan para sahabat di hadapan Rasulullah SAW di bawah pohon rindang, sebagaimana dijelaskan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid. Baiat Ridwan berlangsung sebelum Perjanjian Hudaibiyah.

Diceritakan dalam Kitab Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah karya Said Rahman Al-Buthy, sebelum Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah SAW mengutus Utsman bin Affan RA untuk menemui orang-orang Quraisy guna merundingkan rencana kedatangan Rasulullah SAW ke Makkah. Dalam sumber lain dikatakan, kedatangan ini dalam rangka menunaikan haji.


Ketika menemui orang-orang Quraisy, mereka justru menawan Utsman bin Affan RA selama beberapa saat. Kabar bahwa Utsman bin Affan RA telah dibunuh pun tersiar setelah itu dan terdengar sampai ke telinga Rasulullah SAW.

“Kita tidak akan pergi dari sini sampai kita memerangi mereka,” sabda Rasulullah SAW kala itu. Kemudian, beliau mengajak para sahabat untuk berbaiat. Baiat itu diikrarkan tepat di bawah sebatang pohon rindang yang kemudian dikenal dengan baiat Ridwan.

Dalam baiat itu, Rasulullah SAW menggamit tangan salah seorang sahabat yang juga menggamit tangan sahabat lainnya secara bersambungan. Rasulullah SAW menumpangkan salah satu tangannya di atas tangan yang lain seraya berkata, “(Tangan) ini untuk Utsman.” Mereka lantas berbaiat untuk tidak akan meninggalkan tempat itu.

Usai baiat dilakukan, terdengar kabar bahwa terbunuhnya Utsman bin Affan RA hanyalah isapan jempol belaka.

Orang yang Hadir dalam Baiat Ridwan

Menurut Sayid Mundzir al-Hakim dkk dalam Al-Imam al-Hasan al-Mujtaba as, dua cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain menghadiri Baiat Ridwan. Keduanya turut serta bersama Rasulullah SAW.

“Nabi SAW memandang Hasan dan Husain–walaupun usianya masih sangat belia–layak dan siap memikul tanggung jawab besar tersebut,” jelas Sayid Mundzir al-Hakim dkk.

Baiat Ridwan disebut dihadiri oleh ratusan sahabat. Menurut Adz-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam Juz II, 700 orang yang hadir dalam Baiat Ridwan mengikuti Perang Jamal di pihak Amirul Mukminin.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Jahal, Musuh Islam yang Tamak



Jakarta

Nama Abu Jahal Al Makhzumi telah terpahat dalam lembaran sejarah Islam. Julukan “Abu Jahal,” yang artinya “bapak kebodohan,” digunakan untuk menggambarkan masa ketika masyarakat Arab berada dalam keadaan yang kurang mengenal dan tidak beriman kepada Allah SWT, sebagian besar dari mereka menyembah berhala.

Dikutip dari Buku Get Smart Pendidikan Agama Islam tulisan Udin Wahyudin, dijelaskan bahwa Abu Jahal Al Makhzumi adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di suku Quraisy, suatu kelompok masyarakat terkemuka di Makkah pada masa itu. Namun, reputasinya lebih banyak dikenal karena sikapnya yang sangat menentang dan memusuhi Nabi Muhammad SAW.

Tidak hanya dikenal sebagai seorang yang menentang ajaran Islam, Abu Jahal Al Makhzumi juga memiliki sifat sombong. Sikap angkuhnya dan perasaan bahwa dirinya lebih unggul dari yang lain, semakin memperkuat image Abu Jahal sebagai tokoh yang dzalim.


Perang Badar menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam, di mana para pemeluk agama Islam berhasil mempertahankan diri dan memenangkan pertempuran melawan para penentang. Dalam perang Badar, Abu Jahal ikut terlibat di dalamnya.

Meskipun Abu Jahal Al Makhzumi terus berusaha menghalangi dakwah Islam, sejarah membuktikan bahwa ajaran Islam terus berkembang pesat.

Kisah Abu Jahal

Dikutip dari Buku Dahsyatnya Tobat: 42 Kisah Orang yang Bertobat dikisahkan terdapat seorang raja di Makkah yang merasa berterimakasih kepada Rasulullah SAW karena telah membuatnya beriman. Singkat cerita, Rasulullah SAW membuatnya beriman dengan mukjizat membelah bulan dan menyatukannya kembali.

Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan penghargaan kepada Rasulullah SAW, raja ini kemudian memberikan hadiah yang sangat melimpah kepada Rasulullah SAW.

Dia menyiapkan lima ekor unta yang membawa emas, perak, dan kain untuk dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, serta beberapa budak untuk diberikan kepadanya. Namun, ketika rombongan pengantar hadiah mendekati kota Makkah, Abu Jahal menghadang mereka dan bertanya untuk siapa barang-barang tersebut.

Salah seorang dari rombongan menjawab bahwa semua barang ini ditujukan kepada Rasulullah, namun Abu Jahal menolak dan ingin merebutnya. Akhirnya, terjadi pertengkaran antara rombongan pengantar hadiah dan Abu Jahal beserta kawanannya.

Keributan ini baru mereda setelah warga Makkah dan paman-paman Rasulullah turun tangan. Para budak yang dihadiahkan kepada Rasulullah menyatakan bahwa harta tersebut memang untuk Nabi Muhammad.

Namun, Abu Jahal masih bersikeras bahwa hadiah itu sebenarnya ditujukan untuk dirinya, mencoba mengklaimnya sebagai miliknya. Rasulullah SAW yang juga hadir berbicara kepada warga Makkah, menanyakan apakah mereka masih mempercayainya. Mereka menjawab bahwa mereka masih percaya kepadanya.

Lalu, Rasulullah mengusulkan agar masalah ini diselesaikan dengan cara menanyakan langsung kepada unta-unta yang membawa hadiah. Jika mereka adalah hadiah untuk Nabi Muhammad, maka unta-unta itu akan memberikan jawaban yang jujur.

Namun, Abu Jahal menolak usulan itu dan meminta agar masalah ini ditunda hingga esok hari. Rasulullah setuju dengan usulan tersebut.

Keesokan harinya, Abu Jahal pergi ke kuil berhala dan berdoa dengan penuh kesungguhan kepada berhala-berhalanya sampai pagi hari, berharap untuk mendapatkan dukungan dari berhala-berhalanya.

Namun, ketika matahari terbit, seluruh penduduk Makkah berkumpul di tempat hadiah-hadiah dari sang raja. Rasulullah juga hadir di sana. Abu Jahal tampil dengan penuh percaya diri dan meminta unta-unta itu untuk berbicara atas nama berhala-berhalanya, yaitu Latta, Uzza, dan Manat.

Tidak ada satu pun dari unta-unta itu yang memberikan jawaban seperti yang diminta oleh Abu Jahal. Bahkan, salah satu unta secara luar biasa berbicara dengan suara yang nyaring dan dapat dipahami oleh semua orang yang hadir. Ia mengatakan bahwa mereka adalah hadiah dari sang raja yakni Habib bin Malik untuk Muhammad SAW.

Setelah itu, unta tersebut dibawa oleh Rasulullah ke Gunung Abu Qubais. Semua isi muatan emas, perak, dan kain dielu-elukan menjadi satu tumpukan. Rasulullah menyatakan kepada tumpukan hadiah yang berharga itu, “Jadilah kalian tanah.” Lalu, dengan ajaib, emas, perak, dan kain yang berasal dari hadiah Habib bin Malik berubah menjadi tanah, dan keajaiban itu masih menjadi kenyataan sampai saat ini.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Putri Rasulullah



Jakarta

Pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah berlangsung pada bulan Dzulhijjah tahun kedua Hijriyah. Kisah cinta keduanya hingga kini dikenang dan menjadi inspirasi banyak orang.

Sosok Ali bin Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Ia juga termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang pertama kali memeluk Islam.

Ketika berusia 6 tahun, Ali pernah menjadi anak asuh Rasulullah SAW dan Siti Khadijah. Beliau bersama sang istri membimbing Ali di rumahnya dan mengasuhnya dengan penuh kasih layaknya anak sendiri.


Perasaan Terpendam Ali terhadap Fatimah

Dikisahkan dalam buku Perempuan-Perempuan Surga oleh Imron Mustofa, tatkala Fatimah lahir, Ali bin Abi Thalib menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama putri Rasulullah SAW dan Siti Khadijah di rumah yang menjadi tempat tinggalnya.

Ali bin Abi Thalib telah mengetahui kemuliaan Fatimah sejak kecil. Ia sering memperhatikan Fatimah hingga diam-diam mengaguminya. Meskipun demikian, Ali bin Abi Thalib tetap berusaha menjaga hati dan pandangannya. Bahkan, Fatimah pun tidak tahu bahwa Ali menyimpan rasa yang luar biasa untuknya.

Ketika keduanya beranjak dewasa, Ali bin Abi Thalib berniat menghadap Rasulullah SAW untuk melamar sang putri yang selama ini dikaguminya. Akan tetapi, terbesit sedikit keraguan di dalam hatinya sebab menyadari ia hanyalah pemuda miskin dan tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada Fatimah.

Di tengah kembimbangannya, terdengar kabar bahwa Abu Bakar RA sudah lebih dulu mengajukan lamaran kepada Rasulullah SAW untuk Fatimah. Kemudian disusul dengan Umar bin Khattab RA yang juga datang untuk melamar putri beliau.

Sungguh berat perasaannya mengetahui Abu Bakar dan Umar yang terlihat lebih pantas mendampingi Fatimah. Namun, sungguh tidak ada yang mengetahui rencana Allah SWT.Di tengah perasaannya yang sempat layu, tak disangka lamaran Abu Bakar dan Umar bin Khattab ditolak secara halus oleh Rasulullah SAW.

Di tengah kegalauannya, salah seorang teman Ali dari kalangan Anshar berkata, “Mengapa kamu tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, kamulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.”

Ali bin Abi Thalib menyadari, secara ekonomi tidak ada yang menjanjikan pada dirinya. Ia hanya memiliki satu set baju besi beserta persediaan tepung untuk makanannya. Namun, ia ingin mencoba menjemput cintanya kepada Fatimah.

Lamaran Ali kepada Fatimah Putri Rasulullah

Melansir dari buku Ali bin Abi Thalib RA karya Abdul Syukur al-Azizi, Ali bin Abi Thalib akhirnya memberanikan diri menghadap Rasulullah SAW dan menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fatimah RA.

Setibanya di rumah Rasulullah SAW, Ali duduk di samping beliau dan tertunduk diam. Nabi SAW lalu bertanya, “Wahai putra Abu Thalib, apa yang kamu inginkan?”

Dengan suara bergetar dan tubuh berkeringat, Ali menjawabnya, “Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah.”

Setelah mengatakan perasaannya, seluruh beban yang selama ini menghimpit perasaannya terasa lega. Rasulullah SAW tidak terkejut mendengar pernyataan Ali, sebab beliau mengetahui Ali mencintai putrinya.

Sebagai ayah yang bijaksana, Rasulullah SAW menanyakan dahulu kepada putri tercinta atas ketersediaannya menerima lamaran tersebut. Setelah Fatimah menyetujui lamaran Ali, Rasulullah SAW bertanya, “Wahai Ali, apakah kamu memiliki sesuatu yang bisa dijadikan mas kawin?”

Kala itu, Ali bin Abi Thalib merasa malu karena dirinya tidak memiliki apapun. Terlebih sejak kecil ia dihidupi oleh Rasulullah SAW.

Ali kemudian menjawab, “Demi Allah, Anda sendiri mengetahui keadaanku. Tidak ada sesuatu tentang diriku yang tidak Anda ketahui. Aku tidak memiliki apapun selain sebuah baju besi, sebilah pedang, dan seekor unta.”

Mendengar jawaban Ali, Rasulullah SAW berkata, “Tentang pedangmu, kamu tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah SWT, dan untamu kamu perlukan untuk mengambil air bagi keluargamu serta untuk perjalanan jauh.

Karena itu, aku akan menikahkan kamu dengan mas kawin sebuah baju besi. Wahai Ali, kamu wajib bergembira karena Allah SWT sebenarnya sudah lebih dulu menikahkan kamu di langit sebelum aku menikahkanmu di bumi ini.”

Pernikahan Ali dan Fatimah dengan Mahar Baju Besi

Pada akhirnya, Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah berbekal baju besi yang dijualnya seharga 400 dirham. Ia menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW sebagai mahar pernikahannya.

Setelah itu, Rasulullah SAW membagi uang tersebut menjadi tiga bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian, dan satu bagian lagi dikembalikan kepada Ali untuk membiayai jamuan makan bagi para tamu yang menghadiri pernikahan.

Nabi SAW menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib seraya membacakan ijab kabul, “Wahai Ali, sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku menikahimu dengan Fatimah. Sungguh, aku telah menikahkanmu dengannya dengan mas kawin 400 dirham.”

Lantas Ali menjawabnya, “Aku ridha dan puas hati, wahai Rasulullah.”

Selesai mengucapkan akad, Ali bin Abi Thalib langsung sujud syukur kepada Allah SWT. Pernikahannya dengan Fatimah melahirkan dua orang putra dan dua orang putri. Kedua putranya bernama Hasan dan Husein, sementara kedua putrinya bernama Zainab dan Ummu Kultsum.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Saat Rasulullah SAW Terkena Sihir, Ini Doa yang Beliau Panjatkan


Jakarta

Praktik sihir sudah terjadi sejak zaman nabi. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah terkena sihir dari orang Yahudi bani Zuraiq.

Disebutkan dalam Ash-sihr karya Mutawalli Sya’rawi, orang Yahudi yang mengirim sihir kepada Rasulullah SAW bernama Labid bin Al A’sham. Hal ini diketahui dari riwayat yang diceritakan oleh Aisyah RA.

Kisah saat Rasulullah SAW Terkena Sihir

Aisyah RA menceritakan, Rasulullah SAW pernah disihir oleh seorang Yahudi bani Zuraiq yang bernama Labid bin Al ‘Asham. Sehingga, kata Aisyah RA, Rasulullah SAW mengkhayalkan suatu perbuatan padahal beliau tidak mengerjakannya.


Pada suatu waktu, Rasulullah SAW terus berdoa kepada Allah SWT. Beliau kemudian berkata kepada Aisyah RA, “Hai, Aisyah, aku merasa Allah telah menjawab apa yang aku tanyakan. Aku didatangi dua orang laki-laki. Yang seorang duduk di dekat kepalaku dan yang seorang lainnya duduk di sisi kakiku.

Orang yang duduk di dekat kepalaku berkata kepada yang duduk di sisi kakiku, atau sebaliknya, yang duduk di sisi kakiku kepada yang di dekat kepalaku, ‘Apa penyakit orang ini?’ Orang itu menjawab, ‘Ia terkena sihir.’ Ia bertanya, ‘Siapa yang menyihirnya?’ Orang itu menjawab, ‘Labid bin Al A’sham.’ Ia bertanya, ‘Di mana diletakkan?’ Dia menjawab, ‘Di sumur Zarwan.'”

Selanjutnya Aisyah RA menuturkan bahwa Rasulullah SAW datang ke sumur itu bersama beberapa sahabatnya. Kemudian beliau bersabda, “Hai, Aisyah, demi Allah, seolah-olah warna airnya seperti warna air daun inai dan seakan-akan kurmanya seperti kepala-kepala setan.”

Aisyah RA lalu berkata, “Ya Rasulullah apakah tidak sebaiknya engkau bakar saja?”

Rasulullah SAW menjawab, “Tidak. Sesungguhnya Allah sudah menyembuhkan itu. Aku sudah memerintahkannya supaya ditanam saja.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dikatakan dalam buku Kumpulan Kisah dan Doa Para Nabi yang disusun oleh Abi Abbari, benda yang digunakan sebagai media menyihir Rasulullah SAW tersebut adalah sebuah boneka yang dibuat menyerupai Rasulullah SAW dengan menggunakan rambut dan ramuan lainnya. Boneka tersebut ditusuk dengan sebelas jarum.

Allah SWT menurunkan surah Al-Falaq sebagai doa penyembuhan untuk Rasulullah SAW. Baginda Nabi SAW diperintahkan untuk membacanya dan meniupkan ke dalam segelas air putih. Kemudian, air putih tersebut dioleskan ke seluruh tubuh Rasulullah SAW. Dengan keistimewaan surah Al-Falaq dan anugerah Allah SWT, Rasulullah SAW sembuh dari sihir yang ditujukan kepada beliau.

Doa agar Terhindar dari Sihir

Selain surah Al Falaq dan An Nas, ada juga doa yang bisa dibaca agar terhindar dari sihir. Diambil dari buku Do’a & Wirid: Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah tulisan Yazid bin Abdul Qadir Jawas, berikut doanya.

لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ

Arab Latin: Laa ilaha illallah wahdahu la syarika lahu lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumit, wa huwa ‘ala syai’in qadir

Artinya: “Tidak ada Tuhan Selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik Allah segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,”

Dijelaskan dalam buku tersebut, doa itu dapat dibaca 100 kali setiap hari, kapan pun, terutama setelah bangun tidur, sebelum tidur dan selepas salat wajib maupun sunnah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah Gendong Cucu Perempuannya saat Sholat



Jakarta

Rasulullah SAW semasa hidupnya sangat dekat dan menyayangi cucu-cucunya. Dalam sejumlah riwayat disebutkan, beliau beberapa kali pernah ditemani cucunya saat sholat.

Di tengah tugas dakwahnya yang berat, Rasulullah SAW selalu menyempatkan diri untuk bermain-main bersama sang cucu dan memberikan pendidikan akhlak yang baik kepada mereka. Beliau juga sering mencium cucunya sebagai bentuk rasa kasih sayang.

Dikisahkan dalam sebuah riwayat yang dinukil dari buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul oleh Azizah Hefni, dari Abu Hurairah RA, ia berkata,


“Rasulullah SAW pernah mencium Hasan bin Ali (cucunya dari Fatimah), sedangkan di samping beliau ada Aqra’ bin Habis at-Tamimi sedang duduk. Lalu Aqra’ berkata, ‘Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, tetapi aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka.’

Rasulullah SAW kemudian memandangnya dan bersabda, ‘Barang siapa tidak mengasihi maka ia tidak akan dikasihi.'” (HR Bukhari)

Rasulullah SAW Ditemani Cucunya saat Sholat

Dikisahkan dalam suatu riwayat, Rasulullah SAW pernah ditemani cucunya saat sholat. Beliau sholat sambil menggendongnya. Kala itu, beliau menggendong cucunya yang bernama Umamah binti Abi al-‘Ash, putri dari Sayyidah Zainab RA.

Kejadian ini terdapat dalam hadits yang dinukil dari kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, dari Abu Qatadah RA berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتِ زَيْنَبَ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

Artinya: “Rasulullah SAW pernah sholat sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat muslim, hadits tersebut ditambahkan, “Padahal beliau sedang mengimami orang-orang.”

Mengutip dari buku Manajemen Cinta Sang Nabi Muhammad SAW karya Sopian Muhammad, ada pendapat yang mengatakan bahwa Nabi SAW sengaja menggendong cucu perempuannya (Umamah) untuk mengubah tradisi Arab jahiliyah yang cenderung tidak menyukai anak perempuan, terlebih menggendongnya.

Cucu yang lain pun mendapat perlakukan yang serupa. Rasulullah SAW kerap menggendong mereka ketika menuju ke masjid. Saat tengah berdiri sholat, beliau tetap menggendongnya dan menurunkannya ketika hendak rukuk dan sujud.

Rasulullah memperlama sujud saat punggungnya dinaiki cucu>>>

Rasulullah SAW Memperlama Sujud saat Punggungnya Dinaiki Cucu

Berdasarkan riwayat yang terdapat dalam buku Sholat Khusyuk untuk Wanita oleh M. Khalilurrahman Al-Mahfani & Ummi Nurul Izzah, Rasulullah SAW juga pernah memperlama sujudnya ketika sholat, sebab ada cucunya yang naik ke atas punggung beliau.

Kisah ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Syidad, bahwa ayahnya berkata:

“Pada suatu ketika, Rasulullah keluar untuk mengerjakan sholat Dzuhur atau Ashar. Beliau membawa cucunya Hasan atau Husain, lalu maju ke depan dan meletakkan cucunya, kemudian bertakbir. Ketika sujud, beliau sujud lama sekali hingga terangkat kepalaku.

Terlihat olehku, ternyata sang cucu sedang berada di punggung Rasulullah. Karenanya, aku pun kembali sujud. Setelah selesai sholat, para jemaah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, lama sekali Anda sujud hingga kami mengira bahwa telah terjadi sesuatu atau wahyu sedang diturunkan kepadamu.’

Rasulullah menjawab, ‘Semua itu tidak terjadi, melainkan ketika itu, cucuku sedang berada di punggungku dan aku tidak mau mengganggunya hingga dia merasa puas bermain-main.'” (HR Ahmad, Nasa’i, dan Hakim)

Mengetahui kisah Rasulullah SAW bersama cucunya tersebut menunjukkan bahwa beliau senantiasa memperlakukan anak-anak dengan sabar. Beliau menanggapi keusilan cucunya dengan tidak memarahi ataupun menghardik mereka.

Bahkan ketika cucunya menaiki punggung beliau saat sholat, Rasulullah SAW justru tidak mau mengganggu kesenangan cucunya tersebut. Sikap beliau yang penuh kasih sayang ini dapat menjadi teladan bagi para orang tua dalam mendidik anaknya dengan sabar.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com