Tag Archives: Rasulullah SAW

Kisah Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah



Jakarta

Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah dimaksudkan untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Dalam berhijrah, banyak tantangan yang dilalui oleh sang rasul.

Dalam buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Volume 1 yang disusun oleh Moenawar Khalil, ketika di Makkah pun sang nabi berdakwah dan bertabligh selama 10 tahun pada penduduk asli Makkah.

Mengutip Kisah Nabi Muhammad SAW oleh Ajen Dianawati, setelah berlangsungnya peristiwa Isra Mi’raj dan Nabi SAW kembali ke Makkah, banyak pengikutnya yang tidak mempercayai beliau. Bahkan, banyak yang memilih untuk murtad dan menganggap Rasulullah SAW gila.


Lain halnya dengan Abu Bakar yang justru percaya dan selalu membenarkan perkataan sang nabi. Kebencian kaum kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW semakin memuncak, mereka tak segan menghentikan sang nabi dengan iming-iming harta.

Meski begitu, usahanya gagal. Mereka tidak dapat menghentikan Rasulullah SAW dalam mensyiarkan agama Islam.

Tak kenal lelah menghentikan Nabi Muhammad SAW, kaum kafir Quraisy semakin kejam terhadap beliau dan para pengikutnya. Mereka bahkan tak segan mengusir kaum muslimin dari kota Makkah dengan harapan Rasulullah SAW berubah pikiran.

Sikap keji kaum kafir Quraisy inilah yang menyebabkan Nabi SAW untuk membawa kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Perjalanan tersebut mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi.

Anif Sirsaeba dalam bukunya Agar Kekayaan Dilipatkan dan Kemiskinan Dijauhkan juga menceritakan bagaimana kejamnya kaum kafir Quraisy kepada Rasulullah SAW beserta dengan para pengikutnya.

Kaum kafir Quraisy juga mengancam akan membunuh dan mencincang hidup-hidup Nabi Muhammad SAW beserta dengan pengikutnya. Tak hanya itu, mereka juga diboikot dalam perniagaan dan perdagangan. Hingga membuat para pengikut Rasulullah SAW mengalami kesulitan dan tidak memiliki apa-apa.

Mereka tak bisa berbuat apa-apa selain memasrahkan nasib dan keberlangsungan hidup kepada Allah SWT. Hingga pada akhirnya, Rasulullah SAW melakukan hijrah dari tanah kelahirannya menuju Kota Madinah atas dasar perintah Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 218,

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙ اُولٰۤىِٕكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٢١٨

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman serta orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Maka Rasulullah SAW beserta seluruh pengikutnya pun menuruti perintah Allah SWT. Mereka meninggalkan rumah dan kampung halaman serta mengumpulkan sisa-sisa kekayaan yang mereka miliki untuk diinfakkan dalam jalan Allah SWT.

Ketika mereka benar-benar telah hijrah di jalan-Nya, maka semakin dilimpahkan rezeki kepada mereka. Di Madinah kehidupan dan dakwah mereka semakin membesar bahkan kesuksesan, kemakmuran, keberhasilan, dan kejayaan mereka tersiar hingga ke Makkah.

Saat di Madinah pun, kedatangan sang rasul dan kaum muslimin disambut baik oleh penduduk Madinah. Dalam buku Kisah Teladan Sepanjang Zaman: Rasullullah dan Para Sahabat karya Syaikh Muhammad Yusuf, orang yang pertama kali melihat kedatangan Rasulullah SAW adalah seorang Yahudi.

Pada saat itu orang Yahudi tersebut melihat kedatangan mereka dari atap rumahnya, setelah itu ia langsung berteriak keras memanggil penduduk Madinah untuk memberitahukan mengenai kedatangan Rasulullah SAW.

Penduduk Madinah pun segera keluar dan pergi ke batas kota untuk menyambut kedatangan mereka. Namun, orang-orang belum pernah melihat wujud dari Rasulullah SAW.

Pada saat itu kaum Anshar langsung mendatangi dan menyalami Abu Bakar RA, karena mereka mengira Abu bakar RA adalah Rasulullah SAW.

Al Baihaqi telah meriwayatkan dalam Al-Bidayah: 3/197, dari Aisyah RA mengatakan, “Ketika Rasulullah dan Abu Bakar tiba di kota Madinah, saking bahagianya penduduk di sana banyak kaum wanita dan anak-anak membacakan syair:

“Telah muncul bulan purnama ke atas kami yang datang dari bukit, Tsaniyatil Wada’, wajib bersyukur atas kami dan atas ajakanya kepada Allah.”

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Rasulullah Sempat Talak Hafshah hingga Didatangi Jibril


Jakarta

Kesedihan pernah melanda hati Hafshah RA kala itu. Tepatnya saat Rasulullah SAW menjatuhkan talak padanya hingga membuat Malaikat Jibril datang untuk meminta keduanya rujuk.

Hafshah RA adalah salah satu istri Rasulullah SAW. Ia sangat terkenal karena kedermawanannya dan Malaikat Jibril mengabarkan bahwa ia akan menjadi istri Rasulullah SAW di surga nanti.

Dikatakan dalam buku Wanita-Wanita Teladan di Zaman Rasulullah karya Desita Ulla R, Hafshah RA adalah putri dari Umar bin Khattab RA. Nama lengkapnya adalah Hafshah binti Umar bin Khattab RA.


Hafshah RA lahir lima tahun sebelum tahun kenabian dari ibu yang bernama Zainab binti Maz’un bin Wahab, saudara dari Utsman bin Maz’un.

Hafshah RA meninggal pada bulan Jumadil Awal tahun 45 H. Ia meninggal di usianya yang ke-63 tahun. Namun, sebagian ulama berpendapat Hafshah RA meninggal pada bulan Syakban tahun 41 H di usianya yang ke-60 tahun. Ada juga pendapat yang menyebut Hafshah RA wafat pada 47 H pada era Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Kala itu, Hafshah binti Umar bin Khattab RA meninggal di Madinah dan jenazahnya dimakamkan di Baqi’. Ia dimakamkan bersama dengan Ummul Mukminin lainnya.

Lalu bagaimana kisah pernikahan dan saat Rasulullah sempat talak Hafshah RA?

Kisah Pernikahan Hafshah RA dengan Rasulullah SAW

Hafshah binti Umar bin Khattab RA sebelumnya adalah istri dari Sayidina Khunais bin Khuzafah As Sahmi. Kala itu keduanya menikah di Makkah dan menjadi keluarga yang harmonis dan taat kepada Allah SWT beserta Rasul-Nya.

Khunais bin As Sahmi sendiri termasuk dalam salah satu golongan sahabat yang pertama masuk Islam. Ia dan istrinya, Hafshah RA, juga turut ikut hijrah ke Madinah imbas kekejaman dari para kafir Quraisy.

Khunais RA juga merupakan sahabat Rasulullah SAW yang ikut berjihad dalam Perang Uhud dan Perang Badar. Saat itu pula dirinya gugur dalam salah satu pertempuran dan meninggalkan istrinya.

Umar bin Khattab RA juga merasakan kesedihan atas kepergian menantunya. Ia pun berusaha mencarikan suami untuk putrinya. Umar RA pun menawarkan kepada Abu Bakar RA dan Utsman bin Affan RA, namun keduanya menolak tawaran tersebut.

Umar RA pun sangat kecewa dan pergi mengadu kepada Rasulullah SAW. Beliau pun menjawab aduan Umar RA dengan berkata, “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Utsman. Sedangkan Utsman akan menikah dengan yang lebih baik dari Hafshah.” (HR Bukhari)

Tak disangka-sangka, yang menikahi Hafshah RA setelah kepergian Khunais RA adalah Rasulullah SAW sendiri. Hafshah RA menjadi Ummul Mukminin pada tahun ketiga Hijriah.

Saat Rasulullah SAW Talak Hafshah

Istri Rasulullah SAW, Hafshah binti Umar bin Khattab RA adalah seorang perempuan yang sangat suka menyedekahkan hartanya, sehingga ia dikenal sebagai orang yang dermawan.

Hafshah RA juga banyak menyerap ilmu dari Rasulullah SAW, sehingga membuat dirinya sebagai seorang murid yang cerdas dan memiliki peran besar dalam menyebarkan hukum Islam, terutama setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Selebihnya, Hafshah RA juga merupakan seorang ahli ibadah yang selalu melakukan zuhud terhadap perkara duniawi. Ketika malam ia jarang tidur dan lebih memilih melakukan melakukan ibadah malam, sedangkan siangnya ia habiskan untuk berpuasa.

Namun, Hafshah pernah merasakan kesedihan yang sangat mendalam untuk kedua kalinya. Yaitu saat Rasulullah SAW menalaknya atau menceraikannya.

Diceritakan dalam buku Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber yang Otentik karya Mahdi Rizqullah Ahmad, sebuah riwayat menuturkan, Rasulullah SAW pernah menalak Hafshah RA sekali.

Pada saat itu, Umar RA masuk ke bilik Hafshah dan menemukan putrinya sedang menangis. Umar RA lalu bertanya kepada Hafshah RA,

“Apa yang membuatmu menangis? Apakah karena Rasulullah telah menceraikanmu? Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah memang telah menceraikanmu, tetapi sekarang sudah merujukmu kembali demi aku. Demi Allah, seandainya beliau menjatuhkan talak kepadamu lagi, aku tidak akan berbicara sepatah kata pun kepadamu selamanya!”

Sumber sebelumnya menyebutkan malaikat Jibril bahkan sampai datang kepada Rasulullah SAW untuk menyelesaikan perkara ini. Maka, malaikat Jibril berkata,

“Allah SWT memerintahkan agar engkau merujuk Hafshah, karena ia orang yang ahli puasa dan salat malam. Serta untuk menjaga perasaan Umar.”

Jibril berkata, “Dia (Hafshah) adalah seorang ahli puasa dan salat. Dia adalah istrimu di surga.” (HR Abu Daud)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Shuhaib bin Sinan, Sahabat Nabi yang Dermawan tapi Kaya Raya



Jakarta

Islam adalah agama yang berperan besar dalam mengubah dunia dari jaman jahiliyah menuju jaman yang terang benderang. Berbagai tokoh Islam juga memainkan peran penting dalam menyebarkan ajaran agama Islam.

Di antara tokoh Islam tersebut adalah para Nabi utusan Allah SWT hingga para sahabat Nabi SAW. Salah satu sahabat Nabi yang berperan menyebarkan Islam adalah Shuhaib bin Sinan.

Shuhaib bin Sinan adalah salah satu sahabat Nabi SAW yang selalu untung. Berikut kisahnya.


Biografi Shuhaib bin Sinan

Merujuk pada buku Ensiklopedia Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hasan Kinas, Shuhaib bin Sinan merupakan putra Sinan bin Malik dan Salma binti Qa’id. Orang tua Shuhaib adalah orang Arab tulen.

Ketika kecil, Shuhaib bin Sinan dipanggil al-Rumi karena ia pernah ditawan oleh Bangsa Romawi. Sedangkan Rasulullah SAW memanggilnya Abu Yahya.

Shuhaib merupakan seorang anak yang sangat dicintai dan disayangi orang tuanya. Keluarga mereka hidup damai di dekat Sungai Efrat.

Kisah Shuhaib bin Sinan, Sahabat Nabi yang Selalu Untung

Dirangkum dari buku Rijal Haula Ar-Rasul oleh Khalid Muhammad Khalid, bahwa pada suatu ketika, negeri yang menjadi tempat tinggal Shuhaib diserang oleh Romawi. Tak hanya menyerang, Romawi juga menawan sejumlah penduduk untuk dijual belikan sebagai budak, termasuk Shuhaib bin Sinan.

Shuhaib bin Sinan adalah anak yang cerdas, rajin, dan jujur. Atas dasar itulah, majikannya tertarik dan memerdekakan Shuhaib bin Sinan. Majikannya juga memberinya kesempatan untuk berniaga bersamanya.

Suatu ketika, Shuhaib bin Sinan dan Ammar bin Yasir pergi ke rumah Arqam. Mereka menuju ke sana dengan penuh keberanian dalam menghadapi bahaya.

Shuhaib telah menggabungkan dirinya dengan kafilah orang-orang beriman. Pernah diceritakan keadaan yang membuktikan besarnya rasa tanggung jawabnya sebagai seorang muslim yang telah bai’at kepada Rasulullah SAW dan bernaung di bawah panji-panji Islam.

Shuhaib bin Sinan menjadi pribadi yang keras, ulet, zuhud tak kenal lelah, hingga dengan bekal tersebut ia berhasil mengatasi berbagai peristiwa dan menjinakkan marabahaya. Ia selalu menghadapinya dengan keberanian yang luar biasa. Shuaib tak pantang mundur dari segala pertempuran dan bahaya.

Ketika Rasulullah SAW hendak hijrah, kafir Quraisy mencegahnya. Shuhai terjebak dan terhalang untuk hijrah, sedangkan Rasulullah SAW dan sahabatnya berhasil lolos atas barkah Allah SWT.

Shuhaib berusaha menolak tuduhan Quraisy dengan cara bersilat lidah. Hingga ketika mereka lengah, Shuhaib naik ke punggung untanya dan melarikan diri menuju Sahara. Mengetahui hal itu, Quraisy menyusulnya dan usaha mereka hampir berhasil.

Shuhaib kemudian menawar Quraisy yang hendak menangkapnya dengan menunjukkan tempat penyimpanan harta bendanya dengan syarat Quraisy harus membebaskannya. Quraisy pun menerima tawaran itu.

Setelah menunjukkan tempat hartanya disimpan, Quraisy membiarkan Shuhaib hijrah hingga berhasil menyusul Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW sedang duduk dikelilingi beberapa sahabat, ketika dengan tidak diduga Shuhaib mengucapkan salamnya.

Rasulullah SAW yang melihatnya berseru dengan gembira, “Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya! Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya!”

Kemudian turunlah surah Al Baqarah ayat 207,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ رَءُوْفٌۢ بِالْعِبَادِ ٢٠٧

Artinya: “Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari rida Allah. Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba(-Nya).”

Memang, Shuhaib menebus dirinya yang beriman itu dengan segala harta kekayaannya. Shuhaib tidak merasa rugi sedikit pun karena hartanya tidak begitu berarti baginya.

Di samping keshalihan dan ketaqwaannya, Shuhaib adalah seorang periang dan jenaka. Shuhaib juga merupakan sosok yang pemurah dan dermawan.

Shuhaib membelanjakan tunjangannya dari Baitul Mal untuk di jalan Allah SWT. Uang itu ia gunakan untuk membantu orang yang kemalangan dan menolong fakir miskin dalam kesengsaraan.

Ketika Umar bin Khattab RA dipilih sebagai imam salat kaum muslim, beliau memilih enam sahabat untuk mengurus pemilihan khalifah baru. Khalifah kaum muslimin biasanya menjadi imam dalam salat-salat mereka.

Saat ruhnya yang suci hendak menghadap Allah SWT, Umar bin Khattab RA kemudian memilih Shuhaib bin Sinan RA sebagai imam kaum muslimin menunggu munculnya khalifah baru. Maka peristiwa ini merupakan kesempurnaan karunia Allah SWT terhadap hamba-Nya yang shalih, Shuahaib bin Sinan.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Ikrimah bin Abu Jahal, Musuh yang Jadi Sahabat Rasulullah SAW



Jakarta

Dalam melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyiarkan ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW dibantu oleh para sahabat. Para sahabat tersebut setia mendampingi Rasulullah SAW, bahkan menyiarkan ajaran Islam setelah Rasulullah SAW wafat.

Salah satu sahabat Rasulullah SAW bernama Ikrimah bin Abu Jahal. Ikrimah bin Abu Jahal merupakan salah satu sosok menarik dalam Islam.

Kisah Ikrimah bin Abu Jahal

Dirangkum dari buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hasan Kinas, Ikrimah bin Jahal berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Makhzum. Ayahnya bernama Abu al-Hakam bin Hisyam atau Abu Jahal.


Ikrimah dan ayahnya termasuk orang yang sangat memusuhi Islam dan kaum muslim. Mereka selalu mencari cara untuk menyakiti Nabi Muhammad SAW.

Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan hak orang yang terzalimi. Allah SWT akan membalas orang yang berbuat zalim dengan pembalasan yang sangat pedih.

Hal tersebut terbukti dalam Perang Badar. Allah SWT membalas kekejaman dan kezaliman kaum musyrik Quraisy atas kaum muslim.

Ketika mendengar banyak pemimpin Quraisy terbunuh, Ikrimah berusaha mencari ayahnya. Namun, yang Ikrimah temukan yaitu jasad ayahnya tanpa kepala.

Kematian ayahnya dan kekalahan Quraisy dalam Perang Badar membuat Ikrimah sangat berduka dan gelisah. Kemudian ia pergi menemui Shafwan dan berencana untuk membalas kaum muslimin.

Dalam waktu singkat, mereka berhasil membangkitkan gairah kaum Quraisy untuk balas dendam. Sebanyak 3000 pasukan berhasil mereka kumpulkan.

Mereka bergerak ke Madinah dan berhenti di perbukitan Uhud, peperangan pun berlangsung. Kaum muslimin saat itu menuju kepada kekalahan karena ketidakpatuhan pasukan pemanah terhadap perintah Rasulullah SAW.

Dari sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan untuk membunuh buronan kafir Quraisy di Makkah. Namun Ikrimah berhasil melarikan diri dan meninggalkan Makkah dengan kapalnya.

Namun badai menerjang kapalnya. Ketika Allah SWT menyelamatkannya dari badai tersebut, Ikrimah segera menemui Rasulullah SAW dan mengucapkan syahadat. Ketika kaum muslimin berhasil menaklukkan Makkah, Ikrimah merasa takut dan menyadari segala dosanya.

Setelah menyatakan masuk Islam dan berhijrah ke Madinah, beberapa sahabat masih tidak dapat melupakan kejahatan Abu Jahal. Sebab itulah, ketika melihat Ikrimah berjalan-jalan di Madinah, Ikrimah mendapatkan perlakuan yang buruk.

Mereka mencela Ikrimah berulang kali. Sebab tak tahan dengan celaan tersebut, Ikrimah pun mengadukannya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW menghiburnya dan berjanji untuk membujuk agar orang-orang tidak menyakitinya lagi.

Tak lama kemudian saat Rasulullah SAW berkesempatan untuk khutbah, beliau mengatakan agar tidak menyakiti seorang muslim hanya lantaran orang tuanya kafir. Setelah itu, kaum muslimin mengakhiri celaan mereka terhadap Ikrimah.

Ikrimah tumbuh menjadi muslim yang taat dan kukuh dalam keislamannya. Ia juga memiliki peranan penting dalam beberapa peristiwa.

Pada masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq, Ikrimah diutus membawa pasukan menuju Aman untuk memerangi orang-orang murtad. Ikrimah bertempur dengan gagah dan berani. Setelah berhasil menumpas kemurtadan di Aman, ia berangkat menuju Syam untuk berjihad.

Ikrimah bersama pasukan Khalid juga ikut serta memerangi pasukan Roma dalam Perang Yarmuk. Ketika perang usai dan perang dimenangkan oleh kaum muslim, mereka menemukan jenazah Ikrimah bin Abu Jahal di antara para syuhada.

Abu Jahal gagal mengajak anaknya ke dalam neraka. Allah SWT berkehendak menempatkannya di tempat yang penuh dengan kebaikan yang abadi.

Semoga Allah SWT merahmatinya. Aamiin.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

10 Nama Paman Nabi Muhammad SAW


Jakarta

Semasa hidup, Nabi Muhammad SAW memiliki 10 orang paman. Menukil buku Hidup Bersama Al-Qur’an 2 oleh M. Quraish Shihab, berikut nama-namanya.

Dari 10 paman Nabi Muhammad SAW, beberapa di antaranya tetap memilih untuk tidak memeluk Islam. Ada juga yang menentang dakwah Rasulullah SAW.

Nama-nama paman Nabi Muhammad SAW Beserta Kisah Singkatnya

1. Abu Thalib

Abu Thalib bertugas melindungi Nabi Muhammad SAW setelah kepergian ayahnya, Abdul Muthalib. Abu Thalib dikenal selalu membela Nabi Muhammad SAW dari gangguan kaum Quraisy yang menolak dakwah Nabi Muhammad SAW.


Abu Thalib merupakan orang yang paling berjasa dalam membantu dakwah Nabi Muhammad SAW. Namun, hingga akhir hayatnya, Abu Thalib enggan untuk mengucapkan kalimat syahadat.

2. Az-Zubair

Az-Zubair adalah salah satu petinggi dalam kaum Quraisy yang terkenal cerdas. Setelah menikah dengan Atikah binti Abi Wahab, Zubair dikaruniai anak Abdullah bin Zubair yang kelak menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW.

Sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi nabi, Zubair pun wafat.

3. Al-Harits

Al-Harits adalah paman Nabi Muhammad SAW yang tertua. Beliau wafat sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi seorang nabi.

4. Hamzah

Hamzah adalah paman Nabi Muhammad SAW yang merupakan kaum Quraisy. Dia memiliki pendirian teguh dalam mempertahankan harga diri dan paling anti dihina. Namun Hamzah memilih untuk memeluk Islam.

5. Abu Lahab

Abu Lahab adalah salah satu paman Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan kisah kematiannya yang tragis. Abu Lahab dikenal kerap menantang ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Kematian Abu Lahab terjadi tujuh hari setelah Perang Badar. Dia mengidap penyakit kulit dan bisul di seluruh tubuhnya sehingga tidak ada satu orang pun yang mau mengurusnya.

Setelah tiga hari jasadnya terlantar, Abu Lahab dikuburkan dengan tidak lazim. Tubuhnya didorong menggunakan kayu hingga masuk ke dalam lubung dan jasadnya dilempari batu kerikil hingga tertimbun.

6. Al Ghaidaq

Al Gahidaq dikenal sebagai paman nabi yang sangat kaya raya dan dermawan. Dia sering memberi makan orang-orang di sekitarnya. Namun, Al Ghaidaq menjadi salah satu paman nabi yang tidak memeluk Islam.

7. Al Muqawwim

Al Muqawwim memiliki nama lain yakni Abdullah Al-Ka’bah. Tidak banyak yang mencatat tentang kehidupan Al Muqawwim sebab ia meninggal sebelum Islam datang dan Nabi Muhammad SAW mendapat gelar ke-nabi-annya.

8. Dhirar

Dhirar adalah paman Nabi Muhammad SAW yang tidak menikah dan tidak memiliki keturunan. Beliau wafat juga sebelum Islam datang.

9. Al Abbas

Al Abbas merupakan anak bungsu dari kakek Nabi Muhammad SAW. Abbas adalah salah satu orang yang senantiasa melindungi Nabi Muhammad SAW dari kaum Quraisy yang selalu ingin mencelakainya.

Dikutip dari buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, saat terjadi Perang Badar, Abbas bin Abdul Muthalib menjadi tawanan perang. Abu al-Sair bin Ka’b bin Amr dari Bani Salamah merupakan orang yang berhasil menawan Abbas selama Perang Badar.

10. Qutsam

Walaupun ada pandangan yang menyatakan Abdul Muthalib tidak memiliki anak yang bernama Qutsam, terdapat sudut pandang lain yang menunjukkan kemungkinan bahwa Qutsam meninggal dunia pada usia dini.

Wallahu a’lam.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Syafiyyah binti Huyay, Istri Rasulullah SAW dari Keturunan Yahudi


Jakarta

Banyak kisah yang menceritakan tentang istri-istri Nabi Muhammad SAW. Salah satunya Syafiyyah binti Huyay. Beliau adalah istri Rasulullah SAW yang berasal dari suku Bani Nadhir.

Ketika menikah dengan Rasulullah SAW, Safiyyah belum genap berusia 17 tahun. Safiyyah tidak disukai oleh istri-istri Rasulullah SAW lainnya karena ia adalah anak keturunan Yahudi.

Sebelum menjadi istri Rasulullah SAW, ia telah menikah sebanyak dua kali. Pernikah pertama dengan laki-laki Yahudi dari Bani Quraizhah bernama Salam bin Misykam al-Qurazhi. Namun, pernikahan mereka tidak berlangsung lama, karena terjadi perceraian.


Kedua, Syafiyyah dinikahi oleh Kinanah bin Rabi’ bin Abi Huqaiq an-Nadhiri, lelaki berdarah Yahudi dari Bani Nadhir. Pernikahan tersebut juga tidak berlangsung lama sebab Kinanah terbunuh pada Perang Khaibar.

Awal Kehidupan Syafiyyah binti Huyay

Merujuk buku Kisah-Kisah Teladan Para Muslimah Hebat oleh Nisa Yustisia, Syafiyyah adalah putri Huyay bin Akhtab dan Barrah binti Samaual. Ayahnya merupakan pemimpin Bani Nadhir, salah satu kaum Yahudi.

Sejak kecil Syafiyyah rajin membaca dan mempelajari sejarah serta ilmu pengetahuan. Dari kitab Taurat, ia mengetahui bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang menjadi penutup seluruh nabi. Syafiyyah pun meyakini kebenaran berita itu.

Setelah muncul berita bahwa Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam di Mekkah, Syafiyyah langsung meyakini bahwa hal itu sesuai dengan apa yang ia pelajari di kitab Taurat. Ia justru heran kepada kaumnya yang tidak memercayai berita tersebut, termasuk ayahnya yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.

Perang Khaibar

Kembali mengutip buku dari Nisa Yustisia, pada tahun 628 M, Bani Nadhir melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin. Namun, Allah SWT menolong kaum muslimin sehingga mampu mengalahkan kaum Yahudi.

Dengan kemenangan tersebut, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang dan menjadikan kaum wanita Yahudi sebagai tawanan perang. Syafiyyah adalah salah satu tawanan perang tersebut.

Pernikahan Syafiyyah binti Huyay dengan Rasulullah SAW

Mengutip buku Orang-orang yang Memusuhi Nabi Muhammad SAW oleh Kaha Anwar, Syafiyyah binti Huyay dinikahi oleh Rasulullah SAW pada usia 17 tahun. Ia dijadikan istri setelah peristiwa Perang Khaibar.

Sebelum dinikahi Rasulullah SAW setelah Perang Khaibar, Syafiyyah merupakan budak Dhiyah al-Kalabi. Kemudian Rasulluah SAW membeli Syafiyyah serta memberikannya dua pilihan.

Pilihan pertama, Syafiyyah dimerdekakan dan dikembalikan ke kaumnya. Pilihan kedua, Syafiyyah dimerdekakan dan dinikahi oleh Rasulullah SAW tapi harus masuk Islam. Akhirnya Syafiyyah memilih dinikahi Rasulullah dengan mahar berupa pembebasan statusnya dari budak.

Konon, sejak kedatangan Rasulullah SAW ke Madinah, sebenarnya Syafiyyah sudah tertarik dengan Islam. Apalagi ia adalah tetangga Rasulullah SAW sebelum Bani Nadhir diusir dari kampung halamannya. Namun, ia tidak berani mengucapkan ketertarikannya kepada Islam karena ayahnya membenci Rasulullah SAW.

Namun, kehadiran Syafiyyah sebagai istri Rasulullah SAW tidak disambut baik oleh para istri Nabi dan para wanita Muslimah di sana. Hal ini wajar, mengingat perilaku ayah Shafiyah yang sangat jahat dan kejam kepada Nabi. Dahulu, ayah Shafiyah sempat melempar batu pada Nabi.

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, Syafiyyah merasa sangat terasingkan di tengah-tengah kaum muslimin. Karena sering mengungkit-ungkit garis keturunan Syafiyyah yang berasal dari Yahudi. Meskipun demikian, Syafiyyah tetap pada keimanannya dan melanjutkan perjuangan dakwah suaminya. Syafiyyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kesedihan Mendalam Rasulullah dan Para Sahabat di Penghujung Ramadan


Jakarta

Datangnya Ramadan menjadi kabar gembira bagi umat Islam mengingat banyaknya keutamaan pada bulan tersebut. Sementara, berakhirnya Ramadan menyisakan kesedihan sebagaimana dialami Rasulullah SAW dan para sahabat.

Kisah kesedihan Rasulullah SAW dan para sahabat ini diceritakan dalam buku Kumpulan Khutbah Jumat karya Abdul Latif Wabula, Rasulullah SAW dan para sahabat merasa kesedihan yang mendalam setiap kali Ramadan hendak berakhir. Kesedihan tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga langit, bumi, hingga malaikat.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila tiba akhir malam dari bulan Ramadan, menangislah langit, bumi dan malaikat karena musibah yang menimpa umat Muhammad SAW,”


Sahabat lalu bertanya, “Musibah apakah wahai Rasulullah?”

Rasulullah SAW menjawab, “Berpisah dengan bulan Ramadan, sebab pada bulan Ramadan doa dikabulkan dan sedekah diterima.” (Diriwayatkan Jabir)

Orang-orang saleh terdahulu bahkan sampai menangis dan bersedih karena Ramadan akan segera pergi meninggalkan mereka.

Dijelaskan dalam buku Materi Khutbah Jumat Sepanjang Tahun karya Muhammad Khatib, alasan kesedihan mereka yaitu dengan berakhirnya bulan Ramadan, berakhir pula semua keutamaannya.

Di bulan Ramadan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu hingga ibadah terasa ringan, dan kaum muslimin berada di puncak kebaikan. Keutamaan-keutamaan tersebut tidak dapat dijumpai lagi di bulan lainnya.

Amalan di Penghujung Bulan Ramadan

Mengutip Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in, pada penghujung Ramadan atau lebih tepatnya 10 hari terakhir Ramadan, terdapat beberapa amalan yang dianjurkan untuk dilakukan, sebagai berikut.

Memperbanyak Sedekah

Hal ini bisa dilakukan dengan mencukupi kebutuhan keluarga, berbuat baik kepada kerabat serta tetangga, juga menyediakan buka puasa bagi orang yang berpuasa meski hanya segelas air.

Membaca Al-Qur’an

Waktu membaca Al-Qur’an yang lebih utama ialah akhir malam daripada awal malam. Hal ini sesuai dengan penjelasan Imam An-Nawawi. Membaca Al-Qur’an juga lebih utama dikerjakan di malam hari daripada siang hari karena membuat lebih fokus.

Iktikaf

Rasulullah SAW beritikaf di masjid pada 10 hari terakhir Ramadan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW selalu Iktikaf setiap bulan Ramadan selama 10 hari. Namun pada tahun dimana beliau wafat, beliau lktikaf selama 20 hari.” (HR Bukhari)

Menggencarkan Ibadah

Pada 10 hari terakhir Ramadan, umat Islam dianjurkan untuk menggencarkan ibadah. Dikutip dari Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq karya Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Rasulullah SAW menggiatkan ibadahnya di 10 hari terakhir Ramadan.

Diriwayatkan dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW apabila memasuki 10 hari terakhir, beliau menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat sarungnya. (HR Bukhari dan Muslim)

Bersungguh-sungguh Meraih Lailatul Qadar

Malam Lailatul Qadar merupakan malam yang penuh kemuliaan dan keutamaan. Rasulullah SAW bersabda untuk mencari Lailatul Qadar dalam 10 hari terakhir Ramadan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah RA,

Oleh karena itu, hendaknya umat Islam menggencarkan ibadah agar dapat menemui keutamaan malam Lailatul Qadar yang lebih baik daripada 1.000 bulan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Haru Pertemuan Rasulullah SAW dengan Anak Yatim saat Lebaran



Jakarta

Seorang anak yatim di pinggiran Kota Madinah duduk jauh dari teman-teman sebayanya yang tengah merayakan Hari Raya Idul Fitri. Tak seperti teman-temannya yang mengenakan baju baru, ia hanya bisa menangis dan bersedih di hari raya itu.

Pemandangan ini menarik perhatian Rasulullah SAW. Beliau segera menghampiri anak itu, lalu bertanya, “Wahai Ananda, mengapa engkau tidak bermain seperti teman-temanmu itu?”

Anak itu pun menjawab dengan isakan tangis, “Wahai Tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru dan saya tak punya siapa-siapa untuk membelikan pakaian baru.”


Mendengar hal itu, Nabi SAW kembali bertanya terkait keberadaan orang tua dari sang anak.

Anak yang tidak mengenali orang yang di hadapannya adalah Rasulullah SAW itu mengatakan bahwa ayahnya telah syahid karena berperang. Lalu, ibunya menikah lagi dan seluruh harta sang ayah dibawa oleh ayah tirinya. Ayah tirinya pun mengusir anak itu dari rumah.

Usai mendengar kisah haru dan pilu itu, Rasulullah SAW langsung memeluk dan membelai anak tersebut seraya berkata, “Wahai Ananda, maukah engkau saya menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah menjadi saudarimu?”

Anak itu pun seketika menghentikan tangisnya, ia pun mengangguk setuju setelah mendengar tawaran dari Rasulullah SAW. Lalu, Rasulullah SAW pun membawa anak itu ke rumah dan diberikan pakaian, makanan yang layak serta uang saku untuk si anak.

Kisah haru anak yatim dan pertemuannya dengan Rasulullah SAW ini diceritakan dalam buku Al-Qur’an Hadis karya Fida’ Abdillah dan Yusak Burhanuddin dan buku Dahsyatnya Doa Anak Yatim karya M. Khalilurrahman Al Mahfani,

Dalam kitab Durratun Nashihin karya Syekh Utsman Hasan bin Ahmad as-Syakir al-Khuwairy yang diterjemahkan Moh. Syamsi Hasan diceritakan, setelah nampak gembira dengan pakaian baru pemberian Rasulullah SAW, anak kecil itu kembali menemui teman-teman sebayanya. Melihat anak itu, teman-temanya pun kebingungan sebab penampilan yang berbeda.

Anak kecil itu pun berkata, “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi, sekarang aku bahagia karena Rasulullah SAW menjadi ayahku, Aisyah ibuku, Ali pamanku, dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia?”

Setelah mendengar itu, teman-teman sebayanya merasa iri dan berandai jika mereka dapat diangkat sebagai anak Rasulullah SAW. “Andai saja bapak kami syahid saat peperangan, pasti sudah seperti engkau,” ujar teman-temanya.

Namun, kebahagiaan anak yatim itu kembali pupus setelah ditinggal wafat oleh Rasulullah SAW. Abu Bakar RA lah yang kemudian mengasuh anak yatim itu.

Hikmah Kisah Pertemuan Rasulullah dengan Anak Yatim

Hikmah yang dapat diambil dari kisah antara Rasulullah SAW dan anak yatim di Hari Raya Idul Fitri ialah untuk selalu menyantuni, memelihara, dan mengasuh anak yatim. Sebab anak yatim merupakan tanggung jawab setiap muslim, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Terlebih dalam sebuah hadits, beliau bersabda,

“Aku dan orang yang mengurus (menanggung) anak yatim (kedudukannya) di dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan (kedua jarinya yaitu) telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya.” (HR Bukhari)

Diterangkan Syaikh Sa’ad Yusuf Mahmud Abu Aziz dalam kitab Mausu’ah Al-Huquq Al-Islamiyah, makna dari hadits itu ialah seseorang yang mengasuh anak yatim kelak akan tinggal bersebelahan dengan Nabi SAW di surga.

Pengibaratan tersebut dimaksudkan balasan mulia bagi orang yang mengurus anak yatim, yakni lebih cepat masuk surga dan disediakan kedudukan tertinggi di dalamnya.

Keutamaan lain turut disebutkan dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menafkahi tiga anak yatim, sama keadaannya dengan orang yang beribadah sepanjang malam.” (HR Ibnu Majah)

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Menangisnya Batang Pohon yang Rindu dengan Rasulullah SAW



Jakarta

Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang awal mula Rasulullah SAW berada di Madinah. Kala itu, penduduk muslim Madinah secara gotong royong membangun masjid sekaligus rumah Rasulullah.

Rasulullah SAW memilih untuk menginap sementara waktu di rumah Abu Ayyub al-Ansari. Ketika masjid dan rumah untuk Rasulullah telah berdiri, Rasulullah pindah dan senantiasa mengimami jamaah salat fardhu dengan para sahabatnya.

Diceritakan dalam buku Kisah-kisah Inspiratif Sahabat Nabi yang ditulis Muhammad Nasrulloh, ketika Rasulullah salat, seringkali beliau berpegangan pada batang pohon untuk menopang tubuhnya.


Kota Madinah memang banyak sekali tumbuh pepohonan kurma sehingga banyak batang pohon yang menancap di mana-mana.

Tatkala khutbah, Rasulullah SAW juga selalu berpegangan pada batang pohon tersebut. Tak jarang Nabi bersandar pada batang pohon itu saat sedang bersama sahabatnya mengisi dakwah di masjid.

Ustaz Dr. Miftahur Rahman El-Banjary dalam buku Cinta Seribu Dirham Merajut Kerinduan kepada Rasulullah Al-Musthafa menuliskan, ketika jumlah jemaah semakin bertambah banyak, orang-orang berdesakan memenuhi masjid. Mereka yang duduk di barisan belakang atau paling jauh dari Rasulullah SAW tidak bisa melihat wajah beliau.

Para sahabat saat itu juga kasihan melihat Rasulullah SAW yang kelelahan jika berdiri terlalu lama saat berdakwah.

Suatu saat datang salah seorang sahabat menawarkan kepada beliau untuk dibuatkan mimbar. Hal ini pun disetujui oleh Rasulullah. Ketika mimbar selesai dibuat dan berdiri kokoh di masjid kemudian Rasulullah pun memulai aktifitas ibadahnya.

Ketika Rasulullah berjalan melewati batang pohon yang senantiasa selalu bersama beliau menuju mimbar, batang pohon itu menangis.

Tangisannya terdengar oleh seluruh sahabat Nabi seperti tangisan ibu unta yang kehilangan anaknya. Ternyata batang pohon tersebut rindu dengan Rasul, ia tak mau berpisah dengan Rasul.

Rasulullah pun mendatangi batang pohon itu dan mengelusnya sebagai mana anak kecil. Atas izin Allah SWT, perlahan-perlahan suara tangisan tersedu sedu itu perlahan mereda. Belum terjawab rasa penasaran dalam diri para sahabat yang hadir, Rasulullah SAW pun mengajak berbicara kepada pohon kurma itu.

Rasulullah berkata, “Maukah kamu aku pindahkan ke kebun kamu semula, berbuah dan memberikan makanan kepada kaum mukminin atau aku pindahkan kamu ke surga, setiap akar kamu menjadi minuman dari minuman-minuman di surga, lalu para penghuni surga menikmati buah kurmamu.”

Pohon kurma tanpa keraguan memilih pilihan yang kedua. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Af’al insya Allah! Demi Allah, yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, jika tidak aku tenangkan dia, niscaya dia akan terus merintih hingga hari kiamat karena kerinduannya kepadaku.”

Rasulullah kemudian kembali ke mimbar melanjutkan khutbahnya. Hasan bin Ali RA seringkali ketika mengisahkan kisah ini seraya menangis. Teringat di benaknya pohon pun menangis karena merindukan Rasulullah.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Sempat Enggan Menikah dan Ditentang Sang Rasul



Jakarta

Menikah termasuk sunnah para nabi dan rasul. Dalam Islam, pernikahan harus mengikuti sejumlah ketentuan sesuai syariat agar sah.

Terkait pernikahan juga disebut dalam surah Ar Rum ayat 21,

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Meski demikian, ternyata ada sosok sahabat Rasulullah SAW yang sempat berniat untuk tidak menikah. Mengutip buku Ta’aruf Billah Nikah Fillah susunan Zaha Sasmita, pria itu bernama Ukaf bin Wida’ah.

Kala itu, Ukaf enggan menikah dan ingin fokus beribadah kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW menentang niatan Ukaf, menurutnya menikah adalah salah satu jalan terbaik dan terhormat untuk mencapai ridha Allah SWT.

Masih dari sumber yang sama, Ukaf adalah sosok pemuda yang kehidupannya sudah mapan. Mendengar niat Ukaf yang tidak ingin menikah, Nabi SAW lalu mendatangi sang sahabat dan menasehatinya agar menikah.

Sang rasul menilai tidak baik seorang muslim membujang jika sudah berkecukupan. Akhirnya, Ukaf menuruti perkataan Rasulullah SAW.

Walau demikian, Ukaf tidak berani mencari calon istrinya sendiri. Akhirnya, ia meminta pertolongan Nabi SAW untuk mencarikan wanita dengan kriteria yang berpatokan pada pandangan Nabi Muhammad SAW.

Dalam hadits dari Anas bin Malik RA juga disebutkan terkait pentingnya menikah. Bahkan, perkara ini menjadi wajib bagi muslim yang sudah mampu.

“Terdapat beberapa sahabat Rasulullah SAW yang menanyakan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW perihal ibadah beliau di rumah. Lalu sebagian mereka berkata, ‘Saya tidak akan menikah, sebagian lagi berkata, ‘Saya tidak akan makan daging,’ sebagian yang lain berkata, ‘Saya tidak akan tidur di atas kasur (tempat tidurku), dan sebagian yang lain berkata, ‘Saya akan terus berpuasa dan tidak berbuka.’ Abu Daud (perawi dan pentakhrij hadits) berkata, ‘Berita ini sampai kepada Nabi SAW, hingga beliau berdiri untuk berkhotbah seraya bersabda setelah memanjatkan puja-puji syukur kepada Allah SWT, “Bagaimanakah keadaan suatu kaum yang mengatakan demikian dan demikian? Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku salat dan tidur, dan aku juga menikahi perempuan. Maka barangsiapa yang membenci sunnah (tuntunan)-ku maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR Abu Daud)

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com