Tag Archives: rasulullah

Kelahiran hingga Usia 8 Tahun


Jakarta

Rasulullah SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah atau 570 Masehi di Kota Makkah. Simak di sini kisah masa kecil Nabi Muhammad SAW dari masa kelahirannya hingga peristiwa yang dialaminya pada masa itu.

Informasi mengenai kapan Nabi Muhammad lahir dapat disandarkan pada keterangan dari sejumlah hadits. Salah satunya dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbas,

وُلِدَ رَسُولُ اللَّهِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيع الْأَوَّلِ، عَام الْفِيلِ


Artinya: “Rasulullah dilahirkan di hari Senin, tanggal dua belas di malam yang tenang pada bulan Rabiul Awal, Tahun Gajah.”

Dikutip dari Ifsya Hamasah dalam buku Kisah Teladan 25 Nabi & Rasul, Nabi Muhammad SAW dilahirkan oleh seorang ibu mulia bernama Aminah.

Di kemudian hari, Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah sebagai panutan bagi seluruh umat manusia di dunia. Allah SWT mengutusnya sebagai penutup para nabi dan rasul. Setelahnya, tidak akan ada lagi nabi dan rasul yang diutus oleh Allah SWT.

Kisah Masa Kecil Nabi Muhammad SAW: Saat Kelahiran

Kelahiran Nabi Muhammad SAW disertai dengan peristiwa luar biasa. Pada saat itu, Abrahah dan pasukannya bermaksud menyerang Ka’bah, namun usaha mereka digagalkan oleh Allah SWT dengan hujan batu dari neraka yang dibawa oleh burung-burung ababil.

Sebab peristiwa itulah, tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai tahun gajah.

Nabi Muhammad SAW dilahirkan dalam keadaan yatim. Ayahnya, Abdullah, meninggal sebelum kelahirannya. Setelah lahir, Nabi Muhammad SAW kecil diasuh oleh Halimah As-Sa’diyah, seperti yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab pada waktu itu. Halimah mengasuh dan menyusui Nabi Muhammad SAW untuk sementara waktu.

“Agar anak dapat berbicara bahasa yang asli, bahasa Arab Kaum Badwi sejati, bahasa yang belum rusak karena belum dipengaruhi bahasa asing. Dengan demikian, anak dapat bertutur kata dengan bahasa Arab yang baik dan dialek Arab yang asli serta fasih,” tulis Moenawar Khalil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad.

Masa kecil Nabi Muhammad SAW dihabiskan di perkampungan Bani Sa’ad yang dikenal sebagai daerah yang kering dan gersang. Namun, setelah Nabi Muhammad SAW diasuh oleh Halimah, keadaan perkampungan tersebut berubah menjadi subur. Kambing-kambing menghasilkan banyak susu, sehingga penduduk lain di perkampungan pun berkata, “Gembalakanlah kambing-kambing kalian di ladang milik Halimah As-Sa’diyah.”

Kisah Masa Kecil Nabi Muhammad SAW: Saat Dadanya Dibelah

Menurut Sirah Nabawiyah oleh Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakpuri, saat itu, sebenarnya Nabi Muhammad SAW sudah seharusnya dipulangkan kembali ke keluarganya karena masa menyusuinya telah berakhir.

Namun, Halimah mengajukan permohonan kepada ibu Nabi Muhammad SAW, Aminah, agar dia diizinkan untuk terus merawat Nabi Muhammad SAW lebih lama.

Halimah merasa bahwa keluarganya mendapatkan berkah sejak Nabi Muhammad SAW tinggal bersama mereka, dan permohonannya disetujui oleh Aminah.

Suatu hari, peristiwa besar terjadi. Nabi Muhammad SAW kecil sedang bermain dan menggembala kambing dengan anak-anak Halimah di dekat rumahnya.

Tiba-tiba, dua orang laki-laki berpakaian putih mendekatinya dan membawa Nabi Muhammad SAW ke tempat yang agak jauh dari tempatnya menggembala. Saat itu, Nabi Muhammad SAW kecil ditinggalkan sendirian ketika anak-anak Halimah pulang untuk mengambil bekal makanan.

Ketika anak-anak Halimah kembali, mereka tidak menemukan Nabi Muhammad di mana-mana, namun melihat peristiwa besar saat para malaikat membersihkan hati Nabi Muhammad SAW. Mereka berlari ke rumah untuk memberitahu Halimah dan suaminya.

Mereka bergegas mencari Nabi Muhammad dan menemukannya duduk seorang diri di dekat sebuah rusun. Halimah bertanya mengapa Nabi Muhammad SAW berada di sana seorang diri, dan Nabi Muhammad menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya.

Dua orang laki-laki berpakaian putih tersebut ternyata adalah Malaikat Jibril yang membersihkan hati Nabi Muhammad SAW. Malaikat Jibril membelah dada Nabi Muhammad SAW, mengeluarkan sesuatu dari hatinya, dan berkata bahwa itu adalah bagian setan dalam dirinya.

Hati Nabi Muhammad SAW kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bejana emas yang diisi dengan air zamzam untuk dibersihkan, lalu para malaikat mengembalikannya ke tempatnya semula.

Peristiwa ini terjadi sekitar tiga kali dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, dan menjadi peristiwa pertama sebelum peristiwa Isra Mi’raj dan sebelum menerima perintah shalat 5 waktu. Bekas luka akibat jahitan dapat dilihat oleh Anas RA, yang menyaksikan kondisi dada Nabi Muhammad SAW.

Berdasarkan tulisan dalam buku Al-Qalb: Kajian Saintis dalam Al-Qur’an, peristiwa pembersihan hati Nabi Muhammad SAW mengandung makna kelapangan dada, yang memungkinkan kemampuan menerima, menemukan kebenaran, hikmah, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memaafkan kesalahan, seperti yang tercantum dalam surah Taha ayat 25 dan Az Zumar ayat 22.

Kisah Masa Kecil Nabi Muhammad SAW: Saat Ibu dan Kakek Wafat

Nabi Muhammad SAW saat berusia 5 tahun sudah kembali ke rumahnya. Ia mulai kembali hidup bersama ibunda dan kakeknya. Namun tak lama setelah itu tepatnya saat Rasulullah SAW berusia 6 tahun,

Nabi Muhammad SAW juga kehilangan sang ibu, Siti Aminah, yang meninggal dunia setelah mereka berdua ziarah ke makam Abdullah. Aminah dikabarkan jatuh sakit sebelumnya dan dikuburkan di sebuah desa bernama Abwaa’.

Alhasil, Nabi Muhammad SAW kembali ke Makkah bersama Ummu Aiman, sosok pelayan di keluarganya yang kemudian dianggap sebagai saudara sendiri oleh orang tua Nabi Muhammad SAW.

Sepeninggal ibunya, Nabi Muhammad SAW diasuh oleh Abdul Muthalib, kakeknya. Sang kakek dikisahkan memiliki tempat spesial karena Nabi Muhammad SAW menghabiskan masa kecil bersamanya.

Demikianlah, seorang Nabi Muhammad SAW yang masih berusia 6 tahun sudah harus menjadi seorang anak yatim piatu tanpa kedua orang tuanya. Hal ini membuat Nabi Muhammad dirawat sepenuhnya oleh Abdul Muthalib yang sangat menyayanginya.

Nabi Muhammad SAW kecil hidup bahagia dalam asuhan Abdul Muthalib dan Ummu Aiman. Namun, seakan kebahagian tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian, beliau yang masih berusia 8 tahun itu kehilangan seseorang yang istimewa baginya, yakni sang kakek, Abdul Muthalib.

Pengasuhan Nabi Muhammad SAW kemudian diserahkan kepada pamannya yang bernama Abu Thalib. Disebutkan dalam sejumlah sirrah bahwa Abdul Muthalib mewasiatkan hal tersebut kepada Abu Thalib, mengingat Abdullah dan Abu Thalib adalah saudara seibu.

Saat bersama pamannya inilah, seorang pemuka agama mengenali Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT dan membawa Islam pada seluruh masyarakat dunia.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Jari Rasulullah SAW Bisa Mengeluarkan Air?



Jakarta

Mukjizat adalah karunia yang Allah SWT berikan kepada nabi dengan tujuan untuk mempermudah utusan-Nya mengemban tugas. Rasulullah SAW adalah salah satu yang dikaruniai mukjizat memancarkan air dari sela-sela jarinya.

Kisah pertama mukjizat Nabi Muhammad SAW ini terabadikan dalam riwayat hadits pada Kitab Fadha’il ash Shahabah yang diceritakan Anas bin Malik. Berikut bunyi haditsnya:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بِمَاءٍ فَأُتِيَ بِقَدَحٍ رَحْرَاحٍ فَجَعَلَ الْقَوْمُ يَتَوَضَّؤُونَ فَحَزَرْتُ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى الثَّمَانِينَ. قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى الْمَاءِ يَنْبُعُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ. رواه مسلم


Artinya: “Dari Anas RA bahwasannya Nabi SAW pernah meminta air, lalu diberikan kepada beliau sebaskom air. Maka berwudhulah kaum muslimin dengan air itu. Aku memperkirakan jumlah mereka berkisar antara enam puluh sampai delapan puluh orang. Dan aku menyaksikan sendiri air itu keluar dari sela-sela jari beliau.” (HR. Muslim).

Dikutip dari buku Mukjizat Nabiku Muhammad karya Muhammad Ash-Shayyim, ada berbagai kisah menyebutkan mukjizat Rasulullah SAW yang mampu mengeluarkan air dari celah jarinya. Berikut hadits lain yang menceritakan kisah tersebut:

عن أنس رضي الله عنه قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وحانت صلاة العصر وهو بالزوراء (موضع بسوق المدينة) فالتمس الناس الوضوء فلم يجدوه فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم بوضوء في إناء فوضع يده في ذلك الإناء. فأمر الناس أن يتوضؤوا منه فرأيت الماء ينبع من بين أصابعه صلى الله عليه وسلم. فتوضأ الناس حتى توضؤوا عن آخرهم. قيل لأنس: كم كنتم فقال: كنا زهاء ثلاثمئة.

Artinya: Dari Anas bin Malik RA, dia mengatakan mengatakan: “Aku melihat Rasulullah SAW ketika waktu Ashar, beliau berada di dekat pasar Madinah, telah tiba dan orang-orang sedang mencari air wudhu, namun mereka belum mendapatkannya. Lantas dibawakan air wudhu kepada Rasulullah SAW maka Rasulullah SAW meletakkan tangannya ke dalam bejana tersebut. Beliau pun memerintahkan orang-orang untuk berwudhu darinya. Anas berkata: Aku melihat air mengalir dari bawah jari-jari beliau (Nabi SAW), sehingga mereka berwudhu sampai orang yang terakhir.” Anas ditanya, berapa jumlah mereka ketika itu. Anas menjawab, “Kurang lebih 300 orang.” (HR Muslim).

Dikisahkan Nabi Muhammad SAW ketika itu berada di Zawra atau tempat yang agak tinggi di Masjid Nabawi. Beliau diketahui memasukkan tangannya ke dalam sebuah ember.

Atas izin Allah SWT, air secara tiba-tiba memancar dari jari-jemari beliau. Para kaum muslimin saat itu pun berwudhu dari air tersebut.

Qatadah yang mendengar kisah ini pun bertanya pada Anas, “Berapa jumlah kalian saat itu?”

Anas menjawab, “Sekitar tiga ratus orang,” (HR Bukhari dan Muslim).

Bukti lainnya terangkum dalam sejumlah kitab shahih terutama dari shahih Bukhari dan Muslim. Dalam sebuah riwayat yang berasal dari Salim bin Abi al Ju’d dari Jabir bin Abdillah al Anshari RA yang berkata,

“Pada saat melakukan perjalanan Hudaibiyah, para sahabat mengalami kehausan. Sementara, di hadapan Nabi Muhammad SAW terdapat kantong dari kulit. Kemudian beliau berwudhu.”

Melihat Nabi Muhammad SAW berwudhu lewat kantong tersebut, para sahabat pun menghampiri beliau. Nabi Muhammad SAW kemudian bertanya, “Ada apa dengan kalian?”

Kemudian, para sahabat menjawab, “Kami tidak memiliki air untuk berwudhu dan untuk minum kecuali yang ada di depanmu ini.”

Lantas, Nabi Muhammad SAW pun memasukkan tangannya ke dalam kantong air tersebut. Seketika air memancar dari jari jemari layaknya sumber mata air. Para sahabat pun mengambil air untuk wudhu dan minum dari pancaran air tersebut.

Salim bertanya pada Jabir, “Berapa jumlah kalian waktu itu?”

Jabir berkata, “Andaikan jumlah kami 100 ribu tentu masih cukup. Namun, ketika itu, jumlah kamihanya seribu lima ratus orang.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Bab al Manaqib, al Maghzai, dan al Imarah).

Peristiwa serupa juga disaksikan oleh Ibnu Abbas RA. Saat itu, Rasulullah SAW dan para sahabat tengah melakukan perjalanan pada suatu pagi dan ternyata, mereka telah kehabisan persediaan air.

Seseorang pun mengadukan hal itu pada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah, persediaan air di kalangan para prajurit telah habis,”

Kemudian beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai sedikit air?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Kalau begitu bawa air itu padaku,” Setelahnya, orang tersebut membawa sebuah wadah kepunyaannya yang berisi sedikit air.

Nabi Muhammad SAW pun terlihat meletakkan jari jemari tangannya di bibir wadah sambil merenggangkannya. Tiba-tiba, ada sumber air memancar dari sela-sela jarinya.

Lalu, beliau pun meminta Bilal bin Rabbah untuk menyerukan panggilan wudhu pada muslim yang lain, “Panggilah orang-orang untuk berwudhu dari air yang diberkahi ini.” (HR Ahmad dan Al Baihaqi).

Wallahu’alam.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Ummu Habibah, Anak Abu Sufyan yang Menjadi Istri Nabi


Jakarta

Nabi Muhammad SAW memiliki sejumlah istri. Sang penghulu Rasul itu menikahi mereka karena perintah dari Allah SWT dan untuk berdakwah. Salah satu istri Nabi Muhammad adalah Ummu Habibah, anak dari Abu Sufyan yang sangat membenci Islam ketika itu.

Ramlah binti Abi Sufyan Shakhr bian Harb bin Umayah bin Abdi Syams, Ummu Habibah Ummul Mukminin adalah seorang putri pemimpin Quraisy dan pentolan kaum musyrikin hingga menjelang Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Tulis Bassam Muhammad Hamami dalam bukunya yang berjudul Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam.

Ummu Habibah menjadi seorang yang beriman walaupun ayahnya saat itu adalah orang yang sangat kafir. Ayahnya tidak bisa mencegah putrinya untuk tetap berada pada kesesatan dengan mengikuti ajaran nenek moyang mereka.


Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Habibah telah menikah dengan seorang lelaki bernama Ubaidillah bin Jahsy al-Asdi, seorang singa Bani Khuzaimah.

Keduanya meninggalkan Makkah demi hijrah ke Habasyah. Namun di sana, suaminya itu malah berpaling dari Islam dan menjadi non muslim.

Meskipun begitu, Allah SWT telah menyempurnakan keimanan Ummu Habibah. Ia sudah berkata kepada suaminya itu bahwa meninggalkan Islam bukanlah hal yang terbaik. Dia juga sudah berupaya mencegah agar sang suami tidak murtad. Namun Ubaidillah tak menghiraukan dan terus meminum khamr hingga dirinya mati.

Kisah Ummu Habibah Dilamar Rasulullah SAW

Dijelaskan dalam buku 365 Hari Bersama Sahabat Nabi SAW: Bercengkerama dengan Mereka Setiap Hari oleh Biru Tosca, dijelaskan cerita mengenai pelamaran Ummu Habibah dari jarak jauh.

Setelah ditinggal oleh suaminya, Ummu Habibah selalu merasa sedih. Namun begitu dirinya tetap tinggal di Habasyah seorang diri.

Ternyata kesedihan dan kesendirian Ummu Habibah ini diketahui oleh Rasulullah SAW. Setelah habis masa iddahnya, akhirnya Rasulullah SAW meminta bantuan Raja Negus (Raja Habasyah) untuk meminangnya.

Raja Negus mengutus pegawai perempuannya untuk menemui Ummu Habibah untuk menyampaikan surat pinangan Rasulullah SAW kepadanya. Ia lantas menerima pinangan tersebut dengan senang perasaan sangat bahagia.

Pernikahan pun dilangsungkan pada tahun ke-7 Hijriah dengan mahar 400 dinar. Setelah menikah, dirinya tetap tinggal di Habasyah barulah setelah Perang Khaibar ia hidup bersama Rasulullah SAW.

Kisah Ummu Habibah Bersama Rasulullah SAW

Selama hidup bersama Rasulullah SAW, belum ada satu riwayat pun yang mengabarkan perilaku cemburu yang ditunjukkan oleh Ummu Habibah. Inilah salah satu kelebihan Ummu Habibah di antara para istri Nabi SAW yang lain.

Suatu saat, Abu Sufyan tiba di Madinah untuk membicarakan Perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh kaum Quraisy. Namun, ia tidak langsung menemui Rasulullah SAW, melainkan ingin memanfaatkan anaknya sendiri untuk negosiasi itu.

Ia terkejut melihat keberadaan ayah yang sudah lama tidak ia lihat itu berada di rumahnya. Ia lebih tidak terima ketika ayahnya duduk di tikar yang biasanya digunakan untuk duduk oleh Rasulullah SAW.

Ummu Habibah berkata, “Tikar ini milik Rasulullah. Sementara engkau masih musyrik. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.”

Dirinya pun marah, namun masih bisa dipendam. Hal ini lantas membuat Abu Sufyan untuk mengurungkan niatnya memanfaatkan putrinya.

Kejadian ini menunjukkan bahwa keimanan istri Nabi Muhammad Ummu Habibah sangatlah kuat dan teguh. Iman dan keyakinan itu tidak goyah walaupun dihadapkan dengan ayah kandungnya sendiri.

Setelah ditinggal wafat Rasulullah SAW, Ummu Habibah menghabiskan sisa waktunya untuk menyendiri beribadah kepada Allah SWT.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Wafatnya Ibunda Rasulullah SAW pada Usia Nabi Berapa?


Jakarta

Sebelum diangkat menjadi seorang nabi, Rasulullah Muhammad SAW sudah mendapat banyak cobaan dari Allah SWT. Salah satunya adalah menjadi yatim piatu di usia enam tahun.

Ayah Nabi Muhammad SAW sudah lebih dahulu meninggal saat Rasulullah SAW masih di dalam kandungan. Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib wafat saat Nabi SAW dalam kandungan baru dua bulan.

Abdullah bin Abdul Muthalib Wafat saat Nabi SAW Masih dalam Kandungan

Nabi Muhammad SAW dilahirkan dari ayah yang bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dan ibu yang bernama Aminah binti Wahab. Nabi Muhammad lahir dari keturunan pilihan di antara kabilah-kabilah Arab, yaitu keturunan Ismail bin Ibrahim AS.


“Ayahnya bernama Abdullah bin Abd al-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Keturunan Ismail bin Ibrahim AS.” Tulis H. Murodi dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas VII.

Menjelang usianya yang ke-24, Abdullah menikahi seorang perempuan bernama Aminah bin Wahab. Keduanya dikaruniai seorang anak, yaitu Muhammad SAW. Namun, Abdullah belum pernah bertemu dengan anaknya itu lantaran ia sudah wafat terlebih dahulu.

Abdullah meninggal dunia di Madinah dalam usia 25 tahun, di kediaman pamannya dari Bani Najjar.

Saat itu Abdullah sedang pergi ke Madinah untuk membeli kurma dan dijualnya kembali ketika di kotanya. Namun, sesampainya di Madinah ia jatuh sakit, lalu meninggal dunia.

Di saat yang sama, istrinya ia tinggal di rumah dan masih mengandung anaknya, Muhammad. Artinya, Nabi Muhammad SAW sudah menjadi seorang yatim bahkan sebelum beliau lahir ke dunia.

Wafatnya Ibunda Rasulullah SAW pada Usia Nabi yang ke Berapa?

“Ibu Nabi SAW, Aminah binti Wahab dari Bani An-Najjar, meninggal dunia saat beliau berusia enam tahun. Ada yang mengatakan empat tahun.” Jelas buku Syarah Safinatun Naja: Ringkasan Akidah, Sirah Nabawiyah, Ibadah dalam Madzhab Asy-Syafi’i oleh Amjad Rasyid.

Dalam sumber sebelumnya disebutkan, Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal, tahun Gajah, atau bertepatan pada 20 April 571 M. Setelah lahir, beliau diasuh oleh ibunya sendiri.

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga disusui oleh Tsuwaibah Aslamian, mantan budak Abu Lahab. Selanjutnya Muhammad juga disusui oleh Halimah Sa’diyah binti Abu Dzu’aib di perkampungan Bani Sa’ad.

Cobaan kembali menimpa Nabi Muhammad SAW ketika usianya menginjak enam tahun.

Suatu saat, Aminah binti Wahab melakukan perjalanan dari Madinah ke Makkah bersama anaknya, Muhammad. Di Madinah, ia mengunjungi paman-paman dan saudara-saudaranya dari pihak ayah, yaitu keturunan Bani Adi bin Najjar.

Namun, dalam perjalanan kembali ke Makkah tersebut, Aminah binti Wahab meninggal dunia di Abwa. Wafatnya Ibunda Rasulullah SAW pada Usia Nabi yang ke enam tahun.

Dalam buku Meneladani Akhlak Rasul dan Para Sahabat oleh A. Fatih Syuhud, Aminah binti Wahab meninggal dunia pada tahun 47 sebelum hijriah atau bertepatan dengan tahun 577 masehi.

Setelah ditinggal orang tua untuk selamanya, Nabi Muhammad SAW diasuh oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib hingga usia menginjak delapan tahun.

Abdul Muthalib meninggal dunia di usia Nabi SAW yang kedelapan tahun. Selanjutnya Muhammad dirawat oleh pamannya, Abu Thalib hingga tumbuh dewasa.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Mengenal 5 Rasul Ulul Azmi dan Mukjizatnya, Ada Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad



Jakarta

Islam memiliki 25 para nabi dan rasul yang wajib diimani. Dari jumlah tersebut, hanya terdapat lima rasul yang mendapat gelar Ulul Azmi.

Lima rasul bergelar Ulul Azmi tersebut adalah Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS, dan Nabi Muhammad SAW.

Lantas, apa arti dari Ulul Azmi? Berikut pengertian dan rasul Ulul Azmi beserta mukjizatnya.


Pengertian Ulul Azmi dan Kriterianya

Merangkum buku Menguak Rahasia Kehebatan Para Kekasih Allah: 1001 Mukjizat Para Nabi dan Karamah Para Sahabat oleh M. Nawawi, Ulul Azmi adalah gelar yang diberikan kepada para rasul yang memiliki kedudukan tinggi. Mereka mendapatkan gelar tersebut karena mereka hidup dengan penuh ketabahan, kesabaran luar biasa, dan pantang menyerah dalam menyebarkan agama Islam.

Diantara banyaknya jumlah para nabi dan rasul, hanya terdapat lima rasul yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Mereka adalah Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS, dan Nabi Muhammad SAW.

Kriteria rasul Ulul Azmi harus menyandang beberapa hal berikut:

– Memiliki kesabaran yang tinggi dalam berdakwah
– Senantiasa berdoa agar kaum mereka diberikan hidayah oleh Allah SWT
– Senantiasa memohon kepada Allah SWT agar tidak menurunkan azab kepada kaum mereka.

Rasul Ulul Azmi dan Mukjizatnya

1. Nabi Nuh AS dan Mukjizatnya

Sebelum Allah SWT mengutus Nabi Nuh AS untuk meluruskan akidah yang tercemar, jauh sebelumnya telah hidup lima orang saleh. Mereka adalah kakek moyang kaum Nabi Nuh AS yang bernama Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.

Setelah mereka meninggal, orang-orang membuatkan patung untuk mengenang kebaikan mereka. Namun patung-patung tersebut beralih fungsi menjadi sesembahan.

Dalam situasi yang penuh kekufuran, Allah SWT mengutus Nabi Nuh AS untuk mengajak umatnya kembali ke jalan yang benar dengan penuh kesabaran meskipun kaumnya mengejeknya. Nabi Nuh AS adalah nabi yang tidak terpengaruh oleh adat-istiadat yang menyimpang dari kebenaran.

Di antara sejumlah mukjizat Nabi Nuh AS yang terkenal adalah membuat kapal besar yang membuat ia dan kaumnya selamat dari azab banjir bandang.

2. Nabi Ibrahim AS dan Mukjizatnya

Nabi Ibrahim AS adalah nabi yang lahir di Faddam A’ram, Babilonia Baru. Pada saat itu Faddam A’ram dipimpin oleh raja zalim yang bernama Namrud bin Kan’an.

Suatu malam, Raja Namrud bermimpi aneh dan membuatnya gelisah. Ia segera memanggil tafsir mimpi kerajaan. Tafsir mimpi tersebut menyatakan bahwa akan ada bayi lelaki yang membawa agama baru dan menghancurkan berhala.

Dengan perasaan yang khawatir, Raja Namrud memerintahkan pasukannya untuk membunuh semua bayi lelaki yang baru lahir. Namun, Nabi Ibrahim AS selamat dari pembunuhan tersebut.

Nabi Ibrahim AS memiliki beberapa mukjizat, di antaranya jarinya yang mengeluarkan susu dan madu, dapat melihat burung mati dihidupkan kembali, selamat dari kobaran api, dan selamat dari serangan nyamuk.

3. Nabi Musa AS dan Mukjizatnya

Nabi Musa adalah nabi dan rasul yang menerima Kitab Taurat. Allah SWT mengutus Nabi Musa AS untuk memimpin Bani Israil ke jalan yang benar.

Beliau dilahirkan di Mesir pada masa pemerintahan Fir’aun. Fir’aun adalah raja yang sangat zalim dan ingkar kepada Allah SWT.

Allah SWT memberikan beberapa mukjizat kepada Nabi Musa AS untuk melawan Fir’aun dan mengajak kaumnya menuju ke jalan yang benar. Beberapa mukjizat tersebut yaitu selamat dari pembunuhan massal, berjumpa ibundanya yang melahirkannya, bisa berbicara dengan Allah SWT, tongkatnya bisa berubah menjadi ular, bisa menghapus paceklik, menghadirkan azab atas izin Allah SWT seperti badai besar, hama pengerat, dan ribuan katak.

4. Nabi Isa AS dan Mukjizatnya

Dirangkum dari buku Akidah Akhlak Madrasah Aliyah Kelas X oleh Thoyib Sah Saputra, Nabi Isa AS memiliki kesabaran dan keteguhan luar biasa dalam menyampaikan ajaran Allah SWT. Kehidupannya menggambarkan kezuhudan dan ketaatan dalam beribadah.

Merujuk pada buku Keagungan Mukjizat Nabi Muhammad SAW oleh Said Abdul Azhim, mukjizat Nabi Isa AS di antaranya yaitu bahwa beliau diciptakan Allah SWT dengan malaikat Jibril meniupkan ruh ke Maryam. Nabi Isa AS masih hidup dan tidak wafat (ruh dan jasadnya berada di langit paling dekat dan akan turun menjelang hari kiamat).

5. Nabi Muhammad SAW dan Mukjizatnya

Dirangkum dari buku Akidah Akhlak Madrasah Aliyah Kelas X, Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi. Sejak kecil, beliau mengalami masa-masa sulit.

Meskipun harus mengalami masa-masa sulit, dengan sabar dan tabah Nabi Muhammad SAW menghadapinya.

Tantangan terberatnya datang setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul. Ia juga harus ikut menderita ketika Bani Hasyim diboikot (diasingkan) di sebuah lembah karena dakwahnya.

Mukjizat Nabi Muhammad SAW di antaranya terdapat pada kepribadian dan pemikiran beliau, mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT, mukjizat membebaskan akal (tidak memikirkan duniawi selain hanya tertuju kepada Allah SWT) dan mengalami Isra’ dan Mi’raj.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Rufaida Al-Aslamia, Perawat Muslimah Pertama yang Bantu Korban Perang


Jakarta

Rufaida Al-Aslamia adalah seorang perawat pertama di zaman Rasulullah SAW yang jasanya sangat besar dan menjadi inspirasi dalam dunia medis hingga sekarang. Bagaimana kisahnya? Berikut ulasan dari detikHikmah selengkapnya!

Islam membawa kebaikan untuk semua kalangan masyarakat, termasuk para wanita. Dengan datangnya Islam, perempuan-perempuan bisa mendapat kesempatan mengakses ilmu dan belajar.

Salah satu perempuan cerdas yang memanfaatkan kesempatan ini adalah Rufaida Al-Aslamia. Dirinya adalah seorang relawan dan juga ahli bedah dan perawat wanita muslim pertama dalam sejarah.


Bahkan Emma Green mengatakan dalam bukunya Female Innovators Who Changed Our World: How Women Shaped STEM, jasa Rufaida Al-Aslamia bahkan diabadikan dalam sunah-sunah rasul.

Ketika perang, dirinya diizinkan oleh Rasulullah SAW untuk mendirikan sebuah tenda kesehatan di samping masjid demi merawat prajurit yang terluka. Dia juga mengajarkan konsep baru tentang keperawatan kepada wanita-wanita lain, yakni merawat dengan penuh kasih sayang, kenyamanan, dan dukungan.

Jasa besar Rufaida Al-Aslamia dalam dunia medis sangat diapresiasi hingga sekarang. Namanya bahkan menjadi nama beberapa institut pendidikan di daerah timur tengah.

Berikut adalah sosok Rufaida Al-Aslamia yang menjadi perawat wanita pertama dalam sejarah Islam.

Jasa Rufaida Al-Aslamia sebagai Seorang Perawat

Disebutkan dalam buku Teori Model Keperawatan: Keperawatan oleh Nur Aini, nama lengkap Rufaida Al-Aslamia adalah Rufaidah binti Sa’ad Al Bani Aslam Al Khazraj. Sedangkan nama Al-Aslamia dipakai karena ia tinggal di Madinah.

Rufaida Al-Aslamia merupakan orang dari kaum Anshar yang pertama menerima kedatangan Nabi SAW dan kaum Muhajirin. Ayahnya merupakan seorang dokter yang bernama Sa’ad Al Aslami, di mana dari dirinyalah Rufaida belajar ilmu kesehatan dan keperawatan.

Perjuangan Rufaida Al-Aslamia untuk membantu orang-orang yang sakit dimulai di medan pertempuran. Ia bertugas menjadi sukarelawan untuk membantu dan merawat para korban perang, dan bahkan juga mendirikan rumah sakit lapangan.

Rufaida Al-Aslamia berjasa di banyak sekali peristiwa peperangan umat Islam dengan para musuh Allah SWT. Ia rela mengabdikan diri sebagai sukarelawan dalam berbagai perang, mulai dari Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar.

Nabi Muhammad SAW sendirilah yang mengizinkan Rufaida Al-Aslamia untuk menjadi perawat sukarelawan pada perang-perang tersebut. Beliau bahkan juga memerintahkan para prajurit perang yang terluka untuk datang ke tenda kesehatan agar segera dirawat.

Salah satu sahabat Rasulullah SAW yang pernah menjadi pasien dari Rufaida Al-Aslamia adalah Sa’ad Ibnu Mu’aath.

Peristiwa tersebut terjadi saat perang Khandaq, di mana Sa’ad Ibnu Mu’aath terluka di bagian tubuhnya. Kemudian, Nabi Muhammad SAW memerintahkan dirinya untuk diobati oleh Rufaida Al-Aslamia.

Kemudian, Rufaida Al-Aslamia pun terkenal sebagai perawat yang teladan, baik hati, memiliki empati tinggi, dan berkepribadian luhur. Ialah orang pertama yang berdiri di samping orang-orang yang rentan dan lemah.

Prinsip Rufaida Al-Aslamia dalam merawat pasien adalah dengan pemikiran bahwa umat manusia membutuhkan perawatan dan cinta. Prinsip ini sangat berguna bagi para pasien yang sakit, sebab mereka membutuhkan bantuan dan perawatan.

Dalam mengemban tugas yang sangat mulia ini, Rufaida Al-Aslamia tidak berjalan sendirian. Ia dibantu beberapa wanita lainnya seperti, Ummu Atiyyah, Ummu Sulaym, Hamnah binti Jahsh, Layla Al-Ghifaariyyah, Ummu Ayman, dan Rubayyi’ binti Mu’awwith.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Mengenal Zaid bin Haritsah, Anak Angkat Rasulullah SAW


Jakarta

Salah satu panglima perang Islam di zaman Rasulullah SAW adalah Zaid bin Haritsah. Ia memiliki sejumlah keistimewaan dibandingkan sahabat-sahabat lainnya.

Bahkan, panglima yang mati syahid di peperangan Mu’tah ini menjadi tameng bagi Rasulullah SAW saat Perang Uhud. Tidak ada satu senjata pun yang dapat menembus tubuh Rasulullah SAW sebelum menyentuh tubuh Zaid.

Dia satu-satunya sahabat Rasulullah SAW yang secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an di surat Al-Ahzab ayat 37:


وَاِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْٓ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللّٰهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٰىهُ ۗ فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًاۗ زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْٓ اَزْوَاجِ اَدْعِيَاۤىِٕهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا

Artinya: Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah SWT dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah SWT, dan engkau takut kepada manusia. Padahal Allah SWT lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Seperti apakah kisah hidup Zaid bin Haritsah? Untuk itu, dalam artikel ini akan disajikan sejarah hidup dari Zaid bin Haritsah.

Mengenal Lebih Dekat Zaid bin Haritsah

Merangkum buku Para Panglima Perang Islam oleh Rizem Aizid, Zaid bin Haritsah memiliki ibu bernama Su’da binti Tsalabah dan ayahnya adalah Haritsah. Mereka bukan berasal dari keluarga bangsawan, melainkan hanya rakyat jelata.

Asal Zaid bin Haritsah adalah Bani Kalb yang tinggal di bagian utara Jazirah Arab. Pada masa kecilnya ia ditangkap sekelompok penjahat dan dijual sebagai budak.

Kemudian ia dibeli oleh keponakan dari Khadijah, Hukaim bin Hisyam. Karena memiliki sifat yang baik, oleh Khadijah diberikan kepada Rasulullah SAW yang kemudian memerdekakan Zaid bin Haritsah.

Zaid bin Haritsah termasuk salah satu sahabat yang paling awal memeluk agama Islam dari golongan hamba sahaya. Hal ini dikarenakan, sejak kecil Zaid bin Haritsah telah diangkat menjadi anak asuh kesayangan Rasulullah SAW dari kalangan budak beliau.

Saking dekatnya Zaid bin Haritsah dengan Rasulullah SAW, ia pun menjadi satu-satunya orang yang dipercaya oleh Rasulullah SAW untuk memegang rahasia beliau. Karena itu, Zaid bin Haritsah dijuluki sebagai Sang Pemegang Rahasia Rasulullah SAW.

Zaid bin Haritsah tumbuh menjadi seorang prajurit pemberani, ia juga panglima yang tangguh dalam banyak peperangan Islam. Sebagi seorang prajurit yang pemberani, Zaid bin Haritsah memiliki jasa yang sangat besar, salah satunya menjadi tameng bagi Rasulullah SAW saat Perang Uhud.

Zaid bin Haritsah dalam Perang Mu’tah

Merangkum buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X oleh H. Abu Achmadi dan Sungarso, Mu’tah adalah nama daerah di dataran rendah Balqa di Negeri Syam. Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Ula tahun 8 H atau 629 M.

Perang Mu’tah disebabkan oleh dibunuhnya dua utusan Rasulullah SAW. yang membawa surat dakwah ke beberapa kepala negara untuk mengajak mereka menerima ajaran Islam. Atas perlakuan ini, Rasulullah SAW mempersiapkan pasukan Muslimin untuk berperang dengan pasukan Ghassaniyah di Mu’tah.

Sebelum pasukan Islam berangkat, Rasulullah SAW telah menunjuk tiga orang sahabat sekaligus mengemban amanah komandan secara bergantian bila komandan sebelumnya gugur di medan perang. Mereka adalah Ja’far bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Rawahah.

Zaid bin Haritsah menjadi panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah SAW, kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan sangat sengit, Zaid menebasi anak panah-anak panah musuh hingga akhirnya dia tewas.

Rasulullah sangat sedih dengan kematian Zaid yang sudah ia angkat sebagai anak kesayangannya. Ia sangat sayang kepada Zaid seperti yang dikabarkan oleh Aisyah ra,

“Setiap Rasulallah SAW mengirimkan suatu pasukan yang disertai Zaid, ia selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasulallah SAW, tentulah ia akan diangkatnya sebagai Khalifah.”

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Romantisnya Pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah Bulan Syawal


Jakarta

Syawal merupakan bulan yang istimewa. Di bulan ini terjadi pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA.

Aisyah RA dikenal sebagai Ummul Mukminin yang artinya adalah ibu orang-orang mukmin. Ia adalah perempuan yang cantik parasnya dan juga lembut hatinya.

Aisyah RA menikah dengan Rasulullah SAW di bulan Syawal. Hal ini berdasarkan pada hadits berikut,


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ

Artinya: ‘Aisyah dia berkata, “Rasulullah menikahiku pada bulan Syawal, dan mulai berumah tangga bersamaku pada bulan Syawal, maka tidak ada di antara istri-istri Rasulullah yang lebih mendapatkan keberuntungan daripadaku.”

Periwayat hadits berkata, “Oleh karena itu, ‘Aisyah sangat senang menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim)

Merangkum buku Istri dan Putri Rasulullah oleh Abdullah Haidir dikisahkan bahwa Aisyah RA menjalani rumah tangga dengan penuh perasaan bahagia.

Ia adalah Aisyah binti Abdullah bin Abu Quhafah. Abdullah bin Abu Quhafah adalah nama sebenarnya dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. Aisyah RA dilahirkan empat tahun setelah masa kenabian.

Aisyah RA adalah perempuan mulia, ia dikenal dengan julukan Ash-Shiddiqah (wanita yang jujur dengan keimanannya). Hal ini yang membuat dirinya terkadang disebut dengan istilah Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq.

Ibunda Aisyah bernama Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir Al-Kinaniyah. Sang ibu dikenal sebagai wanita salihah yang telah masuk Islam sejak awal dakwah Rasulullah SAW. Ayah dan ibu Aisyah RA adalah kalangan orang-orang beriman yang dekat dengan Rasulullah SAW.

Setelah menikah, Rasulullah SAW memberi julukan khusus kepada Aisyah RA yakni humairah yang artinya putih kemerah-merahan. Julukan ini diberikan karena Aisyah RA memiliki kulit yang putih dan wajah merona kemerahan.

Kisah Pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA

Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA pada bulan Syawal, kurang lebih setahun sebelum Hijrah ke Madinah. Pernikahan tersebut baru sebatas akad karena selama di Makkah, Aisyah RA tidak langsung tinggal bersama Rasulullah SAW.

Dua tahun setelah Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, Aisyah RA menyusul bersama ibundanya. Tepat pada bulan Syawal, Aisyah RA tinggal serumah dengan Rasulullah SAW.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA berawal dari Khaulah binti Hakim, istri Utsman bin Maz’un, yang memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW terkait pernikahan sepeninggal Khadijah RA.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah SAW memberi isyarat bahwa beliau masih menginginkan meminang perempuan. Kemudian, Khaulah menawarkan Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq RA yang masih gadis atau Saudah binti Zum’ah yang sudah janda.

Singkat cerita akhirnya Rasulullah SAW menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Aisyah RA menuturkan tentang pernikahannya dengan Rasulullah SAW, “Rasulullah SAW menikahi aku ketika aku berusia enam tahun, kemudian kami berangkat (hijrah) ke Madinah, kami singgah di rumah Al-Harits bin Khazraj. Lalu aku menderita demam, rambutku rontok, sehingga di pundakku banyak terdapat rambut rontok.”

Ummu Ruman, ibunya, datang menghampiri Aisyah yang berada di atas dipan bersama teman-temannya. Lalu, sang ibu memanggil Aisyah RA dan membawanya hingga di depan pintu sebuah rumah. Aisyah RA bercerita, nafasnya terasa tersengal-sengal kemudian reda lagi.

Lalu ibunya mengambil air dan mengusapkan ke wajah dan kepala Aisyah RA. Kemudian, sang ibu mengajak Aisyah RA masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalamnya terdapat ibu-ibu dari kalangan Anshar.

Mereka berkata, “Engkau mendapatkan kebaikan dan berkah, semoga bahagia.”

“Kemudian dia menyerahkan aku kepada mereka, lalu mereka merapikan diriku. Tanpa aku perkirakan, Rasulullah SAW datang di waktu Dhuha, maka dia menyerahkan aku kepadanya. Ketika itu aku berusia sembilan tahun,” demikian cerita Aisyah RA.

Di lain waktu, Aisyah RA mengatakan bahwa Nabi SAW menikahi dirinya pada saat ia berusia enam tahun dan menggaulinya pada saat dia berusia sembilan tahun.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA tidak semata-mata berdasarkan hawa nafsu belaka. Suatu ketika, setelah menikahi Aisyah, Rasulullah SAW berkata kepadanya,

“Aku bermimpi diperlihatkan engkau sebanyak dua kali. Engkau berada dalam penutup kain sutra, lalu ada yang berkata, ‘Inilah istrimu, singkaplah,’ Ternyata dia adalah engkau. Maka aku katakan, jika ini bersumber dari Allah, niscaya Dia akan mewujudkannya.”

Aisyah RA menjadi wanita yang sangat mulia di usianya yang belia. Namanya dikenang sebagai perempuan yang cerdas, memiliki ilmu yang sangat luas khususnya dalam bidang fiqh, dan dia juga perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.

Sebagai istri yang dipersunting sejak usia dini, Aisyah RA mendapat curahan ilmu dan keimanan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Ia memiliki kemampuan untuk menerima dan memahami banyak hal besar, baik secara fisik, kecerdasan maupun kejiwaan.

(dvs/rah)



Sumber : www.detik.com

Ketika Allah Memberikan Wahyu pada Lebah



Jakarta

Surah An-Nahl merupakan surah yang membahas mengenai lebah yang mendapat wahyu dari Allah SWT. Sehingga para lebah bisa hidup berkoloni dan membangun markas.

Melansir dalam buku Qadha dan Qadar yang ditulis Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menceritakan bahwa petunjuk atau insting yang diberikan Allah pada lebah benar-benar sangat menakjubkan. Sekawanan lebah memiliki raja yaitu seekor lebah jantan yang memiliki tubuh besar dibandingkan dengan lebah lainnya.

Tempat pertama yang dibangun oleh sekelompok lebah adalah singgasana sang raja. Lebah-lebah itu membangun sarangnya dengan ukuran yang sangat seimbang dalam bentuk heksagonal tanpa menggunakan alat ukur.


Betapa Mahabesar Allah yang telah memberikan insting pada binatang lebah ini untuk mengembara ke tempat jauh tanpa tersesat. Mereka dapat makan sari-sari bunga kemudian kembali ke rumahnya yang masih kosong dan mengisinya dengan madu segar.

Allah SWT memerintahkan kepada para lebah untuk membuat sarang melalui surah An-Nahl ayat 68:

وَاَوْحٰى رَبُّكَ اِلَى النَّحْلِ اَنِ اتَّخِذِيْ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا وَّمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُوْنَۙ ٦٨

Artinya: “Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di pegunungan, pepohonan, dan bangunan yang dibuat oleh manusia.”

Serta Surah An-Nahl ayat 69:

ثُمَّ كُلِيْ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًاۗ يَخْرُجُ مِنْۢ بُطُوْنِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ ۖفِيْهِ شِفَاۤءٌ لِّلنَّاسِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٦٩

Artinya: “Kemudian, makanlah (wahai lebah) dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan-jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perutnya itu keluar minuman (madu) yang beraneka warnanya. Di dalamnya terdapat obat bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Surah An-Nahl Artinya Lebah

Menurut buku Al Qur’an Terjemah dan Tafsir karya Maulana Muhammad Ali, Surah An-Nahl artinya lebah, karena lebah mempunyai naluri yang terpimpin.

Lebah bisa mengumpulkan madu dari segala macam bunga dengan mengambil kandungan nektar yang terbaik, sehingga lebah bisa menghasilkan minuman (madu) yang amat berkhasiat bagi kesehatan manusia.

Wahyu Para Lebah

Menurut tafsir Ibnu Katsir dalam tafsirnya Lubaabut Tafsir min Ibni Katsir terjemahan Abdul Ghoffar, Abdurrahim Mu’thi dan Abu Ihsan Al Ansari, lebah dianugerahkan beberapa kelebihan daripada hewan lainnya.

1. Ilham Lebah

Dimaksud wahyu adalah lebah yang mendapatkan ilham, petunjuk, dan bimbingan, supaya mereka menjadikan gunung-gunung, pohon-pohon, dan buatan manusia sebagai sarang/rumah tempat tinggal.

Para lebah pun menyusun bagian demi bagian rumah dengan penuh ketekunan, sehingga tidak ada satupun yang rusak.

2. Allah Mengizinkan Lebah Memakan Segala Bunga

Allah mengizinkan para lebah dalam bentuk qadariyyah (Sunnatullah) dan pengarahan, untuk memakan segala macam buah-buahan, berjalan di berbagai medan yang sudah dimudahkan oleh Allah SWT.

Kemudian, masing-masing dari lebah yang mencari makanan ini, kembali lagi ke sarang-sarang mereka tanpa ada satupun yang keliru memasuki rumahnya baik sebelah kanan atau kiri.

Lebah membangun sarang dari bahan yang ada dikedua sayapnya, lalu memuntahkan madu dari dalam mulutnya, dan bertelur dari duburnya.

3. Lebah Menghasilkan Madu

(يَخْرُجُ مِنْۢ بُطُوْنِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ ۖفِيْهِ شِفَاۤءٌ لِّلنَّاسِۗ), artinya, “Dari perutnya itu keluar minuman (madu) yang beraneka warnanya.”

Madu ada yang berwarna putih, kuning, merah, dan warna-warna lainnya yang indah sesuai dengan makanannya.

4. Madu Obat Penyakit

(اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ), artinya, “Di dalamnya terdapat obat bagi manusia.”

Sebagian orang yang berbicara tentang thibbun Nabawi (ilmu kedokteran Nabi) mengatakan, jika Allah mengatakan, “fubisy-syifa’ linnas”, berarti madu itu menjadi obat bagi segala macam penyakit.

Dia mengatakan, “fiibi syifa’ linnas”, yang berarti bahwa madu itu bisa dipergunakan untuk obat penyakit kedinginan, karena madu itu panas.

Dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala “Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia,” yaitu madu.

Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash Shahihain dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwasanya ada seseorang yang datang kepada Rasulullah.

lalu orang itu berkata, “Sesungguhnya saudaraku sakit perut.”

Maka beliau bersabda: “Berilah dia minum madu.” Kemudian orang itu pergi dan memberinya minum madu.

Setelah itu orang tersebut datang dan berkata, “Ya Rasulullah, aku telah memberinya minum madu dan tidak bereaksi kecuali bertambah parah.”

Maka beliau berkata, “Pergi dan beri dia minum madu lagi.” Kemudian orang itu pun pergi dan memberi- nya minum madu.

Setelah itu orang tersebut datang lagi dan berkata, “Ya Rasulullah, dia semakin bertambah parah.”

Maka Rasulullah bersabda, “Maha Benar Allah dan perut saudaramu yang berdusta. Pergi dan berilah dia minum madu.” Kemudian dia pun pergi dan memberinya minum madu hingga akhirnya saudaranya itu sembuh.

Dalam kitab ash-Shahihain juga disebutkan, dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah pernah tertarik oleh manisan dan madu. Ini adalah lafazh al-Bukhari.

Dalam kitab Shahih al-Bukhari disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, di mana dia bercerita, Rasulullah bersabda:

( الشفاء في ثلاثة: فِي شَرْطَةِ مِحْجَمٍ، أَو شُربَةِ عَسَلٍ، أَوْ كَيَّةٍ بِنَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنِ الكَي )

Artinya: “Kesembuhan itu ada pada tiga hal, yaitu pada pembekaman, pada minum madu, atau pembakaran dengan api. Aku melarang umatku dari kayy (pengobatan dengan cara pembakaran).”

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Ashim bin ‘Umar bin Qatadah dari Jabir.

Imam Ahmad meriwayatkan, Ali bin Ishaq memberitahu kami, ‘Abdullah memberitahu kami, Sa’id bin Abi Ayyub memberitahu kami, dari ‘Abdullah bin al-Walid, dari Abul Khair, dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhni, dia bercerita, Rasulullah bersabda:

( ثَلَاثَ إِنْ كَانَ فِي شَيْ شِفَاءُ: فَشَرْطَةُ مِحْجَمٍ، أَوْ شُرْبَةُ عَسَلٍ، أَوْ كَيَّةٌ تُصِيبُ أَلَمًا وَأَنَا أَكْرَهُ الْكَيَّ وَلَا أُحِبُّهُ )

Artinya: “Ada tiga hal (obat) jika orang terkena sesuatu (penyakit); hijam (pembekaman), minum madu, atau pembakaran pada bagian yang terkena penyakit, dan aku membenci pembakaran dan tidak menyukainya.”

Demikian pembahasannya, lebah dengan segala keteraturan dan manfaat yang mereka hasilkan, menunjukkan kebesaran Allah SWT melalui wahyu-Nya dalam Surah An-Nahl.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Orang Masuk Surga dan Neraka gegara Seekor Lalat


Jakarta

Ada sebuah kisah menarik yang menjadi bahan renungan banyak orang tentang bagaimana tindakan kecil bisa membawa dampak besar dalam kehidupan akhirat. Kisah ini menceritakan tentang dua orang yang mendapatkan nasib berbeda, satu masuk surga dan yang lain masuk neraka hanya karena seekor lalat.

Meskipun lalat terlihat sebagai makhluk kecil dan sepele, kisah ini mengajarkan bahwa keputusan manusia dalam menghadapi ujian, sekecil apa pun, dapat menentukan masa depannya di akhirat.

Masuk Surga dan Neraka karena Lalat

Dikutip dari buku Keindahan Surga dan Kengerian Siksa Neraka oleh Abu Utsman Kharisman, seekor lalat bisa menjadi penyebab masuknya seseorang ke dalam surga, bisa juga menjadi penyebab masuknya seseorang ke neraka.


Dikisahkan ada dua orang yang melewati suatu kaum yang sedang beribadah kepada berhala. Kaum ini tidak memperbolehkan seorang pun untuk lewat di hari itu kecuali dengan memberikan persembahan untuk berhala, walaupun hanya seekor lalat.

Satu orang tetap menjaga tauhidnya dengan tidak mau memberikan persembahan apa pun kepada berhala tersebut. Karena keteguhannya, ia akhirnya dimasukkan ke dalam surga.

Sementara itu, satu orang lagi ingin selamat dari kaum tersebut sehingga bersedia untuk mempersembahkan seekor lalat untuk berhala. Dia pun menjadi masuk neraka hanya karena seekor lalat.

Dikutip dari kitab Ad-Daa’ wad Dawaa’ karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang ditahqiq Ali bin Hasan Abul Harits al-Halabi al-Atsari, kisah mengenai dua orang yang masuk surga dan neraka karena seekor lalat diceritakan dalam sebuah riwayat.

Al-Imam Ahmad berkata: “Kami diberitahu Abu Mu’awiyah; kami diberitahu al-A’masy; dari Salman bin Maisarah, dari Thariq bin Syihab, ia me-marfu-kannya, bahwasanya Nabi SAW bersabda:

ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓِﻲْ ﺫُﺑَﺎﺏٍ , ﻭَﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓِﻲْ ﺫُﺑَﺎﺏٍ، ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﻭَﻛَﻴْﻒَ ﺫَﻟِﻚَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺮَّ ﺭَﺟُﻼَﻥِ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﻮْﻡٍ ﻟَﻬُﻢْ ﺻَﻨَﻢٌ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُﻩُ ﺃَﺣَﺪٌ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻘَﺮِّﺏَ ﻟَﻪُ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻓَﻘَﺎﻟُﻮْﺍ ﻷَﺣَﺪِﻫِﻤَﺎ : ﻗَﺮِّﺏْ، ﻗَﺎﻝَ : ﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪِﻱْ ﺷَﻲْﺀٌ ﺃُﻗَﺮِّﺏُ، ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﻟَﻪُ : ﻗَﺮِّﺏْ ﻭَﻟَﻮْ ﺫُﺑَﺎﺑًﺎ، ﻓَﻘَﺮَّﺏَ ﺫُﺑَﺎﺑًﺎ ﻓَﺨَﻠُّﻮْﺍ ﺳَﺒِﻴْﻠَﻪُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ، ﻭَﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﻟِﻶﺧَﺮِ : ﻗَﺮِّﺏْ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺖُ ﻷُﻗَﺮِّﺏَ ﻷﺣَﺪٍ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻀَﺮَﺑُﻮْﺍ ﻋُﻨُﻘَﻪُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Ada seseorang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat pula.”

Para sahabat bertanya: “Bagaimana itu bisa terjadi ya Rasulullah?

Rasul menjawab: “Ada dua orang berjalan melewati sebuah kaum yang memiliki berhala, yang mana tidak boleh seorang pun melewatinya kecuali dengan mempersembahkan sesuatu untuknya terlebih dahulu, maka mereka berkata kepada salah satu di antara kedua orang tadi: “Persembahkanlah sesuatu untuknya!”

Ia menjawab: “Saya tidak mempunyai apa pun yang akan saya persembahkan.”

Mereka berkata lagi: “Persembahkan untuknya walaupun seekor lalat!” Maka ia pun mempersembahkan untuknya seekor lalat, maka mereka membiarkan ia untuk meneruskan perjalanannya, dan ia pun masuk ke dalam neraka.

Kemudian mereka berkata lagi kepada seseorang yang lain: “Persembahkalah untuknya sesuatu!” Ia menjawab: “Aku tidak akan mempersembahkan sesuatu apa pun untuk selain Allah, maka mereka pun memenggal lehernya, dan ia pun masuk ke dalam surga.” (HR Ahmad)

Dari kisah tersebut diketahui setiap tindakan sekecil apa pun memiliki dampak yang sangat besar di mata Allah SWT. Orang yang mempersembahkan lalat menunjukkan bahwa kompromi dalam hal prinsip dan tauhid, bahkan dalam bentuk kecil, bisa membawa seseorang pada kesesatan dan hukuman.

Sebaliknya, orang yang menolak mempersembahkan sesuatu kepada selain Allah SWT menunjukkan keteguhan iman dan keberanian dalam mempertahankan keyakinan. Meskipun harus mengorbankan nyawa, kesetiaan kepada Allah SWT justru membawanya ke surga, menunjukkan bahwa keimanan sejati akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com