Tag Archives: sahabat

Anak Hasil Nikah Siri, Apakah Bisa Dapat Akta Lahir dan Hak Waris?


Jakarta

Pernikahan siri, atau pernikahan yang sah secara agama namun tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), masih banyak terjadi di Indonesia. Meski sah menurut agama, nikah siri menimbulkan berbagai persoalan hukum di kemudian hari, terutama jika pasangan tersebut memiliki anak.

Dalam sejarah Islam, nikah siri juga telah ada pada zaman sahabat. Dikutip dari buku Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri oleh Yani C. Lesar, istilah nikah siri muncul pada zaman sahabat Umar bin Khattab.

Kala itu beliau memberitahu bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak dihadiri saksi, kecuali hanya seorang perempuan dan seorang laki-laki.


Dalam sebuah riwayat, sahabat Umar bin Khattab pernah berkata:

ىذا نكاح السر , ًلا أجيسه لٌ كنت تقد مت جمتلر

Artinya: “Ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam.”

Dalam persepsi Umar, nikah siri didasarkan oleh adanya kasus perkawinan yang hanya menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan.

Hal yang sering dipertanyakan dalam pernikahan siri adalah status anak hasil pernikahan siri dalam urusan hak waris.

Dikutip dari buku Kedudukan Hukum Anak Perkawinan Tidak Dicatat karya Dr. Vita Cita Emia Tarigan, S.H., L.L.M., status anak yang lahir dari perkawinan siri ini masih menjadi perdebatan.

Merujuk Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama da kepercayaannya.” Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan, “Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Apakah Anak dari Nikah Siri Bisa Dapat Akta Lahir?

Anak hasil pernikahan siri tetap dapat memperoleh akta kelahiran, tetapi ada catatan penting, nama ayah tidak bisa dicantumkan dalam akta kelahiran, kecuali melalui proses pengesahan atau penetapan pengadilan.

Dasar hukumnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) sebagaimana diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013.

Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa pencatatan kelahiran dilakukan berdasarkan laporan dari orang tua dengan membawa bukti kelahiran dan surat nikah/akta perkawinan. Jika tidak memiliki surat nikah (karena nikah siri), maka hanya ibu yang bisa dicantumkan sebagai orang tua dalam akta lahir anak.

Di dalam UU No.1 tahun 1974 Pasal 42 menyebutkan bahwa, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” dan Pasal; 43 ayat (1) menyebutkan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata degan ibunya dan keluarga ibunya.”

Hak Waris Anak dari Nikah Siri

Masih merujuk sumber yang sama, di dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai waris pasal 186 yang berbunyi, “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewarisi dari ibunya saja.

Dalam arsip detikcom, dosen hukum waris Islam Fakultas Hukum UGM, Dr Destri Budi Nugraheni, SH, MSI., menjelaskan, salah satu hal yang digarisbawahi dari hubungan nasab adalah soal hasil perkawinan yang sah, sehingga jika kasusnya adalah pernikahan siri, penting untuk memastikan bahwa pernikahan tersebut sudah di-ijbat-kan, atau disahkan ke pengadilan agama

Apabila pernikahan siri belum melakukan ijbat nikah, bisa jadi di akta kelahiran anak-anak dari pernikahan tersebut tertulis bahwa mereka dari perkawinan yang belum tercatat.

Selain itu, penting untuk melakukan penetapan pengesahan nikah siri karena, jika tidak disahkan, tidak ada kutipan akta nikah yang menegaskan keabsahan perkawinan secara agama.

Maka, ada dua perkara di sini, yaitu mengenai pembagian harta warisan serta penetapan pengesahan nikah siri.

Hakim akan memeriksa apakah perkawinan tersebut sah, dan apabila sah, maka anak-anak hasil perkawinan tersebut akan menjadi ahli warisnya.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Mulutnya Keluar Cahaya



Jakarta

Sahabat nabi adalah orang-orang terpilih yang memiliki beragam kisah dan tentunya dekat dengan Rasulullah SAW. Salah satu kisah yang diabadikan ini adalah sebuah kisah sahabat nabi yang mulutnya keluar cahaya.

Kisah ini banyak dituliskan, salah satunya adalah bersumber dari buku Beli Surga dengan Al Qur’an karya Ridhoul Wahidi dan M. Syukron Maksum. Sahabat nabi yang dimaksud adalah Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah, Qatadah bin Nu’man, dan Qois bin Ashim.

Kisah Sahabat Nabi yang Mulutnya Keluar Cahaya

Kisah ini sejatinya diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib RA. Ia bercerita, saat itu, Rasulullah SAW mengirim pasukan untuk menyerang suatu kaum yang memusuhi kaum muslimin.


Ketika Rasulullah tidak mendapatkan berita perkembangan keadaan pasukannya tersebut, lalu beliau bersabda, “Andaikan ada orang yang dapat mencari kabar tentang mereka dan memberitahukannya kepada kami.”

Beberapa saat kemudian datanglah seseorang dan mengabarkan bahwa muslim utusan beliau telah meraih kemenangan dalam penyerangan itu. Setelahnya, saat pasukan kaum muslimin pulang dari peperangan menuju Madinah, Rasulullah SAW dan para sahabat menyambut mereka di dekat Madinah.

Sesampai dekat Madinah, pemimpin pasukan, Zaid bin Haritsah turun dari untanya dan mencium tangan Rasulullah. Rasulullah SAW kemudian merangkul dan seraya mencium kepalanya.

Lalu, Zaid diikuti oleh Abdullah bin Rawahah dan Qois bin Ashim. Nabi Muhammad SAW merangkul mereka berdua.

Selanjutnya, seluruh pasukan berkumpul di depan Rasulullah SAW. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW dan beliau menjawab salam mereka. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,

“Ceritakanlah apa yang terjadi selama bepergian kepada saudara-saudara kalian yang berada di sini, agar Aku memberikan kesaksian dari apa-apa yang kalian ucapkan, karena Jibril telah memberitahukan kepadaku tentang kebenaran yang kalian ucapkan.”

Salah seorang pasukan kemudian menjawab, “Ya Rasulullah, ketika kami berada di dekat pasukan lawan, kami mengutus seorang mata-mata dari pihak mereka agar memberitahukan kepada pasukan kami mengenai kondisi dan jumlah mereka. Kemudian mata-mata tersebut menemui kami dan berkata, ‘Jumlah mereka seribu orang’, sedangkan jumlah kami dua ribu orang.”

“Namun yang seribu pasukan lawan itu hanya menunggu di luar benteng kota. Sedangkan yang tiga ribu menunggu di jantung kota. Mereka sengaja menggunakan tipu daya dengan berbohong bahwa kekuatan mereka hanya seribu tentara supaya kami berani melawan mereka dan memenangkan pertempuran.”

Cerita itu pun berlanjut, pasukan musuh di dalam kota kemudian menutup pintu gerbangnya, pasukan muslim kemudian menanti di luar. Ketika malam telah tiba, mereka tiba-tiba membuka pintu gerbang di kala pasukan muslim lelap tidur.

Namun, hal itu terkecuali Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah, Qatadah bin Nu’man, dan Qois bin Ashim yang sedang sibuk mengerjakan salat malam dan membaca Al-Qur’an di empat sudut perkemahan.

Di dalam kondisi yang gelap gulita itu, para musuh menyerang kaum muslim dan mereka menghujani mereka dengan panah hingga mereka tidak mampu menghalau karena gelapnya malam. Di tengah kekacauan tersebut, tiba-tiba kaum muslim tersebut melihat cahaya yang datangnya dari pembaca Al-Qur’an.

Cahaya seperti api mereka saksikan keluar dari mulut Qais bin Ashim, dan keluar cahaya seperti bintang kejora keluar dari mulut Qatadah bin Nu’man. Lalu, dari mulut Abdullah bin Rawahah keluar sinar seperti cahaya rembulan dan keluar sinar seperti cahaya Matahari dari mulut zaid bin Haritsah.

Keempat cahaya itulah yang menerangi muslim dan membuat gelapnya malam berubah seperti hari masih siang. Akan tetapi musuh kaum muslim tetap melihat seakan masih dalam keadaan kegelapan.

Sang panglima perang, Zaid bin Haritsah, kemudian memimpin pasukan muslim memasuki daerah lawan. Pasukan muslim dapat mengepung, membunuh sebagian mereka dan menawan mereka. Selanjutnya mereka mampu memasuki jantung kota dan mengumpulkan ghanimah perang.

“Wahai Rasulullah, yang membuat kami sangat heran adalah cahaya yang keluar dari keempat sahabat tersebut, dan kami tidak melihatnya sebelumnya. Cahaya dari mulut mereka itu mampu menerangi kami sehingga kami menang dan menebarkan kegelapan bagi musuh-musuh.” terang salah satu pasukan itu.

Begitulah kisah sahabat nabi yang mulutnya keluar cahaya yang diduga karena keempat sahabat tersebut adalah pembaca Al-Qur’an yang taat beribadah kepada Allah SWT. Wallahua’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Cinta Salman Al Farisi RA, Merelakan Pujaan Hati Demi Sahabat Sejati



Jakarta

Kisah cinta Salman Al Farisi RA menunjukkan perilaku ikhlas itu tidak terbatas apa pun. Keikhlasan ini dibuktikan dengan kerelaan dirinya melihat sang pujaan hati menikah dengan sahabat sejatinya. Berikut cerita selengkapnya.

Siapa yang tidak kenal dengan Salman Al Farisi RA. Seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat cerdas dan berhasil mengalahkan pasukan kafir Quraisy dengan idenya membangun parit di sekeliling kota Madinah saat Perang Khandaq.

Ada sebuah kisah yang menarik dari Salman Al Farisi RA yang menyangkut dengan hati dan cintanya terhadap seorang perempuan salihah. Dari cerita ini, banyak hikmah yang bisa diambil, salah satunya adalah perilaku ikhlas yang amat besar.


Kisah Cinta Salman Al Farisi RA

Dikisahkan dalam buku Cinta di Sujud Terkahir karya Cinta Mulia, Salman Al Farisi RA pernah jatuh cinta pada seorang muslimah Anshar dari Madinah. Ia kemudian membulatkan tekadnya untuk melamar wanita tersebut.

Masalah pun muncul saat ia hendak melamar wanita itu. Salman Al Farisi RA merasa ia belum mengetahui bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah dan bagaimana tradisi Anshar dalam mengkhitbah wanita.

Salman Al Farisi RA kemudian mendatangi sahabat yang merupakan penduduk asli Madinah, yaitu Abu Darda RA. Ia meminta tolong untuk ditemani ketika proses khitbah wanita yang ia dambakan itu.

Mendengar pengakuan dari Salman Al Farisi RA yang hendak melamar wanita ini, Abu Darda RA pun sangat senang dan bahkan memeluknya sebagai bentuk dukungan.

Tak ada perasaan ragu dalam diri seorang Abu Darda RA. Ia merasa, inilah saatnya untuk membantu saudara seimannya, sahabat sejatinya.

Beberapa hari kemudian, Abu Darda RA mempersiapkan segala kebutuhan untuk lamaran tersebut. Salman Al Farisi RA pun mendatangi rumah sang pujaan hati ditemani sahabatnya itu.

Selama perjalanan tidak ada perasaan lain melainkan kebahagiaan memenuhi hati keduanya. Setibanya rumah wanita tadi, keduanya disambut dengan baik oleh orang tua sang pujaan hati Salman Al Farisi RA.

Di sinilah misi Abu Darda RA sebagai sahabat mulai dilancarkan. Ia memperkenalkan dirinya dan Salman Al Farisi RA dengan sangat baik dan tujuan mereka berkunjung.

Tak lupa, ia pun menyinggung kedekatan Salman RA dengan Rasulullah SAW untuk dapat mendapatkan hati calon mertuanya.

Mendengar itu semua, kedua orang tua wanita tadi merasa sangat terhormat. Ia senang dan langsung menanyakan hal ini kepada putrinya karena keputusan ada di tangan dirinya.

Ternyata, sang putri sudah mendengar percakapan antara ayah dengan dua sahabat Rasulullah SAW itu. Ia pun segera memberikan jawabannya kepada ibunya untuk kemudian disampaikan kepada Salman Al Farisi RA dan Abu Darda RA.

Jantung Salman Al Farisi RA pun sangat berdebar menunggu jawaban wanita idamannya itu. Dari balik hijab, terdengar suara sang ibu dari putri itu berkata,

“Mohon maaf kami perlu berterus terang,” kalimat ini membuat Salman Al Farisi RA dan Abu Darda RA berdebar menanti jawaban.

“Namun karena kalian berdualah yang datang dan mengharap rida Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda RA juga memiliki keinginan yang sama seperti keinginan Salman Al Farisi RA.”

Jawaban ini sangat mengejutkan baik untuk Salman Al Farisi RA dan Abu Darda RA. Niat hati ingin membantu sahabatnya untuk menggapai pujaan hatinya, yang terjadi malah cinta itu bertepuk sebelah tangan. Lebih mengejutkan lagi, bahwa yang disukai wanita itu adalah dirinya sendiri.

Bukannya bersedih, marah, atau mencela sahabatnya sendiri, Salman Al Farisi RA adalah pria yang saleh, taat dan mulia. Oleh karena itu ia dengan segala ketegaran hati dan keikhlasannya malah berseru,

“Allahuakbar!”

Salman Al Farisi RA justru sangat senang dengan jawaban wanita itu. Ia bahkan menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya.

Tanpa perasaan hati yang sakit, ia dengan ikhlas memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. Bahkan, mahar dan nafkah yang telah dipersiapkannya diberikan kepada Abu Darda RA.

Bahkan, Salman Al Farisi RA jugalah yang menjadi saksi pernikahan sahabatnya dan wanita tersebut.

Begitu besar hati Salman Al Farisi RA bersamaan dengan sifat ikhlas dan tabah dalam menerima takdir dari Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com