Tag Archives: sahabat rasulullah saw

Kisah Pernikahan Utsman bin Affan dengan Ummu Kultsum, Putri Rasulullah SAW



Jakarta

Utsman bin Affan bukan hanya dikenal sebagai sahabat setia Rasulullah SAW. Ia juga menantu Rasulullah SAW karena menikah dengan dua putrinya yakni Ruqqayah dan Ummu Kultsum.

Pernikahan Utsman bin Affan dengan Ummu Kulsum terjadi setelah sang kakak, Ruqqayah, meninggal dunia. Artinya Ruqqayah dan Ummu Kultsum tidak menjadi istri Utsman bin Affan dalam waktu bersamaan.

Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam bukunya yang berjudul Biografi Utsman bin Affan menjelaskan Ummu Kultsum adalah salah seorang putri Rasulullah SAW dari pernikahannya dengan Khadijah.


Said bin Al-Musayab mengatakan, “Utsman bin Affan ditinggal wafat Ruqayah binti Rasulullah dan Hafshah binti Umar ditinggal wafat suaminya. Umar datang kepada Utsman dan berkata, “Apakah kamu mau menikah dengan Hafshah?” Utsman telah mendengar Rasulullah yang menyebut Hafshah. Karena itu, Utsman tidak menanggapi tawaran Umar ini.

Umar kemudian menuturkan hal ini kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Apakah kamu menginginkan yang lebih baik daripada itu? Aku menikahi Hafshah dan aku menikahkan Utsman dengan perempuan yang lebih baik daripada Hafshah, (yakni) Ummu Kultsum.”

Dalam riwayat Al-Bukhari menyebutkan bahwa Umar berkata, “Hafshah binti Umar ditinggal wafat Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, salah seorang sahabat Rasulullah. Ia meninggal di Madinah. Umar berkata, “Aku mendatangi Utsman bin Affan. Aku menawarkan Hafshah binti Umar kepadanya. Aku berkata, “Jika kamu mau, maka aku menikahkanmu dengan Hafshah.”

Utsman berkata, “Aku akan menimbang-nimbang urusanku.” Aku diam beberapa malam. Lalu Utsman menemuiku dan berkata, “Tampaknya aku tidak menikah sekarang” Umar berkata, “Aku menemui Abu Bakar Ash Shiddiq, Aku berkata, “Jika kamu mau, maka aku menikahkanmu dengan Hafshah binti Umar. Abu Bakar diam dan tidak memberikan balasan apa apa kepadaku. Aku merasa kesal terhadapnya sebagaimana kesal terhadap Utsman. Aku diam beberapa malam. Kemudian Rasulullah meminangnya dan aku menikahkannya dengan beliau. Abu Bakar menemuiku dan berkata, “Barangkali kamu merasa kesal denganku ketika kamu menawarkan Hafshah kepadaku dan aku tidak memberikan balasan apa-apa.”

Umar berkata, “Ya” Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya aku tidak memberikan balasan apa-apa karena aku telah mengetahui bahwa Rasulullah telah menyebutnya. Aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah. Andaikata Rasululah meninggalkannya, maka aku akan menerimanya.”

Pernikahan Utsman bin Affan dan Ummu Kultsum

Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar menceritakan kisah pernikahan Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan. Ia mengatakan, “Ketika Nabi menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, beliau bersabda kepada Ummu Aiman, “Persiapkanlah putriku Ummu Kultsum dan antarkanlah kepada Utsman serta iringilah dengan rebana.” Ummu Aiman lantas melaksanakan perintah Rasulullah.

Kemudian Rasulullah SAW datang kepada Ummu Kultsum tiga hari setelah pernikahan. Beliau bertanya, “Wahai putriku, bagaimana kamu mendapati suamimu?” Ummu Kultsum menjawab, “la adalah sebaik-baik suami.”

Utsman meminang Ummu Kultsum di bulan Rabiul Awal tahun 3 H.

Ummu Kultsum Meninggal Dunia

Pernikahan Utsman bin Affan dan Ummu Kultsum berlangsung selama 6 tahun tanpa dikaruniai anak. Keduanya terpisahkan karena Ummu Kultsum meninggal dunia pada bulan Syaban tahun 9 Hijriyah.

Ummu Kultsum meninggal dunia dikarenakan sakit yang menyerangnya. Kabar duka ini mengundang kesedihan bagi Rasulullah SAW, sang ayah, dan juga tentunya bagi Utsman bin Affan, sang suami

Rasulullah SAW menshalatkannya dan duduk di atas kuburnya. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa ia melihat Nabi duduk di kubur Ummu Kultsum

la berkata, “Aku melihat kedua matanya mengalirkan air mata. Lalu beliau bersabda, “Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tadi malam tidak berbuat dosa?”

Abu Thalhah berkata, “Aku.” Beliau bersabda, “Turunlah di kuburnya.”

Laila binti Qaif Ats-Tsaqafiyah mengatakan, “Aku termasuk orang yang memandikan Ummu Kultsum binti Rasulullah ketika wafat. Sesuatu yang diberikan pertama kali oleh Rasulullah kepada kami adalah kain penutup badan, lalu pakaian rumah, baju kurung, dan selimut tebal. Kemudian jasad ditutupi dengan baju yang lain.”

Ia mengatakan, “Rasulullah berada di pintu bersama dengan kain-kain kafan Ummu Kultsum. Beliau memberikannya kepada kami satu per satu.”

Ibnu Saad menyebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib, Al-Fadhl bin Abbas, dan Usamah bin Zaid ikut turun di liang kubur Ummu Kultsum bersama Abu Thalhah. Dan, yang memandikannya adalah Asma binti Umais dan Shafiyah binti Abdul Muthalib.

Utsman merasa terpukul dengan kematiannya dan merasa sangat sedih karena berpisah dari belahan hatinya. Rasulullah dapat melihat Utsman berjalan dengan kesedihan. Kesedihan yang dapat terbaca dengan jelas dari raut wajahnya.

Maka beliau mendekati Utsman dan bersabda, “Jika kami memiliki putri yang ketiga, maka kami akan menikahkannya denganmu wahai Utsman.”

Hal ini menunjukkan kecintaan Rasulullah SAW terhadap Utsman dan menunjukkan kesetiaan serta penghormatan Utsman terhadap beliau.

Karena menikah dengan dua putri Rasulullah SAW, Utsman mendapat julukan Dzun Nurain atau pemilik dua cahaya. Julukan ini diberikan karena Utsman menikah dengan kedua putri Rasulullah SAW.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Meninggalnya Umar bin Khattab, Jasadnya Dimakamkan di Samping Rasulullah SAW



Jakarta

Umar bin Khattab merupakan seorang sahabat sekaligus mertua Rasulullah SAW yang menjadi bagian dari Khulafaur Rasyidin. Sosok Umar bin Khattab yang kuat, tegas, berani, dan bijaksana itu membekas di ingatan para kaum muslimin di masa itu sehingga kisah meninggalnya Umar bin Khattab hal yang selalu dikenang dan tak lekang oleh waktu.

Dikutip dari buku Teori dan Implementasi Kepemimpinan Strategis yang disusun oleh Tri Cicik Wijayanti, penyebab kematian Umar bin Khattab adalah karena dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) yakni seorang budak yang fanatik. Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk pada saat menjadi imam sholat subuh pada Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M.

Abu Lukluk sendiri merupakan orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan oleh Umar bin Khattab dalam rangka ekspansi atau perluasan wilayah Islam. Pembunuhan tersebut dilatarbelakangi oleh rasa sakit hati Abu Lukluk atas kekalahan Persia yang kala itu merupakan negara adidaya.


Sementara itu, Afdhal, dkk. menyebutkan dalam buku Sejarah Peradaban Islam bahwa sebelum Abu Lukluk melancarkan aksinya untuk membunuh Umar bin Khattab, terdapat penyebaran konspirasi yang dirancang oleh musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Persia. Menurut berbagai sumber, Umar bin Khattab ditusuk dengan belati beracun.

Wasiat-wasiat dari Umar bin Khattab

Sebelum meninggal, Umar bin Khattab memilih enam sahabatnya yakni Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash dan berwasiat pada mereka agar memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah selanjutnya.

Lalu, setelah peristiwa tertusuknya Umar bin Khattab dan ia tengah merasa semakin dekat dengan kematian, Umar mengutus putranya Abdullah bin Umar untuk pergi mengunjungi Aisyah istri Rasulullah SAW untuk menyampaikan salamnya pada Aisyah dan permohonannya agar diperkenankan dimakamkan di samping Rasulullah SAW.

Sebagaimana yang tercantum dalam buku Kisah-Kisah Inspiratif Sahabat Nabi karya Muhammad Nasrulloh, Aisyah kemudian mengiyakan permohonan tersebut sebagai jawaban meski sebenarnya ia sangat menginginkan kelak dimakamkan di samping suaminya Rasulullah SAW dan ayahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq.

Setelah Abdullah mengabarkan pada ayahnya bahwa Aisyah mengizinkan, bergembiralah Umar sebab tempat itu adalah yang paling diinginkannya ketika meninggal.

Adapun dalam buku Kuliah Adab susunan ‘Aabidah Ummu ‘Aziizah, S. Pd. I, dkk., disebutkan bahwa muslim yang beriman dan taat ketika menghadapi kematian perlu disampaikan kabar gembira sebab seseorang yang saleh dan terkenal baik hendaknya digembirakan dengan pahala dari Allah sebagaimana janji-Nya atas orang-orang yang saleh.

Ketika Umar bin Khattab menghadapi kematian, ia didatangi seorang lelaki dari kaum Anshar. Lelaki itu berkata padanya, “Bergembiralah wahai Amirul Mukminin atas kabar gembira dari Allah yang berupa ampunan atas dosa-dosamu yang terdahulu dengan masuknya engkau dalam Islam, juga dijadikannya engkau sebagai pengganti Rasulullah dan engkau menjadi pemimpin yang adil, dan bergembira pulalah engkau atas nikmat kesyahidan yang sebentar lagi kau dapatkan setelah ini semua.”

Kemudian, Umar bin Khattab menjawab, “Wahai anak saudaraku, aku berharap cukuplah aku dimatikan dalam keadaan baik.” (al-Munjid: t.t, 9).

Kepemimpinan Setelah Umar bin Khattab

Setelah wafatnya Umar bin Khattab, jabatan khalifah kemudian dipegang oleh Utsman bin Affan. Berbeda dengan karakter Umar bin Khattab yang berbadan kuat lagi kekar serta sangat memperhatikan tanggung jawab dirinya dan bawahannya, Utsman bin Affan memiliki sifat yang lebih lembut dan santun perangainya dalam bermuamalah.

Sikap terpuji dan kebaikan Utsman bin Affan telah berhasil memimpin kaum muslimin. Bahkan menukil buku Kisah-Kisah Islam Yang Menggetarkan Hati oleh Hasan Zakaria Fulaifal, disebutkan bahwa Umar bin Khattab hidup fakir dan meninggal dalam keadaan berhutang sementara yang melunasinya adalah Utsman bin Affan ketika belum seminggu sejak kematian Umar bin Khattab.

Itulah kisah meninggalnya Umar bin Khattab, salah satu khalifah kebanggan umat muslim. Umar bin Khattab membuktikan bahwa kematian bagi orang yang beriman lagi saleh adalah kabar baik karena segala amalan baik yang telah dikerjakannya selama di dunia akan menolongnya di akhirat kelak.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq, Sakit di Ujung Ajalnya



Jakarta

Abu Bakar Ash Shiddiq termasuk dalam golongan orang-orang pertama yang masuk surga dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Berikut kisah wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai orang yang meneruskan perjuangan Rasulullah SAW.

Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalifah pertama umat Islam yang menggantikan kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dijelaskan oleh buku 10 Kisah Pahlawan Surga Cerita Anak Shaleh & Cerdas karya Abu Zein, Abu Bakar menjadi pemimpin yang disepakati oleh muslim saat itu sebagai pemimpin yang jauh lebih baik dari semua orang.

Abu Bakar menjalankan tugasnya dengan dedikasi yang tinggi. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, terjadi perlawanan dari beberapa penduduk, namun Abu Bakar dengan bijaksana berhasil meredakan pertikaian di antara mereka. Dia juga melawan mereka yang menolak membayar zakat.


Salah satu tugas terbesar yang dilakukan Abu Bakar adalah mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an. Dia dibantu oleh para sahabatnya, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit.

Lembaran-lembaran tersebut disimpan di rumah Ummul Mukminin, Hafshah. Kemudian, pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan, lembaran-lembaran tersebut digabungkan menjadi sebuah kitab seperti yang sering kita baca sekarang.

Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat Rasulullah SAW, pernah mengatakan, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar, karena dialah yang memiliki kontribusi terbesar dalam pengumpulan Al-Qur’an.”

Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, sama seperti Rasulullah SAW. Wafatnya Abu Bakar terjadi pada tanggal 22 Jumadil Akhir tahun 13 Hijriah, tepatnya hari Senin malam.

Kisah Wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq

Dijelaskan oleh Rizem Zaid dalam bukunya yang berjudul The Great Sahaba, wafatnya Abu Bakar disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. Terdapat cerita bahwa penyakit yang ia alami adalah karena keracunan.

Menurut cerita tersebut, orang-orang Yahudi diduga memasukkan racun ke dalam makanan Abu Bakar yang kemudian membuatnya jatuh sakit dan akhirnya mengakibatkan kematiannya.

Ketika Abu Bakar memakan makanan beracun tersebut, ia didampingi oleh Attab bin Usaid. Selain itu, Al-Harits bin Kaldah juga ada di sana, tetapi ia hanya sedikit makan, sehingga racun tidak langsung berdampak padanya.

Lama waktu antara memakan makanan beracun itu dan munculnya reaksi racun tersebut dikatakan satu tahun. Attab wafat di Makkah pada hari yang sama dengan wafatnya Abu Bakar di Madinah.

Namun, terdapat juga versi lain mengenai penyebab wafatnya Abu Bakar. Menurut riwayat yang kuat dan diceritakan oleh Aisyah RA dalam buku Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash Shiddiq oleh Muhammad Husain Haikal, penyakit Abu Bakar disebabkan oleh mandi malam saat musim dingin yang membuatnya demam dan panas selama 15 hari.

Karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk menjadi imam, Abu Bakar meminta Umar bin Khattab untuk menggantikannya.

Saat penyakitnya semakin parah dan Abu Bakar berada di dekat ajalnya, seseorang menawarkan pengobatan kepadanya. Namun, Abu Bakar menolak tawaran tersebut.

Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir, Abu Bakar mengatakan bahwa ia telah melihat Allah SWT dan Dia berkata, “Sesungguhnya, Aku akan melakukan apa yang Aku kehendaki.”

Hingga akhirnya, Abu Bakar Radhiyallahu anhu meninggal dengan damai. Wallahu’alam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Muadzin Terbaik di Zaman Rasulullah yang Dijamin Masuk Surga



Jakarta

Muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW adalah Bilal Bin Rabah, seorang budak berkulit hitam. Ia menjadi muadzin pertama yang diperintahkan untuk mengumandangkan adzan sebagai seruan sholat.

Dikisahkan dalam buku Sejarah Ibadah karya Syahruddin El-Fikri, Bilal bin Rabah termasuk salah seorang yang pertama kali masuk Islam sehingga dijuluki sebagai as-sabiqun al-Awwalun.

Awalnya, Bilal merupakan budak milik keluarga bani Abduddar yang diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir. Ketika keislamannya diketahui oleh sang majikan, Bilal mendapat siksaan yang sangat berat.


Ia pernah dicambuk, dijemur di bawah terik matahari, bahkan tubuhnya ditindih dengan batu agar meninggalkan agama Islam. Meskipun demikkian, Bilal tetap tak goyah dan teguh menyatakan keimanannya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Penderitaan yang dialami Bilal baru berakhir setelah Abu Bakar As-Shiddiq RA membelinya dan memerdekakannya. Ia kemudian menjadi muslim yang taat dan ikut dalam rombongan hijrah ke Madinah.

Turunnya Perintah Adzan dan Ditunjuknya Bilal Sebagai Muadzin

Melansir dari buku Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, pada awal-awal Rasulullah SAW tinggal di Madinah, kaum muslimin mengerjakan sholat lima waktu bersama beliau tanpa adanya panggilan atau seruan.

Nabi SAW pernah bermaksud membuat terompet besar seperti terompet orang Yahudi untuk memanggil para sahabat menunaikan sholat, tetapi beliau tidak menyukainya.

Abdullah bin Zaid bin Tas’alabah menjadi orang yang mendengar seruan adzan dalam mimpinya, lantas bergegas mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,

“Wahai Rasulullah, tadi malam aku bermimpi didatangi oleh seseorang. lalu seorang lelaki yang mengenakan dua potong baju berwarna hijau melintasiku dengan membawa lonceng. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng ini?’

Orang itu bertanya, ‘Untuk apa lonceng ini?’ Aku menjawab, ‘Untuk memanggil orang supaya sholat.’ Kemudian orang itu berkata, ‘Maukah kutunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada lonceng ini?’ Aku balik bertanya, ‘Apa itu?’ Orang itu kembali menjawab, ‘Ucapkanlah:

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Allahu Akbar, Allâhu Akbar.

Asyhadu an lâ ilâha illallah. Asyhadu an lâ ilâha illallâh. Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah. Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah.

Hayya ‘alash shalah, hayya ‘alash shalâh.

Hayya ‘alal falah, hayya ‘alal falah.

Allahu Akbar, Allâhu Akbar, Lâ ilâha illallâh.'”

Mengetahui hal itu, Rasulullah SAW bersabda, “Insya Allah ini mimpi yang benar. Temui Bilal dan sampaikan kepadanya seruan itu, lalu suruh ia mengumandangkannya. Sesungguhnya, suaranya lebih merdu darimu.”

Berdasarkan riwayat tersebut, Bilal menjadi muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW sebab ia memiliki suara merdu dibandingkan dengan sahabat lainnya.

Bilal bin Rabbah Muadzin Terbaik Rasulullah SAW

Disebutkan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid, Bilal bin Rabah dikenal sebagai muadzin pertama umat islam yang diberi gelar Muadzin ar-Rasul. Sebagai muadzin Rasulullah SAW, nama Bilal diabadikan untuk selama-lamanya.

Hingga saat ini, muadzin di masjid-masjid juga dipanggil dengan julukan ‘bilal’. Sosok Bilal bin Rabah memang seorang berkulit hitam, tetapi ia memiliki suara yang sangat nyaring dan jernih hingga mampu menjangkau seluruh negeri Madinah.

Saat Bilal mengumandangkan adzan, kaum muslimin yang tinggal di Madinah langsung datang ke Masjid. Rizem Aizid dalam bukunya menyebutkan, tidak ada satupun sahabat yang memiliki kemampuan dalam mengumandangkan adzan melebihi Bilal bin Rabbah.

Salah satu keistimewaan Bilal bin Rabah, yaitu derap langkahnya telah terdengar di surga sehingga ia termasuk orang yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT.

Hal ini sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, dari Abu Hurairah RA, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Bilal bin Rabah setelah menunaikan sholat Subuh:

“Wahai Billa, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam islam. Sebab, sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di depanku di surga.”

Bilal menjawab, “Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang senantiasa melakukan sholat (sunnah) yang mampu aku lakukan setiap selesai bersuci (wudhu) dengan sempurna pada waktu siang ataupun malam.” (HR Muslim).

Itulah sepenggal kisah Bilal bin Rabbah, seorang sahabat yang menjadi muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW. Semoga dapat menjadi teladan dan menambah wawasan ya, detikers!

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Mengenal Hamzah bin Abdul Muthalib, Sahabat Nabi dengan Julukan Singa Allah



Jakarta

Sosok-sosok terkemuka dalam sejarah Islam sering kali menjadi inspirasi bagi umat Muslim di seluruh dunia. Salah satu tokoh yang patut dikenal dan dihormati adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, yang dikenal sebagai salah satu pahlawan Islam.

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijuluki sebagai “Singa Allah”.

Dikutip dari buku edisi Indonesia: Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi: Menyimak Kisah Hidup 154 Wisudawan Madrasah Rasulullah SAW karya Muhammad Raji Hasan Kinas, Hamzah ibn Abdul Muthalib adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang berasal dari suku Quraisy.


Hamzah merupakan saudara laki-laki dari Abu Thalib, yang merupakan wali dan pelindung Nabi Muhammad SAW.

Julukan Hamzah bin Abdul Muthalib

Hamzah bin Abdul Muthalib memiliki beberapa julukan, seperti yang disebut dalam buku Dua Pedang Pembela Nabi SAW karya Rizem Aizid, yaitu; Singa Allah dan pemimpin para syuhada.

Sebutan dan julukan tersebut memberikan gambaran kepada umat muslim tentang sosok Hamzah bin Abdul Muthalib, pejuang dan pahlawan Islam yang gigih serta berani membantai musuh-musuh Islam di medan perang.

Kisah Hamzah bin Abdul Muthalib dalam Perang Badar

Mengutip sumber sebelumnya, Perang Badar merupakan pertempuran besar pertama antara kaum muslimin dan kafir Quraisy pada 17 Maret 624 M atau 17 Ramadhan 2 Hijriah.

Perang Badar terjadi dua tahun setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah karena kondisinya tidak memungkinkan untuk ditinggali.

Perang Badar terjadi karena balas dendam kaum Quraisy terhadap kaum muslimin. Kaum Quraisy mengirim 1000 bala tentara, sedangkan kaum muslim hanya berjumlah 314.

Hamzah bin Abdul Muthalib ikut berpartisipasi dalam Perang Badar. Bersama Ali bin Abi Thalib, Hamzah bin Abi Thalib menunjukkan keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dalam membela Islam.

Atas kegigihan dan keberanian dalam berperang melawan kafir Quraisy, Perang Badar pun dimenangkan oleh umat muslim.

Dalam Perang Badar, Hamzah bin Abdul Muthalib memiliki peran penting, yaitu membubarkan dan melumpuhkan orang-orang kafir Quraisy. Hamzah bin Abdul Muthalib juga berhasil membunuh salah satu kafir Quraisy yaitu, Syaibah bin Rabi’ah dan saudaranya, Utbah bin Rabi’ah.

Perjuangan Hamzah bin Abdul Muthalib dalam Perang Uhud

Hamzah bin Abdul Muthalib juga turut berpartisipasi dalam Perang Uhud. Perang Uhud merupakan perang yang terjadi karena kaum Quraisy yang balas dendam kepada umat muslim atas kemenangan pada Perang Badar.

Banyak sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur syahid dalam Perang Uhud, hingga mengakibatkan kekalahan umat muslim dalam Perang Uhud melawan kaum kafir Quraisy, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib.

Hamzah bin Abdul Muthalib tewas di tangan kafir yang bernama Wahsyi, budak Jubair bin Muttan. Wahsyi diam-diam berada di balik batu dan bersiap untuk menyerang Hamzah bin Abdul Muthalib ketika Hamzah lengah di medan perang.

Muhammad Raji Hasan Kinas dalam bukunya menyatakan bahwa setelah mengetahui bahwa Hamzah bin Abdul Muthalib wafat dalam Perang Uhud di tangan kafir Quraisy, Rasulullah SAW sangat terpukul.

Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW terpaku diam melihat jenazah Hamzah yang diperlakukan dengan sangat keji oleh kaum musyrik. Rasulullah SAW bersabda, “Allah merahmatimu, Paman! Engkau telah menjadi penyambung silaturahim dan melakukan segala kebaikan.”

Rasulullah SAW berdoa memohon ampunan untuk Hamzah dan memerintahkan untuk mengubur jenazah Hamzah dan Abdullah ibn Jahsy dalam satu liang. Abdullah ibn Jahsy adalah keponakan Hamzah dari Umaymah binti Abdul Muthalib.

Dalam sebuah riwayat dari Anas ibn Malik, ia berkata, “Baginda Nabi bertakbir (dalam sholat jenazah) empat kali ketika menyalati seseorang, tetapi untuk jenazah Hamzah beliau bertakbir 70 kali.”

Abu Ahmad al-Askari berkata, “Hamzah adalah syahid pertama dari keluarga Rasulullah SAW.”

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Nasihat Rasulullah SAW soal Keimanan dan Amal yang Utama



Jakarta

Rasulullah SAW diutus Allah SWT untuk membawa ajaran Islam. Banyak pesan yang disampaikan Rasulullah SAW untuk dijadikan pedoman umat Islam dalam menjalankan kehidupan.

Kepada para sahabat, Rasulullah SAW menyampaikan beberapa nasihat yang mengandung makna mendalam. Termasuk nasihat kepada Muadz bin Jabal soal kewajiban setiap manusia dan nasihat kepada Abu Dzarr soal amalan yang paling utama.

Nasihat-nasihat tersebut diceritakan dalam buku 115 Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasulullah SAW oleh Fuad Abdurahman dengan bersandar pada sejumlah hadits.


Dikisahkan, sahabat Rasulullah SAW, Muadz ibn Jabal pernah duduk berboncengan dengan Rasulullah SAW sehingga jarak antara keduanya hanya seujung pelana.

Ketika itu Rasulullah SAW berkata,”Hai Muadz ibn Jabal.”

“Labbaika, ya Rasulullah,” jawab Muadz.

Kemudian Rasulullah SAW berjalan sesaat dan memanggil lagi, “Hai Muadz ibn Jabal.”

“Labbaika, ya Rasulullah,” jawab Muadz lagi.

Beliau berjalan sesaat, kemudian berkata lagi, “Hai Muadz ibn Jabal.”

Muadz pun menjawab, “Labbaika, ya Rasulullah.”

“Apakah kau mengetahui kewajiban manusia terhadap Allah?” tanya Rasulullah SAW.

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Muadz.

“Sesungguhnya kewajiban manusia terhadap Allah adalah menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”

Beliau berjalan sesaat, lalu kembali menyeru, “Hai Muadz ibn Jabal.”

Muadz menjawab, “Labbaika, ya Rasulullah.”

“Apakah kamu tahu apa hak yang pasti dipenuhi oleh Allah terhadap manusia apabila mereka telah melakukan kewajibannya?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak menyiksa mereka.”

Amalan Paling Mulia

Dalam hadits lain, dikisahkan suatu saat Abu Dzarr bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?”

“Iman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya,” jawab Rasulullah SAW.

Abu Dzarr bertanya lagi, “Budak apa yang paling utama dimerdekakan?”

Beliau menjawab, “Budak yang paling bernilai menurut pemiliknya dan paling tinggi harganya.”

“Seandainya aku tidak bisa melakukan itu?”

“Kau bantu kaum buruh atau kau menolong orang bodoh.”

Abu Dzarr masih bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut Tuan jika aku tidak mampu dalam beberapa amal perbuatan itu?”

Rasulullah SAW bersabda, “Cegahlah dirimu dari berbuat buruk kepada orang lain. Itu adalah sedekahmu terhadap dirimu sendiri.”

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Siapa Sahabat Rasulullah yang Buruk Rupa tapi Bisa Menikahi Bidadari?


Jakarta

Ada sahabat Rasulullah yang memiliki penampilan fisik yang buruk dan miskin, namun ia berhasil menikahi seorang gadis cantik yang salihah. Ia adalah Julaibib.

Nama Julaibib adalah nama yang tidak biasa dan tidak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Bukan pula orang tuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib.

Dalam buku 99 Asmaul Husna Kisah dan Mukjizat yang ditulis Chris Oetoyo, dijelaskan bahwa tampilan fisik dan kesehariannya juga menjadi alasan sulitnya orang lain mendekat dengannya.


Penampilan fisik dan keseharian Julaibib sangat menyedihkan. Wajahnya jelek dan menyeramkan, pendek, bungkuk, hitam, dan miskin. Kainnya sudah kusam dan pakaiannya lusuh.

Ia tidak memiliki rumah untuk berteduh. Ia sungguh miskin, namun ketika Allah SWT berkehendak menurunkan rahmat-Nya, tidak ada satu makhluk pun yang bisa menghalangi.

Ia selalu berada di shaf terdepan ketika salat maupun jihad. Meski hampir semua orang memperlakukannya seolah ia tidak ada, tetapi Rasulullah SAW memperlakukan Julaibab sama seperti umat lainnya.

Julaibib tidak pernah menyesali apa yang ada pada dirinya. Ia yakin bahwa Allah SWT mempunyai rencana sendiri untuknya.

Pada suatu hari, Julaibib menerima hidayah atas bantuan Rasulullah SAW. Akhirnya Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi menikah dengan seorang gadis cantik yang salihah. Berikut kisah selengkapnya.

Kisal Julaibib RA yang Menikahi Bidadari Salehah

Dikisahkan dalam buku Jangan Berhenti Mencoba karya Nasrul Yung, Julaibib yang tinggal di shuffah masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Rasulullah SAW,

“Julaibib…”, begitu lembut beliau memanggil. “Tidakkah engkau ingin menikah?” lanjut beliau.

“Siapakah orangnya ya Rasulullah, yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah SWT pada kata-kata ataupun mukanya. Rasulullah pun tersenyum. Mungkin memang tidak ada orangtua yang berkenan pada Julaibib.

Di hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah SAW menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau ingin menikah?”.

Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama, tiga kali, dan tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah, Rasulullah SAW menggenggam lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar.

“Aku ingin menikahkan putri kalian.” Kata Rasulullah SAW pada si tuan rumah.

“Betapa indahnya dan betapa berkahnya.” Begitu si tuan rumah menjawab dengan berseri-seri, mengira bahwa sang Rasul lah calon menantunya.

“Oh… ya Rasulullah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”

“Tetapi bukan untukku.”, kata Rasulullah SAW. “Kupinangkan putri kalian untuk Julaibib.”

“Julaibib?” nyaris berteriak ayah sang gadis. “Ya, untuk Julaibib.” Jawab Rasulullah SAW

“Ya Rasulullah…” terdengar helaan napas berat ayah sang gadis. “Saya meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini.”

Setelah meminta pertimbangan sang istri, ternyata ibu dari sang gadis itu pun menolak.

“Dengan Julaibib?” Istri seorang pemimpin kaum Anshar pun turut terkejut.

“Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lacak, tidak berpangkat, tidak bernasab, tidak berkabilah, dan tidak bertahta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kami menikah dengan Julaibib.”

Perdebatan itu tidak berlangsung lama, Kemudian sang putri cantik asal Madinah itu mendengarnya dari balik tirai dan berkata dengan lembut, “Siapa yang meminta?”.

Sang ayah dan ibunya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW lah yang meminta.

“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah yang meminta, maka tidak akan membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Jawab sang gadis.

Sang gadis yang salehah kemudian membaca surah Al-Ahzab ayat 36, https://www.detik.com/hikmah/quran-online/al-ahzab/tafsir-ayat-36-3569

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْۗ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
Arab Latin: wa mâ kâna limu’miniw wa lâ mu’minatin idzâ qadlallâhu wa rasûluhû amran ay yakûna lahumul-khiyaratu min amrihim, wa may ya’shillâha wa rasûlahû fa qad dlalla dlalâlam mubînâ

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Rasulullah SAW dengan tertunduk berdoa untuk si gadis salehah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Jangan Engkau jadikan hidupnya payah dan bermasalah.”

Akhirnya dilaksanakanlah pernikahan antara Julaibib si buruk rupa dengan gadis tercantik Madinah putri pemuka Anshar.

Mengutip buku Tetes Embun karya Iqbal Syafi’i, beberapa hari kemudian setelah Julaibib dan istrinya menikah, terjadilah perang Uhud.

Mendapatkan seruan dari Rasulullah SAW untuk berperang, Julaibib dengan antusias mengikutinya. Ia termasuk pasukan terdepan di perang itu, namun ditengah peperangan, ia pergi dengan syahid.

Rasulullah SAW bersedih atas kepergian Julaibib, karena ia baru saja menikah. Disaat pemakamannya, Rasulullah SAW tiba-tiba memalingkan wajahnya dari Julaibib.

Lalu ada sahabat yang menanyakan sebabnya, beliau menjawab, “Kulihat para bidadari memperebutkannya, hingga salah seorang dari mereka tersingkap betisnya.” Karena itulah Rasulullah SAW memalingkan wajahnya.

Si gadis cantik salehah asal Madinah itu tidak mencintai Julaibib kecuali karena diminta Rasulullah SAW, Julaibib pun tidak mencintai kecuali karena Rasulullah SAW. Jadi, dibawah naungan sang Rasul lah keduanya saling mencintai.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com