Tag Archives: santrinya

Ulama, Santri dan Pejuang Kemerdekaan


Jakarta

Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah yang datang secara tiba-tiba, melainkan buah dari perjuangan panjang para pejuang bangsa di berbagai lapisan masyarakat. Perlawanan terhadap penjajahan dilakukan tidak hanya oleh kaum bangsawan atau militer, tetapi juga oleh para ulama dan tokoh Islam.

Di Jawa Barat, banyak tokoh Islam yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan, baik melalui jalur pendidikan, dakwah, politik, maupun perlawanan fisik.


Mengangkat kembali kisah perjuangan para ulama di momen spesial Hari Kemerdekaan Indonesia menjadi hal yang penting agar generasi sekarang mampu menghargai jerih payah mereka sekaligus memaknai kemerdekaan yang kita nikmati hari ini.

Tokoh Ulama Pejuang Islam di Jawa Barat

1. K.H. Anwar Musaddad

Dilansir dari laman UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Minggu (17/8/2025) K.H. Anwar Musaddad lahir di Garut pada 3 April 1910. Sejak muda, ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan kritis. Pendidikan dasarnya ditempuh di Hollandsh-Inlandsche School (HIS) Chirestelijk Garut, lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Christelijk Sukabumi dan Algamene Middlebare School (AMS) Batavia. Tidak berhenti di situ, beliau menimba ilmu di Makkah selama 11 tahun.

Kecerdasannya menjadikannya seorang ulama besar sekaligus pakar perbandingan agama. Pada masa awal kemerdekaan, Menteri Agama H. Fakih Usman mengajaknya untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, yang kini menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia kemudian menjadi guru besar Ushuluddin IAIN Yogyakarta (1962-1967).

Atas keberhasilannya, ia dipindahkan ke Bandung untuk merintis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan menjadi rektor pertamanya pada 1967. Selain kiprah di dunia pendidikan, ia juga aktif di politik sebagai kepala administratif Partai NU pada tahun 1953.

2. K.H. Zaenal Musthafa

K.H. Zaenal Musthafa lahir di Kampung Bageur, Desa Cimerah, Tasikmalaya, dengan nama kecil Umri, kemudian berganti menjadi Hudaemi. Ia menempuh pendidikan formal di Sekolah Rakyat hingga kelas tiga, lalu melanjutkan pendidikan di pesantren.

Sebagai pimpinan Pondok Pesantren Sukamanah, Singaparna, ia banyak mencetak santri yang berkompeten dalam ilmu agama. K.H. Zaenal Musthafa juga menerjemahkan lebih dari 20 kitab ke dalam bahasa Sunda, sehingga lebih mudah dipahami masyarakat.

Dilansir dari laman NU Online, Minggu (17/8/2025) K.H. Zaenal Musthafa pernah menjadi salah seorang Wakil Rais Syuriyah PBNU. KH Zainal Musthafa merupakan salah seorang kiai yang secara terang-terangan melawan para penjajah Belanda. Ketika Belanda lengser dan diganti Jepang, KH Zainal Musthafa tetap menolak kehadiran penjajah.

Bersama para santrinya mengadakan perang dengan Jepang. Dan atas jasanya dianugerahi sebagai pahlawan nasional pada 1972. Dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 064 November 1972.

3. K.H. Noer Ali

Pejuang kemerdekaan Indonesia ini lahir di Bekasi, Jawa Barat. Ia adalah seorang pemimpin Islam dan Tentara Mahasiswa selama Revolusi Nasional. Pada tahun 1937 KH. Noer Alie bersama Hasan Basri membentuk dan memimpin organisasi Persatuan Pelajar Betawi.

Sejak kecil, ia sudah menunjukkan semangat belajar yang tinggi, bahkan di usia 8 tahun sudah mampu membaca dan menghafal Al-Qur’an.

Beliau dikenal sebagai “ulama tentara” dengan pangkat kolonel. Julukan ini lahir karena kiprahnya yang luar biasa dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda, Jepang, hingga pemberontakan PKI. Ia juga menjadi Komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi, yang memainkan peranan penting dalam mempertahankan kemerdekaan.

Selain di medan perang, ia juga mendirikan Pondok Pesantren Attaqwa yang hingga kini tetap menjadi pusat pendidikan Islam di Bekasi. K.H. Noer Ali adalah teladan ulama pejuang yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga berjuang langsung di garis depan.

Dalam laman resmi Portal Informasi Indonesia, tercatat bahwa pada tahun 1947 KH Noer Ali terlibat pada pertempuran sengit di Karawang-Bekasi dengan tentara penjajah Belanda. Ia memerintahkan warga dan pasukannya untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil untuk dipasang di setiap pohon dan tiang, agar mempertegas keberadaan Indonesia dan siap mempertahankan kemerdekaannya.

4. KH. Ahmad Sanusi

Ahmad Sanusi, lahir di Cantayan, Sukabumi. Dahulu daerah tersebut bernama Kampung Cantayan, Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi, Jawa Barat.

Dikutip dari buku Riwayat Perjuangan KH. Ahmad Sanusi karya Miftahul Falah, kedalaman ilmu dan aktivitas perjuangan KH Ahmad Sanusi membuat pemerintah Hindia Belanda khawatir. Pada tahun 1927, ia diasingkan ke Batavia Centrum. Di sana, beliau tetap berjuang melalui media, salah satunya dengan mengganti nama “Hindia Nederland” menjadi “Indonesia” dalam majalah Al Hidajatoel Islamijjah.

Beliau juga mendirikan organisasi Al Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang bergerak di bidang sosial-keagamaan. Saat Jepang berkuasa, organisasi itu sempat dibekukan, namun diizinkan aktif kembali pada 1944 dengan nama Persatoean Oemat Islam Indonesia (POII). Setelah wafatnya KH Ahmad Sanusi, organisasi tersebut kemudian bergabung dengan organisasi K.H. Abdul Halim dan menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).

Selain bergerak di bidang dakwah dan organisasi, KH Ahmad Sanusi turut berperan dalam pembentukan negara. Ia menjadi anggota BPUPKI dengan nomor urut ke-2, duduk bersama tokoh nasional lain seperti KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Halim. Ia juga aktif di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), Dewan Penasehat Daerah Bogor, serta terlibat dalam pembentukan Tentara PETA, BKR Sukabumi, dan KNID Sukabumi.

5. KH. Abdul Halim

KH Abdul Halim merupakan salah seorang tokoh besar Islam yang lahir pada 3 Syawal 1304 H / 26 Juni 1887 M di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Beliau adalah putra dari Kiai Muhammad Iskandar, seorang penghulu Kadewanan Jatiwangi, dan Ibu Muthmainnah binti Imam Syafari.

Sejak kecil, KH Abdul Halim mendapat pengawasan ketat dalam pendidikannya. Selain belajar langsung kepada ayahnya, ia juga menempuh pendidikan di sekolah HIS milik Belanda yang membuatnya fasih berbahasa Belanda.

Perjalanan intelektualnya diteruskan ke berbagai pesantren di Jawa, antara lain Pesantren Ranji Wetan (Majalengka), Pesantren Lontong Jaya (Leuwimunding), Pesantren Bobos (Cirebon), Pesantren Ciwedus (Kuningan), hingga Pesantren Kedungwuni (Pekalongan). Untuk membiayai pendidikannya, ia berjualan minyak wangi, batik, dan kitab-kitab agama.

Pada usia 22 tahun, KH Abdul Halim berangkat ke Haramain (Makkah dan Madinah) guna memperdalam ilmu. Di sana, ia berguru kepada ulama-ulama besar seperti Syekh Mahfudz at-Turmusi, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, dan Syekh Ahmad Khayyat. Ia juga banyak membaca karya tokoh pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, meskipun tetap lebih condong pada pola pikir tradisionalis yang menjaga amalan ulama Nusantara.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

5 Masjid Pendirian Wali Songo yang Masih Berdiri Kokoh


Jakarta

Wali Songo merupakan sebutan para mubaligh atau orang yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Beberapa di antaranya membangun masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial dalam perjalanan dakwahnya.

Lalu, masjid mana saja yang didirikan oleh Wali Songo sebagai salah satu sarana dakwah? Berikut informasinya.

Masjid yang Dibangun oleh Wali Songo

Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo erat hubungannya dengan masjid dan pesantren-pesantren. Masjid-masjid yang mereka bangun tidak hanya menjadi tempat ibadah, melainkan simbol spiritual dan kebudayaan Islam di Nusantara.


Berikut adalah beberapa nama masjid yang didirikan oleh Wali Songo:

1. Masjid Sunan Bonang

Penampakan masjid peninggalan Sunan Bonang di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Minggu (17/3/2024).Penampakan masjid peninggalan Sunan Bonang di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Minggu (17/3/2024). Foto: Mukhammad Fadlil/detikJateng

Sunan Bonang punya nama kecil Raden Makhdum Ibrahim. Beliau adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila (Dyah Siti Manila binti Arya Teja).

Asti Musman dalam bukunya yang berjudul Sunan Bonang: Wali Keramat, menuliskan bahwa Masjid Sunan Bonang dibuat oleh Sunan Bonang sebagai tempat untuk berdakwah.

Lokasinya ada di Jl. Sunan Bonang, Bonang, Kec. Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Makam Sunan Bonang ada sekitar 50 meter dari masjid ini.

Masjid Sunan Bonang ini telah mengalami dua kali renovasi, yakni pada tahun 2013 dan 2016. Namun, karena masjid lama atau yang asli tidak bisa menampung jamaah dalam jumlah yang besar, maka dibuatlah bangunan masjid baru berdampingan dengan bangunan masjid aslinya.

Meski begitu, bangunan lama Masjid Sunan Bonang masih dipertahankan dengan menata kembali batu bata yang digunakan pada masjid aslinya. Hanya saja, temboknya ditutup dengan keramik.

Penampakan masjid peninggalan Sunan Bonang di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Minggu (17/3/2024).Penampakan masjid peninggalan Sunan Bonang di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Minggu (17/3/2024). Foto: Mukhammad Fadlil/detikJateng

Satu-satunya bagian bangunan yang masih asli adalah empat tiang penyangga bangunan yang ada di tengah ruangan. Warna kemerahan dipadu dengan ornamen warna emas merupakan dominasi warna masjid ini.

2. Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak, Rabu (17/4/2024).Masjid Agung Demak, Rabu (17/4/2024). Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng

Walisongo yang mendirikan Masjid Agung Demak adalah Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said. Lokasinya ada di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Dikutip dari buku Sejarah Islam Nusantara oleh Ustad Rizem Aizid, salam sejarahnya, masjid Agung Demak didirikan atas dan pimpinan para wali pada sekitar abad ke-15. Masjid Agung Demak adalah Masjid Agung Kerajaan Demak Bintara.

Selain sebagai masjid kerajaan pada zamannya, masjid ini juga difungsikan sebagai Masjid Jami. Karena letaknya berada di sebelah barat alun-alun.

Menurut buku Sejarah Wali Songo karya Zulham Farobi dan Buku Pintar Seri Junior karya M. Iwan Gayo, Masjid Agung Demak didirikan oleh Wali Songo pada 1477 M. Namun, pendapat populer lain juga ada yang menyebut tahun 1401 Saka.

Sunan Kalijaga juga dijuluki Syekh Malaya. Beliau sempat mempelajari dari Sunan Bonang

3. Masjid Agung Sunan Ampel

Masjid Sunan Ampel. Foto Malik Ibnu Zaman.Masjid Sunan Ampel. Foto: Malik Ibnu Zaman.

Masjid ini didirikan oleh Sunan Ampel yang bernama asli Raden Rahmat, bersama para santrinya sekitar tahun 1421 М. Letaknya ada di Kelurahan Ampel, Pabean Cantikan, Surabaya, Jawa Timur.

Mengutip buku bertajuk Masjid-masjid bersejarah di Indonesia oleh Abdul Baqir Zein, luas bangunan masjid ini berukuran 46,80 x 44,20 m. Di dalamnya ada 4 tiang utama dari kayu jati yang masing- masing berukuran 17 x 0,4 x 0,4 m tanpa sambungan.

Keempat tiang itu menyangga atap yang bersusun tiga, yang menandakan ciri khas arsitektur masjid di Jawa. Di mana, mengandung arti Islam, iman, dan ihsan.

Menara di Masjid Agung Sunan Ampel juga menjadi salah satu ikon masjid ini. Sampai saat ini, Masjid Agung Sunan Ampel masih dikunjungi oleh umat Islam sebagai destinasi wisata religi. Dikelilingi perkampungan penduduk yang padat dengan aneka usaha.

Sunan Ampel wafat pada tahun 1481. Beliau dimakamkan di sebelah kanan Masjid Ampel.

4. Masjid Sunan Giri

Dalam buku Walisongo: Sebuah Biografi karya Asti Musman, disebutkan bahwa Sunan Giri mendirikan masjid ini di atas bukit bernama Kedaton Sidomukti. Tapi, cucu ketiga Sunan Giri memindahkan Masjid Sunan Giri ke Makam Sunan Giri pada 1544 M.

Masjid Sunan Giri beralamat di Jl. Sunan Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Adapun ciri khas dari Masjid Sunan Giri diantaranya adalah pintu gapura masjid yang seperti Candi Bentar, ornamen dengan gaya Majapahit, hingga pintu masuk ruang haram pria yang mirip Padu Aksara dengan hiasan huruf Arab di sekeliling atas pintu.

Masjid ini sempat mengalami kerusakan akibat gempa pada 1950, sehingga sempat mengalami perbaikan.

Sunan Giri yang memiliki nama asli Raden ‘Ainul Yaqin, merupakan putra dari Syekh Maulana Ishaq. Sunan Giri juga dikenal dengan nama Raden Paku.

5. Masjid Menara Kudus

Kompleks Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus, Selasa (27/6/2023).Kompleks Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus, Selasa (27/6/2023). Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng

Masjid Al-Aqsa Manarat Qudus atau disebut juga Masjid Menara Kudus didirikan oleh Sunan Kudus yang nama aslinya Ja’far Shadiq pada 1549 M. Beliau adalah putra dari Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, saudara kandung Sunan Ampel.

Awalnya, nama masjid ini Masjid Al-Aqsa atau al-Manar. Al Manar sendiri artinya menara. Nama Masjid Menara Kudus diambil dari pendirinya yakni Sunan Kudus. Pasalnya, masjid ini sangat terkenal sehingga daerahnya pun disebut Kudus (kudus berarti suci).

Masjid peninggalan bersejarah Sunan Kudus memiliki banyak keunikan. Salah satunya yaitu ada akulturasi budaya dalam arsitekturnya.

Masjid Menara Kudus menjadi salah satu bukti perjumpaan kebudayaan Islam dan Hindu. Hal ini bisa dilihat dari berupa bangunan yang unik dan berarsitektur seni tinggi.

Ada yang menonjolkan sarana ibadah yang sakral (yaitu masjid) dan di sisi lain terdapat candi yang bergaya ornamen Hindu yang digunakan sebagai menara masjid.

Masjid-masjid yang dibangun oleh Wali Songo jadi warisan sejarah dan juga simbol perjuangan mereka menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Keberadaannya terus dijaga dan menjadi wisata sejarah religi, yang diharapkan mampu untuk mengingatkan kita akan pentingnya nilai-nilai agama.

(khq/fds)



Sumber : www.detik.com