Tag Archives: sirah nabawiyah

Kesalahan dalam Menjemput Jodoh yang Sering Tak Disadari


Jakarta

Menikah adalah ibadah yang mulia dan termasuk sunnah Rasulullah SAW. Islam mengajarkan bahwa jodoh adalah takdir Allah SWT, namun manusia tetap diperintahkan untuk berikhtiar menjemputnya dengan cara yang benar.

Sayangnya, dalam proses mencari dan menjemput jodoh, banyak kaum muslimin yang secara tidak sadar terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Buya Yahya dalam tayangan di channel YouTube-nya yang berjudul “Susah Ketemu Jodoh? Simak Nasehat Buya Yahya” menjelaskan bahwa menjemput jodoh dalam Islam adalah bagian dari ikhtiar ibadah. Namun, dalam prosesnya, banyak orang yang belum juga dipertemukan dengan jodoh yang tepat, bahkan setelah menunggu bertahun-tahun. Bukan karena jodohnya tidak ada, tapi bisa jadi karena ada kesalahan dalam cara menjemputnya.


Kesalahan dalam Menjemput Jodoh

Berikut adalah beberapa kesalahan yang sering tak disadari dalam menjemput jodoh:

1. Tidak Kembali kepada Allah SWT

Buya Yahya menegaskan bahwa jodoh adalah urusan Allah SWT, maka langkah pertama dalam mencarinya haruslah dengan kembali kepada Allah SWT. Banyak orang yang terlalu sibuk mencari jodoh, tapi lupa memperbaiki hubungan dengan Sang Pemberi jodoh.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat At-Talaq ayat 3,

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
Artinya: Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Sebagai solusi, mulai dengan memperbanyak istighfar dan taubat, kemudian perkuat hubungan dengan Allah SWT lewat tahajud dan dzikir serta berdoa dengan khusyuk. Allah SWT Maha Tahu kapan waktu terbaik untuk mendatangkan jodoh.

2. Menganggap Meminang atau Dipinang Itu Malu

Buya Yahya menekankan juga bahwa tidak ada yang salah dalam meminang atau menyampaikan keinginan untuk menikah, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Selama dilakukan dengan cara yang syar’i dan penuh adab, hal ini boleh menjadi ikhtiar.

Sayangnya, budaya malu, gengsi, atau takut ditolak membuat banyak orang menahan niat baik untuk menikah, padahal Islam telah memberikan jalan.

Dalam Sirah Nabawiyah dikisahkan, “Dulu Khadijah meminang Nabi Muhammad SAW lewat perantara.”
(Sirah Nabawiyah)

3. Tidak Melihat Jodoh di Sekitarnya

Salah satu penyebab seseorang tak kunjung menikah adalah karena akalnya tertutup. Maksudnya, ia tidak mampu melihat peluang jodoh yang sudah ada di sekitarnya karena terlalu fokus pada kriteria yang tinggi, khayalan, atau bayangan yang tidak realistis.

“Bisa jadi jodoh itu adalah orang yang setiap hari kamu lihat, namun tidak kamu sadari. Jangan terlalu banyak menetapkan kriteria,” ujar Buya Yahya.

Terkadang seseorang enggan menerima pinangan karena terlalu perfeksionis, artinya hanya mau menikah dengan orang yang sesuai 100% dengan keinginan.

Ada yang menuntut pasangan harus mapan, tinggi, tampan, cerdas, lucu, dan seterusnya. Akibatnya, jodoh yang baik dan telah datang pun ditolak karena “tidak sesuai standar pribadi”.

Islam tidak memerintahkan kita mencari pasangan sempurna, tetapi pasangan yang baik agamanya, siap membangun rumah tangga, dan punya niat tulus.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW pada Bulan Rabiul Awal


Jakarta

Nabi Muhammad SAW lahir pada Rabiul Awal, bulan ke-3 dalam kalender Hijriah. Sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW diceritakan dalam sejumlah tarikh dan sirah nabawiyah.

Kelahiran Nabi Muhammad SAW terjadi setelah peristiwa pasukan bergajah yang dipimpin Raja Abrahah berupaya menghancurkan Ka’bah. Oleh karena itu, tahun kelahiran Nabi SAW disebut Tahun Gajah.


Nabi Muhammad SAW adalah putra Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahb. Menurut Ibnu Hazm al-Andalusi dalam Jawami As-Sirah An-Nabawiyah yang diterjemahkan Indi Aunullah, nasab shahih Nabi Muhammad SAW berakhir pada Adnan. Adnan adalah keturunan Nabi Ismail AS.

Nama Rasulullah SAW adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib (namanya Syaibah al-Hamd) bin Hasyim (namanya Amr) bin Abdu Manaf (namanya al-Mughirah) bin Qushay (namanya Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.

Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Menurut Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW yang ditulis Moenawar Chalil, sekitar dua atau tiga bulan setelah pernikahan Abdullah dan Aminah, Abdullah pergi ke Syam untuk berdagang. Aminah saat itu sudah mengandung.

Dalam perjalanan pulang dari Syam, Abdullah jatuh sakit. Dia terpaksa tinggal di Yatsrib (Madinah) di rumah seorang Quraisy dari bani Ady, sementara rombongan sudah kembali ke Makkah.

Abdul Muthalib kemudian minta anak tertuanya, Harits, untuk menjenguk adiknya di Yatsrib. Setibanya di sana, Abdullah sudah meninggal dunia dan dimakamkan di sana beberapa hari lalu.

Ketika itu, usia Nabi Muhammad SAW sekitar tiga bulan dalam kandungan sang ibu. Setelah genap sembilan bulan, tepat pada waktu subuh, Nabi Muhammad SAW lahir dengan selamat di rumah ibunya, di kampung bani Hasyim di Makkah. Riwayat lain menyebut Nabi SAW lahir di rumah Abu Thalib.

Para ulama berbeda pendapat terkait tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beberapa sejarawan menyebut Nabi SAW lahir pada tanggal 2, 8, 10, 12, 17, dan 18 Rabiul Awal. Namun, pendapat populer menyebut Nabi Muhammad SAW lahir pada Senin, 12 Rabiul Awal.

Aminah kemudian mengutus seseorang untuk memberi tahu Abdul Muthalib akan kelahiran cucunya. Abdul Muthalib yang kala itu sedang tawaf di Ka’bah gembira mendengar kelahiran Nabi Muhammad SAW dan bergegas ke rumah Aminah.

Ada riwayat yang menyebut Abdul Muthalib langsung memeluk dan menggendong Nabi Muhammad SAW untuk dibawa ke Ka’bah. Abdul Muthalib kemudian masuk Ka’bah, berdiri, dan berdoa menyampaikan syukurnya kepada Allah SWT. Setelah itu, dia keluar dan menyerahkan Nabi Muhammad SAW ke Aminah.

Sesuai adat masyarakat Arab khususnya di Makkah, bayi yang baru lahir akan disusukan kepada orang lain. Biasanya ibu susu ini tinggal di dusun orang Badwi, jauh dari kota. Nabi Muhammad SAW pun disusukan kepada perempuan bernama Tsuwaibah selama beberapa hari. Kemudian disusukan dan diasuh oleh Halimah binti Abu Zuaib, yang juga dikenal sebagai Halimah as-Sa’diyah.

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com

Begini Cara Nabi dan Para Sahabat Salat Sembunyi-sembunyi



Jakarta

Rasulullah SAW harus melewati berbagai rintangan dalam menyebarkan ajaran Islam. Terutama pada tahun-tahun pertama kenabian yang mengharuskan beliau dakwah secara sembunyi-sembunyi.

Jika tiba waktu salat, Nabi SAW dan para sahabat pergi ke tempat yang terpencil lalu secara sembunyi-sembunyi mengerjakan salat.

Begitu kata Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya. Ia menyebut, hal tersebut dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat agar tidak dilihat kaumnya.


Diceritakan, suatu ketika Abu Thalib–paman Nabi–melihat Rasulullah SAW mengerjakan salat bersama Ali RA. Abu Thalib lantas menanyakan perihal salat itu. Setelah mendapat penjelasan yang cukup memuaskan, Abu Thalib menyuruh Rasulullah SAW dan Ali RA agar menguatkan hati.

Perintah salat termasuk wahyu yang pertama-tama turun, sebagaimana dikatakan dalam Sirah Nabawiyah karya Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. Muqatil bin Sulaiman mengatakan, pada awal-awal Islam, Allah SWT mewajibkan salat dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat saat petang. Hal ini bersandar pada firman Allah SWT,

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْاِبْكَارِ

Artinya:”…dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi!” (QS Al Mu’min: 55)

Menurut pendapat Ibnu Hajar, Rasulullah SAW sudah pernah salat sebelum peristiwa Isra. Begitu juga para sahabat. Namun, ada perbedaan pendapat terkait adakah salat yang diwajibkan sebelum turunnya kewajiban salat lima waktu.

Ada yang berpendapat bahwa salat yang diwajibkan pada waktu itu adalah salat sebelum matahari terbit dan sebelum terbenamnya matahari.

Selain kewajiban salat, wudhu juga termasuk kewajiban yang pertama diturunkan. Dalam Mukhtashar Siratil-Rasul terdapat riwayat Al-Harits bin Usamah dari jalur Ibnu Luhai’ah secara maushul dari Zaid bin Haritsah yang menyebut bahwa pada awal-awal turunnya, malaikat Jibril mendatangi Rasulullah SAW dan mengajarkan wudhu kepada beliau.

Setelah wudhu, beliau mengambil seciduk air lalu memercikkan ke kemaluannya. Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits serupa.

Dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyah dikatakan, Rasulullah SAW menjalankan dakwah secara sembunyi-sembunyi selama tiga tahun. Beliau menemui satu per satu kerabat dan sahabatnya untuk memperkenalkan Islam dan mengajaknya memeluk Islam.

(kri/rah)



Sumber : www.detik.com

Sosok Paman Nabi Muhammad yang Merawat dan Mengajaknya Berdagang



Yogyakarta

Abu Thalib adalah paman Nabi Muhammad yang mengasuh dan merawatnya selepas meninggalnya sang kakek, Abdul Muththalib. Abu Thalib juga menjadi sosok yang mengajak dan mengajari Nabi Muhammad untuk berdagang, berikut kisahnya.

Nabi Muhammad di Bawah Asuhan Sang Paman

Diceritakan dalam buku Sirah Nabawiyah oleh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Nabi Muhammad SAW dulunya lahir tanpa seorang ayah. Beliau juga hanya diasuh oleh ibu kandungnya dalam waktu yang sangat singkat.

Dalam tradisi bangsa Arab saat itu, anak yang baru lahir tidak boleh disusui oleh ibunya sehingga mereka mencari wanita yang bisa menyusui anaknya. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penyakit yang bisa menjalar di daerah perkotaan serta agar tubuh bayi menjadi kuat.


Pada usia enam tahun, Nabi Muhammad SAW baru diserahkan kembali kepada ibunda kandungnya. Tatkala perjalanan pulang dari makam ayahnya di Kota Yatsrib, ibunda Nabi, Siti Aminah, jatuh sakit dan meninggal dunia di kota Abwa’ yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW telah menjadi seorang yatim piatu di usianya yang keenam tahun. Kemudian ia hidup bersama kakeknya, Abdul Muthalib, di kota Makkah. Namun, Allah SWT berkehendak lain. Di usia delapan tahun, Abdul Muthalib wafat dan Muhammad kecil kembali kehilangan kasih sayang dari kakek tercintanya.

Sepeninggalan kakeknya, Abdul Muththalib, Nabi Muhammad SAW dirawat oleh pamannya, Abu Thalib. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan sebelumnya untuk menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung ayah beliau.

Abu Thalib melaksanakan hak pengasuhan anak saudaranya dengan sepenuh hati dan menganggap Nabi Muhammad seperti anaknya sendiri. Bahkan, Abu Thalib lebih mendahulukan kepentingan beliau daripada anak-anaknya sendiri.

Sikap Abu Thalib tetap sama hingga Nabi Muhammad berusia lebih dari empat puluh tahun. Beliau mendapatkan kehormatan di sisi Abu Thalib, hidup di bawah penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela beliau.

Abu Thalib Mengajak Nabi Muhammad Berdagang ke Syiria dan Bertemu dengan Bahira

Mengutip dari buku Muhammad di Makkah dan Madinah karya Tabari, suatu hari Abu Thalib melakukan perjalanan dagang ke Syiria dengan kelompok Quraisy. Ketika semua persiapannya telah selesai dan siap untuk pergi, Rasulullah SAW tidak mau ditinggal oleh pamannya.

Abu Thalib yang merasa kasihan padanya lalu berkata, “Sungguh, aku akan membawanya bersamaku dan kita tidak boleh saling terpisah.”

Abu Thalib mengajak Nabi Muhammad pergi berdagang bersamanya ke Syiria di usianya yang masih sembilan tahun. Tatkala rombongan pedagang berhenti di Bushra, Syria, di sana terdapat seorang rahib bernama Bahira yang tinggal dalam biaranya.

Di dalam biara tersebut, ada seorang biarawan beragama Kristen yang memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda kenabian yang tertulis dalam kitab terdahulu. Saat rombongan pedagang tersebut berhenti di biaranya dan singgah di sana, Bahira menyiapkan hidangan yang banyak.

Bahira dapat melihat Rasulullah SAW yang selalu dipayungi oleh awan sehingga membuatnya terlihat mencolok di antara orang-orang dalam rombongannya. Ketika melihat Rasulullah SAW dari dekat, Bahira mengamati beliau dengan sungguh-sungguh. Ciri-ciri fisik pada diri Nabi Muhammad benar-benar persis dengan yang tertulis dalam kitabnya.

Seusai rombongan tersebut selesai makan, rahib itu bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang hal-hal yang telah terjadi, baik ketika beliau sedang terjaga maupun sedang tidur. Ketika mengamati punggung Rasulullah SAW, Bahira dapat melihat tanda (cincin) kenabian di antara kedua pundak beliau.

Bahira pun bertanya kepada Abu Thalib paman Rasulullah SAW, “Apa hubungan anak laki-laki ini denganmu?”

Abu thalib menjawab, “Anakku.”

“Ia bukan anakmu. Ayah anak itu tidak mungkin masih hidup” ucap Bahira.

“Ia anak saudara laki-lakiku,” terang Abu Thalib.

Bahira lalu bertanya kembali, “Apa yang terjadi pada ayahnya?”

“Ayahnya meninggal ketika ia masih ada di dalam kandungan ibunya,” jawab Abu Thalib.

“Kamu mengatakan hal yang sebenarnya. Bawa anak itu kembali ke negaramu dan jadilah pelindungnya dari kaum Yahudi. Sebab, demi Tuhan, jika mereka melihatnya dan mengenali apa yang aku temukan pada dirinya, mereka akan berusaha membinasakannya. Hal-hal luar biasa tersimpan dalam diri anak ini. Maka, segeralah bawa ia kembali ke negaramu,” kata Bahira.

Hal tersebut lantas membuat Abu Thalib segera membawa Nabi Muhammad SAW kembali ke kota Makkah. Sejak saat itulah, Abu Thalib menjadi sosok paman yang selalu melindungi Nabi Muhammad dan membelanya tatkala mendapat perlawanan dari kafir Quraisy.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kemenangan Kaum Muslimin dalam Perang Khaibar Bulan Muharram


Jakarta

Bulan Muharram menyimpan sejumlah peristiwa besar. Pada 7 H silam, Rasulullah SAW dan kaum muslimin menghadapi Perang Khaibar.

Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Rasulullah SAW menuju Khaibar setelah sebelumnya menetap di Madinah sejak bulan Dzulhijjah dan beberapa hari bulan Muharram. Sebelum ini, Rasulullah SAW berada di Hudaibiyah.

Rasulullah SAW berangkat dari Madinah menuju Khaibar lewat jalur ‘Ishr dan membangun sebuah masjid di sana. Setelah itu, beliau melewati Shahba’ dan terus berjalan bersama kaum muslimin lainnya menuruni sebuah lembah Raji’.


Dalam perjalanannya ke Khaibar, Rasulullah SAW meminta Amir bin Akra’ untuk mengumandangkan syair, sebagaimana diceritakan Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Ibrahim bin Harits at-Taimi. Amir pun turun dari untanya lalu mendendangkan syair rajaz untuk Rasulullah SAW.

Secara berangsur-angsur Rasulullah SAW mendekati kebun-kebun penduduk Khaibar dan merebutnya satu demi satu. Beliau juga menaklukkan benteng demi benteng. Na’im menjadi benteng pertama yang berhasil beliau taklukkan. Selanjutnya, beliau menaklukkan Qamush, benteng milik bani Abil Huqaiq.

Saat berada di Khaibar, Rasulullah SAW mengutus Muhayyishah bin Mas’ud untuk menemui orang-orang Yahudi Fadak agar memeluk Islam, seperti diceritakan dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum: Sirah Nabawiyah karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri. Namun, mereka terus menunda jawaban dan belakangan memunculkan rasa gentar dalam hati mereka.

Orang Yahudi Fadak pun mengirimkan utusannya kepada Rasulullah SAW untuk menawarkan jalan damai dengan kompensasi separuh hasil Fadak. Rasulullah SAW pun menerima tawaran ini.

Larangan dalam Perang Khaibar

Saat Perang Khaibar, kaum muslimin memakan daging keledai jinak milik penduduk Khaibar. Melihat hal itu, Rasulullah SAW berdiri dan mengumumkan beberapa larangan dalam Perang Khaibar, termasuk memakan keledai jinak.

Menurut Ibnu Ishaq yang mendapatkan cerita dari Abdullah bin Amru bin Dhamrah al-Fazari dari Abdullah bin Abi Salith, dari ayahnya yang mengatakan, “Kami menerima keterangan bahwa Rasulullah melarang makan daging keledai jinak ketika tungku-tungku sedang mendidih dengan daging-daging itu. Akhirnya kami tidak memakannya.” (HR Amad)

Ibnu Ishaq juga menyebutkan larangan lainnya sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW melarang kaum muslim melakukan empat hal, yakni menggauli tawanan perempuan yang sedang hamil, memakan keledai jinak, memakan binatang buas yang bertaring, dan menjual harta rampasan perang sampai dibagikan.

Korban Perang Khaibar

Perang Khaibar menelan sejumlah korban dari kaum muslimin. Namun, para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai jumlah pastinya.

Ada yang berpendapat, pasukan muslimin yang mati syahid dalam Perang Khaibar berjumlah 16 orang dengan rincian 4 orang dari Quraisy, 1 orang dari Asyja, 1 orang dari Aslam, 1 orang dari Khaibar, dan sisanya dari Anshar.

Pendapat lain menyebut, muslimin yang mati syahid dalam Perang Khaibar berjumlah 81 orang, sedangkan Al-Manshurfuri menyebutnya ada 91 orang. Sementara itu, dari kubu Yahudi berjumlah 93 orang.

Kemenangan kaum muslimin dalam Perang Khaibar membawa pengaruh besar bagi kabilah-kabilah Arab yang belum masuk Islam, sebagaimana dikatakan dalam As-Sirah an-Nabawiyah karya Abul Hasan Ali al-Hasani ad-Nadwi. Sebab, mereka tahu persis kekuatan perang Yahudi di Khaibar dan kenikmatan yang mereka nikmati. Panglima-panglima berpengalaman dan pemberani seperti Marhab dan Harits turut andil di sana.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Baiat Ridwan di Bawah Pohon Rindang Usai Utsman Diisukan Wafat



Jakarta

Rasulullah SAW melakukan baiat bersama para sahabat usai tersiar kabar bahwa Utsman bin Affan RA telah dibunuh. Baiat tersebut dikenal dengan Baiat Ridwan, isinya berbeda dengan Baiat Aqabah.

Baiat Ridwan adalah sumpah yang diikrarkan para sahabat di hadapan Rasulullah SAW di bawah pohon rindang, sebagaimana dijelaskan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid. Baiat Ridwan berlangsung sebelum Perjanjian Hudaibiyah.

Diceritakan dalam Kitab Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah karya Said Rahman Al-Buthy, sebelum Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah SAW mengutus Utsman bin Affan RA untuk menemui orang-orang Quraisy guna merundingkan rencana kedatangan Rasulullah SAW ke Makkah. Dalam sumber lain dikatakan, kedatangan ini dalam rangka menunaikan haji.


Ketika menemui orang-orang Quraisy, mereka justru menawan Utsman bin Affan RA selama beberapa saat. Kabar bahwa Utsman bin Affan RA telah dibunuh pun tersiar setelah itu dan terdengar sampai ke telinga Rasulullah SAW.

“Kita tidak akan pergi dari sini sampai kita memerangi mereka,” sabda Rasulullah SAW kala itu. Kemudian, beliau mengajak para sahabat untuk berbaiat. Baiat itu diikrarkan tepat di bawah sebatang pohon rindang yang kemudian dikenal dengan baiat Ridwan.

Dalam baiat itu, Rasulullah SAW menggamit tangan salah seorang sahabat yang juga menggamit tangan sahabat lainnya secara bersambungan. Rasulullah SAW menumpangkan salah satu tangannya di atas tangan yang lain seraya berkata, “(Tangan) ini untuk Utsman.” Mereka lantas berbaiat untuk tidak akan meninggalkan tempat itu.

Usai baiat dilakukan, terdengar kabar bahwa terbunuhnya Utsman bin Affan RA hanyalah isapan jempol belaka.

Orang yang Hadir dalam Baiat Ridwan

Menurut Sayid Mundzir al-Hakim dkk dalam Al-Imam al-Hasan al-Mujtaba as, dua cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain menghadiri Baiat Ridwan. Keduanya turut serta bersama Rasulullah SAW.

“Nabi SAW memandang Hasan dan Husain–walaupun usianya masih sangat belia–layak dan siap memikul tanggung jawab besar tersebut,” jelas Sayid Mundzir al-Hakim dkk.

Baiat Ridwan disebut dihadiri oleh ratusan sahabat. Menurut Adz-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam Juz II, 700 orang yang hadir dalam Baiat Ridwan mengikuti Perang Jamal di pihak Amirul Mukminin.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Mimpi Kakek Nabi untuk Gali Zamzam yang Tertimbun Patung Quraisy



Jakarta

Sumur zamzam di Makkah dulunya pernah ditimbun oleh kabilah Jurhum sebelum mereka meninggalkan tempat itu. Peristiwa ini terjadi sebelum datangnya Islam.

Zamzam adalah sumur Nabi Ismail AS, putra Nabi Ibrahim AS dan Siti Hajar. Sumber air ini berasal dari hentakan kaki malaikat ketika Siti Hajar kebingungan mencari air agar bisa menyusui putranya, saat itu posisi Siti Hajar berada di atas bukit Marwah untuk ketujuh kalinya, sebagaimana diceritakan dalam Qashash al-Anbiyaa karya Ibnu Katsir.

Siti Hajar kemudian turun menuju sumber air itu dan mengambilnya. Air itu pun memancar setelah diciduk oleh Siti Hajar. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda,


“Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada ibunda Ismail, apabila air zamzam itu ditinggalkan begitu saja (atau tidak diciduk airnya) maka niscaya zamzam ini tidak akan menjadi mata air yang mengalir (ke seluruh dunia).”

Siti Hajar bergegas meminum air tersebut dan memberikan susu pada putranya. Malaikat yang menghentakkan sumber air tersebut berkata kepadanya, “Janganlah kamu khawatir ini akan habis, karena di sini akan dibangun rumah Allah oleh anak ini dan ayahnya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan keturunannya.”

Setelah mendapatkan perintah dari Allah SWT, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS membangun Baitullah (Ka’bah). Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya menceritakan, setelah Nabi Ismail AS wafat, Baitullah diperintah oleh putranya, Nabit bin Ismail sampai ia wafat.

Setelah itu, kekuasaan Baitullah beralih ke tangan Mudhadh bin Amru al-Jurhumi. Bani Ismail dan bani Nabit tinggal bersama kakek mereka, Mudhadh bin Amru, dan paman-paman mereka dari Jurhum. Saat itu, Jurhum menjadi penduduk Makkah bersama Qathura.

Hingga pada suatu ketika kedua pihak itu saling serang dan berkompetisi untuk merebutkan kekuasaan. Selang beberapa waktu, Jurhum bertindak zalim dan menodai tempat suci itu. Mereka sewenang-wenang terhadap warga luar Makkah yang masuk ke sana dan memakan harta Ka’bah dari para peziarah.

Pada zaman jahiliah, Makkah tidak menoleransi tindak kezaliman. Siapa pun yang berbuat zalim akan diusir dari sana. Kabilah Jurhum pun akhirnya terusir. Sebelum mereka meninggalkan Makkah, pemimpin mereka membawa dua patung kijang emas dan Hajar Aswad lalu menimbunnya pada zamzam.

Mimpi Abdul Muththalib Diperintahkan Gali Zamzam

Dalam Sirah Nabawiyah itu, Ibnu Hisyam menceritakan kisah dari Muhammad bin Ishaq al-Muththalibi tentang mimpi Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad SAW. Kala itu Abdul Muththalib bin Hasyim tidur di atas Hijr Ismail, ia bermimpi diperintahkan untuk menggali zamzam.

“Galilah Thaibah!” kata seseorang yang mendatangi Abdul Muththalib dalam mimpinya.

Ketika Abdul Muththalib bertanya, “Apa itu Thaibah?” orang itu lantas menghilang.

Pada malam berikutnya, Abdul Muththalib kembali tidur di Hijr Ismail. Orang yang kemarin mendatanginya dalam mimpi itu datang lagi dan mengatakan, “Galilah Barrah!” Saat Abdul Muthalib menanyakan apa itu Barrah, orang tersebut menghilang.

Kejadian itu kembali terulang. Pada malam berikutnya saat Abdul Muththalib tidur di Hijr Ismail, orang yang sama datang lagi dan berkata, “Galilah Madhuunah!” Sama seperti malam-malam berikutnya, saat Abdul Muththalib menanyakan apa itu Madhuunah, orang itu menghilang.

Pada malam berikutnya Abdul Muththalib kembali didatangi orang yang sama dalam mimpinya. Orang itu berkata, “Galilah zamzam!”

Abdul Muththalib bertanya, “Apa itu zamzam?”

Orang itu menjawab, “Sumur yang takkan pernah habis atau mengering, memuaskan dahaga jemaah haji yang datang berduyun-duyun. Sumur itu ada di antara kotoran dan darah, di sisi lubang gagak berkaki putih, di dekat sarang semut.”

Setelah mendapat penjelasan tersebut, Abdul Muththalib yakin bahwa orang itu bisa dipercaya. Ia pun bergegas mengambil cangkul bersama anaknya, Harits bin Abdul Muththalib. Setelah berhasil menemukan air, ia pun bertakbir.

Ibnu Hisyam juga mengatakan, posisi zamzam saat itu tertimbun di antara dua patung Quraisy yang bernama Isaf dan Nailah. Lokasinya ada di tempat penyembelihan hewan kurban Quraisy.

Dari situlah sebutan Harifatu Abdil Muththalib untuk zamzam muncul. Dinamakan demikian karena orang yang menggali dan berhasil menemukan keberadaan zamzam yang sempat hilang adalah Abdul Muththalib, sebagaimana diterangkan dalam buku Mukjizat Penyembuhan Air Zamzam karya Badiatul Muchlisin Asti.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Rasulullah Wafat pada 12 Rabiul Awal, Ini Tahun Persisnya


Jakarta

Wafatnya Rasulullah SAW adalah salah satu peristiwa paling bersejarah dalam sejarah Islam. Sejumlah kitab Tarikh menyebut, Rasulullah SAW wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal.

Tanggal wafatnya Rasulullah SAW sama seperti tanggal kelahiran beliau. Saat itu beliau wafat di usia 63 tahun.

Sakitnya Rasulullah SAW

Dikutip dari buku Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik karya Mahdi Rizqullah Ahmad dkk, Rasulullah SAW jatuh sakit setelah pulang dari haji Wada’, tepatnya dua hari terakhir di bulan Safar atau menjelang bulan Safar.


Rasulullah SAW diantar budaknya yang bernama Abu Muwaihibah menuju ke pemakaman Baqi’ dan memintakan ampunan untuk ahli kubur yang dimakamkan di sana atas perintah Allah SWT.

Setelah itu, Rasulullah SAW menuju ke rumah Aisyah RA guna memenuhi kewajibannya sebagai suami dengan berkeliling ke rumah istri-istrinya.

Ketika rasa sakit Rasulullah SAW sudah semakin parah, beliau meminta izin kepada semua istrinya untuk tinggal di rumah Aisyah RA selama beliau sakit.

Ibnu Al Jauzi dalam kitabnya, Sifatush-Shafwah, menyatakan bahwa para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang lamanya Rasulullah SAW sakit. Ada yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW jatuh sakit selama 12 hari, dan ada yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW jatuh sakit selama 14 hari.

Wafatnya Rasulullah SAW

Masih mengutip dari sumber buku yang sama, bahwa sakit yang dialami Rasulullah SAW ini semakin parah hingga menyebabkan beliau wafat.

Aisyah RA berkata, “Ketika sakit Rasulullah SAW semakin parah yang akhirnya membuat beliau wafat, aku memegang tangan beliau. Aku mengusap tangan itu sambil mengucapkan kalimat doa yang telah beliau ucakan. Namun beliau menarik tangannya dariku sembari berkata, ‘Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan segera sampaikan aku ke haribaan-Mu’.” Aisyah berkata, “Inilah kalimat terakhir yang aku dengar dari Rasulullah SAW.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dikutip dari buku Sirah Nabawiyah karya lbnu Hisyam Jilid 2, karena Rasulullah SAW memperhatikan sahabatnya membawa siwak, Aisyah RA pun memintakan siwak tersebut karena beliau suka bersiwak.

Namun karena kayu siwak tersebut terlalu keras, maka Aisyah RA melunakkannya, dan Rasulullah SAW pun bersiwak.

Setelah meletakkan siwak dan meludah, Aisyah RA melihat wajah Rasulullah SAW terbuka. Rasulullah SAW pun wafat di usia 63 tahun.

Menurut Tarikh Al-Khulafa’ karya Imam As-Suyuthi yang diterjemahkan Samson Rahman, Rasulullah wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pernikahan Nabi Muhammad dengan Khadijah yang Penuh Hikmah


Jakarta

Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah RA merupakan salah satu kisah cinta yang paling agung dalam sejarah Islam. Kisah ini terjadi saat Rasulullah SAW berusia 25 tahun.

Dikutip dari Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Nabi Muhammad SAW merupakan pemuda yang memiliki akhlak baik dan bekerja sebagai pedagang, sedangkan Khadijah RA merupakan seorang janda 40 tahun yang terpandang, cantik, kaya, terhormat, dan dikenal sebagai pedagang yang sukses.

Pertemuan pertama antara Khadijah RA dan Nabi Muhammad SAW terjadi ketika Khadijah RA mempekerjakan Nabi Muhammad SAW untuk membawa barang dagangannya ke Syam. Nabi Muhammad SAW pun pergi ke Syam bersama pelayan Khadijah RA yang bernama Maisarah. Mereka mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dari hasil penjualan tersebut.


Maisarah mengabarkan kepada Khadijah RA tentang sifat mulia, kecerdikan, dan kejujuran Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut membuat Khadijah RA kagum dan tertarik dengan Nabi Muhammad SAW.

Khadijah RA meminta rekannya, Nafisah binti Munyah, untuk menemui Nabi Muhammad SAW dan membuka jalan agar beliau mau menikah dengannya. Nabi Muhammad SAW pun menerima tawaran tersebut dan menemui paman-pamannya. Kemudian paman Nabi Muhammad SAW menemui paman Khadijah RA untuk mengajukan lamaran.

Setelah semua dianggap selesai, maka pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah pun dilaksanakan dengan maskawin 20 ekor unta.

Khadijah RA adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak pernah menikahi wanita lain sampai Khadijah RA meninggal.

Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam bukunya Sirah Nabawiyah Jilid 1 mengemukakan, pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah RA mendapat karunia dua anak laki-laki dan empat anak perempuan.

Anak pertama laki-laki bernama Al-Qasim dan anak kedua bernama Abdullah. Mereka wafat pada saat masih kecil. Adapun, anak perempuan mereka bernama Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum, da Fathimah. Mereka semua masuk Islam dan ikut hijrah ke Madinah serta menikah.

Hikmah dari Kisah Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah

Masih mengutip dari sumber buku yang sama, bahwa dari kisah pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah RA di atas memiliki beberapa hikmah, di antaranya:

  • Berdagang dengan Cara Amanah dan Jujur

Nabi Muhammad SAW dan Khadijah RA menerapkan cara untuk berdagang dengan amanah dan jujur. Hal tersebut memberikan keuntungan yang cukup besar. Allah SWT menganugerahkan berkah kepada Khadijah melalui usaha yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW.

  • Berdagang Merupakan Sumber Penghasilan atau Rezeki

Nabi Muhammad SAW sebelum diutus menjadi nabi dan rasul melakukan kegiatan berdagang untuk memenuhi kebutuhannya. Beliau selalu mempelajari dunia bisnis dari pamannya.

  • Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah RA adalah takdir Allah SWT

Allah SWT telah memilih Khadijah RA untuk dijadikan istri Nabi Muhammad SAW. Khadijah RA diharapkan akan meringankan beban kehidupan ekonomi Nabi Muhammad SAW dan membantu beliau dalam mengemban Islam, serta menemani duka Nabi Muhammad SAW.

  • Pernikahan Bukan Sekadar untuk Kenikmatan Biologis

Nabi Muhammad SAW menikahi Khadijah RA yang berusia 40 tahun, yakni lebih tua dari usia Nabi Muhammad SAW. Beliau menikah dengan Khadijah RA karena dia adalah wanita terhormat dan terpandang di tengah kaumnya. Khadijah RA juga memiliki predikat sebagai wanita suci dan terjaga kehormatannya.

Hikmah di Balik Wafatnya Putra Nabi dan Khadijah

Terdapat hikmah dibalik wafatnya kedua putra mereka yang belum menginjak dewasa. Allah SWT telah menganugerahkan mereka anak laki-laki agar tidak menjadi bahan cemooh karena tidak bisa memberikan keturunan anak laki-laki.

Meskipun Nabi Muhammad SAW dan Khadijah RA mendapatkan ujian berat ini, mereka tetap tabah menerimanya karena hal ini merupakan cobaan yang diberikan oleh Allah SWT.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Nabi Utus 2 Sahabat ke Yaman



Jakarta

Sekitar 1400-an tahun yang lalu pada bulan Rabiul Akhir, Rasulullah SAW mengutus dua sahabat ke Yaman. Mereka mendapat tugas untuk memerangi orang yang bermaksiat.

Diceritakan dalam As-Sirah An-Nabawiyah bi Riwayah Al-Bukhari karya Riyadh Hasyim Hadi, Rasulullah SAW mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman. Rasulullah SAW mengingatkan agar mereka mempermudah dan tidak mempersulit, memberikan motivasi, dan tidak menakut-nakuti.

Menurut hadits dari jalur Yadiz bin Quthaib dari Muadz, saat Rasulullah SAW melepasnya, beliau berpesan, “Kamu aku utus ke kaum yang berhati lembut. Maka bersama orang yang taat kepadamu perangilah orang yang maksiat.”


Keduanya lantas berangkat membawa amanah dari Rasulullah SAW tersebut. Masing-masing dari mereka membuat perjanjian, jika salah seorang dari mereka berada di tempat yang berdekatan, ia akan mampir.

Muadz pun berangkat ke tempat yang dekat dengan Abu Musa. Kala itu ia mendapati Abu Musa tengah duduk dikelilingi banyak orang dan ada seseorang dengan tangan diikat duduk di samping Abu Musa.

“Siapa dia wahai Abdullah bin Qais?” tanya Mu’adz.

Abu Musa berkata, “Ia murtad setelah masuk Islam. Turunlah dari kendaraanmu sampai kamu menyaksikan dia dibunuh. Ia didatangkan ke sini dalam keadaan seperti itu untuk dihukum. Ayo turunlah.”

Muadz pun memerintahkan agar pria itu dibunuh dulu baru ia mau turun dari kendaraannya.

Menurut para ahli tentang peperangan Rasul dan para sahabat, peristiwa itu terjadi pada bulan Rabiul Akhir tahun kesembilan setelah hijrah. Ada pendapat yang menyebut, Abu Musa dan Muadz diutus sebelum haji wada.

Haji wada adalah haji terakhir Rasulullah SAW sebelum berpulang ke Rahmatullah. Haji ini kerap disebut dengan haji perpisahan.

Sementara itu, Ibnu Hajar memberikan komentar atas peristiwa tersebut bahwa kata diutusnya Abu Musa dan Muadz ke Yaman “sebelum haji wada” itu bersifat relatif. Sebab, Al Bukhari menyebut dalam hadits lain bahwa saat Muadz pulang dari Yaman, ia berjumpa dengan Nabi SAW di Makkah ketika haji wada.

Peristiwa bulan Rabiul Akhir yakni diutusnya Abu Musa dan Muadz ke Yaman ini diceritakan dalam riwayat Imam Bukhari dalam hadits nomor 4341 dan 4342.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com