Tag Archives: subhaanallah

Doa ‘Belum’ Diijabah, Kesal Nggak?



Jakarta

Menunggu doa diijabah kadang muncul gelisah. Timbul keadaan hati yang merasa kurang berkenan. Padahal sudah berdoa sambil menangis, boleh jadi sambil berteriak-teriak walau dalam hati. Tapi, kalau sudah diri merasa butuh, merasa timing-nya sekarang. Lalu menduga sepertinya Tuhan kurang memperhatikan doa yang dipinta. Kesal nggak?

Pernah orang berdoa, sudah sambil menerangkan latar belakang mengapa ia berdoa. Pun juga sembari menerangkan bagaimana kalau Tuhan sebenarnya mudah mengabulkan doa. Itu kalimat juga masuk di dalam lantunan doa.

Disertai hati yang agak-agak kurang setuju. Belum sepaham dengan mengapa Tuhan seolah belum berkenan mendengar bahkan mengabulkan doanya. Apa sulitnya sih. Bukankah Tuhan tinggal berfirman kun (jadilah) maka terjadi. Gitu saja kok sulit.


Boleh jadi ada yang bergumam demikian, walau hanya dalam dada!

Mungkin ada sebagian kecil, atau bahkan sebagian besar di antara sidang pembaca yang merasakan hal yang mirip dengan perasaan seorang pendoa di atas? Lalu bagaimana. Berhenti berdoa. Pindah usaha kepada yang lain saja. Ke paranormal misalnya. Astaghfirullah, na’uudzubillah tsumma na’uudzubillah.

Semoga Gusti Allah selamatkan setiap kita dari sangka kurang bagus terutama kepada Tuhan. Subhaanallah. Pasti setiap kita selalu berlindung kepadaNya dari pekerjaan syirik, sekecil apa pun. Laa ilaaha illaa Allah.

Pernah suatu ketika. Kondisi Rasulullah dan para sahabat dikepung musuh, dari dalam kota Madinah dan dari arah luar. Dari luar terdiri dari beberapa kabilah. Mereka ada kafir Qurays, Bani Sulaim, Ghathafan, Bani Murrah, dan Asyja’.

Dari dalam kota Madinah ada Yahudi Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan orang-orang munafiq.
Gabungan seluruh mereka dikenal dengan nama ahzab, sekutu.

Jumlah mereka yang dari luar sekitar 10.000 orang. Sedangkan Rasulullah dan para sahabatnya berjumlah hanya 3000an orang.

Jarak di antara Rasulullah dan para sahabatnya dengan pasukan kafir yang bersekutu hanya berbatas parit. Siasat parit yang diinisiasi oleh Salman Al-Farisi RA.

Selama keadaan mencekam; ketakutan, lapar, tidak tidur akibat berjaga beberapa puluh malam. Letih, lelah, persediaan makanan menipis. Belum lagi rasa khawatir yang hadir karena istri dan anak-anak para pasukan Rasulullah ada di rumah. Sementara ancaman dari dalam kota, dari kaum Yahudi bisa datang sewaktu-waktu.

Untuk itu Rasulullah bermunajat memanjatkan doa selamat dari Tuhan. Apa seketika langsung dikabulkan? Tidak. Belum langsung. Menunggu waktu sesuai dengan kebijaksaan Tuhan.

Fakta keadaan yang benar-benar genting, menyangkut agama, menyangkut orang banyak. Menyangkut para shalihin yang kemuliaannya di peringkat atas. Sedang yang berdoa adalah Rasulullah. Nabiy dan Rasul yang paling mulia. Doa beliau belum langsung dikabulkan Tuhan pada saat beliau berdoa itu.

Nah, bagaimana dengan yang berdoa hanya untuk kepentingan pribadi, sedang kondisinya belum sangat mencekam, biasa-biasa saja. Si pendoa memiliki status kedudukan iman yang juga biasa? Kita paham kan?

Tiba masanya keluarga Rasulullah menghadapi fitnah. Sangat keji. Ummul Mu’minin Aisyah RA. difitnah melakukan hal yang di luar pantas.
Fitnah menyebar begitu cepat, membuat Rasulullah sampai terpengaruh. Lama fitnah itu menyebar, belum ada kejelasan fakta.

Bukankah pada waktu itu Rasulullah juga bermunajat agar tersingkap fakta yang sebenarnya. Agar keraguan dan dugaan keliru terhadap suatu perbuatan keji segera tersingkirkan? Iya Rasulullah berdoa, namun seperti yang kita tahu bersama. Tidak serta merta doa beliau diijabah Tuhan. Ada waktu yang sesuai untuk itu.

Sekali lagi, yang berdoa Rasul paling mulia menyangkut kasus keluarga yang paling agung. Menyangkut juga putri dari sahabat Rasulullah yang paling agung. Waktu yang berlalu juga bukan sebentar. Tapi doa tetap sesuai dengan kebijaksanaan Tuhan.
Semoga kita paham agar senantiasa shabar.

Ada logika sederhana yang bisa dijadikan bahan rujukan. Iya ya, Tuhan itu kan Maha Pencipta dan Maha pemelihara alam semesta. Andai sedikit saja Tuhan ‘keliru’, nol koma nol, nol, nol. Bukankah semesta ini sudah runtuh dari dulunya. Sudah kiamat sejak jaman purbakala?

Tengok saja misalnya Tuhan keliru menghitung jumlah air yang naik ke langit dan yang turun. Suatu ketika terselip selisih nol koma sekian. Bukankah setelah beberapa waktu, sebentar atau sedikit lama, bumi segera kekeringan atau segera kebanjiran?

Bagaimana kalau hitungan oksigen yang beredar di udara berubah kadarnya. Meningkat sekian prosen, pasti kebakaran di mana-mana. Oksigen berkurang sekian prosen saja konsentrasinya di udara, pasti ibu-ibu tak bisa memasak karena kompor tidak bisa dinyalakan, tidak muncul apinya.

Duh, subhaanallah, Tuhan Yang Maha Sempurna, seringkali harus menerima tuduhan yang berupa-rupa. Masalahnya ringan. Karena menduga bahwa doa pribadi tidak segera diijabah Tuhan.

Ada seorang yang memohon-mohon agar Tuhan segera menurunkan air hujan karena tanamannya sudah mulai malas tumbuh. Bahkan hampir sekarat. Sedang tetangga sebelah memohon kepada Tuhan yang sama untuk menahan hujan karena ada hajatan istimewa. Ingin menikahkan putrinya dalam sepekan ini.

Dua orang berdoa dengan jenis doa yang 100% berbeda. Andai saja ada Tuhan yang lain. Boleh jadi akan kesal dan bumi dibiarkan kiamat saja? Apa kita semua bisa terima?

Itu baru doa dari dua orang berbeda. Lah kalau yang berdoa sekian milyar orang dengan maksud yang semuanya berbeda dalam satu waktu yang sama. Padahal yang didoakan satu suasana yang sama persis.

Misalnya pada saat yang sama satu minta hujan, satu minta terang. Andai saja kita pernah menjadi Tuhan. Pasti sebentar saja bisa murka. Untung Tuhan Maha Terpuji, Maha Mulia, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Shabar. Maha Pembimbing, Pendidik, Pemelihara alam semesta.

Yuk kita terus berusaha tanpa kenal putus asa (shabar) sambil terus memohon ke haribaanNya (shalat, doa). Kita bersungguh-sungguh selalu bersangka baik kepadaNya.

Jika ini yang kita lakukan, jangan-jangan kita selalu menjadi hamba yang rela. Selalu ridlo akan keputusanNya. Itulah hamba yang sungguh mencintai Tuhannya.
Semoga itu adalah kita, aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Ujaran Kasih Sayang, Mengubah Kabut Menjadi Terang



Jakarta

Imam Ahmad meriwayatkan dalam sebuah alHadits, bahwa waktu itu muncul seorang pemuda yang menghadap Rasulullah SAW. Dengan berterus terang ia pamit mohon dijinkan melakukan zina. Berzina dengan seorang perempuan.

Waktu itu Rasulullah bersama para sahabat beliau. Terbayang betapa suasana pada saat pemuda itu melapor begitu membuat para sahabat geram. Sangat marah, walau tidak berani lancang melangkahi Rasulullah. Mereka bahkan, ada yang hendak memenggal saja kepala pemuda itu. Pada waktu itu pedang dan senjata yang serupa memang biasanya dibawa tanpa ijin kepolisian.

Namun apa yang mereka perhatikan pada wajah Rasulullah. Beliau tenang. Tidak sekali pun tampak wajah marah, geram sebagaimana para sahabat yang emosional.
Rasulullah menasihati pemuda itu dengan penuh kasih sayang. Rasulullah bertutur dengan lembut dan bijaksana. Rahasia bertutur yang wajib dijadikan tauladan. Bagi setiap kita apalagi yang berjuang menjadi pimpinan. Pemimpin yang semestinya menjadi panutan.


“Apakah kamu rela kalau ibumu dizinai orang?” tanya Rasulullah.
Pemuda itu langsung menjawab,” pasti tidak.”
“Demikian juga orang lain, tidak suka bila ibu-ibu mereka dizinai.”
“Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” lanjut Rasulullah.
“Tidak, sungguh demi Allah,” jawab sang pemuda.
“Demikian pula orang lain, tidak suka bila itu dilakukan pada anak gadis mereka.”
“Apakah engkau suka bila saudarimu yang dizina?”
Dengan tegas pemuda itu mengatakan tidak sembari bersumpah.
“Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka,”
“Apakan engkau suka bila perbuatan zina dilakukan kepada saudari ibumu?”
Pemuda itu menjawab dengan jawaban yang sama, bahkan bersumpah dengan nama Allah tidak menginginkannya.
“Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.”
Setelah itu, Rasulullah berdoa dan meletakkan tangannya di dada pemuda itu, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.”
Nasihat Rasulullah ditutup dengan doa kepada Allah. Doa tulus dari Rasul pilihan. Dikabulkan Tuhan.
Pemuda tersebut akhirnya menjadi orang yang paling membenci zina.

Pada masa menjadi Ibu Negara, Ibu Tien Soeharto pernah berpesan. Yang intinya agar jangan membiasakan putra-putri yg masih kecil. Mendengarkan kosa kata/ujaran kurang baik dari para orang tuanya. Biasakan mereka selalu menerima pelajaran cinta dan kasih sayang. Melalui percakapan keseharian di dalam rumah-rumah tempat mereka tinggal. Nanti mereka akan berkembang menjadi generasi penerus yang ujarannya selalu mengarah kepada kebaikan, pujian, ujaran penuh kasih sayang. Mereka sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menghina orang. Bahkan mereka tak pernah memiliki selera berucap yang bermakna makian.
Semoga nasihat bu Tien kita praktikkan!

Terpapar kisah seorang Lurah Mbah Singo yang hanya memiliki putra semata wayang.
“Cah bagus (Anak baik/ganteng), mari ke sini ke pendopo.”

Terbayang panggilan sebutan, bukan panggilan nama. Ialah sebutan penuh kasih sayang, penuh rasa kepemilikan yang sangat dalam. Panggilan lembut seorang bapak kepada putranya.

Sebelum itu, boleh jadi sebagian sidang pembaca menduga bahwa putra semata wayang Mbah Lurah anaknya ngganteng, pinter dan shaleh.

Sabar tunggu dulu! Putra Mbah Lurah tidak pernah sekolah, pun tidak pernah mengaji. Tumbuh menjadi dewasa. Menjadi pencuri! Padahal bapaknya pimpinan kelurahan.

“Ada apa Pak,” yang dipanggil menjawab sekenanya. “Aku ini sumpek (saya ini sedang kesal).”
“Sumpek opo (kesal karena apa)?” sambut Mbah Lurah.
“Aku ini kan maling. Setiap malam dikepung orang, malam berikutnya dikepung orang lagi. Saya ini ingin menjadi sakti. Supaya saya bisa mengamati seluruh orang sedang orang-orang tidak satu pun yang bisa melihat saya.” Dia meluncurkan maksudnya melalui kata-kata lalu berhenti.
“Gampang, ya cari saja tempat yang gelap sehingga tidak terlihat,” Mbah Lurah menjawab datar.
“Sudah Pak, tapi disenter,” putranya menjawab seraya mendesak bapaknya agar mengabulkan permintaannya.
Ketika itu waktu ba’da shalat Ashar menuju Maghrib.
“Oh, kalau gitu hayo mandi dulu. Bersihkan badan lalu ganti baju. Nanti diberitahu bagaimana caranya.”
Setelah putranya sudah bersih dan berpakaian rapi, Mbah Lurah melanjutkan pembicaraan.
“Gini loh, kalau kamu ingin sakti gampang. Pokonya hari ini ikut saya sowan (berkunjung) ke Ndresmo. InsyaAllah kamu akan menjadi sakti.”
“Iya Pak,” berangkatlah mereka berdua.
Sampai di Ndresmo Mbah Yai dawuh (berkata),
“Mbah Lurah,”
“Njih Mas,” sambut Mbah Lurah.
“Tidak biasanya ke sini bersama putranya?”
Lanjut Mbah Yai.
“Begini Mas, putra saya ini maling. Setiap malam dikejar-kejar orang. Dia ingin menjadi orang sakti. Sekiranya dia tidak dilihat orang sedang dia mampu mengawasi setiap orang.”

Stop! Sampai di sini sebagian kita mungkin tak pernah menyangka dengan keterbukaan Mbah Lurah. Meminta pemuka agama Mbah Yai pewaris Nabiy mengabulkan perbuatan yang tidak dihalalkan agama. Tidak persis sama dengan kisah pemuda yang ijin berzina. Namun beda-beda tipis. Bahkan ijin mengajak berbuat ‘maksiyat’ berjemaah. Mendukung pekerjaan mencuri yang pastinya haram.

Tapi sekali lagi sabar. Rupanya Mbah Yai tipe pemimpin yang meneladani Nabiy.
“Baik. Pokoknya tolong tinggallah di sini dulu. Nanti pulang akan menjadi orang sakti,” ujar Mbah Yai seolah tidak perduli apakah kesaktiannya akan digunakan untuk maslahat atau untuk sebaliknya.

Selanjutnya, Mbah Yai ternyata mendidik, membina putra Mbah Lurah dengan penuh kasih sayang. Melalui masa yang cukup panjang, pelan, disiplin. Diiringi doa kepada Tuhan, sambil terus mendahulukan utamanya kasih sayang, akhirnya sang pemuda memang sakti betulan.

Dulunya yang bercita-cita menjadi maling tampa bisa kelihatan. Setelah dibina oleh Mbah Yai, putra Mbah Lurah berubah menjadi pelopor agama yang berilian.

Putra Mbah Lurah Singo itu kemudian terkenal dengan sebutan Mbah yai Mustofa. Wali Allah yang karomahnya diketahui banyak orang. Cita-cita menjadi maling, berubah menjadi Mbah Yai yang alim. Subhaanallah.

Semoga kita pun selalu membiasakan ujaran yang bermakna kasih-sayang. Betapa indahnya jika itu bisa mengubah kabut menjadi terang. Dari maksiat betulan menjadi maslahat sungguhan.

Hayo kita sama bermohon kepada Tuhan. Agar selamanya mendahulukan ujaran yang berisikan makna kasih sayang. Meneladani kasih sayang Tuhan, aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Antri, Lama, Tahunan, Mahal, Itulah Berhaji!



Jakarta

Berhaji, antri, lama tahunan, dan mahal. Betapa pun, masyarakat Muslim Indonesia tidak surut untuk melakukan ibadah yang waktunya hanya setahun sekali. Jika berhasil mabrur, maka sabarnya pasti mendaki (baca: meningkat tajam) dan berpahala surga. Apa maksudnya?

Kehidupannya menjadi selalu bahagia, walau masih di dunia. Bicaranya tak ke mana-mana. Arahnya kepada memuji, mengajak mengasihi, menyayangi. Kesenangannya, memberi walau pun tak harus meminta bukti. Baik kuitansi atau publikasi. Indahnya kehidupan setelah berhaji. Semoga setiap siapa pun yang berhaji, mampu menjadi haji mabrur yang sejati, aamiin.

Haji yang mabrur, menghadirkan perilaku individu yang bertambah santun. Santun dalam bertutur. Baik di lisan maupun di jari-jari (melalui media sosial pribadi, WA dll). Tidak hobi menyakiti, tidak hobi menghina, tidak hobi memaki-maki. Tidak bisa mencaci. Tidak juga senang menghakimi. Hobinya memuji.


Sombong angkuh perlahan dijauhi. Memang sebagian yang baru pulang haji. Senang ‘pamer’ emas, atau apa saja yang baru dibeli. Namun itu bukan termasuk sombong diri. Sombong di sini adalah merasa diri lebih baik, lebih suci. Itu dirasakan karena upaya dirinya sendiri. Bukan karena anugerah rahmat Allah Yang Maha Terpuji. Kalau begitu itulah sombong sejati. Menduakan Tuhan dengan diri sendiri.

Haji mabrur menjauhi sangka buruk karena sangat merugikan diri sendiri. Perilaku yang mudah mengundang sakit ulu hati, kencing manis, dan darah tinggi.

Ia yang mabrur tidak hobi berdusta atau membohongi. Setia kepada janji. Melaksanakan amanah yang diberi. Baik amanah pribadi, masyarakat atau pun amanah negeri. Agar menjadi negeri yang makmur sejati.

Kepada orang tua taat dan penuh bakti. Menyempurnakan hormat, melayani, dan menyantuni. Kepada yang lebih tua menghormati. Kepada yang lebih muda menyayangi. Menyayangi istri atau suami sendiri. Menyayangi keluarga, putra-putri. Kepada yatim, fakir dan miskin menyantuni. Kepada seluruh umat manusia dan semesta meneladani akhlak Nabi.

Andai setiap yang berhaji mabrur, mampu menggapai mabrur sejati. Betapa surganya negeri kita ini.

Tapi jangan dulu segera berkecil hati. Karena tingkatan mabrur bisa berseri. Dari mabrur sedikit sampai tingkat mabrur setinggi langit.

Haji pun bisa di-‘kredit’. Sedikit-sedikit lama-lama akan menjadi bukit. Hayo semua, setiap kita bangkit. Caranya?

Ada salah satu hadits dari Nabi yang bisa kita praktikkan setiap hari.

Untuk doa menjelang tidur malam Rasulullah SAW pernah berwasiat kepada ‘Aisyah binti Abu Bakar RA.

“Wahai ‘Aisyah, janganlah engkau tidur sebelum engkau lakukan empat hal: mengkhatamkan al-Qur’an, memperoleh syafaat dari para nabi, membuat hati kaum mukminin dan mukminat senang dan ridha kepadamu, serta melakukan haji dan umrah.”

‘Aisyah bertanya, “Ya Rasul, bagaimana mungkin aku melakukan itu semua sebelum tidur?”

Rasulullah menjawab, “Sebelum tidur, bacalah Qul huwa Allahu ahad (al-Ikhlas lengkap) tiga kali. Itu sama nilainya dengan mengkhatamkan Al Qur’an.”

“Kemudian supaya engkau mendapat syafaat dariku dan para nabi sebelumku, bacalah shalawat: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama shalayta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama barakta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim fil ‘alamina innaka hamidun majid.”

Memohonkan ampunan bagi mukminin dan mukminaat, bisa menggunakan kalimat doa, “Rabbanaa ighfirlanaa dzunuubanaa wa lil mukminiina wal mukminaat, al-ahyaa-i min hum wal amwaat.”

Rasulullah melanjutkan, “Sebelum tidur, hendaknya engkau lakukan haji dan umrah.”

Bagaimana caranya? Beliau bersabda, “Siapa yang membaca subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha ilallah huwa Allahu akbar, ia dinilai sama dengan orang yang melakukan haji dan umrah.”

Jika sesuai jumlah bilangan membaca subhaanallah, alhamdulillah dan Allahu akbar setelah shalat fardlu, bilangannya masing-masing 33 kali.

Terbaca dari untaian kalimat doa bimbingan Nabi:

Al-Ikhlash, merupakan bacaan sekaligus doa agar muslim memiliki keyakinan tauhid yang kuat. Dari sini setiap muslim dibimbing untuk meyakini, bahwa pasti yang dimaksud Tuhan hanya Allah saja. Dirinya hanyalah hamba yang tidak punya apa-apa. Fisik, tampan-cantik bukan miliknya tapi milik Tuhannya. Kepandaian jika ada, kekayaan, termasuk seluruh kebaikan jika pernah ada, bukan miliknya. Semua itu hanya anugerah rahmat-Nya semata.

Pemahaman tauhid model demikian, pastilah menyucikan orang dari sombong (merasa lebih baik dari yang lain). Bagaimana bisa sombong sedangkan dirinya hanyalah hamba yang tidak punya apa-apa.

Shalawat kepada Nabi dan para nabi, merupakan doa agar dirinya selalu ditolong Tuhan untuk selalu berusaha optimal meneladani akhlak para beliau. Selalu shilah, connect, sambung kepada para beliau.

Mendoakan orang-orang mukmin bisa bermakna memohon Tuhan untuk melepaskan seluruh kondisi buruk mereka. Termasuk memaafkan seluruh kekeliruan mereka, mendoakan mereka agar mulia dunia-akhiratnya.

Jiwa yang diingatkan agar setiap akan tidur melakukan itu dalam bentuk doa, ‘pastilah’ semakin hari menjadi semakin terpuji. Dalam hatinya tidaklah ada sisa iri, dengki, egois mau menang sendiri. Tapi justru altruist, senang memaafkan dan senang berbagi.

Selanjutnya tasbih sebagian maknanya adalah memohon kepada-Nya agar menyucikannya dari seluruh sangka buruk dalam hati.

Tahmid adalah doa agar Tuhan selalu membuat dirinya senang, gemar memuji, menghindar dari kecewa, dan selalu mensyukuri.

Takbir bisa menjadi doa agar dirinya dikuatkan Tuhan untuk mendaki menuju akhlak lebih tinggi sesuai akhlak para Nabi.

Bukankah sebagian makna tasbih, tahmid dan takbir ini merupakan esensi. Tujuan utama yang diharapkan bisa diperoleh setiap orang yang melakukan ibadah haji?

Semoga setiap kita berkenan menjalani. Salah satu upaya kredit melakukan ibadah haji. Agar segera mampu berhaji betulan dan mabrur sungguhan. Untuk menggapai peringkat akhlak mendekati akhlak Nabi, aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih-Redaksi)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com