Tag Archives: sufi

Kisah Abu Nawas yang Menjual Raja untuk Dijadikan Budak



Jakarta

Abu Nawas dikenal sebagai sufi cerdas sekaligus pujangga sastra Arab klasik. Ia lahir sekitar tahun 757 di Provinsi Ahwaz, Khuzistan sebelah barat daya Persia.

Dijelaskan dalam buku Abu Nawas: Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka karya Muhammad Ali Fakih, Abu Nawas telah ditinggal wafat ayahnya sejak kecil. Sang ibu membawanya ke sebuah kota di Irak karena alasan ekonomi.

Abu Nawas kecil dititipkan kepada seseorang bernama Attar untuk melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan anak kecil. Walau begitu, Attar memperlakukan Abu Nawas dengan baik, ia disekolahkan di sekolah A-Qur’an hingga menjadi seorang hafiz.


Nah, berkaitan dengan sosok Abu Nawas, ada sebuah kisah menarik dan jenaka darinya. Suatu hari, dia berencana untuk menjual sang raja yang kala itu bernama Khalifah Harun ar-Rasyid.

Alasannya sendiri karena Khalifah tersebut pantas dijual menurutnya. Mengutip dari buku Jangan Terlalu Berlebihan dalam Beribadah hingga Melupakan Hak-hak Tubuh karya Nur Hasan, akibat rencana tersebut lantas Abu Nawas menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid seraya berkata,

“Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada paduka yang mulia,”

Mendengar hal itu, Khalifah tersebut menjawab dengan rasa penasaran,

“Apa itu wahai Abu Nawas?”

“Sesuatu yang hamba yakin tidak pernah terlintas di dalam benak paduka yang mulia,”

“Oke, kalau begitu cepatlah ajak saya ke sana untuk menyaksikannya,”

Abu Nawas memang terkenal sebagai sosok yang selalu membuat orang penasaran akan sesuatu. Karenanya, ia kembali berkata,

“Tapi baginda…”

“Tetapi apa?” Jawab sang raja yang sudah tidak sabar dengan apa yang akan ditunjukkan oleh Abu Nawas.

“Oke, baginda. Jadi begini, baginda harus menyamar sebagai rakyat biasa, supaya orang-orang tidak banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu,”

Sang raja yang sudah sangat penasaran lantas mengiyakan anjuran Abu Nawas. Ia bersedia menyamar sebagai seorang rakyat biasa dan keduanya pergi ke sebuah hutan.

Sesampainya di sana, Abu Nawas mengajak mendekat ke sebuah pohon yang rindang dan memohon kepada sang raja untuk menunggu di situ. Lalu, Abu Nawas menemui seorang badui yang merupakan penjual budak, ia mengajaknya untuk melihat calon budak yang ingin dijual namun Abu Nawas mengaku tak tega menjual budak di depan matanya langsung, ia mengaku budak tersebut merupakan temannya.

Setelah dilihat dari kejauhan, badui tersebut merasa cocok dengan orang yang ingin dijual Abu Nawas. Usai kesepakatan terjalin beserta kontrak, Abu Nawas mendapat beberapa keping uang mas.

Sang raja yang tidak tahu menahu terus menunggu Abu Nawas. Sayangnya, beliau justru tak kunjung menampakkan dirinya, malahan terdapat seorang penual budak yang menghampiri raja.

“Siapa engkau?” tanya raja.

“Aku adalah tuanmu sekarang,” ujar badui tersebut yang menghampiri sang raja tanpa mengetahui bahwa yang ada di depannya sekarang merupakan seorang raja.

“Apa maksud perkataanmu tadi?” jawab sang raja dengan wajah yang memerah.

Dengan enteng, penjual budak itu mengeluarkan surat kuasa seraya menjawab, “Abu Nawas telah menjualmu kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya,”

“Apa??? Abu Nawas menjual diriku kepadamu?”

“Yaaa!” jawab sang badui dengan nada membentak.

Merasa makin geram, sang raja lantas berkata, “Tahukah engkau siapa sebenarnya diriku ini?”

“Tidak. Itu tidak penting dan tidak perlu,” ujar sang badui singkat. Ia kemudian menyeret bahu budak barungnya ke belakang rumah.

Sesampainya di sana, badui tersebut memberikan parang kepada Khalifah Harun ar-Rasyid dan memintanya untuk membelah serta memotong kayu. Melihat tumpukan kayu yang banyak, sang raja memandangnya dengan ngeri, apalagi beliau harus membelahnya.

Sayangnya, sang raja tidak mampu membelah kayu tersebut dengan baik. Malahan, ia menggunakan bagian parang yang tumpul ke arah tumpukan kayu.

Sang badui kemudian memarahi Khalifah Harun ar-Rasyid. Dengan begitu, si raja membalik parangnya sehingga bagian yang tajam mengarah ke kayu dan berusaha membelahnnya.

Menurutnya, pekerjaan tersebut terasa aneh. Dalam hati ia bergumam, seperti inikah derita orang-orang miskin demi mencari sesuap nasi? Harus bekerja keras lebih dulu.

Badui tersebut kerap memandang Khalifah Harun ar-Rasyid dengan tatapan heran dan berujung marah. Dirinya merasa menyesal telah membeli seorang budak bodoh. Si raja lalu berkata,

“Hei badui! Semua ini sudah cukup, aku tidak tahan,”

Mendengar hal itu, sang badui semakin marah. Ia lalu memukul raja seraya berkata,

“Kurang ajar kau budakku. Kau harus patuh kepadaku!”

Khalifah Harun ar-Rasyid yang tidak pernah disentuh oleh orang lain tiba-tiba menjerit keras akibat pukulan dengan kayu yang dilakukan oleh si badui. Karena tidak kuat, ia lalu berkata sambil memperlihatkan tanda kerajaannya,

“Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultann Harun ar-Rasyid!”

Melihat hal itu, sang badui langsung menjatuhkan diri sambil menyembah sang raja yang habis dipukulnya. Walau begitu, sang raja mengampuninya karena si badui tidak tahu menahu mengenai dirinya yang merupakan seorang raja. Sementara itu, Khalifah Harun ar-Rasyid sangat murka kepada Abu Nawas dan ingin segera menghukumnya.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Nawas Mencari Neraka di Siang Hari



Jakarta

Abu Nawas adalah seorang penyair Arab klasik dan terkenal. Meski populer dan kerap disapa dengan Abu Nawas, sebetulnya panggilan tersebut bukanlah nama aslinya.

Mengutip dari buku Abu Nawas Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka susunan Muhammad Ali Fakih, julukan Abu Nuwas ia peroleh karena rambutnya yang ikal dan panjang sebahu. Nama lengkapnya ialah Abu Ali al-Hasan bin Hani’ al-Hakami.

Abu Nawas lahir di provinsi Ahwaz sekitar Khuzistan, barat daya Persia tahun 757 M. Walau begitu, banyak perbedaan pendapat terkait tahun lahir Abu Nawas.


Disebutkan dalam buku Kisah Lucu Kecerdasan Abu Nawas yang ditulis oleh Sukma Hadi Wiyanto, ketika beranjak dewasa Abu Nawas membantu sang paman bekerja sebagai pembuat minyak wangi. Seusai bekerja, ia sering pergi ke masjid untuk belajar berbagai ilmu agama dan pengetahuan lain, seperti syair, fikih, dan ilmu hadits. Abu Nawas terkenal sebagai murid yang cerdik dan antusias dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Suatu hari, Abu Nawas bertemu dengan Abu Usamah yang merupakan ahli sastra sekaligus pujangga terkenal. Ia sangat terkesima dengan kemampuan Abu Nawas membuat syair hingga diajarkan berbagai ilmu mengenai syair.

Dikenal sebagai sosok yang jenaka dan cerdas, banyak kisah menarik mengenai Abu Nawas, salah satunya ketika ia bersikeras mencari neraka. Kala itu, Abu Nawas merupakan seorang staf ahli dari Khalifah Harun Al-Rasyid.

Pada suatu siang, Abu Nawas membawa lampu minyak dan menggoyangkannya sembari berhenti pada setiap sudut rumah. Setelahnya, ia kembali berjalan dengan lampu yang masih dipegangnya.

Tingkah Abu Nawas menggegerkan penghuni Baghdad. Mereka heran, bagaimana bisa orang secerdas Abu Nawas berjalan di siang hari ketika sinar Matahari menyorot sambil membawa lampu?

“Abu Nawas mulai gila,” kata salah seorang warga Baghdad yang tengah memperhatikan Abu Nawas.

Walau begitu, Abu Nawas tidak peduli. Keesokan harinya ia melakukan hal yang sama, hanya saja kali ini lebih pagi sambil tetap membawa lampu minyak. Tanpa bersuara, Abu Nawas menoleh ke kanan dan kiri.

Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Abu Nawas lantas bertanya kepada Abu Nawas. Apa yang sebenarnya ia cari di siang hari dengan lampu di tangannya?

Abu Nawas lalu menjawab, “Saya sedang mencari neraka,”

Dari situlah, para warga mulai berpikiran bahwa Abu Nawas gila. Bahkan di hari ketiga ia masih melakukan hal yang sama dan membawa lampu minyak yang digoyang-goyangkan.

Warga Baghdad yang tidak sabar akan perilaku Abu Nawas, lantas menangkapnya. Di Baghdad, ada sebuah undang-undang yang melarang orang gila berkeliaran.

Sejumlah musuh politik Harun Al-Rasyid justru gembira melihat Abu Nawas ditangkap. Mereka menganggap ketidakwarasan Abu Nawas bisa dijadikan sebagai senjata untuk menyudutkan wibawa sang khalifah.

Malu bukan main atas perilaku Abu Nawas, Khalifah Harun Al-Rasyid bertanya dengan nada tinggi,

“Abu Nawas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu siang-siang?”

“Hamba mencari neraka, paduka yang mulia,” jawab Abu Nawas lancar, tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya gila.

“Kamu gila, Abu Nawas. Kamu gila!”

“Tidak paduka, merekalah yang gila,”

“Siapa mereka?”

Abu Nawas kemudian meminta orang-orang yang tadi menangkap dan menggiringnya menuju istana untuk dikumpulkan. Setelah berkumpul di depan istana, Abu Nawas didampingi khalifah Harun mendatangi mereka.

“Wahai kalian orang yang mengaku waras, apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda pikiran dan berbeda pilihan dengan kalian adalah munafik?” tanya Abu Nawas.

“Benar!” jawab orang-orang itu yang berjumlah ribuan.

“Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?”

“Betul, dasar sesat!”

“Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?”

“Orang munafik pasti mereka masuk neraka! Dasar munafik, kamu!”

Mendengar itu, Abu Nawas kembali menimpali, “Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?”

Saat berucap demikian, Abu Nawas mengangkat tinggi-tinggi lampu di tangannya. Ini dilakukan seakan-akan dirinya sedang mencari sesuatu.

Jawaban Abu Nawas membuat orang-orang yang berada di depan khalifah Harun habis kesabaran. Mereka merasa diledek dengan mimik Abu Nawas.

“Hai Abu Nawas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah. Kenapa kamu tanya?”

“Paduka mohon maaf. Tolong sampaikan pada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang punya neraka adalah Allah, kenapa mereka di dunia ini gemar sekali menentukan orang lain masuk neraka?” tanya Abu Nawas.

“Apakah mereka asisten Allah yang tahu bocoran catatan Allah? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?” lanjutnya.

Ucapan Abu Nawas membuat khalifah Harun Al-Rasyid tertawa. Sungguh jenaka sosok Abu Nawas di mata khalifah Harun, ia lalu berkata sambil masih tergelak, “Abu Nawas, besok siang lanjutkan mencari neraka. Jika sudah ketemu, jebloskan orang-orang ini ke dalamnya,”

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Nawas yang Ingin Menjual Matahari



Jakarta

Sosok Abu Nawas sudah tidak asing lagi. Penyair Arab klasik yang terkenal itu cukup populer karena pribadinya yang jenaka dan kisah-kisah lucu mengenai hidupnya.

Pria bernama asli Abu Ali al-Hasan bin Hani’ al-Hakimi itu akrab disapa Abu Nawas karena rambutnya yang ikal dan panjang sebahu, seperti dituliskan dalam buku Abu Nawas Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka karya Muhammad Ali Fakih. Adapun, terkait tahun kelahiran Abu Nawas masih menjadi perdebatan, banyak perbedaan pendapat mengenai hal tersebut.

Abu Nawas hidup pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid, seorang raja pada masa dinasti Abbasiyah. Ia bahkan dikenal dekat dengan sang raja dan kerap membuatnya tertawa dengan tingkah lucunya.


Dikisahkan dalam buku Kisah Lucu Kecerdasan Abu Nawas susunan Sukma Hadi Wiyanto, kala itu sejumlah penduduk Baghdad berkumpul di depan istana Khalifah Harun Al-Rasyid. Sebagian berteriak dan meminta agar Abu Nawas ditangkap.

Para penduduk protes karena baliho raksasa milik Abu Nawas yang dipasang di depan rumahnya yang berbunyi, “Dijual Cepat: Matahari Baghdad, Siapa Cepat Dapat Bonus Anak Unta”

Penduduk lainnya merasa panik dan kasak-kusuk di depan istana. Mereka takut sekaligus bingung, jika Matahari Baghdad dijual maka bagaimana mereka bisa hidup?

“Abu Nawas kamu serius mau menjual Matahari?” tanya Khalifah Harun Al-Rasyid sambil mengamati massa yang membludak di depan istananya.

“Benar baginda, supaya kita bisa ikut cara mereka menggunakan otak,” jawab Abu Nawas.

“Maksudnya?” Khalifah kembali bertanya.

“Begini baginda, apakah baginda senang infrastruktur di Baghdad terbangun hebat di zaman baginda? Baginda bangga bisa menjadi teladan buat rakyat bahwa selama menjabat jadi khalifah baginda tidak korupsi? Baginda senang tidak mempertontonkan keserakahan dengan menguasai ratusan ribu hektar padang pasir, padahal baginda bisa melakukannya dengan kekuasaan yang sekarang baginda genggam?” beber Abu Nawas.

Khalifah Harun Al-Rasyid yang bingung lantas meminta Abu Nawas untuk menjelaskan maksud dari ucapannya.

“Abu Nawas, coba ke inti masalah!”

“Jika baginda turun dan tanya massa yang sekarang berdemonstrasi itu, ketahuilah bahwa mereka akan menjawab buat apa bangun infrastruktur, infrastruktur tidak bisa dimakan! Jadi, jalan-jalan mulus yang baginda bangun selama ini, puluhan bendungan yang baginda banggakan, lapangan terbang, rel kereta api di Korramabad, pasar-pasar di Kirkuk, itu semua percuma, tak bisa dimakan!” kata Abu Nawas menjelaskan.

Khalifah Harun Al-Rasyid terdiam.

“Baginda bangga tidak korupsi? Anak baginda jual pisang goreng? Itu malah membuat mereka marah dan cemburu. Buat mereka baginda mestinya korupsi agar mereka tak repot-repot lagi bikin isu tak masuk akal, misalnya baginda keturunan Mongolia, baginda memusuhi ulama, baginda membiarkan partai Ba’ts yang sudah dilarang tumbuh lagi, wah pokoknya banyak baginda,”

“Lalu apa hubungannya dengan menjual Matahari?” tanya Khalifah Harun Al-Rasyid.

Abu Nawas kemudian menjelaskan apa yang dianggap Khalifah Harun sebagai prestasi nasional justru dianggap pemborosan dan membebani negara karena mereka terbiasa melihat prestasi yang ada di ruang gelap. Di ruang gelap, gadis cantik tak terlihat, sebatang emas bisa dianggap besi.

“Tapi kalau pun mata mereka tak melihat di ruang gelap, bukankah telinga mereka mendengar, hati mereka terbuka? Bagaimana mungkin mereka menuduhku memusuhi ulama padahal wakilku sekarang adalah ulama besar? Jika pun mereka tak suka aku, bukankah kepada mereka sekarang aku sodorkan ulama yang dulu mereka klaim mereka bela? Mengapa sekarang mereka tinggalkan?”

Abu Nawas kemudian berkata, “Baginda, itulah enaknya melihat dunia di ruang gelap sambil terbalik. Kita bisa menikmati apa yang mereka nikmati selama ini. Baginda tidak capek berpikir rasional?”

Khalifah Harun Al-Rasyid kembali terdiam, Abu Nawas lanjut menjelaskan.

“Percayalah baginda, hanya dengan melihat segala sesuatu di kegelapan, baginda akan paham mengapa selama ini mereka melihat infrastruktur megah, pemerataan pembangunan di daerah tertinggal, semuanya sama sekali tidak berguna karena tak bisa dimakan. Mohon jangan katakan, ‘infrastruktur memang tak bisa dimakan, tapi dengan infrastruktur kita semakin mudah cari makan,’ itu cara berpikir rasional dan normal, paduka,”

Massa di depan istana semakin membludak. Khalifah Harun Al-Rasyid masih diam, ia lantas memberi isyarat membenarkan ucapan Abu Nawas.

“Jadi, boleh saya menjual Matahari?”

Kisah ini menunjukkan Abu Nawas sebagai pribadi yang cerdas dan peduli. Mimpi tak akan nyata karena keajaiban, butuh keringat, kebulatan tekad dan kerja keras untuk mewujudkannya.

(aeb/rah)



Sumber : www.detik.com

Zuhudnya Imam an-Nawawi sampai Enggan Menikah


Jakarta

Para ulama terdahulu yang karya-karyanya masih hidup sampai hari ini banyak yang menjalani kehidupannya dengan zuhud. Tak terkecuali Imam an-Nawawi.

Menurut buku Min A’lam As-Salaf karya Syaikh Ahmad Farid yang diterjemahkan Masturi Irham dan Asmu’i Taman, kehidupan Imam an-Nawawi dipenuhi dengan wira’i (menjaga dari perkara yang haram), zuhud, kesungguhan mencari ilmu, amal saleh, nahi munkar, cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Biografi Singkat Imam An-Nawawi

Imam an-Nawawi lahir pada 631 H di Nawa, sebuah daerah yang masih bagian Damaskus. Ia memiliki nama lengkap Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Hizam Al-Haurani Ad-Dimasyqi Asy- Syafi’i.


Imam an-Nawawi kerap dipanggil Abu Zakariya karena namanya Yahya. Ini merupakan tradisi orang Arab ketika memanggil orang yang memiliki nama Yahya dengan maksud meniru Yahya nabi Allah SWT dan ayahnya, Zakariya.

Sementara itu, dalam Syarah Riyadhus Shalihin yang ditulis Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dan diterjemahkan M. Abdul Ghoffar dkk dikatakan, Imam an-Nawawi mendapat panggilan Abu Zakariya karena ia tidak menikah dan termasuk ulama yang membujang hingga akhir hayatnya.

Imam an-Nawawi memiliki gelar Muhyiddin. Namun, dirinya tidak suka dengan gelar ini karena sikap dan rasa tawadhu’nya kepada Allah SWT yang amat besar.

Kisah Zuhud Imam An-Nawawi

Masih diambil dari sumber yang sama, Imam An-Nawawi adalah orang yang sangat zuhud terhadap perkara dunia yang tidak penting.

Zuhud sendiri diartikan sebagai tindakan meninggalkan sesuatu karena tidak butuh dan menganggap remeh terhadap sesuatu tersebut namun senang atau melakukan sesuatu yang lebih baik dari yang ditinggalkannya itu.

Imam An-Nawawi bukan orang yang mudah tergiur dengan dunia beserta perhiasannya yang fana. Sikap zuhud Imam an-Nawawi tercermin dalam kesehariannya. Ia rela makan, minum, dan memiliki pakaian yang sedikit.

Imam An-Nawawi biasanya memakan roti Al-Ka’k dan buah zaitun hauran yang dikirim ayahnya karena ia tidak memiliki waktu untuk memasak atau makan. Hanya makanan-makanan ini saja yang ia makan sehari-hari.

Imam An-Nawawi tidak serakah bahkan sangat sederhana dalam berpakaian. Ia rela memakai pakaian yang ditambal dan menempati asrama yang disediakan untuk para siswa.

Di dalam kamarnya pun dipenuhi dengan kitab-kitab. Apabila ada tamu yang hendak mengunjunginya, ia harus menumpuk kitab-kitab itu agar para tamu bisa memiliki ruang untuk masuk.

Kezuhudan Imam an-Nawawi terhadap dunia juga tampak dari sikapnya yang lain. Ia tidak memasuki kamar mandi umum yang di dalamnya terdapat pemanas air dan tidak memakan buah-buahan karena menjalani wira’i.

Zuhud Imam An-Nawawi sampai pada tahapan tidak punya waktu untuk menikah dengan wanita yang cantik atau memiliki budak perempuan. Ia menggunakan seluruh hidupnya semata-mata untuk nasihat, mendalami ilmu, mengajar, mengarang, ibadah, zuhud, terutama zuhud dari nafsu.

Imam An-Nawawi telah menempatkan dirinya pada posisi yang berbahaya ketika ia menasihati pemerintah kala itu. Ia mengirim surat kepada Ibnu An-Najjar dengan mengatakan, “Alhamdulillah, aku termasuk orang yang suka meninggal dalam keadaan taat kepada Allah SWT.”

Al-Yunini mengatakan, “Perkara yang menyebabkan ia berada di barisan terdepan dari para ulama adalah banyaknya zuhud, taat agama, dan wira’inya di dunia.”

Imam an-Nawawi wafat pada 24 Rajab 676 H dan dimakamkan di kampung halamannya, Nawa. Ia meninggalkan karya-karya menjadi rujukan umat Islam hingga kini.

Beberapa karya Imam an-Nawawi antara lain Syarhu Shahiih Muslim, al-Adzkaar, al-Arba’uun an-Nawawiyyah, al-Isyaaraat ilaa Bayaanil Asmaa’ al-Mubhamaat, at-Taqriib, Irsyaadu Thullaabil Haqaa’iq ilaa Ma’rifati Sunani Khairil Khalaa’iq, Syarhu Shahiih al-Bukhari, Syarhu Sunan Abi Dawud, dan Riyaadhus Shaalihiiin min kalaami Sayyidil Mursaliin.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Yazid Al-Busthami dan Pengabdiannya kepada Sang Ibu



Jakarta

Seorang sufi dan ulama ternama pada zamannya, Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Syurusan Al-Busthami, memiliki kisah menyentuh. Kasih sayangnya kepada sang ibu sangat luar biasa dan bisa dijadikan teladan.

Fariduddin Aththar menceritakan kisah itu dalam kitab Tadzkiratul Auliya (Damaskus: Al-Maktabi, 2009), halaman 184-187, sebagaimana dikutip oleh Kemenag.

Diceritakan, Abu Yazid pada saat itu masih muda. Ia sedang mengemban ilmu di sebuah pondok pesantren.


Ketika mengaji tafsir Al-Qur’an, hati Abu Yazid tiba-tiba saja tersentuh mendengar gurunya menjelaskan surat Lukman ayat 14.

اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ

Artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.”

Hati Abu Yazid yang terguncang langsung mengingatkannya pada sang ibu di rumah. Kemudian Abu Yazid memohon izin kepada gurunya untuk pulang menjumpai ibunya.

Sang guru pun mengizinkan Abu Yazid pulang. Ia kemudian pergi ke rumahnya dengan tergesa-gesa.

Saat melihat kehadiran Abu Yazid di rumah, ibunya merasa terkejut dan heran.

“Thaifur, mengapa kamu kembali?” tanya ibunya.

Abu Yazid kemudian menjelaskan kejadian yang dialaminya. Ketika tengah mengaji hingga mencapai Surat Lukman ayat 14, hatinya tersentuh dan bergetar.

“Aku tak mampu melaksanakan dua ibadah syukur secara bersamaan,” kata Abu Yazid.

Menyaksikan anak tercintanya berada dalam dilema, sang ibu memutuskan untuk membebaskan Abu Yazid dari segala kewajiban terhadapnya. Ia minta Abu Yazid lebih baik menuntut ilmu daripada merawatnya.

“Anakku, aku melepaskan segala kewajibanmu terhadapku dan menyerahkanmu sepenuhnya kepada Allah. Pergilah dan jadilah seorang hamba Allah,” ucap ibunya.

Setelah itu, Abu Yazid meninggalkan kota Bustham dan menjadi “santri kelana,” merantau dari satu negeri ke negeri lain selama 30 tahun. Selama perjalanan itu, ia berguru kepada 113 guru spiritual.

Hari-hari Abu Yazid diisi dengan puasa dan tirakat, hingga akhirnya ia menjadi seorang ulama sufi yang memiliki pengaruh di dunia tasawuf.

Kisah yang berbeda juga dijelaskan dalam kitab yang sama. Abu Yazid pernah memegang tempat minum ibunya selama berjam-jam.

Hal itu terjadi pada suatu malam, sang ibu terbangun dan merasa haus. Namun ternyata stok air minum sudah habis.

Akhirnya Abu Yazid keluar rumah untuk mencari air. Setibanya di rumah, ia menemukan ibunya telah kembali tertidur.

Semenjak itu, Abu Yazid memutuskan untuk melawan rasa kantuknya. Ia begadang semalam suntuk untuk memastikan sang ibu tidak kesulitan mendapatkan air minum.

“Nak, kenapa kamu belum tidur?” tanya sang ibu.

“Jika aku tidur, aku takut ibu tidak menemukan air minum ini,” jawab Abu Yazid.

Dari cerita ini, kita dapat menarik hikmah bahwa persetujuan dan doa orang tua, terutama dari seorang ibu, memiliki nilai yang besar dan dapat mempengaruhi arah hidup seseorang. Berbakti kepada orang tua membawa berkah dan keberuntungan.

Sebaliknya, jika berlaku durhaka terhadap orang tua kita akan mendapatkan keburukan. Baik di dunia maupun di akhirat.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Habib al-‘Ajami, Rentenir yang Bertobat hingga Memperoleh Karamah



Jakarta

Habib bin Muhammad al-‘Ajami al-Bashri adalah sufi Persia yang tinggal di Bashrah. Sebelum mendapat hidayah, ia dikenal kaya raya dan suka membanggakan hartanya. Orang-orang sampai menghindar jika melihatnya.

Salah seorang sufi besar dalam peradaban Islam, Fariduddin Attar, menceritakan kisah pertobatan Habib al-‘Ajami dalam karyanya yang berjudul Tadzkiratul Auliya. Buku ini diterjemahkan Kasyif Ghoiby dari Muslim Saints and Mystics: Episode from the Tadhkirat al-Auliya’ (Memorial of the Saints).

Diceritakan, setiap hari Habib al-‘Ajami keliling kota untuk menagih utang piutangnya. Bila tidak mendapat angsuran dari langganannya, ia akan menuntut uang ganti rugi dengan dalih sepatunya menjadi aus di perjalanan. Cara ini membuatnya bisa menutup biaya hidup sehari-hari.


Pada suatu ketika, ia mendatangi rumah salah seorang yang berutang kepadanya. Namun, orang itu tak ada di rumah. Habib al-‘Ajami kemudian menagih utang kepada orang tersebut.

Wanita itu mengatakan tidak memiliki apa pun. Namun, ia baru saja menyembelih seekor kambing dan lehernya masih tersisa. “Jika engkau mau akan kuberikan kepadamu,” kata wanita itu.

Si lintah darat menerimanya dan meminta wanita itu memasaknya. Sayangnya wanita itu tidak punya minyak dan roti untuk memasaknya. Al-‘Ajami lalu membawakan minyak dan roti tapi ia minta wanita itu membayar gantinya.

Wanita itu kemudian memasak daging. Setelah matang dan hendak dituangkan ke mangkuk, datanglah seorang pengemis. Pengemis itu memohon agar al-‘Ajami memberikan makanan kepadanya.

Habib al-‘Ajami yang melihat itu lantas menghardik si pengemis, “Bila yang kami miliki kami berikan kepadamu, engkau tidak akan menjadi kaya tapi kami sendiri akan menjadi miskin.”

Pengemis yang kecewa lalu memohon kepada si wanita agar mau memberikan sedikit daging. Wanita itu lalu membuka tutup belanga dan kaget bukan main melihat daging yang ia masak berubah menjadi darah hitam. Dengan wajah pucat pasi, ia memanggil Habib al-‘Ajami.

“Lihatlah apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada si pengemis!” ucap wanita itu kepada Habib al-‘Ajami seraya menangis.

Melihat kejadian itu dada Habib al-‘Ajami terbakar api penyesalan yang tidak akan pernah padam seumur hidupnya. Keesokan harinya, Habib mendatangi orang-orang yang berutang kepadanya. Di perjalanan, ia bertemu anak-anak sedang bermain. Ketika melihat Habib, anak-anak itu berteriak, “Lihat, Habib lintah darat sedang menuju ke sini, ayo kita lari, kalau tidak niscaya debu-debu tubuhnya akan menempel di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia!”

Kata-kata itu sangat melukai hati Habib al-‘Ajami sampai-sampai ia terjatuh terkulai. Habib pun bertobat kepada Allah SWT. Ia lalu membuat pengumuman siapa pun yang menginginkan hartanya bisa datang dan mengambil semaunya.

Orang-orang lalu berbondong-bondong ke rumah Habib al-‘Ajami hingga harta bendanya habis semua. Sampai-sampai saat masih ada orang yang datang, ia memberikan cadar milik istrinya sendiri dan pakaian yang ia kenakan.

Dengan tubuh yang terbuka, Habib al-‘Ajami meninggalkan rumah dan menyepi ke sebuah pertapaan di pinggir Sungai Eufrat. Siang malam ia beribadah kepada Allah SWT dan berguru kepada Hasan al-Bashri.

Waktu terus berlalu. Habib dalam jalan pertobatannya itu benar-benar dalam keadaan fakir. Di sisi lain, sang istri masih tetap menuntut nafkah darinya. Setiap pagi Habib pergi ke pertapaan untuk mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dan pulang saat malam tiba.

“Di mana sebenarnya engkau bekerja sehingga tak ada sesuatu pun yang engkau bawa pulang?” desak istrinya.

“Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah. Sedemikian Pemurahnya Ia sehingga aku malu meminta sesuatu kepada-Nya. Apabila saatnya nanti pasti ia akan memberi, karena seperti apa katanya sendiri, ‘Sepuluh hari sekali akau akan membayar upahmu’,” jawab Habib.

Pada hari kesepuluh, batin Habib mulai terusik. Ia bingung apa yang akan ia berikan untuk istrinya.

Allah SWT lalu mengutus pesuruh-Nya yang berwujud manusia dan seorang pemuda gagah ke rumah Habib. Utusan itu membawa gandum sepemikul keledai, yang lain membawa domba yang dikuliti, dan yang lainnya membawa minyak madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu.

Pemuda itu lalu mengetuk pintu dan dibukakan oleh istri Habib. Pemuda itu menyampaikan maksudnya, “Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan barang-barang ini. Sampaikan kepada Habib, ‘Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu’.” Setelah itu pemuda itu pergi.

Pada sore hari, Habib pun pulang dengan perasaan malu dan sedih karena tidak bisa membawakan apa pun untuk sang istri. Ketika hampir sampai rumah, ia mencium bau roti dan masakan-masakan. Sang istri dari kejauhan menyambut kedatangannya dengan lembut, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.

Sang istri lalu menyampaikan kedatangan pemuda atas perintah majikannya mengirimkan makanan itu dan menyampaikan pesannya. Mendengar itu, Habib terheran-heran.

“Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulalah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?” ujar Habib.

Sejak saat itu, Habib al-‘Ajami memalingkan dirinya dari urusan dunia dan fokus beribadah kepada Allah SWT. Lintah darat itu memilih jalan sufi.

Keajaiban-keajaiban pun berdatangan. Doa-doa Habib mustajab dan Allah SWT memberikan karamah kepadanya yang tiada henti.

Wallahu a’lam.

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com

Rabiah Al Adawiyah, Sufi Wanita yang Enggan Menikah karena Allah


Jakarta

Rabiah Al Adawiyah merupakan sosok yang tak asing dalam dunia tasawuf. Sufi wanita pembawa ‘agama cinta’ ini memilih untuk tidak menikah seumur hidupnya.

Dalam buku Khazanah Orang Besar Islam dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol karya RA Gunadi dan M Shoelhi disebutkan, Rabiah Al Adawiyah lahir tahun 713 M di Basrah (Irak). Kedua orang tuanya meninggal tatkala ia masih kecil dan ketiga kakaknya juga meninggal saat wabah kelaparan melanda Basrah.

Rabiah Al Adawiyah kecil harus hidup mandiri dan asing. Ia pernah menjadi budak dan ketika bebas ia memilih menjalani hidup di tempat-tempat sunyi untuk bermeditasi. Sebuah tikar lusuh, sebuah periuk dari tanah, dan sebuah batu bata adalah harta yang ia miliki pada saat itu.


Sejak saat itu, Rabiah Al Adawiyah mengabdikan seluruh hidupnya pada Allah SWT. Setiap waktu ia terus berdoa dan berzikir. Hidupnya benar-benar semata untuk kehidupan akhirat sampai ia mengabaikan urusan dunianya.

Konsep Cinta dalam Sufisme Rabiah Al Adawiyah

Kecintaan Rabiah Al Adawiyah pada Allah SWT membuatnya memilih untuk melajang seumur hidup. Sufisme Rabiah Al Adawiyah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) dan konsep mahabbah inilah yang membuatnya menjadi pembawa ‘agama cinta’.

Cinta Rabiah Al Adawiyah bukanlah cinta yang mengharap balasan. Ia justru menempuh perjalanan mencapai ketulusan. Dalam salah satu syairnya ia berujar,

Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.

Konsep tasawuf Rabiah Al Adawiyah ini menceritakan cinta seorang hamba kepada Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam buku Pesan-pesan Cinta Rabiah Al Adawiyah karya Ahmad Abi. Rabiah Al Adawiyah mengajarkan bahwa segala amal ibadah yang dikerjakannya bukan karena berharap surga atau takut dengan api neraka, melainkan karena rasa cinta.

Kesufian Rabiah Al Adawiyah sangat diakui pada masanya. Menurut buku Moderasi Beragama Para Sufi karya Abrar M. Dawud Faza, Rabiah Al Adawiyah merupakan salah seorang sufi yang tidak mengikuti tokoh-tokoh sufi terkemuka lainnya, bahkan ia seperti tidak pernah mendapat bimbingan dari pembimbing spiritual mana pun. Namun, ia mencari pengalamannya sendiri langsung dari Tuhannya.

Pelopor sufisme tarekat, Syekh Abdul Qodir al-Jailani menggolongkan Rabiah Al Adawiyah ke dalam sufi para pencari tuhan. Mereka yang menempuh jalan ini tidak mengikuti apa yang kebanyakan dilakukan oleh makhluk tuhan lainnya. Sebab, kata Syekh Abdul Qodir al-Jailani, tuhan telah membersihkan hati mereka dari segala hal yang memusatkan hati mereka kepada selain Allah SWT.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Rabiah Al Adawiyah, Tokoh Sufi yang Terkenal dengan Mahabbahnya


Jakarta

Ada banyak tokoh sufi yang terkenal di kalangan umat Islam, salah satunya terkait mahabbahnya. Tokoh sufi yang terkenal dengan mahabbahnya adalah Rabiah Al Adawiyah.

Menurut buku yang berjudul Akhlak Tasawuf karya Taufikurrahman dkk, mahabbah atau al mahabbah adalah kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual.

Contohnya adalah cinta seseorang kepada orang lain yang sangat ia kasihi, cinta orang tua kepada anak-anaknya, seorang sahabat kepada sahabatnya, ataupun pekerja pada pekerjaannya.


Sementara itu, Al Qusyairi berpendapat, al mahabbah artinya keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya. Cintanya disaksikan (kemutlakannya) Allah SWT oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.

Dalam dunia tasawuf, Rabiah Al Adawiyah adalah sufi yang terkenal dengan mahabbahnya kepada Allah SWT. Berikut sosoknya.

Sosok Rabiah Al Adawiyah

Rabiah Al Adawiyah adalah seorang tokoh sufi terkemuka yang memiliki nama lengkap Ummu Khair ibn Ismail Al Adawiyah Al Qisysyiyah. Ia lahir di Basrah sekitar tahun 95 H atau bertepatan dengan 717 M. Beberapa sumber menyebut Rabiah Al Adawiyah lahir antara tahun 713-717 M.

Rabiah Al Adawiyah lahir di tengah keluarga yang miskin di Basrah dan hidup dalam kesederhanaan. Ketika proses melahirkannya saja, kedua orang tuanya tidak sanggup membeli minyak lampu untuk meneranginya.

Ia adalah anak keempat dari empat bersaudara. Nama Rabiah Al Adawiyah diberikan kepadanya karena ia adalah putri keempat dari anak-anak orang tuanya yang lain.

Rabiah Al Adawiyah meninggal pada tahun 801 M, dan dikabarkan dikebumikan di sekitar kota Yerusalem.

Konsep Mahabbah Rabiah Al Adawiyah

Mahabbah Rabiah Al Adawiyah berupa penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah SWT) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master).

Ajaran tasawuf yang dibawa oleh Rabiah Al Adawiyah dikenal dengan istilah Al Mahabbah. Ajaran ini adalah kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Al Basri.

Rabiah Al Adawiyah membawa lebih lanjut ajaran Hasan Al Basri, yakni menjadikan takut dan pengharapan dinaikkan menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan.

Pernah suatu ketika Rabiah Al Adawiyah ditanya, “Apakah kau cinta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Ya”

Seterusnya ia ditanya, “Apakah kau benci kepada setan?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan.”

Rabiah Al Adawiyah juga pernah menyatakan, “Saya melihat Nabi SAW dalam mimpi, Dia berkata: Oh Rabiah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab: Oh Rasulullah, siapa yang menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cinta atau membenci kepada makhluk lain.”

Rabiah Al Adawiyah menjalani kehidupannya dengan zuhud dan hanya beribadah kepada Allah SWT.

Ia memilih untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya walaupun banyak laki-laki hendak meminangnya. Ia tidak pernah menikah bukan karena bukan semata-mata zuhud terhadap perkawinan, namun ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri.

Rabiah Al Adawiyah tidak menikah karena pemahaman mahabbahnya yang mencintai Allah SWT dengan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai-Nya sepenuh hati masuk ke dalam diri yang dicintai.

Ibadahnya, kehidupannya, dan semua yang dilakukan Rabiah Al Adawiyah bukan karena rasa takut atas siksaan neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, tapi karena cintanya yang sangat besar kepada Allah SWT.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com