Tag Archives: sumber hukum islam

Ini Jenis Hadits yang Tak Boleh Dijadikan Landasan Hukum


Jakarta

Kaum muslim bisa menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam. Namun, ada hadits yang tidak boleh dijadikan landasan hukum.

Hadits adalah sesuatu yang datang atau bersumber dari Nabi SAW atau disandarkan pada beliau SAW, sebagaimana diterangkan dalam buku Ulumul Hadits karya Abdul Majid Khon. Hadits terdiri dari tiga komponen, yakni hadits perkataan (qauli), hadits perbuatan (fi’li), dan hadits persetujuan (taqriri).

Ada juga ulama yang memasukkan sifat (washfi) baik fisik (khalqiyah) maupun perangai (khuluqiyah), sejarah (tarikhi), dan cita-cita (hammi) Rasulullah SAW sebagai komponen dalam mendefinisikan hadits.


Para pakar hadits juga menyebut hadits sebagai sunnah, khabar, dan atsar. Namun, ada beberapa aspek yang membedakan keempatnya.

Hadits bersandar dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang sifatnya lebih khusus, sekalipun dilakukan sekali, sedangkan sunnah bersandar pada Nabi SAW dan para sahabat dari aspek perbuatan yang sifatnya menjadi tradisi.

Adapun, khabar bersandar pada Nabi SAW dan selainnya baik berupa perkataan maupun perbuatan yang sifatnya lebih umum, dan atsar berasal dari perkataan dan perbuatan sahabat dan tabi’in yang bersifat umum.

Masih mengacu pada sumber yang sama, jika dilihat dari sandarannya, hadits terbagi menjadi dua jenis, yakni hadits nabawi yang bersandar pada nabi sendiri, dan hadits qudsi yang bersandar pada Tuhan yang disampaikan kepada Rasulullah SAW.

Hadits merupakan sumber hukum yang kedua dari empat sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Setiap hadits memiliki kualitas yang kemudian menentukan mana jenis hadits yang bisa dijadikan landasan hukum dan mana yang tidak boleh.

Penentuan kualitas hadits bisa dilihat dari strukturnya. Dalam buku Ilmu Memahami Hadits Nabi karya M Ma’shum Zein disebutkan ada empat struktur hadits, yakni isnad, sanad, musnid, dan musnad.

Secara umum kualitas hadits terdiri dari tiga jenis, yakni hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif, seperti dijelaskan dalam buku Memahami Ilmu Hadits karya Asep Herdi. Hadits yang bisa dijadikan landasan hukum adalah hadits shahih. Hadits jenis ini diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan (hafalannya), memiliki sanad bersambung, tidak cacat, dan tidak janggal.

Hadits-hadits shahih dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Beberapa di antaranya Shahih Bukhari dan Muslim, Al-Muwaththa, Mustadrak Al-Hakim, Shahih ibn Hibban, dan Shahih ibn Khuzaemah.

Hadits Tertolak Tidak Bisa Dijadikan Landasan Hukum

Sementara itu, hadits yang tidak boleh dijadikan landasan hukum adalah hadits mardud atau hadits yang tertolak. Hadits mardud ini tidak memenuhi syarat qabul atau tidak diterima sebagai dalil hukum. Hadits jenis ini adalah semua hadits yang dihukumi dhaif (lemah).

Hadits Dhaif yang Bisa Diamalkan

Ulama hadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani menerangkan dalam kitab Silsilah-Ahadits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah, menurut asy-Syekh Ali al-Qari’, hadits dhaif bisa dijadikan landasan untuk melakukan amalan keutamaan yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan hadits. Hadits jenis ini tidak bisa dijadikan landasan untuk menetapkan bentuk amalan yang utama.

Imam as-Suyuthi mengatakan dalam Tadrib ar-Rawy fi Syarh Taqrib an-Nawawi sebagaimana dinukil Al Mukaffi Abdurrahman dalam buku Koreksi Tuntas Buku 37 Masalah Populer, seseorang boleh mengamalkan hadits dhaif dengan syarat bahwa hadits tersebut tidak berkaitan dengan masalah akidah, yakni tentang sifat Allah SWT, perkara yang boleh dan mustahil bagi-Nya, dan penjelasan firman-Nya.

Hadits dhaif juga boleh diamalkan selain pada hukum halal dan haram. Kata Imam as-Suyuthi, boleh pada kisah-kisah, fadha’il (keutamaan) amal dan nasihat.

Lebih lanjut Imam as-Suyuthi menjelaskan, seseorang boleh mengamalkan hadits ini jika tidak terlalu dhaif, yakni perawinya bukanlah pendusta, tertuduh sebagai pendusta, atau terlalu banyak kekeliruan dalam periwayatannya. Kemudian, bernaung pada hadits shahih dan tidak diyakini sebagai ketetapan, melainkan sebagai bentuk kehati-hatian saja.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Hadits, Sumber Hukum Islam yang Kedua setelah Al-Qur’an



Jakarta

Ada empat sumber hukum Islam yang disepakati ulama. Sumber hukum Islam yang kedua adalah hadits.

Sumber hukum Islam adalah suatu rujukan atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam yang selanjutnya akan menjadi pokok dari ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan dalam buku Pendidikan Agama Islam yang ditulis oleh Bachrul Ilmy.

Sumber hukum Islam memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Sumber hukum ini juga tidak akan pernah mengalami kemandegan, kefanaan, ataupun kehancuran. Sumber hukum Islam menurut kesepakatan ulama ada empat, yaitu Al-Qur’an, hadits, dan ijma dan qiyas. Ijma dan qiyas sering juga disebut ijtihad para ulama.


Sedikit pembahasan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Al-Qur’an adalah wahyu yang datangnya dari Allah SWT dan disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disebarkan sebagai pedoman hidup manusia.

Sumber Hukum Islam yang Kedua: Hadits

Sumber hukum Islam yang kedua adalah hadits Rasulullah SAW. Secara bahasa hadits didefinisikan sebagai ucapan atau perkataan, sedangkan menurut istilah, hadits adalah ucapan, perbuatan, atau takrir Rasulullah SAW yang dicontoh oleh umatnya dalam menjalani kehidupan.

Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an dijelaskan Allah SWT dalam surah Al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi,

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

Artinya: “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Hal ini semakin diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْن لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكُتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مالك)

Artinya: “Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara: kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunah Nabi- Nya.” (HR Malik)

Adapun beberapa fungsi hadits yang perlu diketahui antara lain:

1. Penjelas Ayat Al-Qur’an (Bayan At-Tafsir)

H. Aminudin dan Harjan Syuhada dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an Hadis menjelaskan fungsi hadits adalah untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas dan rinci, serta menafsirkan ayat yang umum, menjelaskan maknanya, memberi batas atau syarat ayat Al-Qur’an yang mutlak, dan mengkhususkan yang umum.

2. Penguat Ayat Al-Qur’an (Bayan At-Taqrir)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua bukan berarti menambahkan atau menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, namun hanya sekadar menetapkan, memperkokoh, dan mengungkapkan kembali apa yang terdapat di dalamnya.

3. Penetapan Hukum (Bayan At-Tasyri’)

Hadits juga berfungsi sebagai penetapan hukum. Artinya, hadits berguna untuk menetapkan hukum baru yang belum diatur dalam Al-Qur’an secara terperinci.

Hadits dalam segala bentuknya (qauli, fi’li, dan taqriri) juga dinyatakan sebagai suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul dan tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur’an.

Contohnya adalah hadits yang menjelaskan zakat fitrah, di mana hal ini tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an.

أَن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعَامِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرِ عَلَى كُلِّ حَرٍ أَوْ عَبْدِ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ (رواه مسلم)

Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim.” (HR Muslim)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

9 Cabang Ulumul Hadits dan Kitab yang Jadi Rujukan


Jakarta

Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Setidaknya ada sembilan cabang ulumul hadits yang menjadi fokus para ahli hadits.

Mengutip buku Ulumul Hadits karya Abdul Majid Khon, hadits adalah sesuatu bersumber dari Nabi SAW atau disandarkan pada beliau SAW. Hadits terdiri dari tiga komponen, yakni hadits perkataan (qauli), hadits perbuatan (fi’li), dan hadits persetujuan (taqriri).

Ada juga ulama yang menambahkan sifat (washfi) baik fisik (khalqiyah) maupun perangai (khuluqiyah), sejarah (tarikhi), dan cita-cita (hammi) Rasulullah SAW sebagai komponen dalam mendefinisikan hadits.


Para ahli hadits mengkaji berbagai hal-hal dari Rasulullah SAW tersebut menggunakan sejumlah ilmu. Ilmu yang mempelajari hadits ini dikenal dengan istilah ulumul hadits. Berikut penjelasan selengkapnya.

Pengertian Ulumul Hadits

Ulumul hadits awal mulanya adalah beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri yang secara umum membahas tentang segala hal yang berkaitan dengan hadits Nabi Muhammad SAW, seperti dijelaskan dalam buku Ulumul Hadis karya Muhammad Nuh Siregar.

Beberapa ilmu ini lalu dibakukan menjadi sebuah disiplin ilmu. Ulumul hadits disebut juga dengan ulum al-hadis (ilmu hadis), mustalah al-hadis, atau usul hadis. Ilmu ini tentunya sangat luas cakupannya karena di awal memang sudah memiliki banyak cabang.

Kitab Rujukan Ulumul Hadits

Masih diambil dari sumber yang sama, buku atau kitab hadits dibagi dalam beberapa periode. Di antaranya:

1. Periode Pertama

Contohnya adalah Al-Muhaddis al-Fasil Bain ar-Rawi wa Al-Wa’i karya Al-Qadi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), Masyariq Al-Anwar karya Al-Qadi ‘Iyad bn Musa ibn ‘Iyad (w. 544 H), dan lain-lain.

2. Periode Pertengahan

Contohnya adalah Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis karya Abu ‘Amr ibn ‘Usman ibn Salah (w. 643 H), Al-Ifshah ‘ala Nukat Kitab ibn Salah; Nukhbat al-Fikr dan Nuzat an-Nazar karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan lain-lain

3. Periode Modern

Contohnya adalah ‘Umul al-Hadis karya Jamal ad-Din al-Qasimi, Taisir Mustalah al-Hadis karya Mahmud at-Tahhan, dan lain sebagainya.

4. Kitab ‘Ulum al-Hadis di Indonesia

Contohnya Pengantar Ilmu Hadis, Metodologi Penelitian Hadis dan Kaedah Kesahihan Sanad Hadis karya M. Syuhudi Ismail, Ikhtisar Musthalahul Hadis karya Fatchur Rahman, Ilmu Hadis karya Utang Ranuwijaya, dan lain sebagainya.

Cabang Ulumul Hadits

Ulumul hadits atau ilmu yang mempelajari tentang hadits Rasulullah SAW dibagi dalam beberapa cabang dengan fokusnya masing-masing.

1. Ilmu Rijal Al-Hadis

Cabang ulumul hadits yang pertama adalah rijal al-hadits. Ilmu ini mempelajari tentang para perawi hadits dan kapasitas mereka sebagai perawi hadits.

2. Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Ilmu al-jahr adalah ilmu yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti keadilan dan tabiatnya, sedangkan at-ta’dil adalah mempelajari perawi untuk menyucikannya dan membuktikannya bahwa ia adalah adil dan dabit.

3. Ilmu Tarikh Ar-Ruwah

Ilmu tarikh ar-ruwah mempelajari tentang para perawi hadits yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits.

4. Ilmu ‘Ilal Al-Hadis

Ulumul hadits yang keempat ini membahas tentang sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan kesahihan hadits.

Seperti contohnya mengatakan muttasil terhadap hadits yang munqati’, menyebut marfu’ terhadap hadits yang mauquf, memasukkan hadits ke dalam hadits lain, dan hal yang berkaitan dengan itu.

5. Ilmu Nasikh Wa Al-Mansukh

Ilmu ini membahas tentang hadits-hadits yang berlawanan yang tidak dapat dipadukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang setelahnya disebut nasikh.

6. Ilmu Asbad Al-Wurud

Ilmu asbad al-wurud adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya.

7. Ilmu Garib Al-Hadis

Pengertian dari ilmu garib al-hadis adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui serta menerangkan makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz hadits yang jauh dan sulit dipahami, karena lafaz tersebut jarang digunakan.

8. Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif

Ilmu ini adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf).

9. Ilmu Mukhatalif Al-Hadis

Ilmu mukhatalif al-hadis adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, agar pertentangan tersebut dapat dihilangkan antara keduanya, sebagaimana membahas hadis-hadis yang sulit dipahami ini atau kandungannya, dengan menghilangkan kemusyrikan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com