Tag Archives: sunan at – tirmidzi

Rasulullah SAW Pernah Larang Ali bin Abi Thalib Poligami, Mengapa Demikian?


Jakarta

Nabi Muhammad SAW pernah melarang Ali bin Abi Thalib RA untuk melakukan poligami. Sebagaimana diketahui, poligami diperbolehkan dalam Islam selama suami bisa berlaku adil dalam memperlakukan istri-istrinya.

Menurut buku Konsepsi Al-Qur’an, Kajian Tafsir Tematik Atas Sejumlah Persoalan Masyarakat Seri 2 yang disusun Mardan, poligami adalah penggalan kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu poli atau polus yang artinya banyak. Kata kedua adalah gamein atau gamos dengan makna perkawinan sehingga jika digabung berarti perkawinan yang memiliki banyak pasangan.

Poligami dalam Islam dibatasi hanya sampai empat orang. Artinya, seorang lelaki hanya boleh menikahi maksimal empat orang istri.


Terkait poligami turut dijelaskan dalam surah An Nisa ayat 3,

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Artinya: “Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”

Cerita Rasulullah SAW Pernah Larang Ali bin Ali Thalib RA Poligami

Mengutip dari buku Amazing Stories Fatimah karya Zakiah Nur Jannah, Ali bin Abi Thalib RA sempat ingin berpoligami dengan putri Abu Jahal. Mendengar itu, Fatimah Az Zahra yang merupakan istri Ali RA mengadukan hal itu kepada ayahnya, Rasulullah SAW.

“Kaummu mengira bahwa engkau tidak ikut marah apabila putrinya marah. Ali ingin menikahi putri Abu Jahal,” kata Fatimah.

Rasulullah SAW lantas berdiri dan berkata sebagaimana disebutkan dalam hadits,

“Sungguh Fatimah adalah bagian dariku. Aku tidak suka apabila ia disakiti. Demi Allah, putri utusan Allah dan putri musuh Allah tidak bisa berkumpul pada satu suami.” (HR Bukhari dan Muslim)

Turut diterangkan melalui buku Pernikahan Menurut Islam tulisan Samsurizal, Rasulullah SAW melarang Ali bin Abi Thalib RA berpoligami karena beliau merupakan wali dari Ali. Sementara itu, wanita yang ingin dinikahi adalah putri dari Abu Jahal.

Sebagaimana diketahui, Abu Jahal adalah tokoh Quraisy yang sangat benci kepada Islam. Perlawanannya terhadap agama Allah SWT sangat keji sehingga dikhawatirkan timbul fitnah serta pengaruh yang buruk.

Dengan begitu, larangan Rasulullah SAW terhadap Ali bin Abi Thalib RA untuk berpoligami bukan karena melanggar ketentuan Allah SWT. Tetapi, hal tersebut dilakukan demi mencegah fitnah yang akan timbul.

Beliau bersabda,

“Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri Rasulullah dengan putri dari musuh Allah SWT dalam satu tempat selama-lamanya.”

Karena kecintaan Ali bin Ali Thalib RA yang luar biasa terhadap Fatimah Az Zahra, akhirnya ia memutuskan untuk tidak menikahi putri Abu Jahal. Mendengar itu, Fatimah merasa lega dan keduanya hidup bahagia sepanjang hayat.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata,

“Aku bertanya kepada Rasulullah SAW di antara kami berdua, siapakah yang lebih engkau cintai, aku atau Fatimah?” Rasulullah SAW menjawab, “Fatimah lebih aku cintai daripada kamu, dan kamu lebih mulia bagiku daripada dia.” (Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Musnad Abu Ya’la, dan lain-lain)

Istri Boleh Menolak Poligami Jika Tak Sesuai Syariat

Berdasarkan cerita Rasulullah SAW yang melarang Ali bin Abi Thalib RA untuk poligami, maka dapat diketahui bahwa seorang wanita diperbolehkan menolak niatan suaminya untuk berpoligami apabila hal itu dilakukan tidak sesuai syariat Islam. Sebagai contoh, suami menikahi wanita yang telah memiliki suami juga atau wanita musyrik.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 221,

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ ٢٢١

Artinya: “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

Wallahu a’lam.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Baca Doa Ini Agar Lisan Terjaga dari Perkataan Buruk



Jakarta

Ada doa yang bisa dibaca untuk menjaga lisan dari perkataan buruk. Doa ini bertujuan untuk melindungi lisan agar tidak menyakiti orang lain.

Manusia diberi anugerah lisan untuk berbicara mengenai apa saja yang dirasakan dari dalam lubuk hatinya. Di antara semua nikmat Allah yang besar manfaatnya bagi manusia adalah lisan dan dua belah bibir.

Namun, lisan dapat menjadi hal yang membawa keburukan apabila manusia tidak dapat menjaga dan mengendalikannya. Sudah sepantasnya seorang muslim menjaga lisannya dari perkataan-perkataan buruk dan kotor.


Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” [Al-Bukhari no. 6018, 6136, 6475; Muslim no. 47; Abu Dawud no. 5154; At-Tirmidzi no. 2500. Lihat pula hadits senada dalam Shahih Al-Jami’ no. 6500, 6501]

Bacaan Doa Agar Lisan Terjaga

Berikut adalah doa yang bisa dibaca untuk menjaga lisan dari perkataan yang buruk.

اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى، وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى، وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى، وَمِنْ شَرِّ قَلْبِى، وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّى

Arab latin: Allaahumma innii a’uudzu bika min syarri sam’ii, wa min syarri bashorii, wa min syarri lisaanii, wa min syarri qolbii, wa min syarri maniyyii

Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan pendengaran, penglihatan, lisan, qalbu, dan maniku.” [Sunan Abu Dawud no. 1551; Sunan At-Tirmidzi no. 3492].

Mengutip laman NU, Kamis (30/3/2023) doa berikut ini juga bisa dibaca untuk menjaga lisan. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam komentar kitab Risâlah al-Mustarsyidîn, maka berikut doa yang dianjurkan agar Allah SWT menjaga lisan kita:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ صَمْتِي فِكْراً وَنُطْقِي ذِكْراً

Arab Latin: Allâhumma-j’al shamtî fikran wa nuthqî dzikran

Artinya: Wahai Allah, jadikanlah diamku berpikir, dan bicaraku berdzikir.

Imam An-Nawawi menasihatkan, “Hendaklah seseorang tidak berbicara kecuali apabila perkataannya membawa kebaikan, dan kapan saja ia ragu apakah membawa kebaikan dalam perkataannya (atau malah keburukan), maka hendaklah ia tidak berbicara.” [Syarh Riyadh Ash-Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin, 6/155].

Asy-Syaikh Mahmud Al-Khazandar dalam Hadzihi Aklaquna menyarankan, “Perkataan yang baik dapat terjadi dengan pelatihan dan pembiasaan, demikian pula perkataan yang buruk. Lisan akan mengeluarkan kata-kata yang biasa ia ucapkan. Hanya dengan kesungguhan, lisan dapat terjaga. Sedikit saja kita lengah, maka lisan kita akan terpeleset.”

Selain membaca doa tersebut, seorang muslim yang ingin senantiasa menjaga lisannya juga dapat melantunkan bacaan-bacaan dzikir seperti istighfar. Bahkan istighfar selalu diamalkan oleh baginda Rasulullah SAW setelah selesai sholat

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, “Siapa yang memohon ampun (istighfar), niscaya Allah SWT akan memberikan jalan keluar kepadanya, jalan keluar dari segala kesusahannya, dan memberikan kesenangan dari segala kesempitan, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak dia duga.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Bahaya Lisan dalam Islam

Imam As-Syafi’i menyebutkan dalam sebuah nasihat, “Lisanmu jangan pernah kau pakai untuk menyebut kekurangan orang lain karena seluruh dirimu adalah aib, sedang tiap manusia punya lisan.”

Dalam peribahasa Indonesia dikenal ‘mulutmu harimaumu’, maka dalam Islam lisan disebut lebih tajam dari sebilah pisau. Menggunakan lisan sangat membutuhkan kehati-hatian.

Oleh karenanya, sebelum mengucapkan perkataan diperlukan akal dan pikiran terlebih dahulu supaya perkataannya dapat membawa manfaat dan tidak berujung kesia-siaan lagi membuat luka bagi orang yang mendengar.

Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat 70,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ

Yā ayyuhal-lażīna āmanuttaqullāha wa qūlū qaulan sadīdā(n).

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.

Anjuran Menjaga Lisan

Abdullah Gymnastiar dalam bukunya Bahaya Lisan, menyebutkan betapa Rasulullah selalu mengingatkan umatnya agar senantiasa menjaga perkataan. Rasulullah SAW bersabda, “Jiwa seorang mukim bukanlah pencela, pengutuk, pembuat perbuatan keji, dan berlidah kotor.” (HR Tirmidzi).

Bahkan kepada orang kafir sekalipun, Rasulullah SAW melarang mencelanya. Dikisahkan bahwa ketika beberapa orang kafir terbunuh dalam Perang Badar, Rasulullah SAW bersabda,

“Janganlah kamu memaki mereka, dari apa yang kamu katakan, dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ketahuilah bahwa kekotoran lidah itu tercela.” (HR Nasa’i).

Dalam riwayat yang lain, suatu ketika seorang Arab Badui bertemu Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Engkau harus bertakwa kepada Allah! Jika seseorang mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui tentang dirimu, maka janganlah mempermalukannya dengan sesuatu yang engkau ketahui tentang dirinya. Dengan begitu, celakalah dirinya, dan engkau pun mendapat pahala. Dan janganlah engkau memaki sesuatu!” (HR Bukhari, Muslim)

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah Saksikan Perdebatan Malaikat soal Kafarat dan Derajat



Jakarta

Malaikat pernah saling berdebat tentang dua hal, kafarat (pelebur dosa) dan derajat. Perdebatan ini disaksikan Rasulullah SAW.

Kisah Rasulullah SAW menyaksikan perdebatan malaikat diceritakan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas RA yang terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi dan Musnad Ahmad.

Rasulullah SAW kala itu didatangi Tuhan dalam wujud paling indah. Beliau awalnya tidak mengetahui apa yang terjadi di alam malaikat. Namun, setelah Tuhan memberikan kuasa-Nya, barulah beliau mengetahuinya.


Beliau SAW bersabda, “Malam ini, aku didatangi Tuhanku dalam wujud yang paling indah kemudian Dia bertanya, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau tahu apa yang diperdebatkan oleh al-Mala’ al-A’la?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’

Kemudian Dia letakkan tangan di atas pundakku hingga aku merasakan dinginnya tangan itu di dadaku. Tiba-tiba aku bisa mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Selanjutnya, Dia bertanya, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau tahu apa yang diperdebatkan oleh al-Mala’ al-A’la?’

Aku pun menjawab, ‘Iya. Mereka berdebat tentang kafarat (pelebur dosa) dan derajat. Kafarat adalah tetap berada di masjid sesudah salat, berjalan kaki menuju salat berjamaah, dan menyempurnakan wudhu pada waktu yang tidak menyenangkan.’

Dia berfirman, ‘Engkau benar wahai Muhammad. Siapa yang melakukan semua ini maka ia akan hidup dengan baik dan mati dengan baik. Ia bebas dari kesalahan seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.’

Dia berfirman, ‘Wahai Muhammad, jika engkau salat, bacalah: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu (kemampuan untuk) melakukan kebaikan, meninggalkan kemungkaran, mencintai kaum miskin, Engkau ampuni aku dan kasihi aku lalu Engkau terima tobatku. Jika Engkau menghendaki fitnah terhadap hamba-Mu, ambillah nyawaku aku kepada-Mu tanpa mengalami fitnah.’

Adapun derajat adalah menyebarkan salam, memberikan makanan, dan salat pada malam hari ketika orang-orang sedang tidur’.”

Hadits tersebut turut dinukil Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar dalam ‘Alam al-Mala’ikah al-Abrar dan Alam al-Jinn wa asy-Syayathin yang diterjemahkan Kaserun AS. Rahman.

Muhaddits Imam Ibnu Katsir menilai hadits tersebut sebagai hadits tentang mimpi yang populer. Ia berkata, “Siapa yang menganggapnya sebagai cerita dalam keadaan jaga maka ia salah.”

Hadits yang terdapat dalam Sunan diriwayatkan dari berbagai jalur. Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkannya dari Jahdham bin Abdullah al-Yamamami Bih.

Al-Hasan menyatakannya hadits shahih. Ia menjelaskan, maksud perdebatan malaikat dalam hadits di atas bukanlah perdebatan sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Sad ayat 69-70,

مَا كَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍۢ بِالْمَلَاِ الْاَعْلٰٓى اِذْ يَخْتَصِمُوْنَ ٦٩ اِنْ يُّوْحٰىٓ اِلَيَّ اِلَّآ اَنَّمَآ اَنَا۠ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ ٧٠

Artinya: “Aku tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang malaikat langit ketika mereka berbantah-bantahan. Tidaklah diwahyukan kepadaku, kecuali aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata.”

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com