Tag Archives: surga

Surga Wanginya Tercium dari Jarak Ribuan Tahun Perjalanan, Ini Haditsnya



Jakarta

Surga adalah tempat akhir yang didambakan setiap manusia, termasuk muslim. Dalam Islam, surga digambarkan sebagai tempat indah yang penuh akan kenikmatan dari Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an dan hadits banyak diterangkan tentang keindahan surga, salah satunya dalam surah Al Insan ayat 20:

وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا


Artinya: “Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.”

Berkaitan dengan itu, Rasulullah SAW dalam haditsnya juga pernah menyebut tentang wangi surga. Saking wanginya, aroma surga ini tercium dari jarak ratusan tahun perjalanan.

Menukil dari Hadiul Arwah ila Biladil Afrah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah yang diterjemahkan Fadhli Bahri, ada dua macam aroma surga. Pertama, aroma yang bisa ditemui di surga dan dicium arwah, namun tidak bisa dicium orang-orang lainnya.

Kedua, aroma yang bisa dideteksi dengan panca indra khususnya penciuman seperti aroma bunga dan sebagainya. Jenis wangi ini dapat dijangkau oleh seluruh penghuni surga di akhirat, baik dari tempat jauh maupun dekat.

Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, aroma surga dikatakan dapat tercium dari jarak seribu tahun perjalanan. Berikut bunyi sabdanya,

“Baunya surga dapat dicium sejauh perjalanan 1000 tahun. Demi Allah tidak akan menciumnya seseorang yang mendurhaka kepada ibu bapaknya dan orang yang memutuskan tali persaudaraan, orang tua yang berzina, dan orang yang memanjangkan pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong.” (HR Thabrani)

Pada riwayat lainnya dari Abdullah bin ‘Amr, disebutkan bahwa aroma surga tercium dengan jarak perjalanan 40 tahun perjalanan. Rasulullah SAW bersabda,

“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad (orang kafir yang telah membuat perjanjian damai dengan umat Islam) maka ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu benar-benar tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR Bukhari)

Ada juga yang mengatakan wangi surga tercium dari jarak 500 tahun perjalanan, berikut haditsnya:

“Perempuan yang memakai baju tetapi telanjang, dan dia memandang lelaki lain, dan membuatkan lelaki-lelaki lain terpandang kepadanya, maka perempuan ini tidak akan cium bau surga. Sedangkan bau surga sudah pun boleh dibau dari jarak 500 tahun perjalanan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Dunia Adalah Penjara bagi Orang Beriman, Apa Maksudnya?


Jakarta

Terdapat sebuah hadits yang menyebutkan bahwa dunia adalah penjara bagi orang yang beriman. Lalu, apa maksud dari kalimat tersebut?

Hadits yang dimaksud adalah sabda Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat shahih sebagaimana dikutip dari Sunan at-Tirmidzi Jilid 3 terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Muhammad Mukhlisin, dan Andri Wijaya yang berbunyi:

عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: (( الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ)). وَفِي الْبَابِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو . هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ


Artinya: Dari Qutaibah, dari Abdul Aziz bin Muhammad, dari al-Ala bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR Tirmidzi)

Mengutip buku Ensiklopedia Mizanul Hikmah Kumpulan Hadits Nabi SAW Pilihan karya Muhammad M Reysyahri, terdapat riwayat lain dengan redaksi serupa. Berikut bunyinya,

رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ: الدُّنْيَا لَا تَصِفُو لِمُؤْمِنٍ، كَيفَ وَهِي سجنه و بلاؤه

Artinya: Rasulullah SAW bersabda, “Dunia itu tidak akan menyenangkan bagi seorang mukmin. Bagaimana mungkin akan menyenangkan baginya, sementara ia adalah penjara dan musibah (bagi)nya?”

Dalam riwayat lain, disebutkan pula bahwa dunia ini merupakan surganya orang-orang kafir. Rasulullah SAW bersabda:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

Artinya: “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR Muslim)

Dilansir buku Keindahan Surga dan Kengerian Siksa Neraka karya Abu Utsman Kharisman, Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits tersebut. Menurutnya, hadits itu menunjukkan setiap orang beriman ‘terpenjara’ dalam artian terlarang dari berbagai syahwat yang haram dan dibenci Allah SWT selama di dunia.

Orang yang beriman juga dituntut untuk berbuat ketaatan yang memberatkan bagi hawa nafsu. Bila orang beriman ini meninggal, ia baru akan beristirahat. Tidak ada tuntutan lagi untuknya. Sebaliknya, Allah SWT menyiapkan kenikmatan yang terus menerus dan tempat peristirahatan yang sempurna tanpa celah.

Di sisi lain, bagi orang kafir, mereka hanya mendapatkan nikmat dunia. Imam Nawawi menyebut padahal kenikmatan dunia sangat sedikit dan keruh dengan berbagai kesusahan.

“Jika orang kafir itu meninggal, ia berpindah menuju azab yang terus menerus dan penderitaan yang abadi.” demikian penjelasannya.

Lebih lanjut, Abu Fajar Al Qalami dalam buku Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar menambahkan dunia bak penjara bagi orang beriman dibandingkan dengan kenikmatan surga yang disediakan kelak ketika seseorang memasuki ‘kehidupan hakiki’.

Demikian pula sebaliknya, alam kematian di dunia ini merupakan surga bagi orang kafir dibandingkan dengan siksaan neraka yang kelak dihadapi dalam ‘kehidupan baru’. Kondisi orang-orang kafir di akhirat telah digambarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Muhammad ayat 12 yang berbunyi:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ

Artinya: “Adapun orang-orang yang kufur bersenang-senang dan makan-makan (di dunia) seperti halnya hewan-hewan. Nerakalah tempat tinggal bagi mereka.”

Orang Beriman Harus Tetap Menikmati Kehidupan

Kendati demikian, Haidar Bagir dalam buku Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan berpendapat bahwa ada persepsi yang keliru di antara masyarakat muslim terhadap hadits, “Dunia merupakan penjara bagi orang mukmin.”

Persepsi yang dimaksud apabila muslim ingin bahagia di akhirat, maka harus hidup sengsara di dunia ini. Keyakinan ini tentu saja keliru. Tidak heran bila ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa orang yang imannya kuat haruslah berpenampilan muram atau melankolis.

Lebih lanjut, Haidar Bagir mencontohkan pula bagaimana seharusnya orang mukmin harus menjalani hidupnya di dunia ini dengan sukacita. Seperti kisah hidup Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW, yang dikenal memiliki penampilan yang rapi dan bersih, menawan dan elegan.

Singkatnya, karena penampilan beliau yang menarik, beliau menjadi sumber fitnah bagi orang-orang yang membencinya. Pernah suatu ketika seorang kafir yang membenci Hasan bin ‘Ali mencegatnya dan berkata, “Kakekmu (Nabi Muhammad) telah mengatakan, bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang beriman. Namun Anda tinggal di dalamnya dengan penuh sukacita.”

Kemudian, Hasan bin ‘Ali menjawab, “Hidupku, meski enak dan menyenangkan di dunia ini, bila dibandingkan dengan sukacita dan kebahagiaan yang akan kudapatkan di akhirat kelak, adalah ibarat neraka. Bayangkan betapa kesenangan yang akan kudapatkan bila aku masuk ke dalam surga Allah SWT? Sedangkan hidupmu, di dunia ini saja sudah sulit, sedang di akhirat nanti akan lebih sulit lagi!”

Kisah Terkait Hadits Dunia Adalah Penjara

Ada sebuah kisah serupa yang masih berkaitan dengan hadits mengenai dunia merupakan penjara bagi orang beriman, merangkum buku Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu oleh Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi terjemahan Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida serta buku Al-Anfal: Syarah Ijmal 300 Hadits Viral Mudah Dihafal karya H. Brilly El-Rasheed, berikut kisah menakjubkan Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan seorang Yahudi.

Dikisahkan pada suatu hari, Ibnu Hajar Al-Asqalani pernah melewati sebuah pasar yang penuh keramaian, ia datang dengan pakaian yang begitu menawan (pakaian mewah). Kemudian orang Yahudi menyergapnya. Orang Yahudi tersebut merupakan penjual minyak panas, tak heran pakaiannya penuh dengan kotoran minyak.

Tampilan Yahudi tersebut usang dan penuh keprihatinan. Sambil memberhentikan laju kuda Ibnu Hajar, Yahudi tersebut berkata pada Ibnu Hajar, “Wahai Syaikhul Islam (Ibnu Hajar), engkau menyatakan bahwa Nabi kalian (Nabi umat Islam) bersabda, “Ad-dunya sijnul mukmin, wa jannatul kafır (dunia itu penjara bagi orang beriman dan Surga bagi orang orang kafir).” Bagaimana keadaanmu saat ini bisa disebut penjara, lalu keadaanku di dunia seperti ini disebut surga?”

Ibnu Hajar lalu menjawab, “Engkau dengan kesialan dan kenestapaanmu dianggap berada di surga, karena siksa yang jauh lebih pedih yang menantimu di akhirat, jika engkau mati dalam kondisi kafir.

Sedangkan aku dengan segala perlengkapan yang kumiliki yang merupakan kenikmatan duniawi dianggap sebagai penjara dibandingkan dengan kenikmatan yang menantiku di surga, jika Allah SWT memasukkanku ke dalam surga.”

Yahudi itu kembali bertanya, “Apakah benar demikian?”

Ibnu Hajar menjawab, “Ya.”

Lalu, Yahudi itu berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Wallahu a’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Doa Haji Mabrur Sesuai Sunnah Arab, Latin dan Artinya


Jakarta

Doa haji mabrur adalah perwujudan harapan jemaah haji setelah merampungkan rangkaian ibadah haji di Tanah Suci. Bacaan doanya dapat merujuk dalam salah satu riwayat hadits.

Haji termasuk dalam amalan rukun Islam kelima. Hukum menunaikan ibadah haji wajib bagi yang mampu sebagaimana termaktub dalam surah Ali Imran ayat 97,

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ


Artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Hal ini juga didukung dalam riwayat hadits yang menyebut kewajiban haji sekali seumur hidup bagi yang mampu. Berikut bunyi haditsnya,

خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – ” إِنَّ اَللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اَلْحَجَّ ” فَقَامَ اَلْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ فَقَالَ: أَفِي كَلِّ عَامٍ يَا رَسُولَ اَللَّهِ? قَالَ: ” لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ, اَلْحَجُّ مَرَّةٌ, فَمَا زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ ” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, غَيْرَ اَلتِّرْمِذِيِّ

Artinya: “Rasulullah SAW pernah berkhutbah di hadapan kami dan berkata, ‘Allah telah mewajibkan haji pada kalian.’ Lantas Al Aqro’ bin Habis, ia berkata, ‘Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?’ Beliau berkata, ‘Seandainya iya, maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji cuma wajib sekali. Siapa yang lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunnah’.”

Apa Itu Haji Mabrur?

Dilansir buku Tuntunan Super Lengkap Haji & Umrah karya Sholihin As Suhaili, asal kata mabrur adalah barra yang diartikan mendapat kebaikan atau menjadi baik. Sementara itu, menurut Ibnu Mandzur dalam Lisananul Arab, mabrur mengandung dua makna baik, suci, dan bersih atau dapat merujuk juga pada maqbul atau mendapat rida Allah SWT.

Dengan kata lain, haji mabrur adalah amalan haji yang dikerjakan seorang muslim dengan membawa pulang dampak baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Hal ini menjadi bukti bahwa hajinya telah diterima dan mendapat rida di sisi Allah SWT.

Kemabruran ini juga dapat diraih dengan mengamalkan seluruh syarat dalam ibadah dengan sempurna dan menjauhi segala yang dilarang Allah SWT.

Doa Haji Mabrur Lengkap Arab, Latin dan Artinya

Tidak ada salahnya bagi jemaah haji untuk memohon kepada Allah SWT agar meraih kemabruran haji. Dinukil dari buku Untaian Mutiara Doa karya Ali Manshur, berikut bacaan doa haji mabrur.

اللهُمَّ اجْعَلْهَا حَاجًا مَبْرُوْرًا وَ ذَنْبًا مَغْفُوْرًا

Allaahummaj-‘alhaa hajjan mabruuran wa dzanban maghfuuraan.

Artinya: “Ya Allah, jadikanlah ia (ibadah) sebagai ibadah haji yang mabrur dan dosa yang diampuni.”

Bacaan doa agar menjadi haji mabrur ini bersumber dari riwayat hadits Jarir, dari Laits, dari Muhammad bin Abdurrahman bin Yazid, dari ayahnya. Ia menceritakan saat dirinya bersama Abdullah lalu berhenti di Jumrah Aqabah, Abdullah pun meminta beberapa batu kepadanya hingga ia memberinya tujuh batu.

Lalu, Abdullah kembali meminta lagi padanya untuk diambilkan tali kekang unta.

Setelah itu, Abdullah kembali ke Jumrah Aqabah dan melemparnya dari perut lembah dengan tujuh batu kerikil sembari dia menunggangi untanya sambil bertakbir setiap kali melempar satu kerikil. Abdullah mengucapkan, ‘Ya Allah, jadikanlah ia (ibadah) sebagai ibadah haji yang mabrur dan dosa yang diampuni (doa haji mabrur).’ (HR Ahmad)

Tanda Haji Mabrur

Pada dasarnya, predikat haji mabrur adalah hak prerogatif dari Allah SWT. Namun, orang yang meraih haji mabrur dapat terlihat dari perubahan sikapnya.

Dilansir buku Fikih Kontemporer Haji dan Umrah karya Ahmad Kartono, perubahan sikap jemaah haji mabrur terlihat dari perubahan sikapnya yang lebih baik setiba jemaah tersebut sampai di rumah dibandingkan sebelum berangkat haji. Hal ini dituturkan oleh para ulama, salah satunya dalam kitab al-Qira Liqasidi Ummil Qira.

Tanda kemabruran haji seseorang juga dapat dilihat dari kepedulian sosial dan sifat kedermawanannya. Hal ini didasarkan dari salah satu riwayat Rasulullah SAW,

“Tidak ada balasan bagi haji yang mabrur selain surga.” Para sahabat bertanya, “Apa haji mabrur itu, wahai Rasulullah?”

Beliau pun menjawab, “Memberikan makan (sikap kedermawanan) dan menyebarkan kesejahteraan (kedamaian).” Adapun dalam riwayat lain, “Baik tutur katanya.”

Syarif Hidayatullah dalam buku 65 Kultum Kamtibmas menyimpulkan setidaknya ada tiga ciri dari muslim yang tergolong haji mabrur, yaitu:

  • Santun dalam berkata atau thayyibul kalam
  • Menebarkan kedamaian atau ifsya’us salam
  • Memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar atau ith’amut tha’am

Keutamaan Haji Mabrur

Haji mabrur disebut sebagai salah satu amalan yang utama. Dikutip dari Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq terjemahan Abu Aulia dan Abu Syauqina, sebuah hadits dari Abu Hurairah RA yang mengutip sabda Rasulullah SAW menjelaskan sebagai berikut.

Rasulullah SAW pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Yaitu beriman kepada Allah dan rasul-Nya.”

Beliau ditanya lagi, “Setelah itu apa?” Rasulullah SAW menjawab, “Berjihad di jalan Allah haji mabrur.” (HR Bukhari)

Ustaz A. Solihin As Suhaili dalam buku Tuntunan Super Lengkap Haji & Umrah menyebutkan dalam sebuah hadits, bagi mereka yang mendapat gelar haji mabrur maka mendapat ganjaran berupa surga. Hal ini dijelaskan dalam salah satu sabda Rasulullah SAW,

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Artinya: “Tidak ada balasan (yang layak) bagi jamaah haji mabrur selain surga.” (HR Bukhari)

(rah/lus)



Sumber : www.detik.com

Seperti Apa Aroma Surga? Begini Penjelasannya Menurut Hadits


Jakarta

Surga adalah tempat yang penuh kebahagiaan dan kedamaian abadi. Penghuni surga kekal di dalamnya dan terbebas dari segala penderitaan serta kesulitan.

Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa ayat 13,

تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدْخِلْهُ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ


Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, pasti Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang dialiri sungai-sungai, di mana mereka akan kekal di dalamnya. Itu adalah kemenangan yang besar.”

Selain itu, pada beberapa hadits turut diterangkan tentang aroma surga. Seperti apa aromanya?

Aroma Surga Seperti Wangi Kasturi

Menukil dari buku Megahnya Surga oleh Abdullah Syafi’ie, wangi surga diibaratkan seperti aroma kasturi. Ini sesuai dengan hadits dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Tanah surga berwarna putih, halamannya berupa batuan marmer. Ia dikelilingi kasturi seperti tuangan pasir. Di dalamnya terdapat sungai-sungai yang tersusun. Di sana penghuni surga dari tingkatan yang rendah dan tinggi bersua lalu saling berkenalan. Allah lalu menghembuskan angin rahmat, lalu tersebarlah wangi kasturi. Seorang laki-laki pulang menemui istrinya dalam keadaan yang semakin anggun dan wangi.”

Pada riwayat lainnya dikatakan wangi kasturi merupakan aroma debu dari surga. Nabi SAW bersabda,

“Ketika aku berjalan ke surga, aku melihat sungai yang di kedua tepinya terdapat gundukan mutiara. Aku bertanya kepada Jibril, ‘Apakah ini, wahai Jibril?’ Lalu, Jibril menjawab, ‘Ini adalah telaga Kautsar yang Allah berikan untukmu.’ Ternyata, debu surga adalah kasturi yang murni dan sangat wangi.” (HR Bukhari)

Dua Macam Aroma Surga

Sementara itu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam karyanya yang bertajuk Hadiul Arwah ila Biladil Afrah terjemahan Fadhli Bahri menjelaskan bahwa ada dua macam wangi surga. Aroma pertama yaitu bisa ditemui dan dihirup oleh selain arwah, sehingga manusia yang masih hidup tidak dapat mencium wangi ini.

Sementara itu, aroma surga kedua dapat dideteksi dengan panca indra khususnya penciuman seperti aroma bunga dan sebagainya. Aroma jenis kedua dapat dijangkau seluruh penghuni surga di akhirat, baik dari tempat jauh maupun dekat.

Aroma surga dapat dicium dari jarak perjalanan puluhan hingga ratusan tahun. Ada yang menyebut 40 tahun, 50 tahun, 500 tahun, dan 1000 tahun perjalanan.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Nabi SAW bersabda,

“Barangsiapa mengaku bernasab kepada selain ayahnya sendiri, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu benar-benar bisa tercium dari jarak perjalanan 50 tahun.” (HR Ahmad)

Wallahu a’lam

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Kebanyakan Penghuni Surga Adalah Orang Miskin?


Jakarta

Kemiskinan sering kali dipandang sebagai ujian berat dalam kehidupan. Namun, Rasulullah SAW memandangnya berbeda, beliau justru pernah berdoa agar dijadikan orang miskin.

Rasulullah SAW bersabda,

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Artinya: “Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin, dan matikan aku juga sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku pada hari Kiamat bersama-sama orang-orang miskin.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Meskipun orang miskin diuji dengan kekurangan harta, mereka justru mendapatkan keutamaan besar di akhirat. Bahkan, orang miskin disebut sebagai penghuni surga paling banyak. Lantas, benarkah kebanyakan penghuni surga adalah orang miskin? Inilah penjelasan selengkapnya.

3 Keutamaan Orang Miskin

Rasulullah SAW pernah memberitakan bahwa kaum miskin merupakan kaum yang dicintai oleh Allah SWT. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Reuni Ahli Surga yang ditulis oleh Ahmad Abi Al-Musabbih, suatu ketika terdapat kaum miskin mengutus utusannya untuk mendatangi Rasulullah SAW untuk mengadukan perkara, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan dari orang-orang miskin kepadamu.”

“Selamat datang engkau dan yang mengutusmu, engkau datang dari kaum yang dicintai Allah,” sambut Rasulullah SAW dengan hangat.

Kemudian sahabat itu melanjutkan keluhannya, “Wahai utusan Allah, para orang miskin mengeluhkan sesungguhnya golongan orang kaya telah memborong semua amal baik, mereka mampu berhaji sedang kami tidak. Mereka mampu bersedekah, sedang kami tidak. Jika sakit mereka mengirim uang dari tabungan mereka.”

Selanjutnya Rasulullah SAW pun bersabda, “Sampaikan pesanku kepada orang-orang miskin barang siapa yang bersabar karena mengharap pahala, maka ia akan mendapatkan tiga macam yang tidak didapatkan orang-orang kaya.

Pertama, sesungguhnya di surga ada ruangan dari yaqut merah yang para penghuni surga memandang kepadanya seperti memandang bintang. Ruangan tersebut tidak bisa dimasuki kecuali oleh Nabi yang miskin, orang syahid yang miskin, dan orang mukmin yang miskin.

Kedua, orang-orang miskin lebih dulu masuk surga daripada orang-orang kaya sekadar setengah hari yaitu kira-kira lima ratus tahun lamanya, mereka lebih dulu bersenang-senang dalam surga. Sebagaimana Nabi Sulaiman bin Daud AS yang masuk surga setelah para nabi yang lain, kira-kira 40 tahun setelahnya karena kerajaan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya di bumi.

Ketiga, jika orang miskin melafalkan, “Subhanallah wahamdulillah wala ilaaha illaallaha wallahu akbar” dengan hati ikhlas dan orang kaya juga membacanya seperti itu juga, maka orang kaya tidak bisa mengejar orang fakir meskipun ditambah dengan sedekah 10 ribu dirham. Begitu juga amal kebaikan yang lainnya.”

Benarkah Kebanyakan Penghuni Surga Adalah Orang Miskin?

Rasulullah SAW pernah melihat kebanyakan penghuni surga adalah orang miskin. Ibnu Katsir dalam kitab An Nihayah: fitan wa ahwal akhir az zaman terjemahan H. Anshori Umar Situnggal mengutip sebuah riwayat Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Usamah bin Zaid, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ وَقُمْتُ عَلَى بَاب النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ.

Artinya: “Aku pernah berdiri di pintu surga, dan ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin. Dan aku telah berdiri di pintu neraka, dan ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah kaum wanita.”

Dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ إِطَّلَعَ فِي النَّارِ فَرَأَى أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ وَاطَّلَعَ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَى أَكْثَرُ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءِ.

Artinya: “Rasulullah telah memeriksa keadaan neraka, dan ternyata beliau melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Dan beliau telah memeriksa pula keadaan surga, dan ternyata beliau melihat kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir.”

Disebutkan pula bahwa orang miskinlah yang pertama kali memasuki surga sebelum orang kaya. Jarak waktunya 500 tahun. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُ مائة عام.

Artinya: “Orang-orang fakir dari kaum muslimin masuk surga setengah hari, yaitu lima ratus tahun sebelum orang-orang kaya dari mereka.”

Riwayat-riwayat di atas menyatakan orang-orang miskin memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Allah SWT dan mereka adalah sebagian besar penghuni surga.

Meski demikian, mengutip buku Qirā’ah mubādalah yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir, para ulama memandang seseorang tidak hanya bisa masuk surga atau neraka karena faktor kemiskinan atau kekayaan semata, tetapi juga karena sifat dan kebiasaan yang dimilikinya.

Orang miskin cenderung memiliki sifat-sifat seperti mudah menerima, sabar, tenggang rasa, ramah, baik hati, dan rela berbagi harta untuk kebaikan orang lain. Amal perbuatan inilah yang dapat membawanya masuk surga.

Sebaliknya, kekayaan bukanlah satu-satunya faktor yang menjadikan seseorang penghuni neraka. Sifat-sifat buruk seperti serakah, sombong, dan menghalalkan segala cara justru dapat menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam neraka.

Namun, sifat-sifat ini bisa berlaku sebaliknya. Orang kaya yang bersabar, tenggang rasa, ramah, baik hati, dan mau berbagi harta untuk sesama juga dapat meraih surga. Begitu pula, orang miskin pun bisa terjerumus dalam neraka jika ia serakah, tamak, dan perilaku yang menghalalkan segala cara.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ada 4 Golongan Orang yang Dirindukan Surga, Ini Amalannya


Jakarta

Surga adalah tempat yang penuh keindahan dan kebahagiaan abadi, menjadi balasan bagi mereka yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Menurut sebuah hadits, surga merindukan empat golongan orang di dunia.

Empat golongan yang dirindukan surga ini adalah mereka yang memiliki amal dan keutamaan luar biasa. Siapakah empat orang yang dirindukan surga? Apa yang membuat mereka begitu mulia hingga dirindukan oleh tempat termulia ini? Berikut penjelasannya.

4 Golongan Orang yang Dirindukan Surga

Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA menyebutkan ada empat golongan yang dirindukan surga. Beliau SAW bersabda,


الْجَنَّةُ مُشْتَاقَةٌ اِلَى أَرْبَعَةِ نَفَرٍ : تَالِى الْقُرْانِ, وَحَافِظِ اللِّسَانِ, وَمُطْعِمِ الْجِيْعَانِ, وَصَا ئِمٍ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ

Artinya: “Surga merindukan empat golongan: orang yang membaca Al-Qur’an, menjaga lisan (ucapan), memberi makan orang lapar, dan puasa di bulan Ramadan.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadits tersebut juga terdapat dalam buku What Is Next? karangan Mukhammad Yusuf dengan redaksi berikut,

Rasulullah SAW bersabda, “Surga sangat rindu terhadap empat golongan, yaitu: Pembaca Al-Qur’an, pemelihara lisan dari ungkapan keji dan mungkar, pemberi makan orang yang lapar, serta mereka yang ahli puasa di bulan Ramadan.” (HR Abu Daud)

Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa empat orang yang dirindukan surga adalah pembaca Al-Qur’an, menjaga lisan, pemberi makanan dan orang yang berpuasa pada bulan Ramadan. Berikut penjelasannya.

1. Pembaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an tidak hanya membawa pahala besar, tetapi juga berbagai keutamaan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT di balik setiap huruf dan ayatnya. Dalam Al-Qur’an, tersimpan rahmat, petunjuk, dan hikmah dari Allah SWT untuk dijadikan pedoman kehidupan dunia dan akhirat.

Allah SWT berfirman dalam surah Fathir ayat 29-30,

اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتٰبَ اللّٰهِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَۙ ٢٩ لِيُوَفِّيَهُمْ اُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدَهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۗ اِنَّهٗ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ ٣٠

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur’an), menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan pernah rugi. (Demikian itu) agar Allah menyempurnakan pahala mereka dan menambah karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”

Keutamaan membaca Al-Qur’an tidak hanya berfokus pada aktivitas membaca semata. Rasulullah SAW menegaskan pentingnya mengajarkan dan mengamalkan isi kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pembaca Al-Qur’an termasuk empat orang yang dirindukan surga.

2. Menjaga Lisan

Menjaga lisan adalah salah satu karakter penting yang harus dimiliki setiap muslim. Dalam kehidupan sehari-hari, lisan memiliki pengaruh besar terhadap orang lain dan diri sendiri. Allah SWT minta hamba-Nya menjaga lisan, sebagaimana Dia berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 70,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ ٧٠

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”

Adapun dalam hadits dikatakan, satu kalimat buruk yang tidak dipikirkan dampaknya bisa menjerumuskan seseorang ke dalam neraka jahanam.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka jahanam.” (HR Al-Bukhari)

Peringatan ini menunjukkan bahwa lisan tidak hanya alat komunikasi, tetapi juga alat yang dapat menentukan nasib seseorang di akhirat. Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa seorang muslim yang tidak menjaga lisannya hingga mengganggu orang lain, belum sempurna keislamannya.

3. Pemberi Makanan

Memberi makanan kepada orang yang kelaparan adalah salah satu ciri akhlak mulia seorang muslim. Perbuatan ini tidak hanya mencerminkan kepedulian sosial, tetapi juga mendatangkan kemuliaan yang sebanding dengan keadaan mereka di akhirat kelak.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat satu kamar yang luarnya bisa dilihat dari dalamnya dan dalamnya bisa dilihat dari luarnya. Abu Malikal-Asy’ari berkata, ‘Bagi siapakah kamar ini wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW bersabda, “Untuk yang baik perkataannya, suka memberikan makanan, dan senantiasa bangun di malam hari pada saat manusia tertidur.” (HR Ath-Thabrani)

Allah SWT juga memberikan janji balasan kepada mereka yang telah memberikan makanan bagi yang kelaparan seperti orang miskin, kelaparan dan tawanan perang. Sebagaimana ditegaskan dalam surah Al-Insan ayat 8-12,

وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا ٨ اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا ٩ اِنَّا نَخَافُ مِنْ رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا ١٠ فَوَقٰىهُمُ اللّٰهُ شَرَّ ذٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقّٰىهُمْ نَضْرَةً وَّسُرُوْرًاۚ ١١ وَجَزٰىهُمْ بِمَا صَبَرُوْا جَنَّةً وَّحَرِيْرًاۙ ١٢

Artinya: “Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan. (Mereka berkata,) “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya demi rida Allah. Kami tidak mengharap balasan dan terima kasih darimu. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.” Maka, Allah melindungi mereka dari keburukan hari itu dan memberikan keceriaan dan kegembiraan kepada mereka. Dia memberikan balasan kepada mereka atas kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutra.”

Keutamaan ini menjadi bukti bahwa setiap tindakan memberi makanan yang dilakukan dengan niat tulus akan menjadi salah satu sebab seorang muslim dirindukan oleh surga.

4. Berpuasa pada Bulan Ramadan

Berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban yang harus dijalankan setiap muslim yang telah baligh. Bulan suci ini menyimpan kemuliaan yang begitu besar, sehingga menjadi salah satu momen yang dirindukan oleh umat Islam setiap tahunnya. Tidak hanya itu, menjaga puasa selama Ramadan dengan keikhlasan dan penuh keimanan menjadi salah satu sebab seorang Muslim dirindukan oleh surga.

Rasulullah SAW menyampaikan keutamaan puasa Ramadan dalam hadits, “Siapa saja yang melaksanakan qiyam Ramadan atas dasar keimanan dan semata-mata karena Allah, maka akan diampuni dosanya-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaih)

Empat golongan ini adalah teladan bagi umat Islam dalam menjaga hubungan dengan Allah SWT dan berbuat kebaikan kepada sesama. Mereka mengabdikan hidupnya untuk amal yang membawa kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Orang Miskin Masuk Surga Lebih Dulu dari Orang Kaya?


Jakarta

Setiap orang berkesempatan besar untuk masuk ke surga. Dengan rajin beribadah, beramal, dan melakukan kebaikan maka bisa meraih banyak pahala, sehingga memiliki bekal saat di akhirat kelak.

Namun, Allah SWT ternyata memberikan keutamaan bagi orang miskin atas orang kaya. Disebutkan dalam suatu hadits jika orang miskin akan masuk surga lebih dahulu daripada orang kaya.

Orang Miskin Masuk Surga Lebih Dulu dari Orang Kaya

Dalam catatan detikHikmah, hadits yang mengungkapkan hal tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah RA. Hadits ini dipaparkan Imam Ibnu Katsir dalam kitab An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim dan diterjemahkan oleh Ali Nurdin.


Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW bersabda,

“Orang-orang muslim yang fakir lebih dahulu masuk surga daripada orang-orang kaya dengan rentang waktu setengah hari, yaitu setara dengan lima ratus tahun kehidupan dunia.”

Penerjemah membahasakan orang miskin yang dikatakan Rasulullah SAW dalam hadits itu adalah orang-orang muslim yang fakir.

Rentang waktu masuknya orang miskin dan orang kaya ke surga dapat berbeda-beda. Ada suatu riwayat yang menyebut jarak keduanya selama 40 musim gugur.

Sebagaimana kata Abdullah bin Umar RA yang mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, orang-orang Muhajirin yang fakir mendahului orang-orang kaya pada hari kiamat, yaitu masuk ke surga, sejauh empat puluh musim gugur.” (HR Ahmad)

At Tirmidzi dan Ibnu Majah turut meriwayatkan hadits serupa dengan redaksi yang panjang. Hadits tersebut juga memiliki jalur dari Abu Hurairah RA dan At Tirmidzi mengatakannya sebagai hasan shahih.

Kenapa Orang Miskin bisa Masuk Surga Lebih Dahulu?

Mungkin detikers bertanya-tanya, kenapa orang miskin bisa masuk surga lebih dulu? Imam Ibnu Katsir memaparkan hadits yang berisi alasan orang miskin dapat masuk surga lebih dahulu daripada orang kaya.

Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad yang jalurnya sampai pada Ibnu Abbas RA. Ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Dua orang mukmin bertemu di pintu surga. Keduanya mukmin kaya dan mukmin fakir saat di dunia. Lantas mukmin fakir dimasukkan ke surga sementara mukmin kaya ditahan sesuai kehendak Allah lalu dimasukkan ke surga. Lantas orang fakir bertemu dengan orang kaya itu dan bertanya, ‘Wahai saudaraku, apa yang membuatmu tertahan? Demi Allah, engkau tertahan sehingga aku mengkhawatirkanmu’.

Orang kaya itu menjawab, ‘Wahai saudaraku, sesungguhnya aku tertahan setelahmu dengan penahanan yang mengerikan dan tidak disukai. Aku sampai kepadamu dengan kondisi bercucuran keringat sehingga jika ada seribu unta yang seluruhnya makan tumbuhan masam lalu minum keringat itu, niscaya unta-unta itu keluar dari keringat tersebut dalam keadaan kenyang’.”

Mengenai hadits ini, Syaikh Ahmad Syakir menilai isnad-nya mengandung persoalan (bermasalah).

Mayoritas Penghuni Surga Adalah Orang Fakir

Tak hanya didahulukan masuk ke dalam surga, mayoritas penghuni surga nantinya juga dihuni oleh orang miskin. Hal itu disebutkan dalam kitab Ash Shahihain dari hadits Abu Utsman an-Nahdi dari Usamah bin Zaid, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Aku berdiri di pintu surga. Ternyata, mayoritas orang yang memasukinya adalah orang-orang miskin. Selanjutnya, aku berdiri di pintu neraka. Ternyata, mayoritas orang yang memasukinya adalah perempuan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam Shahih Bukhari juga terdapat riwayat serupa dari jalur Maslamah bin Zarir, dari Abu Raja’, dari Imran bin Hushain. Abdurrazzaq turut meriwayatkan hadits itu dari Ma’mar, dari Qatadah, dari Abu Raja’, dari Imran bin Milhan, dari Imran bin Hushain, bahwa pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,

“Aku memandang ke surga, ternyata aku lihat mayoritas penghuninya orang-orang fakir. Aku memandang ke neraka, ternyata mayoritas penghuninya perempuan.” (HR Bukhari)

Demikian penjelasan mengenai mengapa orang miskin masuk surga lebih dulu daripada orang kaya. Wallahu A’lam Bishawab.

(ilf/fds)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Adam Berpisah dengan Hawa Selama Ratusan Tahun



Jakarta

Nabi Adam AS berpisah dengan Siti Hawa saat diturunkan ke bumi. Menurut sejumlah pendapat, keduanya berpisah selama ratusan tahun.

Sebelum diturunkan ke bumi, Nabi Adam dan Siti Hawa tinggal di surga. Menurut Ibnu Katsir dalam Qashash al-Anbiyaa, jumhur ulama berpendapat bahwa surga yang ditinggali oleh Nabi Adam AS adalah surga yang ada di langit, yaitu Surga Ma’wa atau surga keabadian.

Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman,


وَيٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ١٩

Artinya: “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di surga (ini). Lalu, makanlah apa saja yang kamu berdua sukai dan janganlah kamu berdua mendekati pohon yang satu ini sehingga kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al Baqarah: 35)

Ibnu Katsir menjelaskan, Alif lam pada kata “al-jannah” (surga) tidak menunjukkan untuk makna umum dan tidak juga dikenali secara lafadz, namun dikenali secara akal yakni Surga Ma’wa yang sering digunakan dalam syariat.

Imam Muslim juga meriwayatkan dalam Kitab Shahih-nya, dari Abu Malik Al-Asyja’i dari Abu Hazim Salamah bin Dinar, dan diriwayatkan pula dari Abu Hurairah dan Abu Malik, dari Rib’i, dari Hudzaifah, mereka berkata, Rasulullah bersabda,

“Hari itu Allah akan mengumpulkan seluruh manusia. Kemudian orang- orang yang beriman berdiri ketika surga sudah semakin menjauh dari mereka, lalu mereka datang kepada Nabi Adam dan berkata, “Wahai bapak kami, mintalah agar pintu surga dibukakan untuk kami” Lalu Nabi Adam berkata, “Apakah kalian dikeluarkan dari surga hanya karena kesalahan bapak kalian saja?” dan seterusnya hingga akhir hadits.

Namun, terdapat pula ulama lain yang mengatakan bahwa surga yang ditinggali oleh Nabi Adam AS ketika itu bukanlah surga keabadian.

Hal itu dikarenakan di sana Nabi Adam AS masih mendapat pelarangan, yaitu untuk tidak mendekati pohon terlarang. Nabi Adam AS juga tidur di sana dan dikeluarkan dari sana, bahkan iblis pun masuk ke dalamnya. Ini semua menunjukkan bahwa surga yang dimaksud bukanlah surga keabadian (Surga Ma’wa).

Penafsiran tersebut disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas, Wahab bin Munabbih, Sufyan bin Uyainah, dan diunggulkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya, Al-Ma’arif.

Lama Nabi Adam Berpisah dengan Hawa

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Abu Zur’ah, dari Utsman bin Abi Syaibah, dari Jarir, dari Atha, dari Said, dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Nabi Adam mendarat di suatu tempat yang disebut Dahna.” Tempat ini terletak di antara Kota Makkah dan Thaif.

Sedang riwayat dari Hasan menyebutkan, “Nabi Adam mendarat di wilayah India, lalu Hawa di Jeddah, dan iblis di Dastimaisan, beberapa mil dari Kota Basrah, sedangkan ular di Asfahan.” Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Hatim.

Adapun As-Suddi mengatakan, “Nabi Adam mendarat di wilayah India, ia diturunkan bersama Hajar Aswad dan segenggam daun dari surga, lalu daun itu ditebarkan di India hingga tumbuh pepohonan yang tercium aroma harum di sana

Dan riwayat dari Ibnu Umar menyebutkan, bahwa Nabi Adam mendarat di Bukit Shafa, sedang Hawa mendarat di Bukit Marwah Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

Nabi Adam AS dan Siti Hawa berpisah selama 200 tahun saat diturunkan ke bumi, sebagaimana dikatakan Abdul Mutaqin dalam buku Kain Ihram Anak Kampung. Akhirnya keduanya bertemu di Arafah, yang saat ini dijadikan tempat pertemuan umat Islam setiap tahun.

Pada saat wukuf, Arafah berarti pembebasan. Seperti dalam riwayat Imam Tirmidzi, “Tidak ada hari paling banyak Allah memerdekakan hamba-Nya dari neraka dari pada hari Arafah. Sesungguhnya Allah mendekati dan membanggakan mereka kepada para Malaikat seraya berkata, “Apa saja yang mereka inginkan akan Aku kabulkan.”

Ada pendapat lain yang menyebut, Nabi Adam AS berpisah dengan Siti Hawa selama 500 tahun, 300 tahun, bahkan ada yang mengatakan 40 tahun. Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Nabi Adam Menangis Ratusan Tahun usai Diturunkan dari Surga, Begini Kisahnya



Jakarta

Allah SWT menurunkan Nabi Adam AS ke bumi setelah sebelumnya tinggal di surga. Menurut sejumlah riwayat, ketika itu Nabi Adam AS menangis hingga ratusan tahun.

Kisah turunnya Nabi Adam AS ke bumi diceritakan dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 35-36. Allah SWT berfirman,

وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ٣٥ فَاَزَلَّهُمَا الشَّيْطٰنُ عَنْهَا فَاَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيْهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚ وَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ ٣٦


Artinya: “Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan janganlah kamu dekati pohon ini, sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!” Lalu, setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya dikeluarkan dari segala kenikmatan ketika keduanya ada di sana (surga). Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”

Menurut Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa, ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Adam AS dan Siti Hawa diturunkan langsung ke bumi dalam satu tahap. Al-Hafizh ibnu Asakir meriwayatkan dari Mujahid bahwa Allah SWT memerintahkan dua malaikat untuk mengeluarkan Nabi Adam dan Hawa dari sisi-Nya.

Pada saat itu, Jibril melepas mahkota dari kepala Nabi Adam AS, sementara Mikail melepas tanda kehormatan dari jidatnya. Selanjutnya, benda-benda berharga itu digantungkan pada sebatang dahan.

Menurut riwayat yang terdapat dalam Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali karya M. Abdul Mujieb dkk, Nabi Adam AS menangis selama 300 tahun ketika diturunkan dari surga. Riwayat ini berasal dari Hasan, ia berkata,

“Sesungguhnya Nabi Adam AS menangis ketika diturunkan dari surga selama tiga ratus tahun, hingga jurang Sarandib penuh dengan air matanya.”

Sufi besar dan ahli makrifat abad ke-7, Syaikh Abdul Aziz ad-Dirini, dalam Kitab Thaharatul Qulub turut menceritakan kisah menangisnya Nabi Adam AS selama 300 tahun. Ia menceritakan dari Wahab bin Munabbih.

Dikatakan, ketika turun ke bumi, Nabi Adam AS diam selama tujuh hari, menangis hingga air matanya kering, dan kepalanya menunduk. Lalu, Allah SWT bertanya, “Beban berat apa yang Aku lihat menimpa dirimu?”

Nabi Adam AS menjawab, “Wahai Tuhan, musibahku besar dan kesalahan mengelilingiku. Aku dikeluarkan dari malakut Tuhanku, hingga kini berada di negeri kehinaan, padahal sebelumnya berada di negeri kemuliaan. Aku berada di negeri kesengsaraan, padahal sebelumnya berada di negeri kebahagiaan. Aku berada di negeri keletihan, padahal sebelumnya berada di negeri kesenangan. Aku berada di negeri ujian, padahal sebelumnya berada di negeri kesehatan. Karenanya, bagaimana mungkin aku tidak menangisi kesalahanku?”

Lalu, Allah SWT mewahyukan, “Wahai Adam, bukankah Aku memilihmu untuk diri-Ku menghalalkan negeri-Ku, mengistimewakanmu dengan kemuliaan-Ku, serta memerintahkanmu untuk mewaspadai amarah-Ku? Bukankah Aku menciptakanmu dengan tangan-Ku, meniup roh-Ku ke dalam dirimu, memerintahkan para malaikat bersujud kepada-Mu, namun kamu malah bermaksiat kepada perintah-Ku, melupakan janji-Ku, dan perlahan mendekati amarah-Ku. Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, seandainya bumi penuh dengan para lelaki yang semuanya sepertimu, mereka beribadah kepada-Ku, bertasbih kepada-Ku, lalu bermaksiat kepada-Ku, maka Aku benar-benar akan menempatkan mereka di tempat orang-orang yang bermaksiat.”

Lalu, Nabi Adam AS menangis selama 300 tahun.

Sementara itu, dalam riwayat lain yang berasal dari Hasan, Nabi Adam AS menangisi surga selama 70 tahun karena menyesali kesalahannya dan menangis selama 40 tahun ketika anaknya terbunuh.

Sebagaimana Al-Auza’i menceritakan dari Hasan (Ibnu Athiyah) yang berkata, “Adam menempati surga selama seratus tahun.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Enam puluh tahun. Beliau menangisi surga selama tujuh puluh tahun. Menangis selama tujuh puluh tahun karena menyesali kesalahannya dan menangis selama empat puluh tahun ketika anaknya terbunuh.” (HR Ibnu Asakir)

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Tentang Buah Khuldi dan Kisah Manusia Pertama di Surga



Jakarta

Nabi Adam Alaihis Salam (AS) adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT dan tinggal di surga sejak saat itu. Bapak umat manusia ini lalu diturunkan ke bumi usai terkena tipu daya iblis agar mau makan buah khuldi.

Mahmud asy-Syafrowi menjelaskan dalam buku Bumi sebelum Manusia Tercipta, dalam Al-Qur’an maupun hadits tidak disebutkan nama eksplisit ‘buah khuldi’, tapi adanya ‘syajaratul khuldi’ yakni pohon khuldi. Hanya saja, kata Mahmud asy-Syafrowi, dalam adat kebiasaan manusia yang dimakan adalah buah, maka kemudian dipersepsikan sebagai buah khuldi.

Ada yang menafsirkan bahwa buah khuldi adalah buah dari pohon terlarang di surga dan setan menyebutnya sebagai pohon keabadian. Nama khuldi ini merupakan penafsiran para mufassir dari firman Allah SWT dalam surah Thaha ayat 120. Allah SWT berfirman,


فَوَسْوَسَ اِلَيْهِ الشَّيْطٰنُ قَالَ يٰٓاٰدَمُ هَلْ اَدُلُّكَ عَلٰى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلٰى

Artinya: “Maka, setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya. Ia berkata, “Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi (keabadian) dan kerajaan yang tidak akan binasa?”

Menurut sebuah riwayat, pohon buah khuldi ini adalah sejenis pohon yang besar. Abdurrahman bin Mahdi menceritakan dari Syu’bah, dari Abu adh-Dhahhak, dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya, di dalam surga terdapat sebatang pohon yang jika seorang pengendara melewati naungan pohon itu selama seratus tahun, niscaya ia tidak akan dapat melewatinya, (yaitu) pohon khuldi.” (HR Ahmad)

Hadits tersebut turut diriwayatkan ad-Darimi dalam Musnad-nya pada pembahasan tentang Pelembut Hati bab Pohon-pohon Surga.

Pohon khuldi tersebut menjadi petaka bagi Nabi Adam AS. Imam Ibnu Katsir menceritakan dalam Qashash al-Anbiyaa, Nabi Adam AS dan istrinya, Hawa, dikeluarkan dari surga yang penuh kenikmatan, kemewahan, dan kebahagiaan menuju ke bumi yang penuh kejenuhan, keletihan, dan kesengsaraan karena godaan iblis yang telah menjerumuskan mereka berdua.

Hal ini dikisahkan dalam firman Allah SWT,

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطٰنُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وٗرِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْءٰتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهٰىكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هٰذِهِ الشَّجَرَةِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَا مَلَكَيْنِ اَوْ تَكُوْنَا مِنَ الْخٰلِدِيْنَ ٢٠

Artinya: “Maka, setan membisikkan (pikiran jahat) kepada keduanya yang berakibat tampak pada keduanya sesuatu yang tertutup dari aurat keduanya. Ia (setan) berkata, “Tuhanmu tidak melarang kamu berdua untuk mendekati pohon ini, kecuali (karena Dia tidak senang) kamu berdua menjadi malaikat atau kamu berdua termasuk orang-orang yang kekal (dalam surga).” (QS Al A’raf: 20)

وَقَاسَمَهُمَآ اِنِّيْ لَكُمَا لَمِنَ النّٰصِحِيْنَۙ ٢١

Artinya: “Ia (setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya aku ini bagi kamu berdua benar-benar termasuk para pemberi nasihat.” (QS Al A’raf: 21)

فَدَلّٰىهُمَا بِغُرُوْرٍۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۗ وَنَادٰىهُمَا رَبُّهُمَآ اَلَمْ اَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَاَقُلْ لَّكُمَآ اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ٢٢

Artinya: “Ia (setan) menjerumuskan keduanya dengan tipu daya. Maka, ketika keduanya telah mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah pada keduanya auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (di) surga. Tuhan mereka menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”

Menurut tafsir Ibnu Katsir, maksud perkataan iblis dalam ayat tersebut adalah seandainya Nabi Adam AS dan Hawa memakan buah dari pohon yang ada di dalam surga tersebut, mereka akan menjadi malaikat atau akan hidup kekal di surga. Setan pun bersumpah tentang hal itu, meskipun kata-kata ini hanya tipu daya dan bertolak belakang dengan kenyataan sebenarnya.

Dalam Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI diceritakan, setan pun tak henti-hentinya membujuk Nabi Adam AS dan Hawa dengan berbagai tipu daya agar mau memakan buah pohon (khuldi) itu. Ketika mereka mencicipi dan tersingkaplah aurat keduanya.

“Ketika mereka mencicipi dan belum memakan buah pohon itu secara sempurna, tampaklah oleh mereka auratnya masing-masing dan tampak pula bagi masing-masing aurat pasangannya. Hal ini membuat keduanya merasa malu, aurat yang senantiasa tertutup kini tersingkap. Maka mulailah mereka menutupinya, yakni menutupi auratnya, dengan daun-daun surga,” terang tafsir tersebut.

Ada juga yang menafsirkan bahwa buah khuldi ini bukan buah dalam makna yang sebenarnya, melainkan sebuah kiasan.

Akibat mendekati perkara yang dilarang Allah SWT itu, Nabi Adam AS dan Hawa diturunkan dari surga ke bumi. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pada dasarnya Nabi Adam AS diturunkan dari surga bukan karena melakukan sebuah kesalahan, melainkan karena sudah menjadi ketetapan Allah SWT. Hal ini bersandar pada sebuah hadits tentang percakapan antara Nabi Adam AS dan Nabi Musa AS.

Dari Abu Hurairah RA ia menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Musa AS pernah mendebat Adam AS. Musa berkata kepada Adam, ‘Engkau telah mengeluarkan manusia dari surga hingga membuat mereka sengsara karena kesalahanmu.’ Adam menjawab, ‘Wahai Musa, engkau telah dipilih Allah dengan risalah dan kalam-Nya. Apakah engkau mencela diriku atas suatu hal yang telah ditulis Allah sebelum Dia menciptakan aku atau yang telah ditakdirkan Allah terhadap diriku sebelum Dia menciptakan aku?'” Rasulullah SAW bersabda, “Maka Adam dapat membantah argumentasi Musa.” (HR Bukhari)

Wallahu a’lam.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com