Tag Archives: Syafii

Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah, Jangan Sampai Terlewat Ya!



Jakarta

Zakat fitrah merupakan zakat yang wajib dilakukan oleh setiap muslim sebanyak satu tahun sekali. Dalam pelaksanaannya, ada waktu mengeluarkan zakat fitrah yang dianjurkan.

Mengutip Fikih Madrasah Tsanawiyah oleh Zainal Muttaqin dan Amir Abyan, pelaksanaannya sesuai dengan waktu membayar zakat fitrah yakni, sejak awal bulan Ramadan hingga Hari Raya Idul Fitri sebelum pelaksanaan salat Id. Hal ini disandarkan pada riwayat hadits yang berbunyi,

زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ


Artinya: “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dan untuk memberi makan orang miskin. Siapa yang membagikan zakat fitrah sebelum salat Id maka zakatnya itu diterima dan siapa yang membagikan zakat fitrah setelah salat Id maka itu termasuk sedekah biasa.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Sejatinya, waktu yang diutamakan untuk menunaikan zakat fitrah yaitu, setelah salat subuh pada 1 Syawal sebelum salat Idul Fitri. Sementara waktu yang diwajibkan menunaikan zakat fitrah yakni semenjak terbenam matahari malam Idul Fitri.

Hal ini dikuatkan dalam penjelasan dari buku Fikih Sunnah Jilid 2 karya Sayyid Sabiq bahwa para ulama fikih sepakat bahwa zakat fitrah diwajibkan pada akhir bulan Ramadan. Namun, terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara mereka mengenai batasan waktu wajib itu.

Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah Menurut Mazhab

Mengutip laman Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Yogyakarta, menurut jumhur ulama selain Hanafiyah, waktu utama mengeluarkan zakat fitrah yakni saat menyaksikan matahari terbenam di hari terakhir Ramadan. Sedangkan menurut Hanafiyah, zakat fitrah ini wajib dikeluarkan ketika menyaksikan terbitnya fajar pada tanggal 1 Syawal.

Untuk waktu mulai dan akhir pembayaran zakat fitrah, para ulama mazhab juga berbeda pendapat.

1. Hanafi

Tidak ada batas awal dan batas akhir. Boleh dibayarkan sebelum hari raya (1 Syawal), bahkan sebelum masuk Ramadan. Namun, muslim tetap harus membayar zakat fitrah ini meski terlambat sampai lewat tanggal 1 Syawal.

2. Maliki

Sejak dua hari sebelum hari raya sampai paling lambat waktu terbenamnya matahari pada 1 Syawal.

Namun, jika sampai lewat batas akhir belum mengeluarkan zakatnya, ia tetap berkewajiban membayarnya. Dengan catatan, jika ia mampu (karena telah memenuhi syarat wajib) tapi mengakhirkannya sampai lewat hari raya, maka ia berdosa.

3. Syafi’i

Sejak hari pertama Ramadan sampai tenggelamnya matahari 1 Syawal. Namun utamanya adalah sebelum salat Id.

Lebih dari itu, jika memang ia mampu dan tidak ada uzur maka ia berdosa dan tetap harus membayar.

4. Hambali

Awal pembayaran zakat fitrah sama dengan mazhab Maliki, yaitu dua hari sebelum hari Id. Sedangkan waktu terakhirnya sama dengan pendapat Syafi’i, yaitu hingga terbenamnya matahari 1 Syawal.

Sementara, menurut Tsauri, Ahmad, Ishaq, Syafi’i dalam pendapatnya versi baru (Qaulul Jadid) serta menurut satu riwayat dari Malik, bahwa waktu wajib untuk mengeluarkan zakat dimulai ketika terbenamnya matahari pada malam hari raya. Sebab, waktu tersebut merupakan waktu berakhirnya puasa Ramadan.

Namun, menurut Abu Hanifah, Laits, Syafi’i dalam versi lama pendapat serta menurut satu riwayat dari Malik, bahwa waktu mengeluarkan zakat fitrah wajibnya adalah ketika terlihatnya terbit fajar pada hari raya.

Perbedaan pendapat ini berpengaruh terkait bayi yang dilahirkan sebelum terbit fajar pada hari raya dan bayi yang dilahirkan sesudah terbenamnya matahari, apakah dia juga diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah atau tidak.

Menurut pendapat pertama, hal ini tidak diwajibkan, karena bayi dilahirkan setelah waktu yang diwajibkan. Sedangkan menurut pendapat kedua, diwajibkan mengeluarkan zakat karena dia lahir sebelum waktu diwajibkan.

Dikutip melalui buku Kumpulan Tanya Jawab Keagamaan karya Piss KTB yang mengumpulkan berbagai dalil menyebutkan bahwa kesimpulan waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah itu ada lima, antara lain:

1. Waktu jawaz (awal bulan Ramadan)

2. Waktu wajib (terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadan, bukan ketika masuk di hari lebaran)

3. Waktu fadilah/ utama/ afdol (mengeluarkan sebelum berangkat melaksanakan salat Id)

4. Waktu makruh (mengeluarkan fitrah setelah melaksanakan salat Id)

5. Waktu hurmah/ haram (mengeluarkan zakat fitrah setelah hari lebaran)

Mengenai hal ini, ada hadits yang pernah menjelaskan tentang waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah. Berikut bunyi haditsnya.

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ أَبُو عَمْرٍو الْحَذَّاءُ الْمَدَنِيُّ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ الصَّائِغُ عَنْ ابْنِ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ وَهُوَ الَّذِي يَسْتَحِبُّهُ أَهْلُ الْعِلْمِ أَنْ يُخْرِجَ الرَّجُلُ صَدَقَةَ الْفِطْرِ قَبْلَ الْغُدُوِّ إِلَى الصَّلَاةِ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami (Muslim bin Amru bin Muslim Abu Amru Al Khaddza’ Al Madani), yang telah menceritakan kepadaku (Abdullah bin Nafi’ As Sha`igh) dari (Ibnu Abu Zannad) dari (Musa bin Uqbah) dari (Nafi’) dari (Ibnu Umar) bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membayar zakat fitrah sebelum berangkat (ke tempat salat) pada hari raya Idul fitri. Abu ‘Isa berkata, ini merupakan hadits hasan shahih gharib, atas dasar ini para ulama lebih menganjurkan untuk membayar zakat fitrah sebelum berangkat salat.” (HR Tirmidzi)

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Apakah Mengangkat Tangan saat Berdoa Hukumnya Wajib?


Jakarta

Mengangkat tangan saat berdoa adalah salah satu kebiasaan yang sering kita lakukan ketika memohon kepada Allah SWT. Namun, pertanyaan muncul di benak banyak orang: Apakah mengangkat tangan saat berdoa ini termasuk kewajiban atau hanya sebatas anjuran dalam agama?

Bagi sebagian umat Islam, gestur ini dianggap memperkuat doa dan memperlihatkan kesungguhan hati, tapi ada juga yang meragukan keharusan praktik ini.

Dalam artikel ini, kita akan membahas pandangan ulama dan dalil yang berkaitan dengan mengangkat tangan saat berdoa. Yuk, simak lebih lanjut untuk mengetahui apakah benar mengangkat tangan saat berdoa itu wajib atau tidak.


Dalil tentang Mengangkat Tangan ketika Berdoa

Mengangkat tangan saat berdoa bukanlah sekadar kebiasaan, melainkan memiliki landasan dari ajaran Islam yang diperkuat oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits.

Berikut ini adalah beberapa dalil yang membahas tentang mengangkat tangan saat berdoa menurut ajaran Islam.

1. Rasulullah SAW Mengangkat Tangannya lalu Berdoa

Dalam jilid kedua kitab Riyadus Shalihin karya H. Salim Bahrejsi, terdapat beberapa hadits yang menguraikan kebiasaan Rasulullah SAW saat berdoa, termasuk mengangkat tangan.

Sa’ad bin Abi Waqqash RA mengisahkan, “Kami bersama Rasulullah SAW keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah SAW turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdoa sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdoa, kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata:

“Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya diizinkan memberikan syafa’at (bantuan) bagi umat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala berdoa minta untuk umatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku.” (HR.Abu Dawud).

Hadits ini menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW menunjukkan rasa syukur dan kesungguhan dengan mengangkat tangan dalam doanya tiga kali, mempertegas bahwa tindakan ini memiliki dasar dari praktik Rasulullah SAW dan merupakan sunnah beliau.

2. Mengangkat Tangan Sejajar dengan Bahu

Dalam Kitab Fiqih Sunnah karya Sayid Sabiq jilid 4, disebutkan hadits dari riwayat Abu Daud melalui Ibnu Abbas RA. Hadits tersebut menjelaskan tata cara mengangkat tangan saat berdoa.

“Jika kamu meminta (berdoa kepada Allah SWT) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istighfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdoa dengan melepas semua jari-jemari tangan”.

Hadits ini memberikan panduan tentang tinggi angkatan tangan yang dianjurkan saat berdoa. Ketika mengangkat tangan dalam doa selain istighfar, sunnahnya adalah dengan membuka telapak tangan sepenuhnya, sementara saat memohon ampunan, disarankan hanya dengan satu jari sebagai isyarat.

3. Mengangkat Tangan dengan Bagian Telapak Tangan yang Terbuka

Dalam sebuah riwayat dari Malik bin Yasar, Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu meminta(berdoa kepada Allah), maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya.”

Di hadits lain yang diriwayatkan oleh Saman, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdoa) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Allah SWT sangat menghargai doa yang dilakukan dengan tangan terangkat dan telapak terbuka. Dengan demikian, doa yang disampaikan dengan cara ini diharapkan lebih dekat untuk dikabulkan olehNya.

4. Rasulullah SAW Mengangkat Tangan Hingga Terlihat Ketiaknya

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, disebutkan bahwa Anas pernah menyaksikan Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya saat berdoa hingga tampak warna keputih-putihan di ketiaknya.

“Aku pernah melihat Rasulullah SAW mengangkat dua tangan ke atas saat berdoa sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Rasulullah SAW Mengangkat Tangan saat Berdoa setelah Sholat Istisqa’

Dalam buku Fiqih Kontroversi Jilid 1: Beribadah antara Sunnah dan Bid’ah karya H. M. Anshary, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas.

Diceritakan bahwa seorang penduduk desa mendatangi Rasulullah SAW untuk mengeluhkan kesulitan yang dialami masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan, yang membuat banyak hewan mati dan mempengaruhi kehidupan orang-orang.

Rasulullah SAW pun mengangkat tangan saat berdoa, dan seluruh orang yang hadir mengikuti beliau, memohon kepada Allah SWT agar segera menurunkan hujan. Menurut Anas, tidak lama setelah itu, Allah SWT mengabulkan doa mereka dengan turunnya hujan yang sangat dinanti-nantikan.

Hukum Mengangkat Tangan saat Berdoa

Dalam ajaran Islam, Al-Qur’an memang tidak menyebutkan perintah langsung terkait kewajiban mengangkat tangan saat berdoa. Namun, sepanjang hidupnya, Rasulullah SAW kerap kali mengangkat tangan saat memanjatkan doa kepada Allah SWT seperti yang sudah dijelaskan melalui beberapa hadits sebelumnya.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bukan keharusan atau syariat yang harus diikuti, mengangkat tangan saat berdoa bukan pula hal yang dilarang dalam Islam.

Lebih jauh lagi, sejumlah ulama dari berbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan lainnya, menjelaskan bahwa mengangkat tangan saat berdoa adalah bagian dari adab atau tata krama dalam berdoa.

Dengan demikian, walaupun bukan kewajiban, mengangkat tangan saat berdoa dianggap sebagai salah satu bentuk tata cara yang menghormati keagungan Allah SWT.

Posisi Mengangkat Tangan saat Berdoa

Asy-Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid hafizhahullah dalam buku Fiqih Do’a dan Dzikir Jilid 1 karangan Syaikh Abdurrazaq Bin Abdul Muhsin Al-Badr, memberikan catatan penting terkait hadits-hadits yang menjelaskan tentang berbagai posisi Rasulullah SAW dalam melaksanakan ibadah.

Berikut adalah penjelasan mengenai berbagai posisi mengangkat tangan saat berdoa.

1. Posisi Pertama dalam Berdoa

Posisi ini umumnya disebut permohonan, dilakukan dengan mengangkat kedua tangan hingga setinggi bahu sambil merapatkan tangan dan menghadapkannya ke arah langit, sedangkan bagian belakang tangan menghadap tanah. Jika diinginkan, seseorang dapat menutupkan tangan ke wajah, sementara punggung kedua tangan mengarah ke arah kiblat.

2. Posisi Kedua dalam Berdoa

Posisi ini adalah ketika seseorang memohon ampunan dengan penuh ketulusan dan keihklasan. Caranya dilakukan dengan mengangkat satu jari, yaitu jari telunjuk kanan. Posisi ini biasanya diterapkan dalam berbagai momen dzikir dan doa.

3. Posisi Ketiga dalam Berdoa

Posisi ini adalah ibtihal yang berarti merendahkan diri dalam permohonan yang sungguh-sungguh, dan sering disebut sebagai doa ar-rahb (penuh kecemasan).

Dalam posisi ini, kedua tangan diangkat tinggi-tinggi hingga terlihat bagian putih ketiak. Posisi ini biasanya diterapkan ketika seseorang berada dalam kondisi sulit atau penuh ketakutan atau kondisi-kondisi lain yang menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran yang mendalam.

Tata Cara Mengangkat Tangan saat Berdoa

Berikut adalah panduan lengkap mengenai tata cara mengangkat tangan saat berdoa yang dapat memperdalam pemahaman dan amalan kita yang dirangkum dari buku Koreksi Doa dan Zikir antara yang Sunnah dan Bid’ah yang disusun oleh Bakr bin Abdullah Abu Zaid.

  1. Saat mengangkat kedua tangan dalam berdoa, baik dilakukan secara bersamaan maupun terpisah. Posisi tangan biasanya berada sejajar dengan atau sedikit di bawah pusar.
  2. Ketika kedua tangan diangkat secara terpisah, ujung jari menghadap arah kiblat, sedangkan ibu jari diarahkan ke langit.
  3. Menggerakkan atau mengubah posisi tangan ke beberapa arah selama berdoa juga diperbolehkan.
  4. Gerakan tangan dapat disertai dengan sedikit goyangan.
  5. Usai mengangkat tangan, kedua tangan bisa disapukan pada wajah, terutama pada momen tertentu seperti saat qunut atau setelah doa dalam salat.
  6. Setelah doa selesai, atau setelah bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, disarankan untuk mengusapkan tangan ke bagian tubuh lainnya secara lembut sebagai bentuk syukur, terlebih setelah mengucapkan “as-Shalatu ala an-Nabiyyi.”
  7. Menyentuh bagian perut telapak tangan masing-masing atau menekan tangan satu dengan lainnya usai berdoa.

Demikianlah penjelasan mengenai hukum mengangkat tangan saat berdoa. Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa gestur tersebut tidak wajib, melainkan merupakan bagian dari adab berdoa yang dapat dilakukan sebagai bentuk kesungguhan dalam memohon kepada Allah SWT.

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Bacaan Doa Iftitah Muhammadiyah: Arab, Latin dan Artinya


Jakarta

Membaca doa iftitah termasuk sunnah dalam sholat, menurut mayoritas ulama mazhab. Bacaan doa iftitah bervariasi.

Doa iftitah dibaca setelah takbiratul ihram tepatnya sebelum membaca surah Al-Fatihah. Dikutip dari buku Ritual Sholat Rasulullah SAW Menurut 4 Mazhab tulisan Isnan Ansory, doa ini juga dikenal dengan nama doa istiftah, doa tsana, atau doa tawajuh.

Para ulama sepakat bahwa membaca bacaan iftitah bukanlah rukun sholat, artinya sholat tetap sah walaupun tanpa membacanya. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai kesunahannya.


Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali memandang membaca bacaan iftitah dalam sholat adalah sunnah. Ini berarti meskipun tidak wajib, membaca iftitah dianjurkan untuk menambah kesempurnaan sholat.

Sementara itu, mazhab Maliki berpendapat membaca bacaan iftitah tidak disunnahkan, bahkan mereka menganggapnya makruh atau bid’ah. Alasan di balik pandangan ini adalah kekhawatiran bahwa menambahkan bacaan di luar yang diwajibkan dalam sholat dapat dianggap sebagai kewajiban, sehingga menambah unsur yang bukan bagian asli dari sholat.

Ada banyak bacaan doa iftitah sebagaimana terdapat dalam hadits. Umat Islam Indonesia khususnya warga Muhammadiyah biasa membaca doa iftitah yang bersumber dari hadits Abu Hurairah RA.

Bacaan Iftitah Muhammadiyah Arab, Latin dan Artinya

Berikut bacaan iftitah Muhammadiyah dilansir dari situs resmi Suara Muhammadiyah.

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا ، كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ ، وَالثَّلْجِ ، وَالبَرَدِ

Arab latin: Allahumma baaid baynii wa bayna khotoyaaya kamaa baa’adta baynal masyriqi wal maghrib. Allahumma naqqinii min khotoyaaya kamaa yunaqqots tsaubul abyadhu minad danas. Allahummagh-silnii min khotoyaaya bil maa-iwats tsalji wal barod.

Artinya: “Wahai Allah jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana engkau jauhkan antara timur dan barat, ya Allah bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana bersihnya baju putih dari kotoran, ya Allah basuhlah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan air dingin.”

Bacaan Iftitah Versi Lain

Selain bacaan tersebut, berikut sejumlah bacaan iftitah yang pernah digunakan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW.

1. Bacaan Iftitah dari Hadits Ali bin Abi Thalib RA

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ.

اللهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي، وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ بَ إِلَّا إِلَّا أَنْتَ، أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Arab latin: Wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas-samaawaati wal-ardha haniifan, wa maa ana minal-musyrikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil-‘aalamiin, laa syariika lahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal-muslimiin.

Allahumma anta al-malik, laa ilaaha illa anta, anta rabbii wa ana ‘abduka, dhalamtu nafsii, wa’taraftu bidzanbii faghfirlii dzunuubii jamii’an, innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta. Wahdinii li-ahsanal-akhlāqi laa yahdii li-ahsanihaa illaa anta, wasrif ‘annii sayyi’ahaa laa yashrifu ‘annii sayyi’ahaa illaa anta.
Labbayka wa sa’dayka wal-khayru kulluhu biyadayka wasy-syarru laisa ilayka, ana bika wa ilayka, tabaarakta wa ta’aalayta, astaghfiruka wa atuubu ilayka.

Artinya: “Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan Yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus dan berserah diri sedangkan aku bukan bagian dari orang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku termasuk bagian dari orang-orang muslim.

Artinya: Ya Allah, Engkau adalah Raja, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau. Engkaulah Rabbku dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah menzalimi diriku, dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah dosa-dosaku seluruhnya, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Tunjukilah aku kepada akhlak yang terbaik, tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Dan palingkan/ jauhkanlah aku dari kejelekan akhlak dan tidak ada yang dapat menjauhkanku dari kejelekan akhlak kecuali Engkau. Labbaika (aku terus-menerus menegakkan ketaatan kepada-Mu) dan sa’daik (terus bersiap menerima perintah-Mu dan terus mengikuti agama-Mu yang Engkau ridhai). Kebaikan itu seluruhnya berada pada kedua tangan- Mu, dan kejelekan itu tidak disandarkan kepada-Mu. Aku berlindung, bersandar kepada-Mu dan Aku memohon taufik pada-Mu. Mahasuci Engkau lagi Mahatinggi. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

2. Bacaan Iftitah dari Hadits Umar bin Khattab RA 1

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، تَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهُ غَيْرُكَ.

Arab latin: Subhaanaka allaahumma wa bihamdika, tabaarakasmuka, wa ta’aalaa jadduka, wa laa ilaaha ghayruka.

Artinya: “Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.”

3. Bacaan Iftitah dari Hadits Umar bin Khattab RA 2

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا.

Arab latin: Allaahu akbaru kabiiraa, walhamdu lillaahi katsiiraa, wa subhaanallaahi bukratan wa ashiilaa.

Artinya: “Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan petang.”

4. Bacaan Iftitah dari Hadits Ja’far bin Abdillah

إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ.

Arab latin: Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil-‘aalamiin, laa syariika lahu, wa bidzaalika umirtu wa ana minal-muslimiin.

Allahumma ihdinii li-ahsanil-a’maali wa ahsanil-akhlaaqi, laa yahdii li-ahsanihaa illaa anta, waqinii sayyi’al-a’maali wa sayyi’al-akhlaaqi, laa yaqiinii sayyi’ahaa illaa anta.

Artinya: “Sesungguhnya sholatku, ibadah sembelihanku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.

Ya Allah, tunjukilah aku kepada amalan yang terbaik dan akhlak yang terbaik, tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada amalan dan akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Jagalah aku dari amal yang buruk dan akhlak yang jelek, tidak ada yang dapat menjaga dari amal dan akhlak yang buruk kecuali Engkau.”

5. Bacaan Iftitah dari Hadits Anas bin Malik RA

الْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Arab latin: Alhamdulillaahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih.

Artinya: “Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, yang baik, lagi diberkahi di dalamnya.”

6. Bacaan Iftitah dari Hadits Ibnu Abbas RA

اللهمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ فَيَّامُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ. أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ

. اللهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَأَخَرْتُ، وَأَسْرَرْتُ وَأَعْلَنْتُ، أَنْتَ إِلهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ.

Arab latin: Allahumma lakal-hamdu anta nuurus-samaawaati wal-ardhi wa lakal-hamdu anta qayyimus-samaawaati wal-ardhi wa lakal-hamdu anta rabbus-samaawaati wal-ardhi wa man fiihinna. Antal-haqqu, wa wa’duka al-haqqu, wa qawluka al-haqqu, wa liqaa’uka haqqun, wal-jannatu haqqun, wan-naaru haqqun, was-saa’atu haqqun.

Allahumma laka aslamtu, wa bika aamantu, wa ‘alayka tawakkaltu, wa ilayka anabtu, wa bika khaasumtu, wa ilayka haakamtu, faghfir lii maa qaddamtu wa maa akhkhartu wa maa asrartu wa maa a’lantu, anta ilaahii laa ilaaha illaa anta.

Artinya: “Ya Allah, hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau adalah pemberi cahaya langit-langit dan bumi. Hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau-lah pemelihara langit-langit dan bumi. Hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau-lah yang terus menerus mengurusi langit-langit dan bumi beserta makhluk yang ada di dalamnya. Engkau adalah al-Haq (Dzat yang pasti wujudnya), janji-Mu benar, ucapan-Mu benar, perjumpaan dengan-Mu benar, surga itu benar adanya, neraka itu benar adanya, dan hari kebangkitan itu benar (akan terjadi).

Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku kembali, dan demi-Mu aku berdebat (terhadap para pengingkarmu), hanya kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah dosa-dosa yang telah kuperbuat dan yang belakangan kuperbuat, ampunilah apa yang aku rahasiakan dan apa yang kutampakkan. Engkaulah Tuhanku, tiada tuhan selain Engkau.”

Cara Membaca Doa Iftitah

Bacaan iftitah dalam sholat dibaca di awal sebagai bagian dari permulaan ibadah. Untuk memberikan penjelasan yang lebih mendetail, berikut ini langkah-langkah awal dalam tata cara sholat berdasarkan panduan dari buku Risalah Tuntunan Sholat Lengkap karya Moh. Rifai:

1. Berdiri tegak menghadap kiblat dengan posisi yang benar.

2. Angkat kedua tangan sambil mengucapkan takbir.

3. Lanjutkan dengan membaca bacaan iftitah.

4. Setelah itu, baca surah Al-Fatihah dan teruskan dengan rukun-rukun sholat selanjutnya seperti biasa.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Itikaf bagi Wanita Menurut Mazhab Syafi’i, Bolehkah?



Jakarta

Itikaf adalah amalan di bulan Ramadan yang biasanya dilakukan di masjid. Bagaimana hukum itikaf bagi wanita?

Menurut bahasa, itikaf memiliki arti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Orang yang beritikaf disebut mu’takif.

Anjuran Itikaf

Merujuk dari Kitab Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ karya Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, dianjurkan bagi kaum wanita sebagaimana kaum laki-laki untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.


Hal ini bertujuan untuk memperoleh kebaikan dan mendapatkan malam lailatul qadar. Karena itulah, seorang suami dianjurkan untuk membangunkan istrinya pada malam-malam tersebut untuk melaksanakan salat malam.

Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau akan beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aisyah RA lalu meminta izin kepada beliau untuk beritikaf dan beliau pun mengizinkannya.

Aisyah juga berkata, “Nabi SAW melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau beritikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hukum Itikaf bagi Wanita

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah mengatakan, menurut mazhab Syafi’i hukum itikaf adalah sunnah muakkad, baik di bulan Ramadan mapun di bulan lainnya, dan sunnah muakkadnya lebih ditekankan lagi pada sepuluh hari yang akhir.

Adapun, hukum itikaf bisa menjadi wakib ketika hal itu dinazarkan oleh seseorang. Maka, wajib baginya melakukan itikaf.

Namun, apabila tidak dinazarkan, semua ulama sepakat bahwa itikaf hukumnya mutlak disunnahkan. Hukum tersebut berlaku bagi laki-laki dan wanita.

Menurut mazhab Syafi’i apabila seorang wanita melakukan itikaf tanpa seizin dari suaminya, maka itikaf itu tetap sah meskipun dia dianggap telah melakukan perbuatan dosa. Dimakruhkan pula bagi wanita yang berparas cantik untuk melakukan itikaf meskipun dia diberikan izin oleh suaminya.

Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan hukum itikaf bagi seorang wanita:

1. Seorang wanita tidak boleh beritikaf kecuali dengan izin dari suaminya

Wanita hanya boleh keluar rumah dengan izin suaminya. Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa Aisyah RA dan begitu pula Hafshah RA meminta izin dari Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf.

2. Apabila seorang suami telah mengizinkan istrinya untuk beritikaf maka:

  • Jika itikafnya adalah itikaf sunnah, maka ia boleh mengeluarkan istrinya dari itikafnya itu. Ketika Aisyah RA meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf dan kemudian Zainab, beliau khawatir jika itikaf mereka itu tidak lagi didasari dengan keikhlasan, namun hanya karena ingin dekat dengan beliau, yang didorong oleh rasa cemburu mereka terhadap beliau, maka beliau mengeluarkan mereka dari itikaf mereka dan berkata, “… Apakah mereka benar-benar mengharapkan kebaikan? Aku tidak akan beritikaf….”
  • Dan apabila itikafnya adalah itikaf wajib (seperti untuk memenuhi nazar misalnya, maka nazarnya itu tidak terlepas dari dua macam: pertama ia bernazar untuk beritikaf secara berturut-turut (ia bernazar untuk beritikaf pada sepuluh hari terakhir), dan suaminya telah mengizinkannya, maka sang suami tidak boleh mengeluarkannya dari itikafnya itu. Namun, jika ia tidak menyebutkan di dalam nazarnya untuk beritikaf secara berturut-turut, maka suaminya boleh mengeluarkannya, dan di kemudian hari ia dapat menyempurnakan nazarnya tersebut.

Syarat Itikaf

Masih di dalam buku yang sama, berikut syarat itikaf:

  • Beragama Islam.
  • Mumayiz, bisa membedakan antara yang benar dan salah.
  • Melaksanakannya di dalam masjid.

Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, niat merupakan salah satu rukun utkaf, bukan hanya sekadar syarat, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Adapun menurut mazhab Syafi’i tidak disyaratkan pula dalam berniat untuk dilakukan ketika sudah berdiam diri di dalam masjid.

Oleh karena itu, jika seseorang berniat untuk itikaf dalam keadaan datang dan pergi (bolak-balik) di masjid tersebut, maka niat itikafnya juga dianggap sah, bahkan orang yang hanya sekedar melewati masjid saja lalu meniatkan diri untuk beritikaf, maka niat dan itikafnya itu dianggap sah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com