Tag Archives: syekh muhammad

Catat! Ini Golongan yang Tidak Berhak Menerima Zakat Fitrah



Jakarta

Menunaikan zakat fitrah merupakan kewajiban yang dikerjakan oleh setiap umat Islam. Biasanya, waktu pembayaran zakat fitrah ini di penghujung Ramadan.

Perintah membayar zakat termaktub dalam ayat Al-Qur’an, salah satunya pada Al Baqarah ayat 110 yang berbunyi:

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ ۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ


Artinya: “Dirikanlah salat serta tunaikanlah zakat. Segala kebaikan yang telah kamu kerjakan untuk dirimu akan kamu dapatkan (pahalanya) di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,”

Sebagai amalan yang utama, zakat termasuk ke dalam pilar bangunan islam sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:

بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إلهَ إلا اللهُ وَأَنْ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجّ الْبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Artinya: “Islam didirikan di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu,” (Muttafaqun ‘alaihi)

Menurut Kitab Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah Sayyid Sabiq yang disusun oleh Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi terjemahkan Ahmad Tirmidzi dkk, kata zakat diambil dari kata “zakah” yang artinya tumbuh, suci, dan berkah. Penamaan zakat disebabkan ada harapan meraih keberkahan, mensucikan jiwa, serta menumbuhkan kebaikan-kebaikan.

Besaran zakat fitrah sendiri ialah 3,1 liter atau kurang lebih 2,5 kg bahan makanan pokok. Bisa juga diganti dengan uang yang nilainya sama dengan harga 2,5 kg bahan makanan pokok yang dimakan sehari-hari.

Mereka yang berhak menerima zakat fitrah disebut dengan mustahik. Dalam surat At Taubah ayat 60, Allah SWT berfirman:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,”

Dijelaskan dalam Buku Pintar Muslim dan Muslimah tulisan Rina Ulfatul Hasanah, mereka yang berhak menerima zakat fitrah berdasarkan surat At Taubah ayat 60 yaitu fakir, miskin, gharim, riqab, amil, muallaf, sabilillah, dan ibnu sabil. Lantas golongan mana saja yang tidak diperbolehkan menerima zakat?

Golongan yang Tidak Berhak Menerima Zakat Fitrah

Mengutip dari buku 17 Tuntunan Hidup Muslim karya Wahyono Hadi Parmono dkk, terdapat empat golongan yang tidak berhak menerima zakat. Berikut pembahasannya:

1. Keturunan Nabi Muhammad SAW

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah bersabda:

“Pada suatu hari Hasan (cucu Rasulullah) telah mengambil sebuah kurma dari zakat lalu dimasukkan ke mulutnya. Rasulullah berkata (kepada Hasan), ‘jijik, jijik, muntahkan kurma itu, sesungguhnya tidak halal bagi kita (Nabi dan keturunannya) mengambil sedekah atau zakat,” (HR Muslim).

Kemudian, Abu Hurairah pernah berkata dalam hadits, “Bahwasanya Nabi SAW apabila diberi makanan, beliau menanyakannya. Apabila dijawab hadiah, beliau memakan sebagiannya. Apabila zakat, beliau tidak memakannya,” (HR Muslim dan Bukhari).

2. Orang yang Berada di Bawah Tanggungan Orang yang Berzakat

Apabila seseorang tidak mampu namun ada yang menanggungnya, maka ia tidak berhak atas zakat. Golongan tersebut tidak boleh menerima zakat kecuali ada sebab lain yang memperbolehkan, contohnya ia berlaku sebagai amil zakat.

3. Orang Kaya

Orang dengan harta yang berlimpah termasuk ke dalam golongan yang tidak berhak menerima zakat. Ini disebabkan mereka mampu untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.

Rasulullah SAW bersabda mengenai orang kaya, “Barang siapa minta-minta sedang ia mempunyai kekayaan maka seolah-olah ia memperbesar siksaan neraka atas dirinya. Mereka bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah arti kaya itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Orang kaya adalah orang yang (hartanya) cukup untuk dimakan sehari-hari,” (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

4. Tidak Memiliki Agama dan Non-Islam

Mereka yang tidak memiliki agama tidak berhak menerima zakat, begitu pun dengan non-muslim. Meski orang tersebut tidak berkecukupan dan umat Islam ingin membantu, maka hal itu tidak dapat dianggap sebagai zakat melainkan pemberian biasa.

Dalam surat Al Insan ayat 8, Allah SWT berfirman:

وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Artinya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan,”

Terpisah, Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazziy mengemukakan dalam kitab Fathul Qarib bahwa golongan yang tidak boleh menerima zakat dibagi ke dalam 5 kelompok, yaitu hamba sahaya (budak), orang kaya, kerabat Rasulullah, keluarga Nabi SAW, dan kafir.

Bagi detikers yang ingin membayar zakat bisa cek perhitungannya di Kalkulator Zakat detikHikmah dengan cara KLIK DI SINI ya!

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Panggilan Sayang Rasulullah SAW kepada Istrinya yang Romantis


Jakarta

Rasulullah SAW adalah sosok yang romantis dalam memperlakukan para istrinya. Beliau memiliki beberapa panggilan sayang kepada istrinya yang bernama Aisyah RA.

Aisyah RA adalah istri Rasulullah SAW yang dinikahi saat usianya masih gadis. Menurut riwayat, setelah wafatnya Khadijah RA, tak ada istri yang lebih dicintai oleh Rasulullah SAW melebihi cintanya kepada Aisyah.

Panggilan Sayang Rasulullah SAW kepada Istrinya, Aisyah

Mengutip buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul yang ditulis oleh Ustadzah Azizah Hefni, salah satu bentuk sikap romantis Rasulullah SAW adalah panggilan sayang Rasulullah SAW kepada istrinya, Aisyah RA. Beliau selalu memanggil Aisyah dengan panggilan-panggilan sayang.


Salah satu panggilan sayang Rasulullah SAW kepada Aisyah RA adalah Humaira’ (pipi yang kemerah-merahan). Panggilan ini karena Aisyah RA adalah wanita berkulit putih, yang jika tersipu, marah, atau tertawa pipinya selalu berubah menjadi merah.

Panggilan Humaira’ sering diucapkan Rasulullah SAW kepada Aisyah RA saat sedang berduaan atau sedang berkumpul bersama banyak orang. Para sahabat sudah sangat familier dengan panggilan sayang Rasulullah SAW kepada istrinya ini.

Dikisahkan dalam buku Misteri Bidadari Surga yang ditulis oleh Joko Syahban, terlihat adegan mesra antara Rasulullah SAW dan Aisyah RA ketika orang-orang Habsyah bermain tombak saat akan masuk masjid.

“Wahai Humaira! Apakah engkau suka melihat mereka? panggil Rasulullah SAW.

Lalu, dijawab oleh Aisyah, “Ya.”

Kemudian beliau berdiri di pintu dan Aisyah RA mendatanginya, Aisyah RA pun meletakkan dagunya di atas bahu Nabi SAW dan disandarkan wajahnya pada pipi beliau.” (HR An-Nasa’i di dalam As-Sunan Al-Kubra dan Ahmad).

Sebutan “Humaira” adalah isim tasghir bentuk kata yang menunjukkan makna sesuatu yang mungil untuk memanjakan dan kecintaan, yang diambil dari kata hamra. Kata tersebut brmakna si putih berambut pirang.

Rasulullah SAW juga memanggil Aisyah RA dengan Muwaffaqah, yang berarti diberi petunjuk. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas, pernah disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,

“Barang siapa mempunyai dua orang pendahulu (maksudnya mayat) di antara umatku, Allah akan memasukkannya ke surga dengan dua orang tersebut.” Aisyah berkata, “Dan orang yang mempunyai satu pendahulu (mayat) di antara umatmu.”

Rasulullah menjawab, “Ya, barang siapa mempunyai satu orang pendahulu, wahai Muwaffaqah?” Ibnu Abbas bertanya, “Bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai satu orang pendahulu pun di antara umatmu?”

Rasulullah SAW bersabda, “Aku adalah pendahulu umatku. Mereka tidak akan diuji sepertiku.” (HR Tirmidzi)

Terkadang Rasulullah SAW juga memanggil Aisyah RA dengan namanya tapi hanya sebagian saja, yakni Aisy.

Pernah juga, Rasulullah SAW memanggil Aisyah RA dengan sebutan Ummu Abdullah. Itu adalah panggilan sayang Rasulullah SAW kepada istrinya yang sangat terhormat. Aisyah RA yang ditakdirkan Allah SWT tidak memiliki keturunan dari Rasulullah SAW, seolah tidak mungkin mendapatkan panggilan ibu dari suaminya. Namun ternyata, Rasulullah SAW memanggilnya dengan sebutan Ummu Abdullah untuk menghormatinya.

Adapun ketika Asma’, saudara Aisyah RA, melahirkan seorang bayi, Aisyahlah yang membawanya pertama kali ke hadapan Rasulullah SAW. Saat itu, Rasulullah SAW pun memanggilnya dengan Ummu Abdullah. Padahal, anak yang dibawa Aisyah RA bukanlah anaknya, namun Aisyah RA tetap mendapatkan panggilan ibu dari Rasulullah SAW. Apa yang dilakukan Rasulullah SAW itu sungguh membuat Aisyah RA tersanjung.

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits tentang ini dari Aisyah RA, “Ketika Abdullah bin Zubair lahir, Aisyah membawanya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW membasahi bibir Abdullah bin Zubair dengan ludahnya, dan itulah sesuatu yang pertama kali masuk ke perutnya. Rasulullah SAW lalu bersabda, ‘Dia Abdullah dan engkau Aisyah adalah Ummu Abdullah.” (HR Ibnu Hibban)

Sejak kelahiran Abdullah bin Zubair itu, Aisyah RA pun selalu dipanggil sebagai Ummu Abdullah. Syekh Muhammad bin Yusuf Ad-Dimasyqi mengatakan, “Sejak itu, Aisyah dipanggil dengan sebutan Ummu Abdullah, meskipun sebenarnya ia bukanlah ibu yang melahirkan Abdullah. Sampai wafat, Aisyah tetap dipanggil dengan sebutan Ummu Abdullah.”

Beberapa panggilan ini merupakan bentuk panggilan sayang Rasulullah SAW kepada istrinya. Rasulullah SAW selalu melakukannya dengan penuh cinta dan kelembutan. Panggilan itu hanya diserukan Rasulullah SAW dan tidak seorang pun memanggil istrinya itu dengan sebutan demikian.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com