Tag Archives: tafsir alquran

Surah Ar-Rum Ayat 21 Arab, Latin dan Arti: Manusia Diciptakan Berpasangan


Jakarta

Menjalani hidup bersama pasangan adalah bagian dari fitrah manusia sebagaimana dijelaskan dalam surah Ar-Rum ayat 21. Rasa tenang, cinta, dan kasih sayang yang hadir dalam pernikahan menjadi anugerah yang sangat berarti.

Nabi Muhammad SAW pun menempatkan pernikahan sebagai bagian penting dalam kehidupan, dan menjadikannya contoh yang layak diikuti oleh umatnya.

Dikutip dari buku Seri Fikih Kehidupan susunan Ahmad Sarwat, Rasulullah SAW bersabda,


“Menikah itu bagian dari sunnahku, maka siapa yang tidak beramal dengan sunnahku, bukanlah ia dari golonganku.” (HR Ibnu Majah)

Hadits ini memperkuat kedudukan pernikahan sebagai jalan hidup yang dicontohkan Nabi, dan sejalan dengan nilai-nilai yang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Salah satu ayat yang menyoroti makna pernikahan secara mendalam adalah surah Ar-Rum ayat 21.

Bacaan Surah Surah Ar-Rum ayat 21

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Arab latin: Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal litaskunū ilaihā wa ja’ala bainakum mawaddataw wa raḥmah, inna fī żālika la`āyātil liqaumiy yatafakkarụn.

Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Tafsir Surah Ar-Rum ayat 21

Dari Tafsir Al Azhar susunan Buya Hamka, berikut tafsir dari surah Ar-Rum ayat 21:

Salah satu tanda kebesaran Allah adalah penciptaan pasangan bagi manusia dari jenis yang sama, yakni laki-laki dan perempuan, agar hidup menjadi tenteram. Dalam penafsiran ini, dijelaskan bahwa pasangan hidup diciptakan bukan hanya untuk Adam, tetapi untuk seluruh keturunannya, dari satu jenis manusia.

Hanya Nabi Adam yang diciptakan dari tanah, dan Hawa diciptakan dari tulang rusuknya. Sementara manusia setelahnya berasal dari mani, bukan lagi dari bagian tubuh manusia lain.

Allah menyeru seluruh manusia bahwa pasangan yang diciptakan untuk mereka berasal dari diri mereka sendiri, bukan dari makhluk lain. Hal ini menjadi bukti bahwa manusia diciptakan berpasangan, dari jenis yang sama, agar dapat saling melengkapi dan melanjutkan keturunan.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Sesungguhnya Allah telah menugaskan seorang malaikat di dalam rahim. Malaikat itu berkata: ‘Wahai Tuhanku, nutfahkah ini? ‘Alaqahkah ini? Mudhghahkah ini?’ Maka jika Allah menghendaki untuk menciptakannya, malaikat itu berkata lagi: ‘Apakah dia akan celaka atau bahagia? Laki-laki atau perempuan? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya?’ Maka semuanya itu dituliskan ketika ia masih dalam rahim ibunya.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Hadits ini menegaskan bahwa manusia berasal dari satu jenis, dan dari jenis itulah Allah tentukan siapa yang menjadi laki-laki dan siapa yang menjadi perempuan, agar dapat dipasangkan secara seimbang.

Pasangan diciptakan untuk memberi ketenangan. Tanpa pasangan, hidup terasa kosong dan sepi. Laki-laki mencari perempuan, dan perempuan menanti laki-laki. Pertemuan keduanya melahirkan keutuhan dan kesinambungan kehidupan.

Hubungan ini juga dilengkapi dengan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Mawaddah tumbuh dari ketertarikan dan kebersamaan, termasuk dalam hubungan suami istri. Islam tidak memandang hal ini sebagai sesuatu yang tabu, bahkan menganjurkan agar suami istri saling menjaga penampilan dan membina kemesraan.

Namun cinta fisik tidak berlangsung selamanya. Seiring bertambahnya usia, dorongan syahwat akan menurun. Saat itulah rahmah mengambil peran lebih besar, kasih sayang yang tumbuh dari kedekatan batin, pengalaman bersama, dan kebersamaan membesarkan anak serta cucu. Semakin tua usia pernikahan, semakin dalam rahmah yang terbangun.

Islam tidak menganggap hubungan laki-laki dan perempuan sebagai aib atau akibat dosa. Islam mengajarkan bahwa hubungan tersebut merupakan bagian dari sistem penciptaan, dan termasuk dalam tanda-tanda kekuasaan Allah.

Karena itulah, Islam hadir untuk menjaga keteraturan hidup manusia melalui lima prinsip utama:

1. Menjaga agama, dengan melarang kemurtadan dan menegakkan pemerintahan yang adil.
2. Menjaga akal, dengan perintah mencari ilmu dan larangan atas hal-hal yang merusaknya.
3. Menjaga jiwa, dengan larangan membunuh dan aturan perlindungan nyawa.
4. Menjaga harta, dengan pengakuan hak milik dan larangan pencurian serta korupsi.
5. Menjaga keturunan, dengan perintah menikah dan larangan hubungan di luar nikah.

Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah. Maka dari itu, martabatnya perlu dijaga, termasuk dengan menjaga kehormatan keturunan. Hubungan suami istri adalah bagian dari tatanan fitrah dan petunjuk Allah bagi mereka yang mau berpikir.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Tantangan untuk Melintasi Langit dan Bumi


Jakarta

Surah Ar-Rahman merupakan surah ke-55 dalam urutan mushaf Al-Qur’an. Surah yang diturunkan di Makkah ini terdiri dari 78 ayat dan terdapat dalam juz ke-27 Al-Qur’an.

Surah ini memiliki keunikan tersendiri yaitu ayat فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (fabiayyi ala irobbikuma tukadziban) yang diulang sebanyak 31 kali. Ayat tersebut berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”.

Menurut Tafsir Fii Zilalil Qur’an yang disusun oleh Sayyid Quthb, surah Ar-Rahman banyak membahas tentang penciptaan makhluk-makhluk-Nya dan alam semesta, yang merupakan bagian dari kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT.


Dalam artikel ini akan dibahas secara khusus mengenai Surah Ar-Rahman ayat 33. Secara umum, kandungan ayat tersebut menceritakan tentang alam semesta yang menakjubkan. Berikut penjelasan selengkapnya.

Bacaan Surah Ar-Rahman Ayat 33: Arab, Latin, dan Artinya

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ

Yā ma’syaral-jinni wal-insi inistaṭa’tum an tanfużū min aqṭāris-samāwāti wal-arḍi fanfużū, lā tanfużūna illā bisulṭān(in).

Wahai segenap jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (dari Allah).

Kandungan Surah Ar-Rahman Ayat 33

Menurut Tafsir Tahlili Kementerian Agama RI, ayat 33 surah Ar-Rahman menyeru jin dan manusia untuk mencoba, jika mampu, menembus dan melintasi penjuru langit dan bumi guna menghindari azab serta hukuman Allah. Namun, hal itu mustahil mereka lakukan karena tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menghadapi kekuasaan-Nya.

Sebagian ahli tafsir menafsirkan kata “sulṭān” dalam ayat ini sebagai ilmu pengetahuan, yang memberi isyarat bahwa melalui ilmu, manusia dapat menjelajahi ruang angkasa.

Adapun menurut Tafsir Fii Zilalil Qur’an, Sayyid Quthb menjelaskan bahwa pada ayat tersebut, Allah SWT menantang jin dan manusia untuk melintasi/menembusi penjuru langit dan bumi.

Hal ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya yaitu ayat 29 sampai 31 yang menjelaskan tentang alam semesta yang fana dan suatu saat akan binasa. Pemusnahan alam semesta merupakan suatu hal yang amat mengerikan dan bentuk ancaman yang menakutkan.

Kemudian pada ayat ke 33, jin dan manusia ditantang apakah mereka mampu menembusi langit dan bumi untuk menghindari kebinasaan itu. Namun tentu saja hal itu tidak mungkin tanpa izin Allah SWT. Hanya Allah SWT yang memiliki kekuatan (sulthan) yang mampu membinasakan dan Allah SWT sendiri yang akan memberikan balasan terhadap siapa saja yang mendustakan-Nya.

Lebih lanjut, menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar Jilid 9, kandungan surah Ar-Rahman ayat 33 tersebut dapat ditafsirkan bahwa Allah SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk melintasi segala penjuru bumi, baik untuk mengetahui rahasia terpendam atau pun untuk menuntut ilmu. Namun, di ayat tersebut disebutkan kata “sulthan” (kekuatan) yang maknanya bahwa manusia bisa melakukan itu semua hanya bila diberi kekuatan dari Allah SWT.

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Makna Surah At Taubah Ayat 128-129, Lengkap Arab Latin dan Terjemahan


Jakarta

Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi umat Islam, berisi petunjuk dan nasihat yang relevan sepanjang zaman. Setiap ayat memiliki makna dan keutamaan tersendiri, termasuk dua ayat terakhir surah At-Taubah, yaitu ayat 128 dan 129.

Pada masa awal Islam, Al-Qur’an belum tersusun seperti sekarang. Mengutip buku Pengantar Studi Sejarah Peradaban Islam karya Dr. Muhammad Husain Mahasnah, dua ayat terakhir surah At-Taubah ditemukan oleh Zaid bin Tsabit. Kaum muslimin menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an pada pelepah kurma, kulit, tulang, batu, dan kayu. Ayat-ayat ini masih tersebar dan dijaga oleh para sahabat, sebelum akhirnya dihimpun menjadi mushaf utuh.

Berikut akan dibahas bacaan surah At-Taubah ayat 128-129 beserta makna dan keistimewaannya.


Bacaan Surah At Taubah Ayat 128-129

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Arab latin: laqad jā`akum rasụlum min anfusikum ‘azīzun ‘alaihi mā ‘anittum ḥarīṣun ‘alaikum bil-mu`minīna ra`ụfur raḥīm

Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin,” (QS At Taubah: 128)

فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ

Arab latin: fa in tawallau fa qul ḥasbiyallāhu lā ilāha illā huw, ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul-‘arsyil-‘aẓīm

Artinya: “Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung,” (QS At Taubah: 129)

Makna Surah At Taubah Ayat 128-129

Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan dua ayat terakhir surah At-Taubah (ayat 128-129) merupakan penutup yang sangat penting. Menurut riwayat dari Ubay bin Ka’ab, ayat ini adalah bagian terakhir yang turun kepada Rasulullah SAW, kemudian dicatat oleh para sahabat dan ditempatkan sebagai penutup surah ketika mushaf dikumpulkan pada masa Abu Bakar.

Ayat 128 menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus dari kalangan manusia sendiri. Sebagian mufassir berpendapat kata “kamu” ditujukan khusus kepada bangsa Arab, sebab Nabi lahir dari Quraisy. Namun ada pula yang menafsirkan bahwa panggilan itu berlaku bagi seluruh manusia, sebab risalah Islam bersifat menyeluruh.

Kedua pandangan ini saling melengkapi, karena memang Nabi Muhammad SAW diutus pertama kali kepada bangsanya, lalu membawa rahmat untuk seluruh alam. Hal ini terlihat dari para sahabat yang berasal dari berbagai bangsa pada masa itu, seperti Bilal al-Habsyi yang berkulit hitam, Shuhaib ar-Rumi yang berkulit putih dan Salman al-Farisi yang berkulit kuning. Dengan itu, jelaslah bahwa Islam adalah agama universal.

Dalam ayat ini tergambar sifat utama Rasulullah SAW. Beliau merasa berat jika umatnya tertimpa kesusahan, selalu menginginkan kebaikan bagi mereka, serta penuh kasih sayang dan belas kasih.

Kisah nyata yang menggambarkan hal ini adalah perhatian beliau terhadap keluarga sahabat Ja’far bin Abi Thalib setelah gugur di medan Mu’tah. Nabi tidak hanya berduka atas syahidnya Ja’far, tetapi juga memastikan keluarganya tetap terjaga dan diberi penghiburan. Kasih sayang seperti ini menunjukkan betapa dalamnya kepedulian beliau terhadap umat.

Sementara itu, ayat 129 menegaskan sikap yang harus diambil ketika ada yang menolak ajaran. Rasulullah SAW tidak diperintahkan untuk memaksa, melainkan tetap bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Pesan ini menunjukkan bahwa keberhasilan dakwah tidak bergantung pada penerimaan manusia, tetapi pada pertolongan Allah, Tuhan Pemilik ‘Arsy yang agung. Sikap ini sekaligus menyeimbangkan kasih sayang Nabi yang begitu besar kepada umat dengan keyakinan penuh bahwa segala urusan pada akhirnya berada di tangan Allah.

Kedua ayat ini menutup surah At-Taubah dengan sangat indah. Di satu sisi tergambar kasih sayang Rasulullah SAW yang begitu luas kepada manusia, dan di sisi lain terdapat pengingat bahwa kekuatan sejati ada pada tawakal kepada Allah.

Keistimewaan Membaca Surah At-Taubah Ayat 128-129

Masih dari sumber sebelumnya, keistimewaan membaca kedua ayat ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnus Sunni dari Abu Darda’. Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa yang membaca pada waktu pagi dan petang: Hasbiyallahu La Ilaha Illa Huwa ‘Alaihi Tawakkaltu Wa Huwa Rabbul ‘Arsyil ‘Azhim, sebanyak tujuh kali, maka Allah akan mencukupkan baginya segala urusan yang menyusahkan, baik dalam perkara dunia maupun akhirat.”

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa membaca ayat penutup surah At-Taubah dengan penuh keyakinan akan menghadirkan ketenangan, menumbuhkan sikap tawakal, serta mendatangkan kecukupan dari Allah SWT dalam berbagai urusan hidup.

Wallahu a’lam.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Surah At-Takatsur Bacaan dan Kandungannya tentang Peringatan Lalai karena Harta


Jakarta

Surah at-Takatsur adalah salah satu surah dalam Al-Qur’an yang mengingatkan manusia agar tidak terlena dengan kesibukan mengejar harta dan kemegahan dunia. Para ulama berbeda pendapat tentang tempat turunnya surah ini, apakah termasuk Makkiyah atau Madaniyah.

Perbedaan itu dijelaskan dalam buku Al-Itqan fi Ulumil Qur’an: Samudra Ilmu-Ilmu al-Qur’an karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi. Sebagian besar ulama mengatakan surah ini termasuk Makkiyah, namun ada juga yang berpendapat surah ini Madaniyah.

Pendapat bahwa surah ini Madaniyah didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Abu Hatim dari Ibnu Buraidah, yang menjelaskan bahwa surah ini turun berkenaan dengan dua kabilah dari kaum Anshar yang saling berbangga. Riwayat lain dari Qatadah menyebutkan bahwa surah ini turun berkaitan dengan orang-orang Yahudi.


Imam Bukhari meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Seandainya manusia memiliki satu lembah dari emas, maka ia akan menginginkan lembah emas yang lain, hingga akhirnya turun surah at-Takatsur (Alhaakumut-takaatsur).”

Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Ali, “Dahulu kami masih ragu tentang adanya azab kubur, sampai turun surah ini. Azab kubur hanya disebutkan di Madinah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih tentang kisah orang Yahudi.”

Bacaan Surah At-Takatsur 1-8

اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ – ١

Arab latin: al-hākumut-takāsur
Artinya: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ – ٢

Arab latin: ḥattā zurtumul-maqābir
Artinya: sampai kamu masuk ke dalam kubur.

كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ – ٣

Arab latin: kallā saufa ta’lamụn
Artinya: Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),

ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ – ٤

Arab latin: Summa kallā saufa ta’lamụn
Artinya: kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui.

كَلَّا لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِۗ – ٥

Arab latin: kallā lau ta’lamụna ‘ilmal-yaqīn
Artinya: Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti,

لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَۙ – ٦

Arab latin: latarawunnal-jaḥīm
Artinya: niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim,

ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِۙ – ٧

Arab latin: Summa latarawunnahā ‘ainal-yaqīn
Artinya: kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri,

ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَىِٕذٍ عَنِ النَّعِيْمِ ࣖ – ٨

Arab latin: Summa latus`alunna yauma`izin ‘anin-na’īm
Artinya: kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).

Kandungan Surah At-Takatsur 1-8

Menurut Tafsir Al-Azhar susunan Buya Hamka, Surah At-Takatsur berisi peringatan tentang manusia yang terlena oleh sikap bermegah-megahan.

Ayat pertama, “Kamu telah diperlalaikan oleh bermegah-megahan”, menjelaskan bahwa manusia sering lalai dari tujuan hidup sejati, melupakan hubungan dengan Allah, dan hanya sibuk mengejar harta, kedudukan, serta keturunan. Padahal semua itu hanyalah sementara.
Ayat kedua, “sehingga kamu melawat ke kubur-kubur”, mengingatkan bahwa pada akhirnya manusia akan mati. Segala harta, pangkat, dan kebanggaan akan ditinggalkan. Kubur adalah pintu menuju akhirat, tempat semua kesenangan dunia tidak lagi berarti.

Pada ayat 3 dan 4 ditegaskan dengan kalimat “Sekali-kali tidak!” bahwa sikap bermegah-megahan tidak bermanfaat. Semua baru disadari ketika masuk alam kubur, lalu dilanjutkan ke Barzakh dan Hari Kiamat, saat manusia menyaksikan bahwa hanya amal yang bernilai di sisi Allah.

Ayat 5 hingga 7 menjelaskan bahwa jika manusia mau memahami hidup dengan pengetahuan yang benar dan yakin pada petunjuk Rasulullah SAW, maka akan terbuka kesadaran tentang neraka sebagai balasan bagi yang ingkar. Keyakinan ini akan semakin kuat, hingga di akhirat nanti manusia melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran yang dahulu hanya diyakini.

Ayat terakhir, “Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang segala nikmat” (ayat 8), menjadi penutup sekaligus kunci peringatan. Semua nikmat seperti harta, kedudukan, kesehatan, pendengaran, dan penglihatan akan dimintai pertanggungjawaban. Seperti dijelaskan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Jarir, Mujahid, dan Qatadah, seluruh nikmat duniawi akan ditanya dari mana diperoleh, bagaimana digunakan, dan apakah disyukuri atau justru melalaikan dari Allah.

Kesimpulannya, manusia hendaknya berhati-hati dalam menikmati nikmat dunia, selalu bersyukur, dan tidak lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com