Tag Archives: tasawuf

Dua Kunci Agar Selamat dari Siksa Allah Menurut Imam Ghazali



Jakarta

Imam al-Ghazali memberikan kunci agar selamat dari siksa Allah SWT, mendapatkan pahala dan rahmat-Nya, serta masuk dalam surga-Nya. Sang Hujjatul Islam menyebutkan dua hal.

Dua hal tersebut adalah sabar dan sakit. Imam al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Mukasyafatul Qulub, siapa pun yang ingin selamat dari siksa Allah SWT hendaknya menahan nafsu demi melampiaskan syahwat duniawi dan hendaklah bersabar dalam menghadapi kesulitan dan musibah dunia.

Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 146,


وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”

Imam al-Ghazali menjelaskan, sabar terdiri dari berbagai macam. Di antaranya sabar dalam menjalani ketaatan kepada Allah SWT, sabar dalam menjauhi larangan-Nya, dan sabar dalam menghadapi musibah pada detik pertama.

Salah satu keutamaan sabar dalam menjalankan ketaatan pada Allah SWT, kata Imam al-Ghazali, Allah SWT akan memberikan 300 derajat di surga saat hari kiamat kelak. Tinggi tiap satu derajat seperti jarak antara langit dan bumi.

Adapun, bagi orang yang sabar dalam menjauhi larangan Allah SWT, maka Dia akan memberikan dua kali lipat derajat di surga dari derajat orang yang sabar dalam ketaatan.

“Barang siapa yang bersabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah, maka pada hari kiamat ALlah akan memberinya 600 derajat. Setiap satu derajat setinggi jarak antara langit dan bumi ketujuh,” kata Imam al-Ghazali seperti diterjemahkan Jamaluddin.

Selanjutnya, bagi orang yang bersabar atas musibah yang menimpanya, maka Allah SWT akan memberinya 700 derajat di surga. Kata Imam al-Ghazali, setiap derajat tingginya seperti jarak antara Arsy dan bumi.

Disebutkan dalam hadits qudsi, Nabi SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman,

“Setiap hamba yang tertimpa musibah, lalu dia menyandarkan diri kepada-Ku, maka Aku akan memberinya sebelum dia meminta kepada-Ku, dan Aku akan mengabulkan permohonannya sebelum dia berdoa kepada-Ku. Setiap hamba yang tertimpa musibah, lalu dia menyandarkan diri kepada makhluk dan bukan kepada-Ku, maka Aku akan mengunci seluruh pintu langit untuknya.”

Imam al-Ghazali juga memaparkan sejumlah hadits tentang kunci agar selamat dari siksa Allah SWT yang kedua, keutamaan sakit. Salah satunya sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang mengalami sakit satu malam, lalu dia bersabar dan ridha kepada Allah, maka dia keluar (bersih) dari dosanya seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Jika kalian mengalami sakit, maka janganlah mengandaikan kesembuhan.”

Salah seorang sahabat nabi, Mu’adz bin Jabal, pernah mengatakan bahwa orang yang beriman ketika mendapat cobaan berupa sakit, maka malaikat pencatat amal keburukan tidak akan mencatat apa pun darinya dan malaikat pencatat amal baik akan mencatat sebagai pahala perbuatan terbaik seperti yang biasa dilakukan ketika sehat.

Lebih lanjut, Imam al-Ghazali dalam kitabnya berpesan bahwa orang yang berakal wajib bersabar dalam menghadapi berbagai cobaan serta tidak mengeluh. Hal ini dilakukan agar selamat dari siksa dunia dan akhirat. Sebab, kata Imam al-Ghazali, cobaan yang paling berat sesungguhnya dialami para nabi dan wali Allah SWT.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rabiah Al Adawiyah, Wanita Cantik Bersuara Merdu yang Cinta kepada Allah



Jakarta

Kisah Rabiah Al Adawiyah tidak bisa dilewatkan ketika kita membahas tentang wanita solehah. Ceritanya begitu menarik dan inspiratif sebab ia tidak tertarik pada kehidupan duniawi.

Rabiah Al Adawiyah adalah seorang wanita yang terkenal di dunia tasawuf. Dirinya banyak diketahui karena ia memilih untuk tidak menikah hingga akhir hayatnya demi beribadah dan mendekat kepada Allah SWT.

Diambil dari arsip detikHikmah, Rabiah Al Adawiyah adalah seorang wanita yang lahir pada tahun 713 Hijriah di Basrah, Irak. Ia sudah menjadi sebatang kara setelah ditinggal orang tuanya wafat dan ketiga kakaknya yang juga wafat karena wabah kelaparan.


Oleh sebab itu, Rabiah Al Adawiyah sudah harus hidup sendiri dan jauh dari masyarakat. Dirinya menghidupi diri sendiri dengan bekerja menjadi budak.

Ketika ia punya waktu luang atau tidak sedang bekerja, maka ia memilih untuk menghabiskan waktunya untuk bermeditasi.

Rabiah Al Adawiyah hidup dalam kemiskinan. Harta yang ia punya hanyalah sebuah tikar lusuh, sebuah periuk tanah, dan sebuah batu bata.

Meski demikian, hidup Rabiah Al Adawiyah penuh dengan kemuliaan. Setiap hari, dia senantiasa berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT tanpa mempedulikan urusan dunianya. Tujuannya hanya satu, yaitu surga-Nya yang amat dirindukan.

Besarnya Cinta Rabiah Al Adawiyah kepada Allah SWT

Rabiah Al Adawiyah begitu beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Takwanya bahkan sudah mencapai tahap cinta yang besar kepada Sang Khalik. Dirinya memilih dalam kesederhanaan, meskipun bisa hidup mewah mengandalkan parasnya yang cantik dan suaranya yang merdu.

Dalam sebuah buku yang berjudul Rabiah Al Adawiyah karya Makrum Gharib disebutkan pernyataannya mengenai cintanya yang besar kepada Allah SWT bisa mengalahkan rasa takutnya kepada Dia.

“Aku tidak menyembah Allah karena takut akan neraka, tidak juga karena mengharap surga. Jika aku menyembah-Nya karena takut neraka atau mengharap surga maka aku seperti buruh yang buruk yang bekerja karena rasa takut. Aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.”

Kecintaan Rabiah Al Adawiyah yang besar kepada Allah SWT ini biasa dikenal dengan istilah “mahabbah,” jelas Abrar M. Daud Faza dalam bukunya yang berjudul Moderasi Beragama Para Sufi.

Bagi Rabiah Al Adawiyah, mahabbah adalah cinta yang besar yang dilandasi rasa iman yang sangat tulus dan ikhlas, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat manusia menuju Allah SWT.

Mahabbah yang dimiliki Rabiah Al Adawiyah sudah memenuhi aspek makhluk dan Khalik. Ketika itu, dirinya bermunajat kepada Allah SWT dengan berbicara, “Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintai mu oleh api neraka?”

Tiba-tiba saja, ada sebuah suara yang menjawabnya dengan berkata, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Hal ini sebagaimana dinukil dari buku Risalah Al-Qusyairiyah.

Mahabbah yang diajarkan oleh Rabiah Al Adawiyah menunjukkan betapa besarnya cintanya kepada Allah SWT sampai-sampai tidak ada perasaan benci sedikitpun kepada yang lainnya, baik alam maupun manusia.

Semua hal yang berkaitan dengan Rabiah Al Adawiyah dipenuhi dengan cinta dan kasih atau mahabbah. Konsep mahabbahnya juga sangat berkaitan erat dengan konsep aulawiyah atau mendahulukan yang prioritas.

Rabiah Al Adawiyah pasti mendahulukan sesuatu yang menjadi prioritas atau yang lebih penting. Salah satu contohnya adalah ketika ada dua pemuka agama yang kelaparan hendak bertamu ke rumah Rabiah Al Adawiyah.

Di sana, keduanya sudah mendapati dua buah roti di atas meja. Mereka sudah senang akan segera mendapat roti tersebut. Namun, ternyata ada seorang pengemis datang untuk meminta makanan.

Maka, Rabiah Al Adawiyah pun memberikan kedua roti tadi kepada si pengemis. Dua orang pemuka agama tadi kecewa karena tentunya mereka tidak jadi mendapat makanan.

Lalu, ternyata ada seorang pelayan datang ke rumah Rabiah Al Adawiyah dengan membawa dua buah roti yang baru saja matang. Maka ia langsung memberikan roti itu kepada kedua tamunya.

Tentunya, Rabiah Al Adawiyah memberikan roti kepada pengemis tadi bukan karena ingin mengecewakan tamunya. Namun, ia tahu mana yang lebih menjadi prioritas.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Penuh Hikmah Imam Al-Ghazali Bersama Murid-muridnya


Jakarta

Imam Al-Ghazali, atau yang bernama asli Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An Naysaburi, merupakan salah seorang tokoh tasawuf modern. Dia lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh, sebuah kota yang terletak di dekat Thus, Iran.

Imam Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang pandai dalam ilmu tafsir Al-Qur’an, ilmu hadis, ilmu kalam, dan ilmu filsafat. Sepanjang hidupnya, beliau banyak mengeluarkan pendapat dan nasihat yang penuh hikmah.

Tidak hanya itu, beliau juga memberikan banyak pengajaran melalui kisah hidupnya yang banyak diceritakan di kalangan para penuntut ilmu.


Kisah Nasihat Imam Al-Ghazali kepada Murid-muridnya

Dikutip dari buku Kumpulan Kisah Teladan yang disusun oleh Prof. Dr. H. M. Hasballah Thaib, MA dan H. Zamakhsyari Hasballah, Lc, MA, Ph.D, yang mereka nukil dari kitab Qashash wa Ma’ani, karya Ala’ Sadiq, berikut ini salah satu kisah penuh hikmah dari Imam Al-Ghazali.

Suatu hari, Imam Al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Beliau memulai dengan bertanya:

Pertanyaan pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”

Murid-muridnya memberikan berbagai jawaban seperti orang tua, guru, teman, dan kerabat. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban tersebut benar, namun yang paling dekat dengan kita adalah kematian.

“Sebab itu sudah menjadi janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati,” (QS. Ali Imran: 185), jelas beliau.

Lalu Imam Al-Ghazali melanjutkan dengan pertanyaan kedua, “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?

Beberapa murid menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa jawaban mereka benar, tetapi yang paling jauh adalah masa lalu.

“Bagaimanapun kita mencoba, dengan kendaraan apapun, kita tidak akan bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu, kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai ajaran agama,” pesan beliau.

Selanjutnya, Imam Al-Ghazali bertanya, “Apa yang paling besar di dunia ini?

Murid-murid menjawab gunung, bumi, dan matahari. Imam Al-Ghazali mengakui semua jawaban itu benar, tetapi yang paling besar adalah nafsu.

“Sebagaimana firman Allah SWT ‘Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah)…’ (Al-A’raf: 179). Maka, kita harus berhati-hati agar nafsu tidak membawa kita ke neraka,” tegas beliau.

Pertanyaan keempat: “Apa yang paling berat di dunia ini?”

Murid-murid menjawab baja, besi, dan gajah. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa jawaban mereka benar, tetapi yang paling berat adalah memegang amanah.

“Sebagaimana firman Allah SWT ‘Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.’ (Al-Ahzab: 72). Sayangnya, banyak manusia yang gagal memegang amanahnya sehingga mereka masuk ke neraka,” jelas Imam Al-Ghazali.

Selanjutnya, Imam Al-Ghazali memberi pertanyaan kelima, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”

Murid-murid menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Imam Al-Ghazali setuju bahwa jawaban itu benar, tetapi beliau menambahkan bahwa yang paling ringan adalah meninggalkan salat.

“Gara-gara pekerjaan, rapat, atau perkumpulan, kita sering meninggalkan salat. Padahal salat adalah kewajiban utama seorang hamba kepada Tuhannya,” kata beliau.

Imam Al-Ghazali lalu melontarkan pertanyaan terakhir, “Apa yang paling tajam di dunia ini?”

Dengan serentak, murid-murid menjawab pedang.

Imam Al-Ghazali membenarkan jawaban tersebut, namun beliau menekankan bahwa yang paling tajam adalah lidah manusia.

“Melalui lidah, manusia dengan mudah menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya. Oleh karena itu, jagalah lidah kita agar tidak menimbulkan keburukan bagi orang lain,” pungkasnya.

Pelajaran-pelajaran dari Imam Al-Ghazali ini mengingatkan kita untuk senantiasa introspeksi diri, menjaga amal perbuatan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari nasihat beliau.

(inf/erd)



Sumber : www.detik.com

Rabiah Al Adawiyah, Sufi Wanita yang Enggan Menikah karena Allah


Jakarta

Rabiah Al Adawiyah merupakan sosok yang tak asing dalam dunia tasawuf. Sufi wanita pembawa ‘agama cinta’ ini memilih untuk tidak menikah seumur hidupnya.

Dalam buku Khazanah Orang Besar Islam dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol karya RA Gunadi dan M Shoelhi disebutkan, Rabiah Al Adawiyah lahir tahun 713 M di Basrah (Irak). Kedua orang tuanya meninggal tatkala ia masih kecil dan ketiga kakaknya juga meninggal saat wabah kelaparan melanda Basrah.

Rabiah Al Adawiyah kecil harus hidup mandiri dan asing. Ia pernah menjadi budak dan ketika bebas ia memilih menjalani hidup di tempat-tempat sunyi untuk bermeditasi. Sebuah tikar lusuh, sebuah periuk dari tanah, dan sebuah batu bata adalah harta yang ia miliki pada saat itu.


Sejak saat itu, Rabiah Al Adawiyah mengabdikan seluruh hidupnya pada Allah SWT. Setiap waktu ia terus berdoa dan berzikir. Hidupnya benar-benar semata untuk kehidupan akhirat sampai ia mengabaikan urusan dunianya.

Konsep Cinta dalam Sufisme Rabiah Al Adawiyah

Kecintaan Rabiah Al Adawiyah pada Allah SWT membuatnya memilih untuk melajang seumur hidup. Sufisme Rabiah Al Adawiyah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) dan konsep mahabbah inilah yang membuatnya menjadi pembawa ‘agama cinta’.

Cinta Rabiah Al Adawiyah bukanlah cinta yang mengharap balasan. Ia justru menempuh perjalanan mencapai ketulusan. Dalam salah satu syairnya ia berujar,

Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.

Konsep tasawuf Rabiah Al Adawiyah ini menceritakan cinta seorang hamba kepada Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam buku Pesan-pesan Cinta Rabiah Al Adawiyah karya Ahmad Abi. Rabiah Al Adawiyah mengajarkan bahwa segala amal ibadah yang dikerjakannya bukan karena berharap surga atau takut dengan api neraka, melainkan karena rasa cinta.

Kesufian Rabiah Al Adawiyah sangat diakui pada masanya. Menurut buku Moderasi Beragama Para Sufi karya Abrar M. Dawud Faza, Rabiah Al Adawiyah merupakan salah seorang sufi yang tidak mengikuti tokoh-tokoh sufi terkemuka lainnya, bahkan ia seperti tidak pernah mendapat bimbingan dari pembimbing spiritual mana pun. Namun, ia mencari pengalamannya sendiri langsung dari Tuhannya.

Pelopor sufisme tarekat, Syekh Abdul Qodir al-Jailani menggolongkan Rabiah Al Adawiyah ke dalam sufi para pencari tuhan. Mereka yang menempuh jalan ini tidak mengikuti apa yang kebanyakan dilakukan oleh makhluk tuhan lainnya. Sebab, kata Syekh Abdul Qodir al-Jailani, tuhan telah membersihkan hati mereka dari segala hal yang memusatkan hati mereka kepada selain Allah SWT.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Rabiah Al Adawiyah, Tokoh Sufi yang Terkenal dengan Mahabbahnya


Jakarta

Ada banyak tokoh sufi yang terkenal di kalangan umat Islam, salah satunya terkait mahabbahnya. Tokoh sufi yang terkenal dengan mahabbahnya adalah Rabiah Al Adawiyah.

Menurut buku yang berjudul Akhlak Tasawuf karya Taufikurrahman dkk, mahabbah atau al mahabbah adalah kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual.

Contohnya adalah cinta seseorang kepada orang lain yang sangat ia kasihi, cinta orang tua kepada anak-anaknya, seorang sahabat kepada sahabatnya, ataupun pekerja pada pekerjaannya.


Sementara itu, Al Qusyairi berpendapat, al mahabbah artinya keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya. Cintanya disaksikan (kemutlakannya) Allah SWT oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.

Dalam dunia tasawuf, Rabiah Al Adawiyah adalah sufi yang terkenal dengan mahabbahnya kepada Allah SWT. Berikut sosoknya.

Sosok Rabiah Al Adawiyah

Rabiah Al Adawiyah adalah seorang tokoh sufi terkemuka yang memiliki nama lengkap Ummu Khair ibn Ismail Al Adawiyah Al Qisysyiyah. Ia lahir di Basrah sekitar tahun 95 H atau bertepatan dengan 717 M. Beberapa sumber menyebut Rabiah Al Adawiyah lahir antara tahun 713-717 M.

Rabiah Al Adawiyah lahir di tengah keluarga yang miskin di Basrah dan hidup dalam kesederhanaan. Ketika proses melahirkannya saja, kedua orang tuanya tidak sanggup membeli minyak lampu untuk meneranginya.

Ia adalah anak keempat dari empat bersaudara. Nama Rabiah Al Adawiyah diberikan kepadanya karena ia adalah putri keempat dari anak-anak orang tuanya yang lain.

Rabiah Al Adawiyah meninggal pada tahun 801 M, dan dikabarkan dikebumikan di sekitar kota Yerusalem.

Konsep Mahabbah Rabiah Al Adawiyah

Mahabbah Rabiah Al Adawiyah berupa penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah SWT) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master).

Ajaran tasawuf yang dibawa oleh Rabiah Al Adawiyah dikenal dengan istilah Al Mahabbah. Ajaran ini adalah kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Al Basri.

Rabiah Al Adawiyah membawa lebih lanjut ajaran Hasan Al Basri, yakni menjadikan takut dan pengharapan dinaikkan menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan.

Pernah suatu ketika Rabiah Al Adawiyah ditanya, “Apakah kau cinta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Ya”

Seterusnya ia ditanya, “Apakah kau benci kepada setan?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan.”

Rabiah Al Adawiyah juga pernah menyatakan, “Saya melihat Nabi SAW dalam mimpi, Dia berkata: Oh Rabiah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab: Oh Rasulullah, siapa yang menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cinta atau membenci kepada makhluk lain.”

Rabiah Al Adawiyah menjalani kehidupannya dengan zuhud dan hanya beribadah kepada Allah SWT.

Ia memilih untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya walaupun banyak laki-laki hendak meminangnya. Ia tidak pernah menikah bukan karena bukan semata-mata zuhud terhadap perkawinan, namun ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri.

Rabiah Al Adawiyah tidak menikah karena pemahaman mahabbahnya yang mencintai Allah SWT dengan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai-Nya sepenuh hati masuk ke dalam diri yang dicintai.

Ibadahnya, kehidupannya, dan semua yang dilakukan Rabiah Al Adawiyah bukan karena rasa takut atas siksaan neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, tapi karena cintanya yang sangat besar kepada Allah SWT.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com