Tag Archives: trend islam di as

Fenomena Ibn Warraq dan Fred Donner



Jakarta

Ibn Warraq adalah sebuah nama yang pernah menjadi fenomenal di dunia Barat, karena tadinya seorang muslim dan lahir di lingkungan keluarga yang taat beragama Islam, tiba-tiba murtad dan menjadi pengeritik Islam yang amat pedas. Ia lahir di Rajkot, India, kemudian pindah dan melanjutkan studinya di Inggris, tepatnya di University of Edinburgh, dalam jurusan Filsafat dan Bahasa Arab dengan konsentrasi Islamic Studies di bawah bimbingan W. Montgomery Watt. Ia seorang yang amat kritis terhadap Al-Qur’an. Beberapa bukunya sangat gencar mengkritisi apa yang sering disebut orang Islam sebagai orisinalitas Al-Qur’an. Ia mencoba meyakinkan pembaca bahwa Al-Qur’an itu tidak bisa disebut kitab suci orisinal karena masih banyak ia temukan riwayat kontroversi. Bahkan ia secara demonstrative menyerang Al-Qur’an.

Ibn Warraq sangat produktif menulis buku dan menyelenggarakan seminar lalu makalah-makalah hasil seminarnya dibukukan. Di antara buku-bukunya ialah: Why I Am Not a Muslim (1995), Leaving Islam: Apostates Speak Out, edited by Ibn Warraq, (2003), What the Koran Really Says: Language, Text, and Commentary, ed & Trans (2002), Quest for the Historical Muhammad, ed & Trans (2000), The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book, ed, (1998), Defending the West: A Critique of Edward Said’s Orientalism (2007), Which Koran?: Variants, Manuscripts, and the Influence of Pre-Islamic Poetry (2007), dll.

Buku Mark tersebut di atas oleh para pengamat buku dinilai lebih merupakan biografi orang sakit hati ketimbang sebagai buku akademik. Dalam pengamatan Mark, Al-Qur’an berisikan sejumlah ayat yang kontradiktif satu sama lain. Ia mencontohkan dengan ayat-ayat yang memuji umat Kristiani, sedangkan di ayat yang lain mengidentikkannya dengan penghuni neraka. Atau sesekali menekankan keharmonisan hubungan dengan umat Kristiani, dan di lain ayat menekankan bahwa mereka mesti di-konversi (masuk) Islam. Semula Ibn Warraq memang menampilkan fenomena baru di kalangan ilmuan Islam di Barat, tetapi belakangan orang mulai sadar, terutama dengan nuansa emosional dan dendam pribadi yang terasa di dalam buku-bukunya membuat banyak orang kehilangan simpati terhadapnya. Apalagi ia samasekali tidak menemukan sedikitpun kebaikan yang terkandung didalam ajaran Islam. Buku-buku Ibn Warraq lebih merupakan biografi orang sakit hati ketimbang sebagai buku akademik.


Bagi masyarakat AS umumnya tidak gampang terprovokasi oleh buku-buku atau karya-karya kontroversi seperti karya-karya Ibn Warraq. Adalah Fred Donner, seorang Professor di Near Eastern Studies, AS, memberikan komentar terhadap karya-karya Ibn Warraq sebagai karya yang tidak konsisten di dalam menganalisis Bahasa Arab (inconsistent handling of Arabic materials), dan tidak mempunyai argumentasi yang orisinal. Apa yang sering dikemukakan tentang Al-Qur’an sesungguhnya repetisi yang pernah dilontarkan ilmuan Barat lainnya, seperti Goldziher. Donner mengkritisi karya-karya Ibn Warraq, tidak bisa menyembunyikan unsur popularitas atau apa yang disebut Donner dengan “heavy-handed favoritism”. Ibn Warraq dinilai oleh Donner sebagai “… is not scholarship, but anti-Islamic polemic”.

Banyak lagi ilmuan lain yang mungkin juga non muslim tetapi tetap respek dan menghormati kitab suci Al-Qur’an sebagaimana halnya kitab-kitab suci lainnya. Tidak bisa mengukur Al-Qur’an sepenuhnya compatible dengan perkembangan masyarakat modern tetapi setidaknya Al-Qur’an saat ini sedang digandrungi oleh dunia Barat, khususnya oleh kalangan schollars.

Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Perjumpaan Democracy dan Shuracracy (1)



Jakarta

Murad Wilfried Hofmann, seorang muallaf dan mantan Dubes Jerman di Algeria dan Marocco, serta mantan Direktur Informasi NATO, mendalami dan mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan konsep musyawarah (syura) dalam Fikih Siyasah Islam atau yang dijelaskan dalam Q.S. Ali Imran/3:159 dan al-Sura/42:38, dan sejumlah hadis yang senapas dengan ayat tersebut. Ia juga mendalami fakta sejarah dunia Islam yang menyuguhkan model-model suksesi yang amat beragam dipraktekkan dalam lintasan sejarah dunia Islam.

Ia berpendapat konsep demokrasi sebagaimana diperkenalkan dalam pemikiran platonisme tidak identik dengan konsep syura yang diperkenalkan di dunia Islam. Menurutnya, yang lebih tepat ialah syuracracy (dari kata syura dan cracy). Dalam artikelnya yang berjudul “Democracy or Shuracracy”, ia mengesankan sistem politik di dalam Islam, yang ia eksplorasi sendiri dari dalam Al-Qur’an, Hadis, dan para pemikir Islam, tidak persis sama dengan teori dan penerapan demokrasi sebagaimana yang berkembang di barat. Namun ia juga tidak setuju pendapat sejumlah pemikir fundamental muslim yang mempertentangkan Islam dengan konsep demokrasi, kemudian menggagas konsep teodemokrasi sebagaimana digagas oleh Al-Maududi dkk.

Ketika demokrasi dinilai gagal menjadi solusi terhadap problem kemasyarakatan, apalagi nilai-nilai demokrasi dianggap berbenturan dengan nilai-nilai kearifan lokal, maka pada saat itu resistensi demokrasi akan semakin kuat di dalam masyarakat tersebut. Dalam kondisi seperti ini masyarakat akan memunculkan konsep alternatif. Demokrasi di dalam berbagai konsep selalu mendasarkan pandangannya kepada hak-hak dan kebebasan manusia, baik individu maupun masyarakat. Demokrasi yang lebih menekankan pentingnya kebebasan individu di dalam negara biasa disebut demokrasi liberal. Sedangkan demokrasi yang lebih menekankan pentingnya masyarakat di dalam negara biasa disebut demokrasi sosial. Demokrasi liberal mempunyai prinsip bahwa kebebasan individu harus ditempatkan di atas segala-galanya oleh negara. Berbeda dengan demokrasi sosial yang mempunyai prinsip bahwa masyarakat sebagai kumpulan individu dan keluarga harus lebih diutamakan dan negara harus menjamin dan melindungi hak dan eksistensi masyarakat tersebut.


Sementara di dalam Islam, menurut Hofmann, individu dan masyarakat masing-masing memiliki unsur dan potensi yang sama dan sebangun dan tak bisa dinafikan eksistensinya satu sama lain. Individu memberikan dan sekaligus memperoleh pengaruh dari masyarakat. Demikian pula sebaliknya, masyarakat memberikan dan sekaligus memperoleh pengaruh dari individu. Kedaulatan mutlak di dalam negara tidak otomatis berada pada individu dan masyarakat (sovereignty of people), karena masih ada hukum-hukum Tuhan yang lebih tinggi (sovereignty of God). Kedaulatan individu atau masyarakat di dalam negara hanya sejauh yang diizinkan oleh Sang Pemegang Kedaulatan Tertinggi (Tuhan) yang dapat diketahui melalui kitab suci-Nya (Al-Qur’an dan Hadis). Al-Maududi dan sejumlah pemikir Islam lainnya menyebut konsep semacam ini dengan Divine Democracy atau theo-democracy. Yang lebih rumit lagi ialah konsep teokrasi, yang seolah-olah menafikan unsur manusia dan masyarakat di dalam kepemimpinan umat. Mereka berpendapat keseluruhan proses politik kenegaraan itu harus berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, walaupun di dalam penjabarannya kemudian sesungguhnya tidak lain adalah penafsiran tokoh-tokoh mereka terhadap sejumlah ayat dan hadis. Kelompok inilah yang selalu mengidealisir terwujudnya apa yang disebutnya dengan Negara Islam (Daulah al-Islamiyyah).

Kehadiran umat Islam di AS, sebagaimana halnya umat-umat agama lain, langsung atau tidak langsung, ikut memperkaya konsep demokrasi yang dianut dan yang berkembang di AS. Kita tidak bisa menyebut AS adalah negara demokrasi sejati yang tidak memberikan ruang terhadap nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Piagam pendirian negara AS dan lambang-lambang negara ini selalu akrab dengan nilai-nilai agama, sampai mata uangnya pun mencantumkan: In God We Trust.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com