Tag Archives: uang

Benarkah Uang Suami Uang Istri, Uang Istri Bukan Uang Suami?


Jakarta

Suami adalah kepala rumah tangga yang memiliki kewajiban menafkahi istrinya. Kerap kali muncul anggapan uang suami adalah uang istri dan uang istri bukan uang suami, benarkah demikian?

Kewajiban suami menafkahi istrinya bersandar pada Al-Qur’an surah An Nisa’ ayat 34. Allah SWT berfirman,

…اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ


Artinya: “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya…”

Menurut Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI, ayat tersebut menjelaskan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, serta bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan keluarganya.

Di masyarakat Indonesia, muncul anggapan uang suami juga uang istri, tetapi uang istri bukan uang suami. Anggapan ini juga menjadi topik pertanyaan dalam fikih keluarga.

Benarkah Uang Suami Uang Istri dan Uang Istri bukan Uang Suami?

Menurut sistem syariah Islam, seperti dijelaskan Ahmad Sarwat dalam buku Istri bukan Pembantu, suami istri punya kejelasan atas nilai hartanya masing-masing, meski secara fisik harta itu kelihatan saling bercampur. Semua harta suami tetap menjadi harta suami dan harta istri juga akan tetap milik istri sepenuhnya.

Memang sebagian harta suami ada yang menjadi hak istri tetapi harus melalui akad yang jelas. Misalnya pemberian mahar, nafkah wajib, hibah, atau hadiah. Tanpa adanya akad pasti, harta suami tidak otomatis menjadi harta istri.

Mengacu pada buku Finansial Istri dalam Fikih Muslimah karya Aini Aryani, selama suami memenuhi semua kebutuhan dasar atau primer istri seperti sandang, pangan, papan, dan sebagainya, sebetulnya suami sudah tak dibebani kewajiban lainnya. Meski demikian, istri boleh-boleh saja minta uang belanja lebih atau bonus dan hadiah lainnya. Apabila suami memberikan, semuanya akan menjadi hak istri.

Pemberian suami di luar nafkah itu akan menjadi sedekah untuk istri. Sebab, dalam Islam orang yang paling berhak diberi sedekah suami adalah mereka yang menjadi tanggungannya. Rasulullah SAW bersabda,

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنِّى ، وَابْدَأُ بِمَنْ تَعُولُ

Artinya: “Sedekah yang terbaik adalah yang dikeluarkan di luar kebutuhan, dan mulailah sedekah itu dari orang yang kamu tanggung nafkahnya.” (HR Bukhari)

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Pengertian dan Cara Menghitung Besarannya


Jakarta

Zakat profesi tidak pernah disebutkan secara gamblang dalam dalil. Berbeda dengan zakat fitrah yang dijabarkan secara detail baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Apa sebenarnya zakat profesi?

Zakat secara umum artinya bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan.

Mengutip buku Zakat Fitrah dan Zakat Profesi oleh Hafidz Muftisany dijelaskan arti zakat secara istilah, yakni ukuran harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim yang mampu, dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat sesuai dengan syariat islam.


Sementara dalam segi bahasa, zakat artinya bersih (membersihkan diri), suci (mensucikan diri), berkat dan berkembang.

Zakat merupakan ibadah wajib bagi seluruh umat muslim yang mampu secara finansial dan telah mencapai batas minimal bayar zakat atau disebut nisab.

Arti Zakat Profesi

Abdul Bakir, MAg dalam bukunya yang berjudul Zakat Profesi: Seri Hukum Zakat, menjelaskan zakat profesi dan zakat penghasilan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah zakatu kasb al-amal wa al-mihan alhurrah. Artinya zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas.

Istilah ini digunakan oleh Dr Yusuf Al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz-Zakah dan juga oleh Dr Wahbaah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.

Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan berdasarkan harta yaang didapat oleh seseorang karena ia mendapatkan harta dari pekerjaan yang digelutinya. Harta yang diperoleh ini bukanlah dari hasil pertanian, peternakan atau barang perdagangan, emas atau perak yang disimpan, barang yang ditemukan dan sejenisnya.

Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), penghasilan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.

Zakat profesi tidak terdapat dalam kitab-kitab fikih klasik. Zakat ini juga tergolong zakat yang diperselisihkan para ulama di masa sekarang. Para ulama yang mendukung zakat profesi menggunakan ayat dan hadits yang bersifat umum.

Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 267, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا۟ ٱلْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِـَٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغْمِضُوا۟ فِيهِ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Nisab dan Kadar Zakat Profesi

Nisab zakat profesi senilai 85 persen gram emas. Adapun, kadar zakat profesi dan jasa senilai 2,5 persen. Ketentuan ini termuat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syariat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.

Menurut SK BAZNAS Nomor 22 Tahun 2022 tentang Nisab Zakat Pendapatan dan Jasa, nisab zakat penghasilan yang senilai 85 gram emas tersebut setara dengan Rp 79.292.978 per tahun atau Rp 6.607.748 per bulan.

Cara Menghitung Zakat Profesi

Cara menghitung zakat profesi atau penghasilan dapat dilakukan dengan mengalikan 2,5 persen dengan jumlah penghasilan dalam 1 bulan. Contohnya apabila penghasilannya Rp 10 juta per bulan maka cara menghitungnya sebagai berikut,

2,5% x Rp 10.000.000 = Rp 250.000 per bulan.

Apabila profesi yang dijalankan tidak menghasilkan pendapatan yang tetap dan pendapatan dalam 1 bulannya tidak mencapai nisab, maka hasil pendapatannya selama 1 tahun dikumpulkan baru dihitung. Kemudian, zakat baru ditunaikan jika penghasilan bersihnya sudah mencukupi nisab.

Hukum Membayar Zakat Profesi

Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia, dalam Majmu Fatawa wa Ar Rasaa’il menjelaskan tentang hukum membayar zakat profesi.

“Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya.

Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nisab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.”

(dvs/nwk)



Sumber : www.detik.com

Bayar Fidyah Puasa dengan Uang, Berapa Rupiah yang Harus Dikeluarkan?


Jakarta

Membayar utang puasa bisa dilakukan dengan dua cara yaitu pertama melaksanakan puasa setelah bulan ramadan sebanyak hari yang terutang dan dengan membayar fidyah puasa.

Allah SWT berfirman melalui surah Al-Baqarah ayat 184:

أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ


Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah ra. berkata, “Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. lalu berkata, ‘Celaka saya ya Rasul Allah? ‘Kenapa kamu celaka?” Tania Rasul. Laki-laki itu menjawab, “Saya telah bersetubuh dengan istriku pada siang hari Ramadhan. Rasul bertanya, ‘Sanggupkah kamu memerdekakan seorang budak?’ ‘Tidak, jawab laki-laki itu. ‘Kuatkah kamu puasa dua bulan berturut-turut?’ tanya Rasul pula. ‘Tidak, jawabnya. ‘Sanggupkah kamu memberi makan kepada enam puluh orang miskin?’ tanya Rasul. Dan laki-laki itu pun tetap menjawab, ‘Tidak. Kemudian ia pun duduk, maka datanglah Nabi Saw. membawa sebakul kurma lalu berkata, ‘Sedekahkanlah kurma ini, kata beliau. ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dari kami? Padahal di kampung ini tidak ada satu keluarga pun yang lebih melarat selain kami, kata laki-laki itu menerangkan. Dan Nabi Saw. pun tertawa sampai kelihatan gigi gerahamnya, lalu bersabda, ‘Pulanglah, berikanlah kurma ini untuk keluargamu.” (HR Abu Hurairah)

Pengertian Fidyah

Dilansir dari Kitab Fikih Sehari-hari 365 Pertanyaan Seputar Fiqih untuk Semua Permasalahan dalam Keseharian oleh A.R. Shohibul Ulum, fidyah adalah pengganti dari ibadah yang sudah ditinggalkan, dengan memberikan sejumlah makanan kepada fakir miskin.

Maka dengan konsep fidyah sebagai santunan kepada orang-orang fakir miskin, maka fidyah boleh berupa uang. Karena mempertimbangan bilamana orang miskin tersebut telah mempunyai cukup makanan, supaya dapat menggunakan fidyah untuk keperluan lain, maka dalam bentuk uang juga bisa.

Besaran Fidyah untuk 1 Hari Puasa dengan Beras dan Uang

Fidyah bisa dibayar dalam bentuk makanan pokok dan uang. Dijelaskan dalam buku 125 Masalah Puasa oleh Anis Sumaji, Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i menerangkan bahwa fidyah makanan pokok harus dibayar sebesar 1 mud gandum atau sama dengan 0,75 kilogram. Setara dengan telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa.

Sementara itu, mazhab Hanafi berpandangan fidyah yang dikeluarkan sebesar 2 mud atau 1/2 sha’ gandum yang mana setara dengan 1,5 kg. Umumnya aturan ini digunakan untuk membayar fidyah beras.

Selanjutnya berdasarkan SK ketua BAZNAS No.7 tahun 2023 perihal zakat fitrah dan fidyah untuk area Jakarta dan sekitarnya, ditetapkan nilai fidyah sejumlah Rp. 60.000 per hari per orang.

Demikian perihal membayar fidyah dengan uang, setiap daerah mempunyai besaran biaya yang berbeda-beda.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah SAW dan Uang 8 Dirham Miliknya



Jakarta

Rasulullah SAW menjalani hidup dengan sederhana. Bahkan ada kisah yang menceritakan dirinya dalam keadaan apa adanya, namun dalam kondisi serba terbatas, Rasulullah SAW merupakan sosok yang dermawan.

Banyak kisah yang menggambarkan kedermawanan Rasulullah SAW. Seperti diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Abbas yang menceritakan,

“Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al-Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah SAW melebihi angin kencang yang bertiup.”


Salah satu kisah dermawan Rasulullah SAW diceritakan dalam buku 115 Kisah Menakjubkan Dalam Hidup Rasulullah karya Fuad Abdurrahman.

Dikisahkan suatu hari Rasulullah SAW hendak belanja. Beliau membawa bekal uang delapan dirham untuk membeli pakaian dan peralatan rumah tangga.

Sebelum tiba di pasar, beliau melihat seorang wanita sedang menangis.

“Mengapa kau menangis? Apakah kau sedang ditimpa musibah?” tanya Rasulullah SAW.

Wanita itu mengatakan bahwa ia adalah seorang budak. Ia menangis karena kehilangan uang dua dirham dan takut akan dipukuli majikannya.

Setelahnya, Rasulullah SAW mengeluarkan dua dirham dan diberikan kepada budak wanita itu. Kini, uang beliau tinggal enam dirham lagi untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Rasulullah SAW bergegas membeli sebuah gamis, pakaian kesukaannya. Namun, saat hendak beranjak pulang, seorang laki-laki tua berteriak, “Barangsiapa memberiku pakaian, Allah SWT akan mendandaninya kelak.”

Rasulullah SAW memperhatikan orang itu. Ternyata pakaiannya compang-camping dan sudah rusak dimana-mana. Pakaian tersebut tak pantas lagi dikenakan. Untuk itu, Rasulullah SAW memberikan gamis yang baru dibelinya itu dengan suka rela kepadanya.

Rasulullah SAW lalu meneruskan langkahnya untuk membeli kebutuhan lainnya.

Lagi-lagi beliau harus bersabar. Kali ini, budak wanita tadi mendatanginya dan mengeluh bahwa ia takut pulang. Ia khawatir akan dihukum majikannya karena terlambat pulang.

Pada masa itu, seorang budak wanita diperlakukan dengan semena-mena. Hukuman fisik sudah lazim diterima. Akhirnya, Rasulullah SAW dengan senang hati mengantarkan budak wanita itu ke rumah majikannya.

Sampai di rumah orang itu, Rasulullah SAW mengucapkan salam, tetapi tidak ada yang menjawab. Beliau kembali mengucapkan salam. Baru pada kali ketiga, penghuni rumah menjawabnya. Tampaknya, semua penghuni rumah adalah perempuan.

“Kenapa salam pertama dan keduaku tidak kalian jawab?” tanya Rasulullah SAW.

“Kami sengaja diam karena ingin didoakan olehmu, wahai Rasulullah, dengan tiga kali salam,” jawab penghuni rumah.

Kemudian beliau menyerahkan budak wanita itu kepada pemiliknya dan menjelaskan persoalannya seraya berpesan, “Jika budak wanita ini salah dan perlu dihukum, biarlah aku yang menerima hukumannya.”

Mendengar penuturan Rasulullah SAW yang begitu tulus dan ikhlas, penghuni rumah terkesima dan terharu. la berkata, “Budak ini sekarang bebas karena Allah.”

Tentu saja Rasulullah SAW sangat senang mendengarnya.

Beliau bersyukur sambil berkata, “Tidak ada delapan dirham yang begitu besar berkahnya daripada delapan dirham ini. Dengannya Allah SWT telah memberi rasa aman kepada orang yang ketakutan, memberi pakaian orang yang telanjang, dan membebaskan seorang budak.”

Rasulullah SAW tidak mendapatkan barang kebutuhannya namun beliau justru bersyukur karena bisa memberikan manfaat yang lebih besar kepada banyak orang. Masya Allah!

(dvs/rah)



Sumber : www.detik.com

Mahar Terbaik untuk Pernikahan dalam Islam, Apakah Harus Emas dan Uang?


Jakarta

Mahar atau maskawin merupakan syarat sah nikah yang harus dipenuhi. Lantas, apa mahar paling ideal menurut pandangan Islam?

Menurut Abdul Rahman Ghazaly dalam buku Fiqh Munakahat, mahar secara terminologi ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”.

Islam sangat memuliakan kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak untuk menerima mahar. Sebagaimana yang termaktub dalam surah An-Nisa ayat 4 yang berbunyi,


وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا ٤

Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”

Mengutip buku Hukum Perkawinan karya Tinuk Dwi Cahyani, dijelaskan bahwa pemberian mahar kepada istri ini hukumnya wajib. Apabila seorang suami tidak memberikan mahar kepada istrinya maka tentunya suami berdosa.

Mahar Paling Ideal dalam Pandangan Islam

Dijelaskan dalam buku Panduan Pernikahan Islami karya Yusuf Hidayat, menurut syariat Islam, mahar yang paling ideal ialah yang tidak menyulitkan pernikahan. Artinya, mahar yang diberikan paling ringan dan mudah maharnya dalam pemberiannya.

Bahkan Rasulullah SAW tidak menyukai mahar yang terlalu mewah atau berlebihan. Sebagaimana pesan Nabi SAW yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin ‘Amir , Rasulullah SAW bersabda :

خيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا.

Artinya: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR Abu Dawud)

Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda :

إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةٌ.

Artinya: “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya” (HR Ahmad)

Mengenai bentuk mahar yang harus diberikan dijelaskan dalam buku Fiqih Munakahat: Hukum Pernikahan Dalam Islam karya Sakban Lubis dkk, sang calon suami dapat memberikan mahar berupa harta benda yang dicintainya serta dapat membahagiakan calon istrinya.

Ada satu kisah ketika Rasulullah SAW ketika menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali RA. Diriwayatkan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW, berkata kepada Ali. “Berikanlah sesuatu kepada Fatimah.”

Ali menjawab, “Aku tidak mempunyai sesuatu pun, Baginda Rasul.”

Maka Rasulullah bersabda. “Di mana baju besimu? Berikanlah baju besimu itu kepadanya.

Maka Ali pun memberikan baju besi miliknya kepada Fatimah sebagai maharnya. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

Meski umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari’at Islam membolehkan memberikan mahar dalam bentuk jasa melakukan sesuatu.

Bahkan pada zaman Rasulullah SAW, hafalan Al-Qur’an dapat dijadikan sebuah mahar. Seperti yang diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’adiy dalam bentuk muttafaq alaih, ujung dari hadits panjang yang dikutip di atas :

Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat Al-Qur’an?

Lalu, la menjawab : Ya, surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya.

Nabi SAW kembali bertanya, “Kamu hafal surat-surat itu di luar kepala?”

Dia menjawab, Ya. Nabi SAW berkata : “Pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan Al-Qur’an”.

Untuk bentuk mahar apa yang ingin diberikan, harus disepakati oleh calon suami dan calon istri. Ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur mahar, pada pasal 30 dijelaskan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati kedua belah pihak.”

Lalu, untuk mengenai jumlah atau kadar mahar, para ulama berselisih pendapat. Mengutip Jurnal Tahqiqa: Mahar Secara Berhutang dalam Perspektif Hukum Islam, Vol. 16 No. 1, tahun 2022 karya Fajarwati, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi.

Selisih pendapat terjadi dalam menentukan batas terendahnya. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.

Sementara itu, Imam Malik mengatakan bahwa paling sedikit ialah seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.

Wallahua’lam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com