Tag Archives: ujaran

Ujaran Kasih Sayang, Mengubah Kabut Menjadi Terang



Jakarta

Imam Ahmad meriwayatkan dalam sebuah alHadits, bahwa waktu itu muncul seorang pemuda yang menghadap Rasulullah SAW. Dengan berterus terang ia pamit mohon dijinkan melakukan zina. Berzina dengan seorang perempuan.

Waktu itu Rasulullah bersama para sahabat beliau. Terbayang betapa suasana pada saat pemuda itu melapor begitu membuat para sahabat geram. Sangat marah, walau tidak berani lancang melangkahi Rasulullah. Mereka bahkan, ada yang hendak memenggal saja kepala pemuda itu. Pada waktu itu pedang dan senjata yang serupa memang biasanya dibawa tanpa ijin kepolisian.

Namun apa yang mereka perhatikan pada wajah Rasulullah. Beliau tenang. Tidak sekali pun tampak wajah marah, geram sebagaimana para sahabat yang emosional.
Rasulullah menasihati pemuda itu dengan penuh kasih sayang. Rasulullah bertutur dengan lembut dan bijaksana. Rahasia bertutur yang wajib dijadikan tauladan. Bagi setiap kita apalagi yang berjuang menjadi pimpinan. Pemimpin yang semestinya menjadi panutan.


“Apakah kamu rela kalau ibumu dizinai orang?” tanya Rasulullah.
Pemuda itu langsung menjawab,” pasti tidak.”
“Demikian juga orang lain, tidak suka bila ibu-ibu mereka dizinai.”
“Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” lanjut Rasulullah.
“Tidak, sungguh demi Allah,” jawab sang pemuda.
“Demikian pula orang lain, tidak suka bila itu dilakukan pada anak gadis mereka.”
“Apakah engkau suka bila saudarimu yang dizina?”
Dengan tegas pemuda itu mengatakan tidak sembari bersumpah.
“Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka,”
“Apakan engkau suka bila perbuatan zina dilakukan kepada saudari ibumu?”
Pemuda itu menjawab dengan jawaban yang sama, bahkan bersumpah dengan nama Allah tidak menginginkannya.
“Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.”
Setelah itu, Rasulullah berdoa dan meletakkan tangannya di dada pemuda itu, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.”
Nasihat Rasulullah ditutup dengan doa kepada Allah. Doa tulus dari Rasul pilihan. Dikabulkan Tuhan.
Pemuda tersebut akhirnya menjadi orang yang paling membenci zina.

Pada masa menjadi Ibu Negara, Ibu Tien Soeharto pernah berpesan. Yang intinya agar jangan membiasakan putra-putri yg masih kecil. Mendengarkan kosa kata/ujaran kurang baik dari para orang tuanya. Biasakan mereka selalu menerima pelajaran cinta dan kasih sayang. Melalui percakapan keseharian di dalam rumah-rumah tempat mereka tinggal. Nanti mereka akan berkembang menjadi generasi penerus yang ujarannya selalu mengarah kepada kebaikan, pujian, ujaran penuh kasih sayang. Mereka sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menghina orang. Bahkan mereka tak pernah memiliki selera berucap yang bermakna makian.
Semoga nasihat bu Tien kita praktikkan!

Terpapar kisah seorang Lurah Mbah Singo yang hanya memiliki putra semata wayang.
“Cah bagus (Anak baik/ganteng), mari ke sini ke pendopo.”

Terbayang panggilan sebutan, bukan panggilan nama. Ialah sebutan penuh kasih sayang, penuh rasa kepemilikan yang sangat dalam. Panggilan lembut seorang bapak kepada putranya.

Sebelum itu, boleh jadi sebagian sidang pembaca menduga bahwa putra semata wayang Mbah Lurah anaknya ngganteng, pinter dan shaleh.

Sabar tunggu dulu! Putra Mbah Lurah tidak pernah sekolah, pun tidak pernah mengaji. Tumbuh menjadi dewasa. Menjadi pencuri! Padahal bapaknya pimpinan kelurahan.

“Ada apa Pak,” yang dipanggil menjawab sekenanya. “Aku ini sumpek (saya ini sedang kesal).”
“Sumpek opo (kesal karena apa)?” sambut Mbah Lurah.
“Aku ini kan maling. Setiap malam dikepung orang, malam berikutnya dikepung orang lagi. Saya ini ingin menjadi sakti. Supaya saya bisa mengamati seluruh orang sedang orang-orang tidak satu pun yang bisa melihat saya.” Dia meluncurkan maksudnya melalui kata-kata lalu berhenti.
“Gampang, ya cari saja tempat yang gelap sehingga tidak terlihat,” Mbah Lurah menjawab datar.
“Sudah Pak, tapi disenter,” putranya menjawab seraya mendesak bapaknya agar mengabulkan permintaannya.
Ketika itu waktu ba’da shalat Ashar menuju Maghrib.
“Oh, kalau gitu hayo mandi dulu. Bersihkan badan lalu ganti baju. Nanti diberitahu bagaimana caranya.”
Setelah putranya sudah bersih dan berpakaian rapi, Mbah Lurah melanjutkan pembicaraan.
“Gini loh, kalau kamu ingin sakti gampang. Pokonya hari ini ikut saya sowan (berkunjung) ke Ndresmo. InsyaAllah kamu akan menjadi sakti.”
“Iya Pak,” berangkatlah mereka berdua.
Sampai di Ndresmo Mbah Yai dawuh (berkata),
“Mbah Lurah,”
“Njih Mas,” sambut Mbah Lurah.
“Tidak biasanya ke sini bersama putranya?”
Lanjut Mbah Yai.
“Begini Mas, putra saya ini maling. Setiap malam dikejar-kejar orang. Dia ingin menjadi orang sakti. Sekiranya dia tidak dilihat orang sedang dia mampu mengawasi setiap orang.”

Stop! Sampai di sini sebagian kita mungkin tak pernah menyangka dengan keterbukaan Mbah Lurah. Meminta pemuka agama Mbah Yai pewaris Nabiy mengabulkan perbuatan yang tidak dihalalkan agama. Tidak persis sama dengan kisah pemuda yang ijin berzina. Namun beda-beda tipis. Bahkan ijin mengajak berbuat ‘maksiyat’ berjemaah. Mendukung pekerjaan mencuri yang pastinya haram.

Tapi sekali lagi sabar. Rupanya Mbah Yai tipe pemimpin yang meneladani Nabiy.
“Baik. Pokoknya tolong tinggallah di sini dulu. Nanti pulang akan menjadi orang sakti,” ujar Mbah Yai seolah tidak perduli apakah kesaktiannya akan digunakan untuk maslahat atau untuk sebaliknya.

Selanjutnya, Mbah Yai ternyata mendidik, membina putra Mbah Lurah dengan penuh kasih sayang. Melalui masa yang cukup panjang, pelan, disiplin. Diiringi doa kepada Tuhan, sambil terus mendahulukan utamanya kasih sayang, akhirnya sang pemuda memang sakti betulan.

Dulunya yang bercita-cita menjadi maling tampa bisa kelihatan. Setelah dibina oleh Mbah Yai, putra Mbah Lurah berubah menjadi pelopor agama yang berilian.

Putra Mbah Lurah Singo itu kemudian terkenal dengan sebutan Mbah yai Mustofa. Wali Allah yang karomahnya diketahui banyak orang. Cita-cita menjadi maling, berubah menjadi Mbah Yai yang alim. Subhaanallah.

Semoga kita pun selalu membiasakan ujaran yang bermakna kasih-sayang. Betapa indahnya jika itu bisa mengubah kabut menjadi terang. Dari maksiat betulan menjadi maslahat sungguhan.

Hayo kita sama bermohon kepada Tuhan. Agar selamanya mendahulukan ujaran yang berisikan makna kasih sayang. Meneladani kasih sayang Tuhan, aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Cinta Harus Memiliki, Belajar Ikhlash Dari Wali



Jakarta

Santri laki sangat ingin menikahi putri Kyai. Naluri wajar yang jarang dijumpai. Tapi itulah situasi yang pernah terjadi. Di sebuah pondok pesantren di masa teknologi masih belum semaju saat ini.

Pada saat itu mengisi bak mandi masih menggunakan air yang harus dibeli. Dari penjual air yang berlokasi di sekitar rumah. Masih di dalam satu kampung yang sama.

Peristiwa itu terjadi di salah satu pondok pesantren (Ponpes) di Makkah. Ponpes itu menampung putra-putri. Tentu saja santri putra dan santri putri berbeda lokasi. Sehingga mereka pasti tidak dapat saling menemui.


Sang Syech atau Kyai memiliki seorang putri. Kecantikannya banyak dikenali masyarakat sekitar. Banyak pemuda yang ingin menikahi. Termasuk salah seorang santri Kyai.

Jangankan melihat putri Kyai, melihat santri putri saja pasti harus dijauhi.
Namun santri satu ini sangat punya nyali. Ada saja akal pikiran yang dipunyai. Ia berusaha berjualan air. Tujuannya pasti agar bisa mudah, masuk lokasi putri. Karena penjual air bila mengisi air ke dalam bak mandi harus mengantarnya sendiri. Usaha itu dalam upayanya bisa kenal dengan putri Kyai. Bukankah putri Kyai juga memiliki lokasi, belajar dan beraktifitas di sekitar lokasi santri putri.

Bisa diduga bahwa tujuan santri berjualan air bukan tujuan asli. Apalagi untuk Kyai ia mematok diskon tinggi. Lebih aneh lagi ia tidak menjual air kecuali hanya kepada Ponpes Kyai.

Beberapa waktu berlalu. Rupanya sang Kyai memahami. Boleh jadi karena beliau seorang wali. Bahwa santri laki itu berjualan air tapi punya maksud mengincar putri Kyai. Lalu beliau Kyai memanggil santri laki itu sambil berujar, “Nak, apakah kamu sengaja berjualan air hanya ke sini saja. Tidak kepada keluarga lain. Hanya karena ingin kenal putriku. Lalu bisa menjadi menantuku?”
“Inggih (ya) Kyai,” jawab santri itu polos.

Baiklah. Kalau kamu berniat sungguh-sungguh ingin memiliki putriku, menikahinya, boleh. Tidak harus melalui berjualan air ke sini.” Sambung Kyai dengan ramah dan tenang.
“Terus saya harus bagaimana Kyai?” Tanya santri itu dengan hati yang berbunga-bunga karena begitu bahagianya. Betapa tidak, sang Kyai seolah begitu saja dengan mudah akan “merestui”. Sedang dirinya hanyalah seorang santri yang bukan keturunan Kyai. Ada juga perasaan belum wajar, tetapi bagaimana lagi. Demi keinginan sejati menikahi putri Kyai.

“Kalau kamu sungguh-sungguh, mulai besok datanglah ikut berjemaah di masjidil haram. Kamu wajib ada di shaf pertama.” Lanjut Kyai sambil menatap santri itu meyakinkan.
“Itu harus kamu lakukan selama empat puluh hari tampa putus, terus menerus.” Lanjut beliau sambil menekankan suaranya. Tanda serius.

“Baik Kyai, insyaAllah akan segera saya laksanakan mulai besok hari.” Secepat kilat santri itu menjawab. Seolah merasa sarat yang diberikan Kyai akan bisa dengan mudah dia lalui. Tidak harus lebih dulu menjadi wali. Tidak juga harus punya duit banyak sekali. Bukan itu semua. Hanya ikut shalat berjemaah di shaf awal di masjidil Haram. Mudah sekali. Gumamnya di dalam hati.
Segera santri itu menyiapkan diri untuk menyanggupi seluruh yang dipesankan Kyai.

Esok harinya santri itu mulai berjemaah di shaf pertama. Niatnya antara lain pasti supaya keinginannya terpenuhi. Menikahi putri Kyai. Yang kecantikannya sulit ditandingi. Satu hari, dua hari, tiga sampai sepuluh hari. Bayangan bisa menyunting putri Kyai masih membayangi. Walau tak sepenuh bayangan pertama kali mengikuti shalat berjemaah di shaf awal itu.

Setelah masuk hari ke sebelas, dua belas, terus sampai lewat empat puluh hari. Bayang keinginan menikahi putri Kyai, berganti dengan kenikmatan shalat berjemaah di shaf awal. Kenikmatan yang selama ini belum pernah ia alami.

Melewati empat puluh hari sesuai janji. Kyai menjemputnya, menggandengnya pulang demi menepati janji. Menikahkan putrinya dengan si santri. Namun apa yang terjadi?

Ketika Kyai berkata kepada santri,”Nak, hayo pulang. Sesuai dengan janjiku tempo hari. Sekarang sudah selesai sarat yang aku ajukan. Sekarang waktunya aku nikahkan engkau dengan putriku.” Ujar Kyai penuh yakin.

Sebaliknya. Jawaban santri itu ternyata di luar ekspektsi Kyai. “Mboten (tidak) Kyai, kenikmatan shalat jemaah di shaf awal di masjidil haram, mboten saged (tidak bisa) ditukar dengan hanya sekedar seorang putri. Mboten.” Santri itu menolak sopan ajakan Kyai.

Rupanya. Berawal dari niat ingin menikahi putri Kyai, lalu menekuni shalat berjemaah di lokasi paling diminati (dekat Ka’bah di shaf awal) secara istiqamah. Bergeser menjadi perbuatan ikhlash. Ikhlash menuntunnya untuk nikmat mencintaiNya. Cinta yang tak mungkin ditukar dengan apa pun selainNya. Termasuk cinta kepada putri Kyai.

Merasa bertambah kagum kepada si santri. Kyai mencoba merendah dan mengulangi ajakannya kembali. “Nak, hayo pulang dulu. Saya sangat ingin dan sangat butuh orang yang ikhlash menjadi menantuku.”
Demi tersentuh kata-kata ikhlash. Yang pasti berbeda terbalik dengan niat santri pertama kali pergi shalat jemaah di shaf awal. Santri itu terlihat tidak tega menolak ajakan Kyai.

“Injih Kyai, kalau karena ikhlash saya bersedia menikahi.” Terlihat wajah Kyai itu seketika berganti cerah. Secerah sinar mentari yang mulai beranjak tinggi. Lalu mereka bersama-sama pergi menuju rumah Kyai.

Ikhlash memang bukan perbuatan ringan seringan jatuhnya rintik hujan dari awan. Tapi ikhlash ternyata bisa ditimbulkan melalui kebiasaan. Kebiasaan melakukan kebaikan berulang-ulang. Kebaikan yang dilakukan secara istiqamah. Terus menerus sampai lupa ingatan terhadap maksud kurang ikhlash sebagaimana niat di awal perbuatan. Sampai muncul kenikmatan tak tergantikan. Kenikmatan mampu merasakan nikmatnya cinta Tuhan.

Jangankan shalat jemaah istiqamah di shaf awal. Menyiapkan makanan kucing, hewan-hewan peliharaan. Bukan karena ingin supaya si hewan membalas kebaikan tuannya, taat, nurut kepada pemiliknya. Tapi niat hanya demi Tuhan, itu pun bisa mengundang ikhlash. Sebutan yang kebanyakan orang menganggapnya sulit didapatkan.

Menahan membuang sampah di jalan. Bukan takut dikira kurang mengerti kebersihan. Juga bukan karena takut kelihatan orang. Namun demi menjaga kebersihan sesuai amanat Tuhan. Itu bisa menjadi ikhlash yang sering di luar perhatian.

Berusaha secara istiqamah menahan diri dari ujaran yang menimbulkan kegelisahan, ujaran yang kurang wajar. Menggantinya dengan ujaran baik yang selalu bermakna kebaikan di jalan Tuhan. Itu pula menjadi jalan ikhlash yang sangat mengundang tingginya kehormatan. Kehormatan di sisi Tuhan. Kehormatan di antara seluruh makhluk Tuhan.

Cinta santri laki itu kepada putri Kyai. Ternyata memang berakhir dengan memilikinya. Kisah perjalanan ikhlash salah seorang wali.

Semoga setiap kita berkenan berlatih untuk menikmati jalan ikhlash. Jalan mencapai cinta sejati kepadaNya, sampai mampu memiliki cintaNya, aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih-Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com