Tag Archives: Ulama Syafiiyah

Doa Buka Puasa Ramadan Arab dan Artinya yang Shahih



Jakarta

Salah satu sunnah dalam berbuka puasa adalah membaca doa. Umat Islam bisa membaca doa buka puasa Ramadan Arab dan artinya yang shahih sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW.

Puasa adalah kewajiban atas setiap muslim yang mukalaf atau yang dikenai beban syariat. Perintah puasa termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 183. Allah SWT berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Menurut sebuah riwayat, Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk menyegerakan waktu berbuka puasa. Dari Sahl bin Said, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَلُوا الْفِطْرَ

Artinya: “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (HR Bukhari dan Muslim)

Para ulama menyebut, waktu berbuka puasa termasuk waktu yang mustajab. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,

ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل والمظلوم

Artinya: “Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berdoa, doanya pemimpin yang adil, dan doanya orang yang terzalimi.” (HR Tirmidzi)

Doa Buka Puasa Ramadan Arab dan Artinya

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

Dzahabaz zhama’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru, insyaallah

Artinya: “Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala telah tetap, insya Allah.” (HR Abu Dawud)

Bacaan doa berbuka puasa yang shahih tersebut temaktub dalam Kitab Sunan Abu Dawud yang turut dinukil Imam an-Nawawi dalam Kitab Al-Adzkar. Ulama Syafi’iyah ini turut meriwayatkan doa buka puasa dalam Kitab Ibnu Sunni, dari Ibnu Abbas RA, “Jika Rasulullah SAW berbuka puasa beliau membaca:

Allaahumma laka shumnaa wa ‘ala rezekika aftharnaa fataqabbal minnaa innak antas samii’ul ‘aliim

Artinya: “Ya Allah, kepada-Mu kami berpuasa dan atas rezeki-Mu kami telah berbuka, maka terimalah dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Selain doa tersebut, terdapat doa buka puasa dengan lafaz berikut,

اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa’ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin

Artinya:” Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang.”

Menurut penelusuran detikHikmah, doa berbuka puasa tersebut tidak termuat dalam kitab hadits shahih. Namun, ada sejumlah hadits yang menyebut doa yang mirip dengan lafaz itu tapi dengan redaksi yang lebih pendek.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai waktu membaca doa berbuka puasa. Sejumlah ulama mengatakan, doa berbuka puasa dibaca setelah berbuka atau pertama kali membatalkan puasa dengan air, kurma, atau semacamnya.

Pendapat tersebut bersandar pada kata yang tertera dalam doa buka puasa sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud, yang artinya, “Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala telah tetap, insya Allah.”

Sementara itu, pendapat lain menyebut, umat Islam bisa membaca doa buka puasa sebelum berbuka, sedangkan pendapat lain tidak menetapkan waktu dalam membacanya.

Disebutkan dalam buku Mempercepat Datangnya Rezeki dengan Ibadah Ringan karya Mukhlis Aliyudin dan Enjang, membaca doa berbuka puasa tersebut sebaiknya diiringi oleh doa sebelum bersantap menu berbuka. Lalu, ketika berbuka, bisa membaca doa-doa lainnya untuk keselamatan, kesuksesan, dan kelapangan rezeki di dunia dan akhirat.

Terkait waktu berbuka sendiri, jumhur ulama sepakat bahwa puasa dilakukan hingga terbenamnya matahari atau memasuki waktu salat Maghrib. Untuk jadwal buka puasa sendiri, detikers bisa lihat melalui LINK INI, ya!

Kultum Prof. Nasaruddin Umar, MA Bulan Ramadan, Bulan Penyelamat:

[Gambas:Video 20detik]

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Bacaan Doa Qunut Witir 15 Malam Terakhir Ramadan



Jakarta

Salat Witir bulan Ramadan umumnya dikerjakan usai salat Tarawih. Ulama Syafi’iyah menganjurkan untuk membaca doa qunut Witir saat memasuki pertengahan akhir Ramadan.

Mengutip buku Dialog Lintas Mazhab: Fiqh Ibadah dan Muamalah karya Asmaji Muchtar, mazhab Syafi’i berpendapat bahwa salat Witir hukumnya sunnah muakkad dengan jumlah rakaat paling sedikit satu rakaat dan paling banyak sebelas rakaat.

Jika dilakukan lebih dari sebelas rakaat dengan sengaja tahu, salat tambahan tersebut tidak sah. Adapun jika melakukannya karena tidak tahu atau lupa, salatnya tidak batal dan menjadi salat sunah mutlak.


Waktu salat Witir dimulai setelah salat Isya sampai terbit fajar. Disunahkan untuk membaca doa qunut dalam rakaat terakhir di setengah dari bulan Ramadan.

Bacaan Doa Qunut Witir

Imam an-Nawawi dalam Kitab Al Adzkar mengatakan melakukan qunut pada pertengahan akhir dari bulan Ramadan, tepatnya dalam rakaat terakhir salat Witir. Ulama Syafi’iyah lainnya ada yang berpendapat melakukan qunut pada semua salat Witir pada bulan Ramadan.

Bacaan doa qunut Witir pada 15 malam terakhir Ramadan termaktub dalam hadits yang diriwayatkan dalam Kitab Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan kitab lainnya dengan sanad yang shahih dari al-Hasan bin Ali RA. Berikut bacaannya:

للّٰهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ فَاِنَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضٰى عَلَيْكَ وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ
مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ وَاَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Arab latin: Allaahumah dinii fii man hadaits, wa ‘aafiinii fii man ‘aafaits, wa tawallanii fii man tawallaits, wa baarik lii fii maa a’thaits, wa qi nii syarra maa qadlait, fa innaka taqdli wa laa yuqdlaa ‘alaik, wa innahuu laa yadzil-lu mau waalaits, tabarakta rabbanaa wa ta’aaits

Artinya: “Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, berilah kesejahteraan kepadaku di antara orang-orang yang Engkau beri kesejahteraan, tolonglah aku di antara orang-orang yang Kau beri pertolongan, berikanlah keberkahan kepadaku pada apa-apa yang Engkau berikan kepadaku, dan peliharalah aku dari keburukan yang Engkau putuskan, karena sesungguhnya Engkau memutuskan dan tidak diputuskan atas-Mu, dan tiada kehinaan kepada orang yang telah Engkau tolong, Mahasuci Engkau wahai Tuhan kami, lagi Maha tinggi.”

Dijelaskan dalam buku Meneladani Solat Sunat yang Diajarkan Rasulullah karya Syihabudin Ahmad, doa qunut ketika salat witir dibaca pada rakaat yang terakhir setelah membaca surah dan sebelum rukuk.

Hal tersebut bersandar pada sebuah riwayat dari Ubay bin Ka’ab, dia berkata,

“Bahwasanya Rasulullah SAW mengerjakan Witir lalu membaca qunut sebelum rukuk.” (HR Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Kitab Iqaamatush Sholaah was Sunnah Fiiha)

Dijelaskan pula bahwa menurut Syaikh Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah bahwa pandangan ini bersandarkan pada riwayat dari Abu Dawud bahwa Umar bin Khattab RA mengumpulkan orang ramai untuk melaksanakan salat Tarawih dengan berimamkan kepada Ubay bin Ka’ab RA.

Selama dua puluh hari Ubay bin Ka’ab menjadi imam kepada mereka dan tidak pernah mengerjakan qunut melainkan pada pertengahan akhir pada bulan Ramadan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hadits Bulan Syaban tentang Puasa hingga Ampunan Allah



Jakarta

Bulan Syaban adalah bulan ke-8 dalam kalender Islam (Hijriyah). Terdapat sejumlah hadits bulan Syaban sebagaimana diriwayatkan para sahabat yang berhubungan dengan keutamaan dan amalan di bulan tersebut.

Hadits-hadits yang berkaitan dengan bulan Syaban terdiri dari hadits shahih hingga dhaif atau lemah. Salah satu hadits bulan Syaban yang memiliki derajat shahih adalah hadits tentang puasa sunnah. Berikut selengkapnya.

Hadits Bulan Syaban

1. Hadits Anjuran Puasa Bulan Syaban

Amalan yang dilakukan Rasulullah SAW pada bulan Syaban adalah berpuasa sunnah. Bahkan, beliau berpuasa paling banyak di bulan ini. Sebagaimana Aisyah RA berkata,


وما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر قط إلا رمضان، وما رأيته أكثر صياما منه في شعبان

Artinya: “Tidaklah aku melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan tidaklah aku melihatnya puasa paling banyak dalam sebulan, kecuali bulan Syaban.” (HR Bukhari dan Muslim, dinilai shahih)

Kemudian, Ummu Salamah RA meriwayatkan,

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.

Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Syaban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

2. Hadits Puasa Nisfu Syaban

Puasa Nisfu Syaban adalah puasa yang dikerjakan pada tanggal 15 Syaban. Salah satu dalil yang menyebut secara khusus pelaksanaan puasa Nisfu Syaban adalah hadits yang diriwayatkan Ibn Majah dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far. Berikut bunyi penggalan haditsnya,

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا

Artinya: “Jika masuk malam pertengahan bulan Syaban maka salatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Karena Allah turun ke langit dunia ketika matahari terbenam…”

Menurut penelusuran detikHikmah, dalil yang berkenaan dengan anjuran puasa Nisfu Syaban tersebut dinilai lemah. Hal ini turut disebutkan dalam Kitab Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq. Ulama Syafi’iyah tersebut menjelaskan, tidak ada dalil shahih yang menyebut bahwa mengerjakan puasa Nisfu Syaban dengan keyakinan ia memiliki keutamaan tertentu.

Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam Kumpulan Tanya-Jawab Bid’ah dalam Ibadah yang ditulis oleh Hammud bin Abdullah Al-Mathr, orang yang memiliki kebiasaan melakukan puasa Ayyamul Bidh (tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriah), maka tidak masalah baginya mengerjakan puasa pada tanggal 15 Syaban (Nisfu Syaban).

3. Hadits Ampunan Allah pada Malam Nisfu Syaban

Ada sejumlah hadits bulan Syaban yang menyebut bahwa Allah SWT akan mengampuni hamba-Nya yang memohon ampunan pada malam Nisfu Syaban. Salah satunya hadits yang dikatakan Al-Albani, dari Muadz bin Jabal RA dia meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,

“Pada malam Nisfu Syaban Allah SWT memperhatikan seluruh makhluk-Nya, Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR Thabrani, Daruquthni, Baihaqi, dan Ibnu Hibban)

Dalam Kitab Syu’ab al-Iman juga terdapat riwayat yang menyebut bahwa Allah SWT akan mengampuni hamba-Nya yang memohon ampun pada malam Nisfu Syaban. Rasulullah SAW bersabda,

“Apabila tiba malam Nisfu Syaban, maka malaikat berseru menyampaikan dari Allah: adakah orang yang memohon ampun maka aku ampuni, adakah orang yang meminta sesuatu maka aku berikan permintaannya.” (HR Baihaqi)

Melansir arsip detikHikmah, sebagian ulama mengatakan bahwa tidak ada satu pun hadits tentang keutamaan malam Nisfu Syaban yang dinilai shahih. Sementara itu, sebagian ulama hadits mengatakan ada riwayat yang karena banyaknya sanad hadits tersebut, maka ia menjadi shahih atau paling tidak menjadi hasan dan bisa dijadikan dalil.

4. Hadits Diangkatnya Amal pada Bulan Syaban

Bulan Syaban juga menjadi bulan diangkatnya amal manusia ke hadirat Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang berasal dari Usamah bin Zaid. Ia berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Syaban”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Artinya: “Bulan Syaban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR Dawud dan an-Nasa’i. Ibnu Khuzaimah men-shahihkan hadits ini)

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Hadits Lailatul Qadar Terletak pada Malam 23 Ramadan, Begini Penjelasannya



Jakarta

Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk mencari lailatul qadar pada 10 hari terakhir Ramadan, tepatnya pada malam ganjil. Ada sebuah hadits yang menyebut lailatul qadar jatuh pada malam 23 Ramadan.

Hadits yang menyebut bahwa lailatul qadar terletak pada malam 23 Ramadan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdillah bin Anis. Ia mengatakan bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan Anda mencari malam lailatul qadar?”

Rasulullah SAW menjawab, “Carilah ia pada malam 23 Ramadan.”


Imam Muslim juga mengeluarkan hadits dengan redaksi yang lebih panjang tentang keberadaan malam lailatul qadar. Hadits ini termuat dalam Kitab Shahih Muslim, Kitab Puasa dan Kitab I’tikaf. Abu Ahsan bin Usman turut menukilnya dalam Kitab At-Tadzhib fi Adillati Matnil Ghaya wat Taqrib.

Dari Abu Sa’id al Khudri RA, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah beritikaf pada sepuluh malam pertengahan bulan Ramadan untuk mencari lailatul qadar sebelum dijelaskan kepada beliau.”

Kata Abu Sa’id, “Setelah sepuluh malam pertengahan itu berlalu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk dibuatkan bilik, tetapi kemudian dibongkar. Kemudian dijelaskan kepada beliau bahwa malam lailatul qadar ada pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, lalu beliau memerintahkan untuk dibuatkan bilik lagi, akan tetapi dibongkar kembali.

Kemudian beliau keluar menemui orang-orang dan berkata, ‘Saudara-saudara! Sungguh telah dijelaskan kepadaku tentang lailatul qadar, dan aku keluar untuk memberitahukan kepada kalian tentang hal itu. Namun kemudian datang dua orang yang sama-sama mengaku benar sedangkan mereka ditemani oleh setan. Sehingga lailatul qadar terlupakan olehku. Maka carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, carilah lailatul qadar pada malam ke-9, ke-7, dan ke-5 (dalam sepuluh malam terakhir itu).’

Seseorang berkata, ‘Hai Abu Sa’id! Kamu tentu lebih mengetahui bilangan itu daripada kami.’

Ia menjawab, ‘Tentu kami lebih mengetahui hal itu daripada kalian.’

Orang itu bertanya, ‘Apa yang dimaksud dengan malam ke-9, ke-7, dan ke-5?”

Ia menjawab, ‘Jika malam ke-21 telah lewat, maka yang berikutnya adalah malam ke-22, dan itulah yang dimaksud malam ke-9. Apabila malam ke-23 telah berlalu, maka berikutnya adalah malam ke-7, jika malam ke-25 telah berlalu, maka berikutnya adalah malam ke-5.'” (HR Muslim 3/173)

Ada pula riwayat yang menyebut bahwa malam lailatul qadar terletak pada malam ke-27. Ulama Syafi’iyah Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah-nya mengatakan, ini yang menjadi pendapat mayoritas ulama.

Ulama yang meyakini hal ini bersandar dengan hadits yang disebutkan oleh Ubai bin Ka’ab. Ia berkata,

“Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, sesungguhnya lailatul qadar itu berada dalam bulan Ramadan. Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui malam ke berapakah dia? Dia adalah malam yang kita diperintahkan untuk menghidupkannya, yaitu malam ke-27. Tandanya, matahari pada pagi harinya tampak putih tak bersinar.”

Hadits tersebut dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih Muslim, Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud, Ahmad dalam Musnad Ahmad, dan At Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi. Adapun, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.

Juga dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ كَانَ مُتَحَرِّهَا، فَلْيَتَحَرَّهَا فِي لَيْلَة سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ

Artinya: “Siapa saja yang berupaya untuk mendapati lailatul qadar, hendaklah ia berupaya untuk mendapatinya pada malam ke-27.” (HR Ahmad dalam Musnad-nya)

Malam 23 Ramadan jatuh pada hari ini, Kamis (13/4/2023) ba’da Magrib hingga Jumat (15/4/2023) dini hari menjelang salat Subuh.

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Hadits Lailatul Qadar Terdapat pada Malam 27 Ramadan



Jakarta

Umat Islam akan memasuki malam 27 Ramadan pada petang nanti, Senin (17/4/2023). Menurut pendapat terkuat, lailatul qadar terletak pada malam tersebut.

Pendapat ini turut dikatakan Ulama Syafi’iyah Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah-nya dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Kitab Qiyam ar-Ramadhan. Ulama yang meyakini hal ini bersandar dengan hadits yang diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab. Ia berkata,

“Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, sesungguhnya lailatul qadar itu berada dalam bulan Ramadan. Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui malam ke berapakah dia? Dia adalah malam yang kita diperintahkan untuk menghidupkannya, yaitu malam ke-27. Tandanya, matahari pada pagi harinya tampak putih tak bersinar.”


Hadits tersebut dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih Muslim, Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud, Ahmad dalam Musnad Ahmad, dan At Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi. Adapun, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.

Juga dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ كَانَ مُتَحَرِّهَا، فَلْيَتَحَرَّهَا فِي لَيْلَة سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ

Artinya: “Siapa saja yang berupaya untuk mendapati lailatul qadar, hendaklah ia berupaya untuk mendapatinya pada malam ke-27.” (HR Ahmad dalam Musnad-nya)

Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan datangnya malam lailatul qadar kecuali Allah SWT. Namun, menurut riwayat shahih, malam yang penuh kemuliaan tersebut terletak pada 10 hari terakhir Ramadan, tepatnya pada malam ganjil.

Rasulullah SAW bersabda,

تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ

Artinya: “Carilah malam lailatul qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Imam An-Nawawi dalam Kitab Riyadhus Shalihin mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah RA bahwa ketika memasuki sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, Rasulullah SAW menjauhi istri-istrinya, menghidupkan malamnya, dan bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Aisyah RA mengatakan,

“Apabila tiba sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, Rasulullah SAW menghidupkan ibadah malam. Beliau membangunkan istrinya. Beliau amat bersungguh-sungguh dan mengencangkan sarungnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam Shahih Bukhari juga terdapat riwayat yang menyebut bahwa Rasulullah SAW sempat akan memberitahukan kapan waktu malam lailatul qadar. Namun, beliau mengurungkan niatnya.

Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah SAW pergi untuk menemui para sahabatnya untuk mengabarkan tentang lailatul qadar, akan tetapi di sana terdapat perselisihan antara dua orang muslim.

Rasulullah bersabda,

إِنِّيْ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فتلاحَى فُلَانٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

Artinya: “Aku datang kemari untuk mengabarkan tentang Lailatulqadar, tetapi si Fulan dan si Fulan berselisih, maka kabar itu (tanggal turunnya) pun telah diangkat, mungkin itu yang lebih baik bagi kalian carilah ia (lailatul qadar) pada tanggal tujuh, sembilan, atau kelima (maksudnya pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan).”

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com