Tag Archives: umar bin

1 Muharam 1447 H, Menag Nasaruddin Ajak Umat Islam Refleksi Makna Hijrah



Jakarta

Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengajak umat Islam menjadikan Tahun Baru Islam sebagai momentum untuk melakukan transformasi spiritual, intelektual, dan sosial. Ia menekankan pentingnya merenungkan kembali makna hijrah Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari.

“Bagaimana kita menghayati apa hikmah di balik hijrahnya Rasulullah SAW? Ada hijrah fisik, hijrah intelektual, spiritual, hijrah dari segi waktu, hijrah dari prestasi,” ujar Nasaruddin Umar di acara peringatan 1 Muharam 1447 Hijriah Tingkat Kenegaraan di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (26/6/2025) malam.

Menag menyebut, peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah merupakan awal dari perubahan besar dalam sejarah umat manusia, yakni dari kegelapan menuju pencerahan peradaban. Oleh karena itu, Menag mengingatkan, “Apa artinya kita memperingati Muharam kalau terjadi penurunan degradasi kualitas individu?” tegasnya.


Nasaruddin Umar juga menyoroti keputusan para sahabat Nabi yang menjadikan peristiwa hijrah sebagai dasar kalender Islam. Hal ini menunjukkan betapa agungnya momen tersebut dalam perjalanan dakwah Rasulullah SAW.

“Banyak pilihan yang ditawarkan saat itu di masa pemerintahan Umar bin Khattab terkait kalender atau penanggalan umat Islam. Lalu Sayyidina Ali mengusulkan agar hijrahnya Rasulullah SAW. Para sahabat pun menyepakati,” imbuh pria yang juga menjabat sebagai imam besar Masjid istiqlal itu.

Lebih lanjut, Menag Nasaruddin Umar menyinggung relevansi semangat hijrah dengan kehidupan modern. Baginya, hijrah adalah ajakan untuk terus-menerus memperbaiki diri, bergerak dari kondisi stagnan menuju kemajuan yang penuh makna.

“Kalau ada di antara kita di sini diberikan umur panjang oleh Allah, bisa hidup pada tahun 2.526 Masehi, maka itu juga akan bertepatan dengan 2.526 Hijriah,” pungkasnya.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

3 Sahabat Nabi Ini Bersedekah Besar-besaran, Siapa Paling Banyak?


Jakarta

Ada tiga sahabat nabi yang bersedekah besar-besaran, bahkan salah satu dari mereka rela menyerahkan seluruh hartanya. Hal ini terjadi saat Perang Tabuk.

Perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah, sekitar September-Oktober tahun 630 M. Ketika itu, Nabi Muhammad SAW mengajak umat Islam untuk menghadapi ancaman pasukan Romawi yang berkumpul di wilayah Syam. Tabuk sendiri berjarak sekitar 564 kilometer dari Madinah, seperti dijelaskan dalam buku Perang Hunain dan Perang Tabuk oleh Muhammad Ridha.

Biasanya, strategi perang disampaikan secara rahasia. Namun kali ini, Rasulullah SAW menyampaikannya secara terbuka karena ancaman dari 40.000 pasukan Bizantium yang dibantu oleh Bani Lakhm, Jadzm, dan sekutu Arab Nasrani dianggap sangat serius.


Situasi masyarakat saat itu cukup berat. Cuaca sedang sangat panas, kondisi ekonomi sulit, dan musim panen belum tiba. Dalam keadaan seperti ini, Rasulullah meminta kaum Muslimin untuk bersedekah dan membantu para sahabat yang tidak memiliki bekal untuk ikut berperang.

Sahabat Nabi yang Bersedekah Besar-besaran

Dalam buku Fikih Sirah susunan Said Ramadhan Al-Buthy dan buku Perang Hunain dan Perang Tabuk mencatat bahwa sejumlah sahabat utama berlomba-lomba bersedekah besar-besaran. Tiga di antaranya menonjol karena kontribusinya yang luar biasa.

1. Utsman bin Affan

Utsman bin Affan menyumbangkan 300 ekor unta lengkap dengan perlengkapannya, serta uang tunai sebanyak 1.000 dinar. Rasulullah SAW sangat menghargai sedekah ini dan bersabda,

“Tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakan Utsman setelah apa yang ia lakukan hari ini.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)

Dari sisi jumlah, sumbangan Utsman adalah yang paling besar secara materi.

2. Umar bin Khattab

Umar bin Khattab datang membawa setengah dari seluruh hartanya. Ia berkata,

“Hari ini aku akan mengalahkan Abu Bakar.” Rasulullah SAW kemudian bertanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Umar menjawab, “Sebanyak ini pula.”

Umar ingin bersedekah maksimal, tetapi tetap meninggalkan sesuatu untuk keluarganya.

3. Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya. Ketika ditanya oleh Rasulullah SAW,

“Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?” ia menjawab, “Aku tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.” Melihat hal ini, Umar berkata, “Saya tidak akan pernah bisa mengalahkan Abu Bakar.” (HR Tirmidzi)

Keikhlasan Abu Bakar menjadi teladan utama. Ia tidak menyisakan apapun selain keimanan.

Sahabat Nabi Lainnya yang Bersedekah saat Perang Tabuk

Selain ketiga sahabat utama tersebut, beberapa sahabat lain juga menunjukkan kepedulian besar dalam bentuk sedekah. Abdurrahman bin Auf, salah satu sahabat kaya yang terkenal dermawan, menyumbangkan 200 uqiyah perak, yang jika dikonversi nilainya setara dengan sekitar 8.000 dirham. Jumlah ini bukan sedikit, mengingat pada masa itu satu dirham cukup untuk membeli kebutuhan pokok harian.

Ashim bin Adi turut berkontribusi dengan menyumbangkan satu wasaq kurma. Dalam ukuran sekarang, satu wasaq kurma setara dengan 144 hingga 180 kilogram. Sedekah ini menjadi sangat berarti karena saat itu kurma adalah makanan pokok dan sangat dibutuhkan untuk bekal perjalanan panjang ke Tabuk.

Siapa yang Bersedekah Paling Banyak?

Jika dihitung secara materi, Utsman bin Affan menyumbang dengan nominal yang paling besar. Namun jika dilihat dari tingkat pengorbanan, Abu Bakar Ash-Shiddiq menyerahkan seluruh hartanya dan tidak menyisakan apa pun. Masing-masing menunjukkan keutamaan yang luar biasa dalam bersedekah dan berjuang di jalan Allah.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Pesan Khusus Ali bin Abi Thalib RA kepada Pemungut Pajak


Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW. Semasa peninggalan sang rasul, beliau termasuk satu dari empat Khulafaur Rasyidin atau Khalifah yang memimpin umat Islam.

Menurut buku ‘Ali ibn Abi Thalib susunan Musthafa Murad yang diterjemahkan Dedi Slamet Riyadi, nama lengkap Ali bin Abi Thalib RA adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ia merupakan sosok yang cerdas dan mementingkan ilmu pengetahuan ketimbang harta.


Ali bin Abi Thalib RA menjadi khalifah menggantikan kedudukan Utsman bin Affan. Ia meneruskan cita-cita Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab RA serta mengembalikan kekayaan yang diperoleh dari para pejabat melalui cara yang tidak baik.

Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga bertekad mengganti seluruh gubernur yang dianggap tidak mampu memimpin dan tidak disenangi masyarakat. Ali mencopot jabatan Gubernur Basrah dari tangan Abu Bakar bin Muhammad bin Amr dan digantikan oleh Utsman bin Hanif.

Mengutip buku Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam susunan Nurdila Oktia Risanti dan Desi Isnaini, Ali bin Abi Thalib RA sebagai khalifah juga mendistribusikan pendapatan pajak per tahun sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan Umar bin Khattab RA. Pada masa pemerintahannya, Ali menentukan pajak terhadap pemilik hutan sebesar 4.000 dirham serta mengizinkan Ibnu Abbas RA yang kala itu menjadi Gubernur Kufah untuk mengumpulkan zakat pada sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan.

Semasa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib RA, prinsip yang paling utama dari pemerataan distribusi uang rakyat sudah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya dilakukan.

Hari pendistribusian atau hari pembayaran adalah hari Kamis. Pada hari itu, seluruh perhitungan harus diselesaikan dan pada Sabtu dimulai perhitungan yang baru.

Bahkan Ali bin Abi Thalib RA memiliki pesan khusus bagi para pemungut pajak, zakat dan sejenisnya. Menukil dari buku Sejarah Hidup Imam Ali RA susunan H M H Al Hamid Al Husaini terbitan Lembaga Penyelidikan Islam, seperti apa pesannya?

Pesan Khusus Ali bin Abi Thalib RA kepada Pemungut Pajak

“Datangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah berhadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: ‘Hai para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hendaknya hak Allah itu kalian tunaikan kepada Khalifah-Nya.”

Selain itu, Ali bin Abi Thalib RA juga berpesan agar pemungut pajak, zakat dan semacamnya tidak memaksa ketika orang tersebut mengatakan tidak ada.

“Jika orang yang bersangkutan menjawab ‘tidak’, janganlah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang itu menjawab ‘ya’, pergilah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu.”

Ali RA berpesan pula pada para pemungut pajak untuk tidak menakut-nakuti orang yang ingin diambil pajaknya atau mengancam. Ia melarang mereka untuk membentak dan bersikap kasar.

Bahkan, khalifah Ali bin Abi Thalib RA melarang mereka untuk masuk memeriksa tanpa seizin yang punya. Meskipun orang tersebut memiliki ternak yang banyak.

“Janganlah kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak. Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian masuk untuk memeriksa tanpa seizin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak ternak.”

Apabila orang tersebut memberi izin, barulah mereka diperkenankan memeriksanya.

“Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksanya, janganlah kalian masuk dengan lagak seperti orang yang berkuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian berbuat sesuatu yang akan menyusahkan pemiliknya.”

Selain itu, Ali bin Abi Thalib RA juga berpesan agar mereka menentukan sendiri harta kekayaan yang ingin diberikan.

“Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilihannya, janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan orang itu, tinggalkanlah dia!”

Ali bin Abi Thalib RA juga berpesan kepada penguasa daerah setempat agar berlaku adil terhadap rakyatnya. Jangan sampai mereka terpaksa melunasi pajak dengan menjual ternak atau hamba sahaya yang dimilikinya.

“Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup
kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Janganlah kalian menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya. Untuk keperluan melunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu dalam pekerjaan. Janganlah sekali-kali kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!”

Pesan dan amanah dari Ali bin Abi Thalib RA itu menunjukkan secara jelas keadilan yang dijunjung tinggi oleh sang khalifah. Bahkan, pernah suatu ketika Ali menerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan sepotong roti kering terselip dalam wadah.

Roti tersebut lalu dipotong-potong oleh Ali bin Abi Thalib RA menjadi tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Setiap bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.

Wallahu a’lam.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Amanah



Jakarta

Amanah mengandung makna bahwa sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain karena yakin dan percaya, bahwa di tangannya sesuatu yang diserahkan itu akan aman dan terpelihara dengan baik. Kepercayaan ini dapat berupa hal yang tidak terlihat, seperti jabatan ataupun benda yang terlihat, seperti misalnya harta. Menurut pakar tafsir Al-Razi, amanah terbagi menjadi tiga bentuk yakni amanah dengan Tuhan, amanah dengan sesama manusia, dan amanah dengan diri sendiri.

Pada hari Senin tanggal 21 Oktober 2024, di negeri tercinta ini para pembantu Presiden ( Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat setingkat Menteri ) mulai bekerja. Mereka ini telah memperoleh amanah untuk memimpin Kementerian dari Presiden. Inilah yang disebut Al-Razi sebagai amanah sesama manusia. Memegang amanah seperti memimpin Kementerian selalu melekat adanya tanggung jawab dan kekuasaan. Melaksanakan tujuan dari Kementerian akan efektif jika kekuasaan di jalankan dengan rasa keadilan dan tentu pelaksanaan tersebut harus dipertanggungjawabkan.

Jadi, ingatlah selalu bagi yang menerima amanah bukan disikapi dengan bersenang-senang berkumpul dengan keluarga dan lain sebagainya, maka bersikaplah sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 156 yang terjemahannya, “yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).”


Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. agar memberitahukan ciri-ciri orang-orang yang mendapat kabar gembira yaitu orang yang sabar, apabila mereka ditimpa sesuatu musibah mereka mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ) (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Dengan begitu para penerima amanah akan selalu memgingat-Nya dan menunaikan tugasnya dengan bimbingan Allah SWT.

Dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin Kementerian hendaknya selalu mengingat bahwa, kepemimpinan yang engkau jalankan merupakan / adalah keteladananmu. Kisah Umar bin Khathab mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, tentang berbagai persoalan yang menyangkut kepemimpinan. Inilah isi suratnya :

Sesungguhnya, manusia itu punya hak untuk berpaling dari penguasa mereka. Maka, aku mohon perlindungan kepada Allah dari yang demikian itu.

Hindarilah sikap membabi buta dan dengki, mengikuti hawa nafsu dan sikap lebih mengutamakan dunia. Dan tegakkanlah hukum itu, walaupun hanya sesaat pada siang hari.

Apabila menghadapi dua perkara, yang satu untuk Allah dan yang satunya lagi untuk dunia, maka utamakanlah bagianmu untuk akhirat daripada bagianmu untuk dunia. Sebab, dunia itu akan lenyap, sedangkan pahala akhirat adalah kekal selamanya. Takutlah engkau kepada Allah SWT. dan takut-takutilah orang-orang fasik. Jadikanlah tangan dan kaki mereka terbelenggu, agar tidak dapat mengadakan kegiatan kefasikan.

Abadikanlah nikmat dengan bersyukur, abadikanlah ketaatan dengan berlemah lembut, abadikanlah kekuasaan dan kemenangan dengan bersikap tawadu’ serta cinta kepada sesama manusia.

Tengoklah orang-orang muslim yang sakit, dan antarkan jenazahnya sampai ke kuburnya. Bukalah pintumu untuk mereka, dan urusi sendiri perkara mereka, karena engkau termasuk salah seorang dari mereka. Hanya saja Allah SWT. menjadikanmu orang paling berat tanggungannya.

Ketahuilah, bahwa seorang pemimpin itu akan kembali kepada Allah SWT. Maka apabila pemimpin itu menyeleweng rakyatpun pasti menyeleweng. Sesungguhnya, orang yang paling celaka ialah orang yang menjadi sebab sengsaranya rakyat.

Inti dari pesan seorang Amirul Mukminin tersebut meliputi :

1. Tidak mengikuti hawa nafsu.
2. Menegakkan hukum.
3. Mengutamakan bagian untuk akhirat.
4. Bersyukur dan tawadu.’
5. Menengok orang yang sakit dan mengantarkan jenazah sampai ke kuburnya.
6. Memberikan keteladanan.

Penulis berpesan sebagai seorang pemimpin hendaklah memegang teguh tentang :

1. Sabar. Seorang pemimpin yang mempunyai sikap sabar, tentu segala urusan akan diseleseikan dengan baik. Hal ini sesuai dengan perintah-Nya dalam surah an-Nahl ayat 127 yang terjemahannya, “Bersabarlah. Kesabaranmu itu tak lain adalah berkat pertolongan Allah.”
2. Syukur. Seorang pemimpin yang bersyukur, maka ia tidak berpanjang angan-angan. Hal ini dapat menjadikan sia-sia. Dalam surah Ibrahim ayat 17, intinya adalah perintah bersyukur dan janganlah mengingkari nikmat dari-Nya.
3. Tawakal. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah menyerahkan seluruh perkara kepada Allah, bersandar pada kekuasaan-Nya dalam mengatur siklus alam semesta, mendahulukan perbuatan-Nya ketimbang perbuatan kita, dan mengitamakan kehendak-Nya diatas keinginan kita.

Ketiga faktor inilah yang menjadikan seorang pemimpin berjiwa besar. Semoga Allah SWT. selalu membimbing dan memberikan cahaya-Nya agar para pembantu Presiden dapat menjalankan amanah dengan efektif.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Hadits Larangan Meminta Jabatan, Pemimpin Harus yang Dicintai dan Mencintai Rakyat



Jakarta

Larangan meminta jabatan dijelaskan dalam beberapa hadits Rasulullah SAW. Seorang calon pemimpin dilarang untuk meminta jabatan karena hal tersebut dapat membawa pada kesesatan.

Menjabat posisi sebagai pemimpin bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan sosok yang cerdas, kuat, bijaksana serta adil agar dapat menjalankan tanggung jawabnya secara amanah.

Seorang pemimpin hendaknya memiliki rasa cinta kepada rakyatnya, demikian pula sebaliknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits,


“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim).

Hadits Larangan Meminta Jabatan

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang larangan meminta jabatan. Dari Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Nabi SAW berkata,

عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Artinya: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik.” (HR. Bukhari).

Dalam buku 100 Hadits Pilihan (Materi Hafalan, Kultum dan Ceramah Agama) karya Muhammad Yunan Putra, Lc., M.HI. hadits ini memiliki kandungan bahwa pemimpin adalah orang yang diberikan amanah dan menaungi kehidupan orang banyak, tidak hanya bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup masyarakatnya (kemakmuran) tapi juga melindungi dari segala yang membahayakan mereka. Seorang pemimpin adalah orang yang menempakan kaki kanannya berada di surga dan kaki kirinya berada di neraka; artinya sedikit saja ia tergelincir maka neraka adalah tempat mereka namun apabila mereka adil terhadap rakyatnya, maka surgalah tempatnya.

Maka dari hadits tersebut dapat diambil beberapa kandungan, diantaranya:

1. Larangan meminta untuk ditunjuk atau dipilih menjadi seorang pemimpin, namun larangan ini tidak bersifat mutlak; artinya seseorang boleh saja meminta meminta namun dengan syarat hendaknya ia benar-benar mampu dalam segala hal sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf ketika ia meminta untuk ditunjuk menjadi seorang bendahara negara.

2. Terdapat juga kisah seorang sahabat yang meminta jabatan, namun ditolak oleh Rasulullah SAW karena dianggap tidak mampu dan Rasulullah mengkhawatirkan akan menjerumuskannya dalam neraka.

Ia adalah Abu Dzar RA, seorang sahabat yang meminta jabatan kepada Nabi SAW, lalu nabi menolaknya:

يَا رسول الله، ألا تَسْتَعْمِلُني؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبي، ثُمَّ قَالَ: ((يَا أَبَا ذَرٍّ، إنَّكَ ضَعِيفٌ، وإنّها أمانةٌ، وَإنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إلا مَنْ أخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا)). رواه مسلم.

Dari Abu Dzar dia berkata, saya berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” Abu Dzar berkata, “Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (Muslim)

3. Pemimpin yang diangkat bukan karena meminta maka akan ditolong oleh Allah SWT, berbeda dengan pemimpin yang ditunjuk karena meminta jabatan, mereka akan ditelantarkan oleh Allah SWT.

4. Ketika seorang pemimpin tidak mampu menunaikan janji yang mereka ucapkan, maka wajib membayar kafarat sumpah (kafaratul yamin). Kafarat sumpah ini bersifat umum, tidak hanya sumpah atau janji yang dilakukan oleh para pemimpin namun kepada siapa saja yang telah melakukan sumpah, janji atau bernazar terhadap sesuatu.

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Al-Abbas pernah meminta kepada Rasulullah SAW jabatan sebagai gubernur Makkah dan Thaif atau Yaman, maka beliau bersabda kepadanya, “Hai paman, satu jiwa yang engkau selamatkan lebih baik dari kekuasaan yang tidak dapat engkau pertanggungjawabkan.”

Rasulullah SAW bersabda, “Hai Abbas pamanku, dan Shafiyah bibiku, serta Fatimah binti Muhammad, aku sama sekali tidak dapat menjadi jaminan keselamatan bagi kalian di hadapan Allah nanti. Bagiku mal ibadahku dan bagi kalian amal ibadah kalian.”

Hadits Pemimpin yang Memberikan Jabatan pada Orang yang Tidak Amanah

Mengutip buku 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah karya Imam Ibnul Jauzi, jabatan bisa menjadi sebuah cobaan, jika pemimpin tidak amanah maka langit dan bumi serta gunung, niscaya semuanya enggan menerimaya dan merasa berat.

Yazid bin Jabir meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Amrah Al-Anshari, bahwa Umar bin Khattab mempekerjakan seorang lelaki dari Anshar untuk mengurus sedekah, kemudian dia melihatnya setelah beberapa hari berdiam dir rumah. Dia pun berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak pergi ke tempat kerjamu? Apakah engkau tidak tahu bahwa dengan bekerja engkau akan mendapatkan pahala sebagai mujahid di jalan Allah?”

Dia menjawab, “Saya tidak tahu. Mengapa bisa seperti itu?”

Lalu dia melanjutkan, “Saya mendengar kabar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja pemimpin yang memegang suatu jabatan mengurus urusan manusia, niscaya dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan terikat tangannya ke lehernya. Kemudian dia dihentikan di jembatan neraka, dan jembatan itu pun bergerak keras sehingga seluruh bagian tubuh orang itu terlepas dari tempatnya. Kemudian bagian-bagian tubuhnya itu dikembalikan ke tempatnya. Dam, dia pun diperhitungkan perbuatannya. Jika dia berbuat baik, maka dia selamat dengan perbuatan baiknya itu. Sedangkan jika dia berbuat buruk, maka jembatan itu akan terbakar membakar dirinya, dan dia pun jatuh ke neraka yang dalamnya tujuh puluh tahun.”

Mendengar hadits ini, Umar RA yang memberikan jabatan kepada orang yang tidak amanah tersebut lantas berucap, “Duhai malangnya Umar, bukankah ia adalah orang yang memegang tampuk kekuasaan umat dengan segala tanggung jawabnya?”

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, “Seburuk-buruk pemimpin adalah al huthamah.” Dia adalah orang yang binasa.

Al-huthamah adalah pemimpin yang tegas dan keras terhadap pegawainya, namun memberikan kelonggaran bagi dirinya sendiri untuk bertindak korupsi.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Belajar dari Sa’id bin Amir RA, Gubernur yang Adil dan Dermawan



Jakarta

Sa’id bin Amir RA merupakan seorang mukmin yang memiliki kesabaran, keimanan mendalam, serta selalu mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Tetapi meski begitu beliau pernah dihadapkan oleh tuduhan serius yang mencoreng nama baiknya.

Mengutip buku Mukjizat Sabar Syukur Ikhlas karya Badrul Munier Buchori, Sa’id bin Amir RA merupakan sahabat yang memeluk Islam sebelum pembebasan Khaibar. Lalu pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, Said diangkat menjadi Gubernur Syam yang berpusat di Hims.

Sa’id bin Amir RA Gemar Sedekah

Pada awal perjalanannya, Umar bin Khattab membekali dirinya dengan sejumlah harta supaya dia dan keluarga bisa mencukupi kehidupannya nanti saat di Hims. Istrinya bermaksud menggunakan modal pemberian Khalifah untuk keperluan hidup, dan sebagiannya disimpan.


Ternyata Sa’id bin Amir RA mempunyai rencana lain untuk penggunaan harta yang diberikan kepadanya, dirinya bermaksud menjadikan harta itu sebagai modal, supaya mereka bisa berkembang di Hims.

Setelah beberapa waktu, istrinya menyadari bahwa harta tersebut tidak dijadikan sebagai modal, melainkan telah digunakan semuanya oleh suaminya untuk disedekahkan. Menurutnya investasi terbaik adalah berdagang dengan Allah SWT.

Kisah Sa’id bin Amir RA Diprotes Rakyatnya

Mengutip buku Sirah 60 Sahabat Nabi Muhammad saw karya Ummu Ayesha, ketika penduduk Hims protes kepada Khalifah Umar bin Khattab RA terkait kinerja Sa’id bin Amir RA.

“Kami mengeluhkan empat perkara, yang pertama, karena dia baru keluar siang hari untuk menemui rakyatnya. Kedua, dia tidak melayani siapapun di malam hari. Ketiga, setiap bulan ada dua hari di mana dia tidak melayani rakyat-nya dan kami tidak bisa menemuinya sama sekali. Dan yang keempat adalah, kami sering melihatnya tiba-tiba pingsan. Sungguh ini membuat kami khawatir walau itu tidak mengganggu kami,” ujar seorang pria yang mewakili masyarakat kota Hims.

Saat itu Khalifah hanya menunduk, dia berbisik pelan, “Ya Allah, aku tahu dia adalah hamba-Mu yang terbaik. Maka, semoga firasatku ini tidak salah.”

Setelah pernyataan itu, giliran Sa’id bin Amir RA melakukan pembelaannya, meski tidak ingin menyampaikannya, dia tetap melakukannya atas perintah Khalifah.

“Mengenai keluarnya aku saat hari sudah siang, hmm… sebenarnya aku tidak ingin menyebutkannya. Kami tidak punya pembantu, maka akulah yang membuat roti untuk keluargaku. Dari mulai mengaduk adonan hingga roti itu siap dimakan. Setelah itu aku berwudhu untuk salat Dhuha. Barulah aku keluar menemui mereka.” Ujarnya.

Wajah Umar terlihat gembira, “Lalu yang kedua?”

“Demi Allah, aku benci mengatakan ini dihadapan manusia. Tapi, baiklah. Siang hari aku sudah mengurusi mereka sebagai bagian dari amanahku. Maka, malam hari aku gunakan untuk Allah. Itulah alasanku tidak mau melayani mereka saat malam hari.” Ucapnya lagi.

Umar terlihat makin senang. Wajahnya makin berseri.

“Mengenai dua hari dalam sebulan itu, karena aku tidak memiliki pembantu untuk mencuci pakaianku sementara aku pun tidak memiliki pakaian yang banyak hingga bisa gonta- ganti sesuka hati. Karena itulah aku mencuci dan menunggu pakaianku hingga kering. Hingga aku bisa menemui mereka di sore harinya.”

“Sedang keluhan mereka yang keempat, adalah karena ingatanku pada saat aku belum beriman. Dulu aku melihat Khubaib Al-Anshari tewas di tangan orang musyrik dan aku tidak bergerak sedikit pun menolongnya. Sungguh aku takut akan siksa Allah kelak, hingga aku pun pingsan.”

Khalifah yang mendengar penjelasan Sa’id bin Amir tak bisa menahan keharuan yang terpancar dari matanya. “Alhamdulillah, firasatku tidak meleset,” seru Khalifah dengan suara bergetar. Khalifah pun memberikan 1.000 dinar pada Sa’id bin Amir, “Pergunakan uang itu untuk menunjang tugas-tugasmu.”

Lagi-lagi Sa’id menunjukkan kecemerlangan jiwanya. Saat istrinya bermaksud membelanjakan uang itu untuk membeli beberapa baju yang layak dan perabotan rumah tangga, Sa’id malah mengusulkan rencana yang lebih baik. Sa’id menawarkan investasi yang tidak pernah mengenal kata rugi pada istrinya. “Lebih baik harta ini kita titipkan pada seseorang yang bisa membuatnya berkembang dan bertambah.”

“Betulkah? Apa dia tidak akan membawa kita pada kerugian?” Istrinya terlihat masih ragu.

“Tenanglah, aku jamin tidak akan rugi,” Sa’id kembali meyakinkan istrinya.

Sa’id pun pergi ke pasar, membeli keperluan hidup yang dibutuhkan. Lalu sisa uang itu dibagikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkan.

Demikianlah pembahasan mengenai kisah Sa’id bin Amir RA, gubernur yang memenuhi tugas dan tanggung jawabnya kepada rakyat dan Allah SWT. Serta mengajarkan kepada kita investasi terbaik ialah dengan melakukannya di jalan keimanan.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Mengenal Abdullah bin Abbas, Sahabat Rasulullah SAW yang Dijuluki Lautan Ilmu



Jakarta

Beberapa sahabat Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang pintar dan cerdas. Kecerdasan ini digunakan untuk menyebarkan ilmu sekaligus sebagai salah satu ikhtiar berdakwah menyampaikan ajaran Islam.

Salah satu sahabat Rasulullah SAW yang dikenal pandai adalah Abdullah bin Abbas. Ia adalah sahabat Nabi SAW yang berasal dari suku Quraisy, keturunan bani Hasyim.

Merangkum buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi yang disusun oleh Muhammad Raji Hassan Kunnas, Abdullah bin Abbas memiliki ayah yang bernama Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdu Manaf.


Ibunya bernama Lubabah al-Kubra binti al-Harits ibn Hazn al Hilaliyah. Al Abbas adalah paman Rasulullah SAW.

Kecerdasan Abdullah bin Abbas diakui banyak orang, ia bahkan dijuluki Habrul Ummah wa Tarjuman Al-Quran yang artinya tinta umat dan penerjemah Al-Qur’an. Ia juga mendapat gelar al-Bahru alias Sang Lautan karena keluasan ilmunya.

Imam al-Hakim mengutip sebuah riwayat dalam kitab al Mustadrak bahwa Abdullah bin Abbas pernah dua kali melihat malaikat Jibril di sisi Nabi SAW.

Menurut Ubaidillah ibn Abdullah ibn Utbah, Ibn Abbas memiliki keistimewaan yang sulit ditandingi oleh kebanyakan manusia. Ia memiliki keunggulan dalam banyak hal. Beberapa di antaranya mengetahui ilmu lebih dahulu dibanding orang lain, memiliki pemikiran dan pemahaman yang luas, dan dikenal sebagai alim yang santun dan lemah lembut.

Pada masa Abu Bakr RA, Umar RA maupun Utsman RA, tak ada seorang pun yang pemahamannya tentang hadis Nabi SAW melampaui dirinya. Juga tak ada orang yang mengunggulinya dalam pengetahuan tentang syair, bahasa Arab, tafsir Al-Qur’an, atau pun ilmu hisab dan faraid.

Meskipun diberi kecerdasan yang luar biasa, tetapi Abdullah bin Abbas tetap memiliki sikap rendah hati. Suatu hari ia pernah ditanya, “Hai Ibn Abbas, di manakah posisi keilmuanmu dibanding ilmu anak pamanmu (maksudnya Ali ibn Abu Thalib)?”

Ibn Abbas menjawab, “(Ilmuku dibanding ilmu Ali) Bagaikan tetes air hujan yang jatuh ke samudra.”

Sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab RA begitu mengagumi keluasan ilmu dan pengetahuannya. Bahkan, Umar RA menjuluki Ibn Abbas sebagai pemuda-sepuh (Fata al-Kuhl).

Ketika di ujung usianya, Abdullah bin Abbas mengalami kebutaan. Ia berkata, “Jika Allah mengambil cahaya-Nya dari kedua mataku maka sesungguhnya pada lisan dan hatiku masih ada cahaya. Hatiku cerdas dan pandai berpikir serta bersih dari tipu daya. Mulutku pun tajam bagaikan pedang.”

Ibn Abbas wafat pada usia 70 tahun. Saat jenazahnya akan dikuburkan, Ibn al-Hanafiyah berkata, “Demi Allah, pada hari ini telah wafat tinta umat ini.”

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Nabi Muhammad Diangkat Menjadi Rasul pada Usia 40 Tahun, Begini Kisahnya


Jakarta

Nabi Muhammad SAW adalah figur yang sangat penting dalam Islam, yang kehidupannya sarat dengan makna mendalam. Salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah Islam adalah saat beliau diangkat sebagai Rasul.

Nabi Muhammad SAW diutus sebagai penerang untuk membimbing umat manusia dari kegelapan menuju cahaya iman. Di tengah masyarakat yang diliputi oleh kejahiliahan, penyembahan berhala, dan ketidakadilan, kehadiran beliau sebagai Rasul membawa misi rahmatan lil ‘alamin, yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam.

Kapan Nabi Muhammad Diangkat Menjadi Rasul?

Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul saat beliau menginjak usia 40. Dijelaskan dalam buku karya Ajen Dianawati yang berjudul Kisah Nabi Muhammad SAW, Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 Masehi.


Pada saat itu, beliau menerima wahyu pertama dari Malaikat Jibril ketika sedang berada di Gua Hira.

Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul ketika menerima wahyu pertama, yaitu Surah Al-Alaq https://www.detik.com/hikmah/quran-online/al-alaq ayat 1-5, di Gua Hira. Menjelang usia 40 tahun, beliau sering mengasingkan diri di gua yang terletak di Jabal Nur itu karena merasakan ketidakselarasan antara nilai kebenaran dengan kondisi masyarakat saat itu.

Selama masa pengasingannya, Nabi Muhammad SAW membawa bekal berupa air dan roti gandum, dan tinggal di gua kecil yang memiliki panjang 4 hasta dan lebar sekitar 1,75 hasta.

Pada bulan Ramadhan, beliau memanfaatkan waktunya untuk beribadah dan merenungkan keagungan ciptaan Allah SWT, serta memikirkan ketidaksesuaian antara nilai-nilai kebenaran dengan praktik kehidupan sosial yang masih dipenuhi oleh kemusyrikan.

Kisah Pengangkatan Nabi Muhammad Menjadi Rasul

Masih mengacu sumber yang sama, peristiwa pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah diceritakan terjadi ketika beliau sedang beribadah di Gua Hira. Di tempat tersebut, beliau sering merenungkan berbagai masalah dan memikirkannya dengan mendalam.

Tiba-tiba, seorang laki-laki yang tak dikenal mendekatinya. Laki-laki itu langsung memeluk Nabi Muhammad sambil berkata “Bacalah hai Muhammad!”

Kemudian Nabi Muhammad menjawabnya dengan mengatakan “Saya tidak bisa membaca.” Laki-laki itu melepas pelukannya dan kembali berkata, “Bacalah hai Muhammad!”

Nabi Muhammad SAW tetap memberikan jawaban yang sama, “Saya tidak bisa membaca.” Hingga akhirnya, laki-laki tersebut mengajarkan Nabi Muhammad untuk membaca surah Iqra atau Al-Alaq ayat 1-5 sampai beliau hafal. Sosok laki-laki itu ternyata adalah Malaikat Jibril.

Setelah kejadian tersebut, Nabi Muhammad SAW pulang dan memberi tahu istrinya, Siti Khadijah. Beliau pulang dengan wajah yang sangat pucat dan tubuh yang lemas. Siti Khadijah pun langsung bertanya, “Apa yang terjadi, suamiku?”

Nabi Muhammad SAW tidak segera menjawab pertanyaan itu, melainkan meminta istrinya untuk menyelimutinya. “Selimuti aku, Khadijah, selimuti aku!”

Setelah ketakutan Nabi Muhammad SAW perlahan mereda berkat dukungan Siti Khadijah, akhirnya beliau menceritakan peristiwa tersebut kepada istrinya. Setelah mendengar cerita suaminya, Siti Khadijah kemudian mendatangi Waraqah, seorang ahli Injil dan Taurat, untuk menyampaikan kabar tersebut.

“Sungguh suamimu telah mendapatkan wahyu, sebagaimana wahyu pernah datang kepada Nabi Musa. Sesungguhnya, di akan menjadi Rasul umat ini,” terang Waraqah.

Siti Khadijah memang telah memiliki firasat dan ternyata terbukti benar bahwa suaminya telah diangkat menjadi Rasul Allah.

Setelah peristiwa itu, Siti Khadijah langsung memeluk Islam, menjadikannya orang pertama yang masuk Islam. Siti Khadijah juga menjadi pendukung pertama Nabi Muhammad SAW dalam mengemban wahyu tersebut.

Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun dan wafat pada usia 63 tahun. Selama 23 tahun perjalanan dakwahnya, beliau menghadapi tantangan yang sangat berat, terutama karena lingkungan sekitar masih dalam keadaan jahiliyah dan dikelilingi oleh orang-orang kejam dari kaum Quraisy.

Namun, dalam menyebarkan ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW tidak sendirian. Beliau ditemani oleh istri dan para sahabatnya, seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan lainnya.

Makna dari kisah pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul bagi umat Islam adalah sebagai tonggak awal penyebaran ajaran Islam yang membawa pencerahan dan petunjuk bagi umat manusia. Peristiwa ini juga menegaskan pentingnya misi Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah untuk mengajak umat manusia menuju jalan kebenaran dan ketauhidan.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Peran Umar bin Abdul Aziz di Balik Kesuksesan Bani Umayyah


Jakarta

Sejarah mencatat nama Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi sosok penting di balik kejayaan Islam era Bani Umayyah. Peran Umar bin Abdul Aziz selama menjadi Khalifah Bani Umayyah lebih berfokus kepada perbaikan secara internal di saat khalifah sebelumnya berfokus kepada perluasan daerah saja.

Keberhasilan Umar bin Abdul Aziz dalam memerintah membuatnya dijuluki Khulafaur Rasyidin kelima. Berikut uraian lengkapnya.

Biografi Umar bin Abdul Aziz

Menukil buku Sejarah Kebudayaan Islam untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas 7 oleh Dr. H. Muradi dkk, Umar bin Abdul Aziz dilahirkan pada tahun 63 H di Halwan, dekat Kairo. Ia lahir ketika sang ayah, Abdul Aziz, menjabat sebagai Gubernur Mesir.


Berdasarkan garis keturunan, Umar memiliki hubungan darah dengan Khalifah Umar bin Khattab. Sebab ibunya bernama Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab.

Pada masa kecilnya, Umar bin Abdul Aziz tinggal menetap di rumah paman-pamannya di Madinah dan memperoleh pendidikan yang baik dari mereka. Banyak ilmu agama yang diperolehnya, seperti ilmu hadits, Al-Qur’an dan lainnya.

Selain menguasai ilmu hadits, beliau juga menguasai ilmu Al-Qur’an. Umar bin Abdul Aziz sudah mampu menghafal dan mengkajinya sejak kecil.

Setelah ayahnya wafat, Umar bin Abdul Aziz diminta Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk ke Damaskus. Di kota ini, Umar bin Abdul Aziz menikahi Fatimah, putri Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Dari kota inilah ia meniti karier politiknya sebagai pejabat penting pemerintahan, ia dipercaya menjadi gubernur di Hijaz, yakni Makkah dan Madinah. Meskipun kariernya berjalan lancar tanpa cacat, ia mendapat fitnah dari Hajjaj bin Yusuf yang menuduhnya melindungi pemberontak yang berasal dari Iraq. Umar bin Abdul Aziz akhirnya dipecat.

Pemecatan tersebut tidak diambil pusing oleh Umar bin Abdul Aziz. Dirinya tidak sama sekali memiliki ambisi sebagai pemimpin.

Pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah

Mengutip kembali dari buku yang sama, sebelum wafat, Sulaiman bin Abdul Malik telah menunjuk sepupunya, Umar bin Abdul Aziz, sebagai Khalifah Bani Umayyah. Penunjukkan Umar bin Abdul Aziz dilakukan setelah Sulaiman melakukan diskusi dengan para penasihatnya.

Setelah menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz merubah seluruh sikap dan gaya hidupnya. Hal ini disebabkan oleh perasaan sedihnya memikirkan masih banyak masyarakat yang miskin dan kelaparan, orang-orang yang sakit, orang-orang yang tertindas dan teraniaya.

Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai seseorang yang menyukai kemewahan dan musik. Tetapi, setelah menjadi khalifah, semua hal itu ditinggalkan, memilih hidup sederhana bahkan harta miliknya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat umum.

Sayangnya, Umar bin Abdul Aziz hanya menjabat sebagai khalifah selama 29 bulan. Ia meninggal tragis akibat diracuni oleh budaknya.

Banyak pejabat dari masa kekhalifahan sebelumnya yang dirugikan oleh kebijakan baru Umar bin Abdul Aziz, dan diduga terlibat dalam konspirasi untuk membunuhnya. Dengan janji seribu dinar dan kebebasan, budak Umar setuju untuk meracuni majikannya.

Peran Umar bin Abdul Aziz saat Menjadi Pemimpin

Menukil buku Biografi Umar bin Abdul Aziz karya Muhammad Ash-Shallabi, berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya yang berfokus pada perluasan wilayah, Umar bin Abdul Aziz fokus pada perbaikan internal. Pada bidang perekonomian berusaha menstabilkan dan mensejahterakan masyarakatnya.

Hal yang pertama ia lakukan saat menjadi khalifah adalah mengembalikan seluruh harta-hartanya yang berjumlah 40.000 dinar ke Baitul Mal. Ia sadar bahwa harta peninggalan ayahnya adalah hak masyarakat sebab harta tersebut di antaranya adalah harta yang didapatkan dari perkampungan Fadak, sebuah desa yang berada di utara Makkah yang sejak Rasulullah wafat dijadikan milik negara.

Namun Marwan bin Hakam (Khalifah keempat Bani Umayyah) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadi dan diwariskan ke anak-anaknya. Umar memandang bahwa harta itu bukan milik pribadi melainkan milik negara, sehingga harus dikembalikan ke negara.

Selain itu, agar masyarakat dapat berdagang dengan baik, Umar bin Abdul Aziz juga memberikan fasilitas seperti pembangunan jembatan dan perbaikan jalan umum yang dilewati masyarakat. Pembangun tersebut tidak memungut biaya kepada masyarakat sepeser pun.

Untuk menaikkan produksi di bidang pertanian, ia melarang adanya jual beli tanah kharaj dan menjadikan sebagai harta fai, sebab tanpa kharaj adalah tanah milik masyarakat bukan milik pribadi. Dengan adanya larangan jual beli tanah kharaj membuat masyarakat dapat mengembangkan lahannya sehingga tidak hanya bergantung pada bantuan saja melainkan juga dapat meningkatkan perekonomiannya sendiri.

Kemudian dibangunnya fasilitas untuk menunjang proses pertanian seperti membangun sumber air baru, saluran air untuk membantu pengairan pada pertanian. Para petani dikenakan pajak sesuai dengan kemampuan yaitu melihat kondisi musim, apakah dalam posisi musim subur atau tidak.

Kebijakan tersebut membuahkan hasil yang menguntungkan di pasar global untuk perdagangan, mengingat biaya produk pertanian jadi lebih mudah diakses oleh konsumen. Hal ini menyebabkan lonjakan permintaan pasar dan transaksi keuangan.

Pada bidang perdagangan, selain menghapus pajak petani, Umar bin Abdul Aziz membangun tempat peristirahatan untuk para pedagang. Ia bekerja sama dengan negara-negara tetangga untuk membangun akomodasi bagi muslim yang bepergian, termasuk penginapan, perawatan kesehatan dan bantuan keuangan untuk korban perampokan, bersama dengan bantuan perawatan kesehatan bagi hewan mereka.

Pada pengalokasian pengeluaran Umar bin Abdul Aziz benar-benar mengutamakan untuk keperluan masyarakatnya dan juga mensejahterakan masyarakatnya. Kesejahteraan rakyat adalah yang utama bahkan dalam sejarah Umar bin Abdul Aziz hanya meninggalkan harta warisan 18 dinar untuk 11 orang anaknya.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com