Tag Archives: umar bin khatab

Pembiaran



Jakarta

Istidraj yaitu nikmat yang diberikan Allah SWT kepada orang-orang yang membangkang atau jauh terhadap-Nya. Ini merupakan hukuman dari Allah SWT agar orang tersebut terus terjerumus dalam kesesatan. Hal ini menjadikan seseorang yang diberikan nikmat tetapi diarahkan menuju kebinasaan oleh Allah SWT.

Adapun nikmat ada dua jenis yaitu nikmat hasil jerih payah dan nikmat istidraj. Seseorang yang bekerja keras maupun bekerja cerdas akan memperoleh kenikmatan dari-Nya, ini berlaku bagi mukmin maupun kafir. Allah SWT tidak menyia-nyiakan atas jerih payah hamba-Nya. Orang beriman akan menikmati hasil usaha duniawinya di dunia, dan selain itu menikmati di akhirat. Adapun orang kafir akan menikmati hasil usahanya di dunia saja. Sebagaimana dalam firman-Nya surah Hud ayat 15 yang terjemahannya, “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.”

Makna ayat ini adalah: Menerangkan bahwa penyebab orang musyrik mendustakan Al-Qur’an adalah karena dorongan hawa nafsu yang cenderung mengutamakan urusan duniawi. Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dengan pangkat, kemewahan, serta kenikmatan hidup, dan menginginkan pula perhiasannya seperti harta kekayaan yang melimpah, fasilitas hidup yang lengkap dan mewah, pasti Kami akan berikan balasan penuh atas pekerjaan dan jerih payah mereka selama di dunia dengan sempurna. Itulah ketetapan Allah SWT yang berlaku bagi siapa saja yang bekerja akan mendapatkan hasil dari jerih payahnya, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan oleh hasil usaha mereka sendiri.


Oleh karena itu ketika kita memperoleh kenikmatan, maka renungkanlah apakah nikmat itu karena jerih payah atau nikmat istidraj?

Dikisahkan Umar bin Khatab saat diberikan ghanimah (harta ramasan perang) Qadisiah ke hadapannya, Umar menangis karena khawatir kemenangan yang telah dicapai itu merupakan istidraj Allah SWT untuknya. Dia menangis sambil berkata, ” Ya Allah, Engkau tahu bahwa Muhammad SAW lebih baik dariku, tapi Engkau tidak memberikan ini kepadanya. Engkau tahu bahwa Amirul Mukminin Abu Bakar lebih baik dariku, tapi Engkau tidak memberikan ini kepadanya. Maka, aku berlindung kepada-Mu supaya semua ini tidak berubah menjadi fitnah bagi agamaku.”

Adapun yang membedakan nikmat anugerah dengan nikmat istidraj adalah kondisi seseorang saat menerima nikmat tersebut. Jika ia menerimanya dengan rasa syukur kepada Allah SWT lalu istiqamah dalam syukurnya, maka itu pertanda bahwa nikmat yang tercurah itu merupakan pesan cinta dan anugerah. Namun, jika ia menerimanya tapi ia lupa dengan Sang Pemberi Nikmat, lupa pada-Nya yang mengaruniainya, kemudian menggunakan nikmat itu dengan cara dan pada jalan yang tidak diridhai-Nya, disebabkan keberpalingannya dari rasa syukur. Orang semacam ini akan menjalani kehidupan yang sempit, sebagaimana firman-Nya dalam surah Thaha ayat 124 yang terjemahannya, “Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”

Makna pada ayat ini Allah SWT memberi peringatan dan ancaman bagi mereka yang berpaling dari petunjuk-Nya. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku dan enggan mengikuti petunjuk-Ku, maka sungguh dia akan mendapat balasan dengan menjalani kehidupan yang sempit sehingga selalu merasa kurang meski sudah memperoleh banyak rezeki di dunia, dan Kami akan mengumpulkannya kelak pada hari kiamat dalam keadaan buta sehingga tidak dapat meniti jalan ke surga.

Dalam kehidupan saat ini, penulis kadang menemukan seseorang yang memperoleh nikmat namun ia tidak bersyukur bahwa itu merupakan anugerah-Nya. Hal ini terlihat bahwa orang itu haus jabatan meskipun sudah berderet posisi yang disandangnya, haus harta kekayaan meskipun sudah memiliki rumah besar dan mewah serta kendaraan kelas atas. Ia akan menjalani kehidupan yang sempit dan dalam keadaan buta saat dikumpulkan pada hari kiamat.

Keserakahan atau kerakusan pada dunia (kekuasaan, harta kekayaan, ketenaran, ketersanjungan) saat ini sudah menggejala kepada para elite. Untuk itu, selalu ingatlah pada firman-Nya dalam surah al-An’am:

1. Ayat 43 yang terjemahannya, “Akan tetapi, mengapa mereka tidak tunduk merendahkan diri (kepada Allah) ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menjadikan terasa indah bagi mereka apa yang selalu mereka kerjakan.”

2. Ayat 44,”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”

Makna kedua ayat tersebut adalah: Ketika telah ditawarkan pintu tobat, mereka tetap mengingkarinya dan hati mereka menjadi keras. Pada saat itu Allah SWT tetap memberikan kesenangan pada mereka (pembiaran) dan mereka tidak menyadarinya kalau kenikmatan itu merupakan istidraj dari-Nya. Mereka akan menerima siksa yang sekonyong-konyong, hingga mereka terdiam dan berputus asa.

Jika kita cermati kondisi sebagian elite negeri yang selama ini menerima nikmat dari-Nya dan mereka tidak bersyukur dan beranggapan nikmat itu dari usahanya sendiri, maka itu pertanda istidraj. Wahai para pemimpin, segeralah bertobat kepada-Nya. Semoga Allah SWT memberikan bimbingan agar kita semua (para pemimpin) agar dihindarkan dari nikmat istidraj.

Aunur Rofiq
Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar bin Khattab dan Lembaran Surat Thaha yang Membuat Hatinya Luluh



Jakarta

Sebelum masuk Islam, Abu Hafsh atau Umar bin Khattab Ra adalah salah seorang dari kaum kafir Quraisy yang paling ditakuti oleh orang-orang yang sudah memeluk Islam.

Dikutip dalam buku Umar bin Khattab Ra oleh Abdul Syukur Al-azizi disebutkan bahwa Umar dikenal sebagai orang yang memusuhi Islam dan tidak segan-segan menyiksa kaum muslimin secara kasar agar sudi untuk kembali menyembah berhala.

Sosoknya juga dikenal sebagai petarung handal dengan badan yang kekar, tinggi besar dan tatapan tajam yang seakan-akan siap menghancurkan lawan. Sikapnya juga keras, tegas dan tidak kenal ampun.


Pada masa Jahiliah, ia sangat fanatik terhadap agama leluhurnya, bahkan sampai membuat berhala dari manisan kurma untuk disembah. Ketika ada orang yang mengancam agama nenek moyangnya itu maka ia tak akan tinggal diam. Hal ini pula yang ia lakukan ketika Rasulullah SAW menyebarkan agama Islam. Umar bin Khatab merasa terusik dengan kehadirannya.

Awal Mula Umar bin Khattab Masuk Islam

Ketika Suku Quraisy telah berkumpul, mereka mengatakan, “Siapakah yang akan membunuh Muhammad?” Umar dengan lantang menjawab, “Aku.” Lalu Umar keluar sambil menghunus pedangnya menuju ke tempat Rasulullah SAW dan sejumlah sahabatnya yakni Abu Bakar, Ali dan Hamzah.

Dari rumah tujuan Umar pun hanya satu yakni ingin membunuh Nabi Muhammad. Di tengah perjalanan, Umar dihadang oleh Abdullah an-Nahham al-‘Adawi.

“Hendak ke mana engkau, ya Umar?” tanya Abdullah.
“Aku hendak membunuh Muhammad,” jawab Umar.
“Apakah engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika engkau membunuh Muhammad?”
“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agama asalmu?” ledek Umar.

“Maukah engkau kutunjukkan yang lebih mengagetkan dari itu wahai Umar, sesungguhnya saudara perempuanmu dan iparmu telah murtad dan telah meninggalkan agamamu dan beriman kepada agama Muhammad,” kata Abdullah.

Mendengar hal itu, emosi Umar tak terbendung. Umar langsung pergi ke rumah saudarinya, Fatimah. Fatimah pun sedang belajar Al-Qur’an bersama Khabbab bin al-Arat. Mendengar saudarinya sedang membaca Al-Qur’an, Umar pun menendang dengan sangat keras sehingga Fatimah jatuh dan berdarah.

Namun Umar menyesal telah mencelakai saudaranya. Lalu Umar berkata, “Berikanlah mushaf kalian ini padaku, aku akan membacanya,” katanya.

Saudarinya berkata,”Aku tidak akan memberikan.”

“Mengapa? Padahal sesuatu yang kau katakan telah merasuk ke dalam hatiku. Berikan mushaf itu, aku ingin melihatnya. Apakah aku harus memberimu kepercayaan, bahwa aku tidak akan mengkhianatimu agar engkau mau menunjukkannya?” Fatimah menolak dan mengatakan bahwa Umar najis dan Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci.

Fatimah pun memerintahkan Umar untuk mandi. Lembaran berisi surat Thaha pun diberikan pada Umar. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Umar berkomentar, “Ini adalah nama-nama yang sangat indah dan suci.” Kemudian, Umar terus membaca surat Thaha. “Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah,” sampai firman-Nya,”(Dialah) Allah, tidak ada tuhan selain Dia yang mempunyai nama nama terbaik.” (QS. Thaha: 1-8).

Surat ini terasa agung di dadanya. Umar berkata, “Apa karena ini orang Quraisy berpaling?” Ayat-ayat ini merasa agung di dalam dada Umar. Kemudian ia terus membaca,

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya Hari Kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka, sekali-kali janganlah kamu dipalingkan darinya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” (QS. Thaha: 14-16).

Umar berkata,”Yang menyatakan demikian, hendaknya ia tidak disembah beserta dengan yang lainnya. Tunjukkan kepadaku dimana Muhammad berada!”

Mendengar ucapan Umar, Khabbab bin al-Arat keluar dari balik rumah dan berkata:”Bergembiralah wahai Umar, saya berharap doa Rasulullah SAW pada malam Kamis lalu adalah untukmu. Beliau berdoa: “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam.”

Kemudian Umar masuk Islam. Disebutkan dalam buku “Umar bin Khattab: 30 Hari Memahami Teladang sang singa berhati pualam” oleh A.R. Shohibul Ulum, saat Umar memasuki masjid dan dilihat kaum Quraisy-di mana Hamzah dan Umar ada di antara kedua barisan tersebut-, kaum Quraisy dirundung duka dan kesedihan. Saat itulah Nabi Muhammad menyebut Umar sebagai al-Faruq, sang pembeda.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com