Tag Archives: umar bin khattab

Kisah Pemenggalan Malik bin Nuwairah, Si Pemimpin yang Enggan Bayar Zakat



Jakarta

Malik bin Nuwairah merupakan kepala suku dari Bani Tamim. Ia merupakan salah satu tokoh pembangkang pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Pria yang tinggal di Buthah itu menolak membayar zakat. Selain itu, ia juga memerangi para pengikut-pengikut Islam yang ada di dalam sukunya, seperti dikisahkan dalam buku Kisah Empat Khalifah tulisan Fazl Ahmad.

Seusai wafatnya Nabi Muhammad SAW, mulailah muncul sosok pembangkang di Islam, seperti nabi palsu hingga sosok Malik bin Nuwairah. Kesesatan Malik ini diperangi oleh Abu Bakar dengan mengutus Khalid bin Walid, seorang panglima perang Islam yang tersohor pada masanya.


Kala itu, setelah mendengar Khalid akan datang menggempur pasukannya, Malik langsung membubarkan pasukannya. Sahabat Rasulullah yang dijuluki Pedang Allah itu bermain cerdik demi mengatasi kelicikan Malik, akhirnya dengan kepintarannya Khalid berhasil menangkap Malik.

Mengutip dari buku Lelaki Penghuni Surga oleh Ahmed Arkan, sebagian kaum Anshar tidak ingin menuruti Khalid untuk menyerang Malik. Khalid lantas berkata:

“Hal ini harus dilakukan karena ini adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Walaupun aku tidak mendapatkan instruksi, namun aku adalah pimpinan kalian dan akulah yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, aku tidak bisa memaksakan kalian untuk mengikutiku, yang jelas aku harus ke Al-Buthah,” ujarnya.

Sebagai informasi, kala itu Malik tengah berdiam diri di suatu tempat yang dinamai Al-Buthah. Khalid dengan semangatnya yang berkobar untuk memerangi para pembangkang lalu melakukan perjalanan selama dua hari ke Buthah.

Menyaksikan hal itu, kaum Anshar lalu mengikuti dan menyusul Khalid untuk memerangi Malik di Buthah. Sesampainya di sana, Khalid memanggil Maik bin Nuwairah yang sedang berdiam diri.

Kemudian, Khalid menyatakan bahwa apa yang dilakukan Malik tidaklah baik. Terlebih zakat wajib ditunaikan oleh tiap umat Islam.

“Tidakkah engkau tahu bahwa zakat itu seiring dengan salat?” tanya Khalid.

Alih-alih merasa bersalah dan berdosa, Malik justru menjawab dengan enteng, “Begitulah yang dikatakan oleh sahabat kalian (Abu Bakar),”

“Berarti Abu Bakar adalah sahabat kami dan bukan sahabatmu?” kata Khalid kembali melontarkan pertanyaan dengan geram.

Melihat hal itu, Khalid kemudian meminta Dhirar ibnul Azur, salah satu bala tentaranya yang ia bawa untuk memenggal leher Malik. Mematuhi perintah sang panglima, Dhirar segera memenggal leher Malik tanpa pikir panjang. Terlebih, sikap Malik terlihat sangat melecehkan panglima perangnya dan merendahkan Islam.

Sayangnya, berita pemenggalan leher Malik sampai ke telinga Umar bin Khattab. Mendengar hal itu, Umar merasa kurang senang dengan keputusan sang panglima perang yang dinilai terburu-buru untuk menghabisi nyawa Malik bin Nuwairah.

Lantas, Umar berkata kepada Abu Bakar:

“Copotlah Khalid dari jabatannya! Sesungguhnya pedangnya terlampau mudah mencabut nyawa orang,” beber Umar.

Abu Bakar yang tidak setuju lalu menjawab, “Aku tidak akan menyarungkan pedang yang dihunus Allah terhadap orang kafir,”

Muttammim bin Nuwairah juga turut melaporkan perbuatan Khalid yang memenggal Malik. Umar lantas membantunya agar Abu Bakar membayarkan diyat untuk keluarga Malik dari harta pribadinya.

Diyat adalah uang darah. Nantinya saudara atau kerabat terdekat dari seseorang yang membunuh harus mengumpulkan dana untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan.

Meski Abu Bakar telah menyatakan tidak akan mencabut jabatan Khalid, Umar bin Khattab masih memaksa dan terus menyakinkannya. Akhirnya, Khalid dibawa ke Madinah dengan mengenakan baju perang yang berkarat karena banyak terkena darah.

Ketika menghadap Abu Bakar, Khalid pun meminta maaf atas tindakannya memenggal kepala Malik bin Nuwairah. Melihat Khalid yang seperti itu, Abu Bakar lantas memaafkannya dan tidak mencopot jabatan Khalid.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Abu Bakar & Umar Mendengar Kabar Wafatnya Nabi SAW



Jakarta

Terdapat sebuah kisah mengharukan yang terjadi tak lama setelah Rasulullah SAW menghembuskan nafas terakhirnya, yakni ketika para sahabat beserta kaum muslim kala itu mendengar kepergian Nabi panutannya. Seperti apa kisahnya?

Menukil As-Siraah an-Nabaiwiyah fii Dhau’i al-Mashaadir al-Ashliyyah: Diraasah Tahliiliyyah susunan Mahdi Rizqullah Ahmad, jumhur ulama berpendapat bahwa meninggalnya Rasul SAW bertepatan dengan hari Senin, pada tanggal 12 Rabiul Awal, di usianya yang 63 tahun.

Diketahui, beliau mengalami sakit yang cukup parah selama beberapa hari sebelum menghadap Ilahi. Kemudian beliau wafat di rumah Aisyah, pada jatah hari gilirannya, dan berada tepat di pelukan Aisyah.


Menjelang Wafatnya Rasulullah SAW

Dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam diceritakan tak lama menjelang wafatnya, ketika Nabi SAW sakit dan suhu tubuhnya meninggi, beliau keluar dari kediaman Aisyah untuk menemui kaum muslim. Lalu berangkatlah beliau ke masjid.

Ibnu Ishaq berkata bahwa az-Zuhri menuturkan, “Ayyub bin Yasar mengatakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW keluar dari rumah dengan memakai ikat kepala, lalu duduk di mimbar.

Kalimat pertama yang diucapkannya adalah doa untuk para syuhada perang Uhud, memohonkan ampunan untuk mereka, dan bershalawat untuk mereka. Setelah itu, beliau bersabda: ‘Sesungguhnya, seorang hamba diberi pilihan oleh Allah antara dunia dengan apa yang ada di sisi-Nya. Kemudian ia memilih apa yang ada di sisi Allah.’

Abu Bakar memahami perkataan tersebut dan tahu bahwa hamba yang dimaksud adalah diri beliau sendiri. Ia pun menangis dan berkata, ‘Tetapi kami akan menebus engkau dengan jiwa kami dan anak-anak kami.’

Beliau bersabda, ‘Tenanglah, Abu Bakar!’ Beliau meneruskan, ‘Lihatlah pintu-pintu masjid yang terbuka ini. Tutuplah kecuali pintu yang mengarah ke rumah Abu Bakar, sebab aku benar-benar tidak kenal seseorang yang lebih baik persahabatannya denganku selain dirinya’.”

Ibnu Hisyam berkata, “Ada yang meriwayatkan: ‘Kecuali pintu Abu Bakar’.”

Ada yang meriwayatkan daari keluarga Abu Sa’id bin Al-Mu’alla, bahwa Rasul SAW bersabda pada hari itu, “Seandainya aku boleh menjadikan seseorang sebagai kekasihku, tentu akan kujadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Akan tetapi, cukuplah persahabatan, persaudaraan, dan iman sampai Allah menghimpun kita di sisi-Nya.” (Muttafaq Alaih)

Reaksi Umar dan Abu Bakar saat Wafatnya Nabi SAW

Masih dari Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam, Ibnu Ishaq mendengar dari az-Zuhri dan Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah: “Ketika Rasul SAW wafat, Umar bin Khattab berdiri dan berkata: ‘Ada orang-orang munafik yang menganggap Rasulullah sudah wafat. Sebenarnya Rasulullah tidak wafat!

Beliau hanya pergi menemui Tuhannya seperti kepergian Musa bin Imran. Musa meninggalkan kaumnya selama 40 malam lalu kembali kepada mereka setelah dikatakan bahwa ia wafat. Demi Allah, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga! Lalu aku akan memotong tangan dan kaki orang-orang munafik yang menganggap beliau sudah wafat!”

Setelah menerima berita duka tentang wafatnya Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq bergegas kembali. Ia berhenti di pintu masjid, sementara Umar masih bicara kepada orang banyak.

Abu Bakar tidak menoleh kanan kiri, melainkan terus masuk ke tempat Rasulullah di rumah Aisyah. Jenazah beliau sudah diselubungi selimut Yaman di sudut rumah. Abu Bakar mendekati jenazah beliau dan menyingkapkan selubung di wajahnya.

Ia mendekat lalu menciumnya (jenazah Rasulullah), sesudah itu berkata, ‘Demi ayah bundaku! Kematian yang ditentukan Allah SWT atas dirimu telah engkau rasakan. Setelah itu, tak ada lagi kematian yang menimpa dirimu selama-lamanya.’

Setelah mengembalikan selimut ke wajah Rasulullah, Abu Bakar keluar. Saat itu Umar masih saja bicara. Abu Bakar berkata, ‘Tenanglah, Umar, diamlah!’

Namun, Umar menolak diam. Ia terus saja meracau. Melihat Umar tak bisa dihentikan, Abu Bakar menghadap ke arah orang-orang. Saat orang-orang mendengar suara Abu Bakar, mereka pun berpaling kepadanya dan meninggalkan Umar.

Abu Bakar memuji Allah SWT, lalu berkata, ‘Saudara-saudara, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup tak pernah mati.’

Kemudian Abu Bakar membaca firman Allah SWT yang tertuang dalam Surat Ali Imran ayat 144:

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗوَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ – 144

Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh engkau berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Kala itu, kaum muslim seakan tak tahu bahwa ayat ini pernah diturunkan sampai Abu Bakar membacakannya pada hari itu. Mereka mengambil ayat tersebut dari Abu Bakar, padahal ayat itu sebenarnya sudah mereka ketahui.

Abu Hurairah menirukan perkataan Umar, “Demi Allah, sesaat setelah mendengar Abu Bakar membacakan ayat tersebut, aku pun tersadar lalu roboh ke tanah karena kedua kakiku tak mampu menopang tubuhku. Terbuka mataku kini bahwa Rasulullah benar-benar sudah wafat.”

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Bertemu Malaikat Munkar dan Nakir, Umar bin Khattab: Siapa Tuhan Kalian?



Jakarta

Sayyidina Umar bin Khattab termasuk salah satu sahabat Rasulullah SAW yang setia dan berani. Bahkan keberaniannya pun dibawa sampai ke alam kubur ketika bertemu Malaikat Munkar dan Nakir.

Setiap manusia yang meninggal dunia maka akan memasuki alam kubur. Di alam kubur ini ada dua malaikat yakni Munkar dan Nakir yang bertugas menyampaikan pertanyaan yang harus dijawab.

Tugas dari malaikat Munkar dan Nakir dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,


إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالآخَرُ النَّكِيرُ ، فَيَقُولَانِ : مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ ؟ فَيَقُولُ مَا كَانَ يَقُولُ

Artinya: “Apabila mayat atau salah seorang dari kalian sudah dikuburkan, ia akan didatangi dua malaikat hitam dan biru, salah satunya Munkar dan yang lain Nakir, keduanya berkata: Apa pendapatmu tentang orang ini (Nabi Muhammad)? Maka ia menjawab sebagaimana ketika di dunia…” (HR Tirmidzi).

Setiap orang yang beriman akan dengan mudah menjawab pertanyaan dari malaikat Munkar dan Nakir. Sebaliknya, bagi orang yang zalim maka mereka akan kesulitan menjawabnya.

Kisah Umar bin Khattab Bertemu Malaikat Munkar dan Nakir

Mengutip laman NU Online (6/5/2023) dijelaskan Imam Jalaludin As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Hâwî lil Fatâwî menuliskan sebuah riwayat dari Al-Jazuli dalam kitab Syarhur Risâlah, bahwa satu ketika Rasulullah berbicara kepada para sahabat perihal Munkar dan Nakir.

Digambarkannya malaikat Munkar dan Nakir akan mendatangi seorang mayit di kuburan dalam bentuk yang begitu menyeramkan; berkulit hitam, seram, keras, dan sifat-sifat buruk dan menakutkan lainnya. Lalu kedua malaikat itu akan menanyai si mayit ketika di alam kubur.

Mendengar penuturan Rasulullah itu Umar bin Khattab bertanya, “Rasul, apakah saat di kuburan nanti aku sebagaimana sekarang ini?” “Ya,” jawab Rasul.

“Kalau begitu,” timpal Umar kemudian, “demi Allah akan aku lawan kedua malaikat itu!”

Keberanian Umar bin Khattab memang tidak bisa diragukan. Dalam membela Islam, ia selalu berada di deretan terdepan. Tak ada yang ia takuti kecuali Allah SWT.

Konon, ketika Sayyidina Umar bin Khattab meninggal dunia putra beliau yang bernama Abdullah bermimpi bertemu dengannya. Dalam mimpi itu Abdullah menanyakan tentang keadaan sang ayah di alam kubur.

Oleh Umar pertanyaan anaknya itu dijawab, “Aku didatangi dua malaikat. Keduanya bertanya kepadaku, siapa Tuhanmu, siapa nabimu? Aku jawab, Tuhanku Allah dan nabiku Muhammad. Lalu kepadanya aku tanyakan, kalian berdua, siapa Tuhanmu? Mendapat pertanyaan seperti itu kedua malaikat itu saling berpandangan. Salah satunya berkata, ini Umar bin Khattab. Lalu keduanya pergi meninggalkanku.”

Malaikat Munkar dan Nakir justru pergi meninggalkan Umar bin Khattab yang justru bertanya balik. Tingkat keimanan yang tinggi menjadikan Umar bin Khattab berani dan bisa melontarkan pertanyaan tersebut.

Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir

Mengutip buku At-Tadzkirah Jilid 1 Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi oleh Imam Syamsuddin Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa sebelum bertemu dengan malaikat Munkar dan Nakir, roh seseorang akan diminta untuk mencatat amal perbuatannya. Setelah itu barulah datang Malaikat Munkar dan Nakir yang akan mengajukan pertanyaan.

Maka kedua malaikat tersebut, Munkar dan Nakir lantas menyuruh mayit itu duduk, dan memulai pertanyaannya dengan keras. Mereka membentaknya dengan bengis, padahal tanah bagi mayit itu sudah seperti air saja, ke mana dia bergerak, tanah itu tembus.

Kedua malaikat itu bertanya, “Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa Nabimu? Apa kiblatmu?”

Barangsiapa mendapat pertolongan Allah dan dimantapkan dengan perkataan yang teguh, maka dia bisa balik bertanya, “Siapa yang menugaskan kalian berdua datang kemari? Siapa yang mengutus kalian kepadaku?” Tapi, ini hanya bisa dikatakan oleh para ulama pilihan.

Maka salah satu dari malaikat itu berkata kepada temannya, “Dia benar. Dia dilindungi dari keburukan kita.”

Kemudian kedua malaikat itu membangun kubur mayit, dijadikan seperti kubah yang besar, dan mereka bukakan untuknya sebuah pintu menuju ke surga di sebelah kanannya. Lalu mereka hamparkan pula untuknya permadani dari sutra surga, ditaburi wewangian surga.

Kemudian melalui pintu itu berhembuslah angin lembut dari surga, kesegaran dan wewangiannya. Sesudah itu datanglah kepadanya amalnya sendiri dalam rupa manusia yang paling dia sukai. Amal itu menghiburnya, mengajaknya bicara dan memenuhi cahaya dalam kuburnya.

Oleh karenanya, mayit itu selalu gembira dan bahagia sepanjang umur dunia, sampai datangnya hari kiamat kelak. Bahkan dia bertanya-tanya, kapankah datangnya kiamat. Karena tidak ada yang lebih dia sukai selain datangnya kiamat.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Utsman bin Affan dan Kedermawanannya dalam Berbagi



Jakarta

Utsman bin Affan merupakan sosok sahabat Rasulullah SAW yang dikenal akan kedermawanannya. Dia juga termasuk ke dalam golongan yang pertama memeluk Islam atau biasa disebut Assabiqunal Awwalun.

Usia Utsman dengan Nabi Muhammad terpaut 6 tahun lebih muda. Dirinya juga merupakan sosok pemimpin ketiga setelah Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

Utsman memeluk Islam atas ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Saat Rasulullah SAW diangkat menjadi nabi, usia Utsman kala itu masih 34 tahun.


Nama lengkapnya Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umaiyah bin Abdusy Syams bin Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghaib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan. Ia lahir di Thai kawasan Hijaz, sebuah wilayah bagian barat laut Arab Saudi.

Sebagai sosok yang dermawan, Utsman bin Affan tidak pernah ragu dalam menyumbangkan hartanya di jalan Allah dan membantu sesama. Dijelaskan dalam buku Utsman bin Affan RA susunan Abdul Syukur al-Azizi, Syurahbil bin Muslim RA menuturkan bahwa Utsman pernah memberi makan banyak orang dengan makanan para bangsawan.

Setelahnya, Utsman masuk ke rumahnya untuk makan cuka dan minyak samin. Dia memberikan makanan yang baik-baik kepada orang lain sementara dirinya hanya memakan cuka dan minyak samin.

Mengutip dari buku Kisah Edukatif 10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga tulisan Luthfi Yansyah, kedermawanan dan kemurahan hati Utsman tidak ada yang menandingi. Ketika masjid Nabawi terasa sempit karena banyak jemaah yang ikut salat, Rasulullah SAW bermaksud membeli tanah milik seorang sahabat untuk keperluan perluasan masjid, beliau berkata:

“Siapa yang membeli tanah keluarga Fulan lalu menambahkannya ke masjid, maka dia akan memperoleh kebaikan dari tanah itu di surga,”

Tanpa pikir panjang, Utsman segera membelinya dari harta pribadi senilai 25 ribu dinar. Dia juga membeli sebuah sumur yang dinamai Sumur Rumah seharga 1000 dirham.

Sumur itu lantas diserahkan kepada kaum muslimin dari berbagai kalangan, baik itu kaya, sederhana, miskin, ataupun mereka yang kehabisan bekal perjalanan. Begitu dermawannya sosok Utsman bin Affan.

Pernah pada suatu ketika di masa kekhalifahan Umar bin Khattab terjadi musim paceklik. Sawah dan ladang menjadi kering sampai-sampai masa itu disebut sebagai tahun Ramadah atau debu.

Kaum muslimin merasa sangat kesulitan hingga banyak nyawa manusia yang terancam. Umar berkata kepada mereka,

“Bersabarlah dan berharap pahala-lah kalian kepada Allah! Aku amat berharap semoga Allah memudahkan kesulitan kalian pada petang ini,”

Di penghujung hari, datanglah kabar bahwa kafilah Utsman bin Affan datang dari Syam dan rombongan tersebut tiba di Madinah pada pagi hari. Usai salat Subuh, masyarakat berbondong-bondong menyambut kedatangan mereka.

Tak disangka-sangka, rombongan yang terdiri dari 1000 unta itu membawa gandum, minyak, dan anggur kering. Kafilah unta tersebut berhenti di depan pintu rumah Utsman.

Bersamaan dengan itu, para budak menurunkan muatan yang ada di punggung unta. Para pedagang segera menemui Utsman dan berkata kepadanya,

“Juallah kepada kami segala yang kau bawa, wahai Abu Amr (panggilan Utsman)!”

Ia lalu menjawab, “Aku akan menjualnya dengan senang hati kepada kalian, akan tetapi berapa harga yang hendak kalian tawarkan kepadaku?”

“Setiap dirhak yang engkau bayarkan akan kami ganti dua dirham!”

“Aku akan mendapatkan lebih dari itu,” ujar Utsman.

Para pedagang akhirnya menambahkan harga tawaran mereka. Namun, Utsman berkata, “Sesungguhnya aku akan mendapatkan lebih dari harga yang kalian tambahkan,”

“Wahai Abu Amr, sesungguhnya tidak ada pedagang lain di Madinah selain kami. Dan tidak ada seorang pun yang mendahului kami datang ke tempat ini. lalu siapa yang telah memberikan tawaran kepadamu melebihi harga yang kami tawarkan?”

“Allah SWT akan memberikan 10 kali lipat dari setiap dirham yang aku bayarkan. Apakah kalian dapat membayar lebih dari ini?” jelas Utsman.

Pedagang itu kemudian menjawab, “Kami tidak sanggup untuk membayarnya, wahai Abu Amr!”

Lalu, Utsman langsung berkata, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku akan menjadikan semua barang bawaan yang dibawa oleh kafilah ini sebagai sedekah untuk kaum fakir dan miskin. Aku tidak pernah berharap satu dirham ataupun satu dinar sebagai gantinya,”

Saking dermawannya Utsman, ia rela memberikan bantuan pangan yang ada pada 1000 unta itu. Dia tidak mengharapkan uang sebagai ganti, melainkan ridha dan balasan dari Allah SWT.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Meninggalnya Umar bin Khattab, Jasadnya Dimakamkan di Samping Rasulullah SAW



Jakarta

Umar bin Khattab merupakan seorang sahabat sekaligus mertua Rasulullah SAW yang menjadi bagian dari Khulafaur Rasyidin. Sosok Umar bin Khattab yang kuat, tegas, berani, dan bijaksana itu membekas di ingatan para kaum muslimin di masa itu sehingga kisah meninggalnya Umar bin Khattab hal yang selalu dikenang dan tak lekang oleh waktu.

Dikutip dari buku Teori dan Implementasi Kepemimpinan Strategis yang disusun oleh Tri Cicik Wijayanti, penyebab kematian Umar bin Khattab adalah karena dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) yakni seorang budak yang fanatik. Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk pada saat menjadi imam sholat subuh pada Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M.

Abu Lukluk sendiri merupakan orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan oleh Umar bin Khattab dalam rangka ekspansi atau perluasan wilayah Islam. Pembunuhan tersebut dilatarbelakangi oleh rasa sakit hati Abu Lukluk atas kekalahan Persia yang kala itu merupakan negara adidaya.


Sementara itu, Afdhal, dkk. menyebutkan dalam buku Sejarah Peradaban Islam bahwa sebelum Abu Lukluk melancarkan aksinya untuk membunuh Umar bin Khattab, terdapat penyebaran konspirasi yang dirancang oleh musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Persia. Menurut berbagai sumber, Umar bin Khattab ditusuk dengan belati beracun.

Wasiat-wasiat dari Umar bin Khattab

Sebelum meninggal, Umar bin Khattab memilih enam sahabatnya yakni Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash dan berwasiat pada mereka agar memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah selanjutnya.

Lalu, setelah peristiwa tertusuknya Umar bin Khattab dan ia tengah merasa semakin dekat dengan kematian, Umar mengutus putranya Abdullah bin Umar untuk pergi mengunjungi Aisyah istri Rasulullah SAW untuk menyampaikan salamnya pada Aisyah dan permohonannya agar diperkenankan dimakamkan di samping Rasulullah SAW.

Sebagaimana yang tercantum dalam buku Kisah-Kisah Inspiratif Sahabat Nabi karya Muhammad Nasrulloh, Aisyah kemudian mengiyakan permohonan tersebut sebagai jawaban meski sebenarnya ia sangat menginginkan kelak dimakamkan di samping suaminya Rasulullah SAW dan ayahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq.

Setelah Abdullah mengabarkan pada ayahnya bahwa Aisyah mengizinkan, bergembiralah Umar sebab tempat itu adalah yang paling diinginkannya ketika meninggal.

Adapun dalam buku Kuliah Adab susunan ‘Aabidah Ummu ‘Aziizah, S. Pd. I, dkk., disebutkan bahwa muslim yang beriman dan taat ketika menghadapi kematian perlu disampaikan kabar gembira sebab seseorang yang saleh dan terkenal baik hendaknya digembirakan dengan pahala dari Allah sebagaimana janji-Nya atas orang-orang yang saleh.

Ketika Umar bin Khattab menghadapi kematian, ia didatangi seorang lelaki dari kaum Anshar. Lelaki itu berkata padanya, “Bergembiralah wahai Amirul Mukminin atas kabar gembira dari Allah yang berupa ampunan atas dosa-dosamu yang terdahulu dengan masuknya engkau dalam Islam, juga dijadikannya engkau sebagai pengganti Rasulullah dan engkau menjadi pemimpin yang adil, dan bergembira pulalah engkau atas nikmat kesyahidan yang sebentar lagi kau dapatkan setelah ini semua.”

Kemudian, Umar bin Khattab menjawab, “Wahai anak saudaraku, aku berharap cukuplah aku dimatikan dalam keadaan baik.” (al-Munjid: t.t, 9).

Kepemimpinan Setelah Umar bin Khattab

Setelah wafatnya Umar bin Khattab, jabatan khalifah kemudian dipegang oleh Utsman bin Affan. Berbeda dengan karakter Umar bin Khattab yang berbadan kuat lagi kekar serta sangat memperhatikan tanggung jawab dirinya dan bawahannya, Utsman bin Affan memiliki sifat yang lebih lembut dan santun perangainya dalam bermuamalah.

Sikap terpuji dan kebaikan Utsman bin Affan telah berhasil memimpin kaum muslimin. Bahkan menukil buku Kisah-Kisah Islam Yang Menggetarkan Hati oleh Hasan Zakaria Fulaifal, disebutkan bahwa Umar bin Khattab hidup fakir dan meninggal dalam keadaan berhutang sementara yang melunasinya adalah Utsman bin Affan ketika belum seminggu sejak kematian Umar bin Khattab.

Itulah kisah meninggalnya Umar bin Khattab, salah satu khalifah kebanggan umat muslim. Umar bin Khattab membuktikan bahwa kematian bagi orang yang beriman lagi saleh adalah kabar baik karena segala amalan baik yang telah dikerjakannya selama di dunia akan menolongnya di akhirat kelak.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Saat Ali bin Abi Thalib Dobrak Benteng Kuat Khaibar Seorang Diri



Jakarta

Bersama 1.600 pasukan muslimin, Nabi Muhammad SAW bergerak menuju Khaibar. Pada permulaan bulan Rabiulawal tahun ke-7 Hijriah itu, Rasulullah SAW benar-benar merahasiakan pergerakan pasukannya untuk mengagetkan pasukan Yahudi sekaligus mencegah bantuan-bantuan militer yang datang dari kabilah-kabilah Ghathfan.

Menurut buku Kisah-kisah Manusia Suci susunan Sayyid Mahdi Ayatullah, di bawah lindungan kegelapan malam kaum Muslimin mengepung benteng-benteng Khaibar dan mengambil posisi di antara pepohonan kurma. Pada pagi harinya, pertempuran pun pecah dan jatuhlah benteng-benteng tersebut satu demi satu.

Dalam Perang Khaibar ini, ada sebuah kisah menarik mengenai Ali bin Abi Thalib RA yang turut serta di dalamnya. Keberanian Ali RA dibuktikan dengan menerobos gerbang Khaibar tanpa pelindung sebagaimana dijelaskan melalui buku 125 Cerita Fakta Islam yang Unik & Menakjubkan tulisan Alifa Aryatna.


Sebelumnya, kaum Muslimin kesulitan menaklukkan dua benteng tempat kaum Yahudi berkumpul untuk melakukan perlawanan pada kaum Muslimin dengan menggunakan anak panah. Rasulullah SAW kemudian mengutus Abu Bakar RA memimpin sebagian kekuatan pasukan Islam, sayangnya beliau menelan kekalahan.

Akhirnya Nabi Muhammad SAW mengutus Umar bin Khattab RA, namun kaum Muslimin tetap kalah. Hal itu lantas mendorong kaum Yahudi untuk mengolok-olok kekalahan pasukan Islam.

Kemudian, Rasulullah SAW bersabda:

“Sungguh besok aku akan menyerahkan panji-panji kepada seorang lelaki yang mencintai Allah serta rasul-Nya, dan Allah serta rasul-Nya pun mencintainya. Ia akan bertempur terus dan tidak melarikan diri. Karenanya ia tidak akan kembali hingga Allah memberikan kemenangan kepadanya,”

Mendengar ucapan Nabi Muhammad SAW, pasukan muslim bertanya-tanya siapakah sosok tersebut. Ketika pagi tiba, Rasulullah SAW memanggil Ali bin Abi Thalib RA dan menyerahkan panji-panji kepadanya serta mendoakannya meraih kemenangan.

Ali bin Abi Thalib RA mengibarkan panji-panji dan bergerak bersama pasukan muslim untuk menghadapi musuh-musuh. Kaum Yahudi yang tengah terlena karena sebagian kemenangannya, sehingga sebagian kekuatan mereka berada di luar benteng.

Pada saat itu pula, Ali RA bersama pasukan muslim masuk dan melancarkan serangan tak terduga. Bahkan, Ali RA berhasil membunuh Marhab dan Al Harits yang kala itu merupakan pahlawan Yahudi hingga menimbulkan ketakutan dalam barisan Yahudi.

Setelahnya, pasukan Yahudi menarik diri ke dalam benteng dan mengunci seluruh pintunya. Kaum Muslimin menghalau agar mereka tidak masuk benteng. Namun, ketika pasukan Yahudi masuk dan mengunci pintu benteng, barisan muslimin tidak dapat mendobraknya.

Ali RA kemudian menjulurkan tangannya ke pintu benteng dan menggoyangkan pintu itu sekuat tenaga. Atas izin Allah, dicabutnya pintu tersebut dan dijadikan sebagai jembatan penyeberangan pasukan Islam.

Menyaksikan peristiwa itu, tentara muslim terkejut. Bagaimana bisa Ali RA mendobrak pintu itu seorang diri sementara sebelumnya mereka mencoba mendobrak pintu dengan kekuatan tujuh orang.

Setelah itu, pasukan muslim meraih kemenangan. Kaum Yahudi memohon perdamaian dengan Rasulullah dan meminta untuk tetap diizinkan menghuni rumah-rumah mereka, dengan catatan mereka menyerahkan separuh penghasilan setiap tahun kepada kaum Muslimin.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar bin Khattab Bentak Malaikat Munkar-Nakir di Alam Barzakh


Jakarta

Umar bin Khattab RA adalah salah satu sahabat Nabi SAW yang dikenal setia dan pemberani. Salah satu kisah Umar bin Khattab RA yang menunjukkan keberaniannya adalah saat ia membentak malaikat.

Keberanian Umar RA tetap terlihat saat dia berhadapan dengan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur. Setiap individu yang meninggal akan mengalami fase alam kubur.

Di dalam alam ini, ada dua malaikat yang bernama Munkar dan Nakir yang memiliki tugas untuk mengajukan pertanyaan kepada individu yang meninggal.


Tugas Malaikat Munkar dan Nakir dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah, di mana Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالآخَرُ النَّكِيرُ ، فَيَقُولَانِ : مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ ؟ فَيَقُولُ مَا كَانَ يَقُولُ

Artinya: “Apabila jenazah atau salah satu dari kalian dikubur, maka dua malaikat yang berwujud hitam dan biru, salah satunya bernama Munkar dan yang lain bernama Nakir, akan datang dan bertanya: ‘Apa pendapatmu tentang orang ini (Nabi Muhammad)?’ Lalu orang tersebut akan menjawab sebagaimana yang dia katakan di dunia…” (HR Tirmidzi)

Setiap orang yang beriman akan dengan mudah menjawab pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir. Namun, bagi orang yang berlaku zalim, mereka akan kesulitan menjawabnya. Wallahu a’lam.

Umar bin Khattab RA pun mendapatkan pertanyaan dari kedua malaikat tersebut. Namun, ia justru balik bertanya. Berikut kisah Umar bin Khattab RA membentak malaikat yang dikutip dari buku Akidah Akhlak Madrasah Ibtidaiyah tulisan Fida’ Abdillah dan Yusak Burhanudin.

Kisah Umar Membentak Malaikat

Suatu ketika Rasulullah SAW membicarakan Malaikat Munkar dan Nakir kepada para sahabat. Beliau menggambarkan bahwa Malaikat Munkar dan Nakir akan mendatangi seorang mayat di kuburan dalam bentuk yang menyeramkan; berkulit hitam, garang, keras, dengan sifat-sifat buruk dan menakutkan lainnya.

Setelah mendengar penjelasan Rasulullah SAW, Sayyidina Umar RA bertanya, “Ya Rasulullah, apakah di alam kubur nanti aku akan menjadi seperti sekarang ini?”

Rasulullah SAW menjawab, “Ya, engkau akan tetap dalam keadaan seperti sekarang.”

Mendengar itu, Sayyidina Umar RA dengan tegas menyatakan, “Demi Allah, aku akan melawan kedua malaikat itu!”

Menurut riwayat, setelah Sayyidina Umar bin Khattab RA meninggal dunia, putranya yang bernama Abdullah bermimpi bertemu dengannya. Dalam mimpinya, Abdullah menanyakan tentang keadaan ayahnya di alam kubur.

Umar menjelaskan bahwa dia didatangi oleh dua malaikat. Malaikat-malaikat tersebut bertanya kepadanya, “Siapakah Tuhanmu? Siapakah nabimu?” Umar menjawab dengan tegas, “Tuhan saya adalah Allah dan nabiku adalah Muhammad.” Lalu Umar pun bertanya kepada kedua malaikat, “Siapakah Tuhan kalian berdua?” Mendengar pertanyaan itu, kedua malaikat saling pandang. Salah satu dari mereka berkata, “Ini adalah Umar bin Khattab.”

Setelah itu, kedua malaikat itu pergi meninggalkannya.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah, Menggantikan Umar bin Khattab



Jakarta

Utsman bin Affan adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk ke dalam golongan Assabiqunal Awwalun. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan dermawan.

Utsman berasal dari keluarga suku Quraisy Bani Umayyah dan hidup di tengah-tengah masyarakat jahiliyah. Mengutip dari buku Biografi Utsman bin Affan susunan Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shallabi, Utsman bin Affan merupakan laki-laki keempat yang memeluk Islam setelah Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah.

Perbedaan usia Utsman dan Rasulullah SAW hanya terpaut 6 tahun lebih muda. Beliau juga merupakan khalifah ketiga sesudah masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.


Menurut buku Kitab Sejarah Lengkap Khulafaur Rasyidin tulisan Ibnu Katsir, kala itu Umar bin Khattab menetapkan perkara pengangkatan khalifah di bawah Majelis Syura yang anggotanya berjumlah 6 orang. Mereka terdiri atas Utsman bin Affan, Ali bin Abi thalib, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash serta Abdurrahman bin Auf.

Umar merasa sangat berat menentukan salah seorang di antara mereka yang menjadi khalifah setelahnya. Ia berkata,

“Aku tidak sanggup untuk bertanggung jawab tentang perkara ini, baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati. Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap kalian maka Dia akan membuat kalian bersepakat untuk menunjuk seorang yang terbaik di antara kalian sebagaimana telah membuat kalian sepakat atas penunjukan orang yang terbaik setelah nabi kalian,”

Akhirnya dilakukan musyawarah usai Umar bin Khattab wafat. Terpilihlah tiga kandidat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.

Dari keenam anggota Majelis Syura, tidak ada satu pun yang mengajukan diri untuk dibaiat. Begitu pun dengan Ali dan Utsman, sehingga musyawarah ditunda.

Kemudian, di hari kedua Abdurrahman bin Auf berkeliling Madinah untuk menjumpai para sahabat. Ia meminta pendapat kepada mereka.

Di malam hari ketiganya, Abdurrahman bin Auf memanggil Zubair bin al-Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash, mereka lalu bermusyawarah. Abdurrahman memandang Ali dan membacakan syahdatain sambil berkata memegang tangannya,

“Engkau punya hubungan dekat dengan Rasulullah, dan sebagaimana diketahui engkau pun lebih dulu masuk Islam. Demi Allah, jika aku memilihmu engkau harus berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau harus patuh dan taat. Wahai Ali, aku telah berkeliling menghimpun pendapat dari berbagai kalangan dan ternyata mereka lebih memilih Utsman. Aku berharap engkau menerima ketetapan ini,”

Ali bin Abi Thalib lantas menjadi orang kedua yang berkata sama kepada Utsman untuk membaiatnya sebagai khalifah menggantikan Umar bin Khattab. Kala itu, kaum muslimin yang hadir serempak membaiat Utsman sebagai khalifah.

Utsman diangkat menjadi khalifah ketiga dan disebut sebagai yang tertua. Pada saat pembaiatan, ia berusia 70 tahun.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama



Jakarta

Abu Bakar Ash Shiddiq RA merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun. Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi.

Menukil dari Tarikh Khulafa tulisan Ibrahim Al-Quraibi, Abu Bakar RA disebut sebagai orang pertama yang masuk Islam. Diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra dari Asma’ binti Abu Bakar yang menuturkan,

“Ayahku masuk Islam, sebagai muslim pertama. Dan demi Allah aku tidak mengingat tentang ayahku kecuali ia telah memeluk agama ini,”


Sepeninggalan Rasulullah SAW, Abu Bakar RA ditunjuk sebagai khalifah. Menurut buku Pengantar Studi Islam susunan Shofiyun Nahidloh, S Ag, M H I, Abu Bakar RA menerima jabatan sebagai khalifah pada saat Islam dalam keadaan krisis dan gawat.

Kala itu, muncul berbagai perpecahan, adanya para nabi palsu, serta terjadinya berbagai pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah berdasarkan keputusan bersama balai Tsaqidah Bani Sa’idah.

Keputusan terkait pemilihan Abu Bakar RA sebagai khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat dikarenakan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:

  • Dekat dengan Rasulullah SAW baik dari ilmunya maupun persahabatannya
  • Sahabat yang sangat dipercaya oleh Rasulullah SAW
  • Dipercaya oleh rakyat, sehingga beliau mendapat gelar As-Siddiq atau orang yang sangat dipercaya
  • Seorang yang dermawan
  • Abu Bakar RA merupakan sahabat yang diperintah oleh Rasulullah SAW untuk menjadi imam salat jamaah
  • Abu Bakar RA ialah seseorang yang pertama memeluk agama Islam

Abu Bakar RA menjabat sebagai khalifah pada tahun 632-634 Masehi. Usai wafatnya Rasulullah SAW, pengangkatan Abu Bakar RA dilakukan dengan persiaran Umar bin Khattab RA dalam sebuah pertemuan di Safiqah melalui musyawarah yang disetujui oleh para tokoh kabilah dan suku lain.

Pada saat itu, pemilihan Abu Bakar RA sebagai khalifah terkesan mendadak karena kondisi dan situasi cukup genting bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan. Di sela-sela ketegangan itu, kaum Anshar menyarankan harus ada dua kelompok untuk menjadi khalifah.

Hal tersebut berarti sama seperti perpecahan kesatuan Islam, akhirnya dengan segala risiko, Abu Bakar RA tampil ke depan dan berkata, “Saya akan menyetujui salah seorang yang kalian pilih di antara kedua orang ini,”

Suasana di Safiqah masih belum kondusif, kemudian Umar bin Khattab RA berbicara untuk mendukung Abu Bakar RA dan mengangkat setia kepadanya. Umar bin Khattab RA tidak memerlukan waktu yang lama untuk meyakinkan kaum Anshar dan yang lain bahwa Abu Bakar RA adalah orang yang tepat di Madinah untuk menjadi penerus setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

Lalu, musyawarah secara bulat menentukan bahwa Abu Bakar RA-lah yang akan menjadi khalifah dengan gelar Amirul Mu’minin. Pertemuan tersebut merupakan sebuah implementasi dari sebuah politik dengan semangat musyawarah.

(aeb/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Ibu Pemasak Batu pada Masa Khalifah Umar bin Khattab



Jakarta

Ada sebuah kisah menarik mengenai seorang ibu pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Kala itu, beliau dikenal sebagai pemimpin yang adil dan sangat peduli pada rakyatnya.

Dikisahkan dalam buku Kisah dan Hikmah susunan Dhurorudin Mashad, ketika malam menjelang dini hari Umar bin Khattab melakukan kebiasaan rutinnya yaitu berjalan bersama sang pengawal untuk melihat kondisi rakyat. Sesampainya di dusun kecil terpencil, terdengar suara tangis anak kecil.

Tangisan anak kecil ini memilukan hati Umar. Akhirnya, ia mencari sumber suara tangis yang ternyata berasal dari rumah gubuk sederhana. Bangunan itu terbuat dari kulit kayu, di dalamnya ada seorang ibu yang tengah duduk di depan tungku seperti sedang memasak. Sang ibu sesekali mengaduk panci seraya membujuk anaknya untuk tidur.


“Diamlah wahai anakku. Tidurlah kamu sesaat, sambil menunggu bubur segera masak,” katanya.

Akhirnya sang anak tertidur. Namun tak lama setelahnya ia kembali terbangun dan menangis lagi. Kejadian ini terus berulang sampai akhirnya memancing Umar untuk mengecek apa yang sebenarnya dikerjakan oleh ibu tersebut.

Perlahan Umar mendekat, ia mengetuk pelan sambil mengucap salam. Tak ingin identitasnya diketahui, Umar bertamu dalam keadaan menyamar.

Setelah pintu dibuka, Umar menanyakan terkait apa yang dimasak ibu tersebut dan apa yang menyebabkan putranya menangis terus-menerus.

Dengan sedih, sang ibu menceritakan keadaannya. Ia menyebut anaknya menangis karena lapar padahal ia tak punya makanan apapun di rumah.

Ibu itu juga mengatakan bahwa yang dimasaknya adalah sebongkah batu untuk menghibur si anak. Ini dilakukan seolah-olah ia tengah memasak membuat makanan. Selain itu, ibu tersebut bahkan sempat mengumpat kesal terhadap sang pemimpin pada masa itu yang mana Umar bin Khattab sendiri.

“Celakalah Amirul Mu’minin ibnu Khattab yang membiarkan rakyatnya kelaparan,”

Mendengar hal itu, Umar lalu pergi dan menangis memohon ampun kepada Allah SWT. Ia merasa menjadi pemimpin yang teledor sampai-sampai tidak tahu ada rakyatnya yang kesusahan.

Tanpa berpikir panjang, Umar bin Khattab pulang dan mengambil sekarung gandum. Dibawanya seorang diri karung gandum itu di punggungnya sambil menuju ke rumah ibu yang memasak batu.

Melihat hal itu, pengawal Umar menawarkan diri untuk membantu. Sayangnya, Umar justru menolak.

“Apakah kalian mau menggantikanku menerima murka Allah akibat membiarkan rakyatku kelaparan? Biar aku sendiri yang memikulnya, karena ini lebih ringan bagiku dibanding siksaan Allah di akhirat nanti,” kata Umar yang terus membawa karung gandum tersebut.

Sesampainya di rumah ibu tersebut, Umar langsung memasakkan sebagian gandum untuk dijadikan makanan. Setelah matang, ibu dan anak itu dipersilakan makan hingga kenyang.

Setelah selesai, Umar segera pamit ke ibu dan anak itu. Ia juga berpesan agar esoknya anak dan ibu tersebut datang ke Baitul Mal menemui Umar untuk mendapat jatah makan dari negara.

Sang ibu mengucapkan terima kasih sambil berkata, “Engkau lebih baik dibanding Khalifah Umar,” ucapnya.

Keesokan harinya, sang ibu datang ke Baitul Mal untuk meminta jatah tunjangan pangan bagi diri dan anaknya. Umar menyambut dengan senyum bahagia.

Saat ibu itu menyadari bahwa orang yang membantunya di malam buta adalah Umar sang Amirul Mu’minin, ia langsung terkejut. Umar menyambut si ibu sambil mendekat dan menyampaikan permohonan maafnya.

Beliau tidak sungkan menyampaikan permohonan maafnya sebagai seorang pemimpin.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com