Tag Archives: who

Kasus TBC Resisten Obat Masih Tinggi, Wamenkes Soroti Hal Ini


Jakarta

Indonesia masih menghadapi tantangan besar menanggulangi tuberkulosis (TBC) resisten obat. Per 2024, terdapat sekitar 12.000 kasus TB resisten obat dengan tingkat keberhasilan pengobatan baru di angka 59 persen.

Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menegaskan kondisi ini harus menjadi perhatian serius.

“Tantangan kita untuk melakukan penatalaksanaan TBC resisten ada di hadapan kita. Keberhasilannya harus terus meningkat ke depan,” ujar Dante di Jakarta, Kamis (2/10/2025).


Menurut Dante, hadirnya regimen pengobatan baru bernama BIPAL-M atau Bipalem membawa angin segar bagi pasien TB resisten obat. Jika sebelumnya terapi bisa berlangsung hingga 18 bulan dengan konsumsi lebih dari 20 tablet per hari, kini pengobatan cukup enam bulan saja, dengan hanya 4 hingga 5 tablet per hari.

“Dengan regimen lama, pengobatan TB resisten bisa menghabiskan hingga Rp 120 juta per pasien. Sementara dengan BIPAL-M, jika patuh berobat, biayanya hanya sekitar Rp 9 juta,” lanjut Dante.

Selain lebih terjangkau, terapi singkat diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan pasien yang selama ini menjadi tantangan utama. Banyak kasus TB resisten obat muncul akibat pasien menghentikan pengobatan di tengah jalan, sehingga obat standar tak lagi efektif.

Target 2025

Kementerian Kesehatan menegaskan komitmennya mempercepat penanganan TB di Indonesia. Mengacu pada estimasi World Health Organization (WHO), jumlah kasus TBC di Tanah Air mencapai 1,09 juta orang setiap tahun.

“Yang paling penting adalah upaya notifikasi. Jadi, 1.090.000 orang itu harus dicek semua sebelum diobati. Target kita, 90 persen di tahun 2025 sudah dicek secara total, dan setelah dicek langsung diobati. Inilah yang disebut enrollment target,” jelas Dante.

Ia menambahkan, capaian pengobatan TBC kini menunjukkan progres positif.

“Enrollment target juga 90 persen, dan untuk saat ini yang sudah ditemukan sudah tercapai enrollment obatnya. Tingkat kesembuhan sudah mencapai 90 persen sesuai target. Kita akan melakukan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, semua harus diberdayakan supaya pengobatan TBC ini berjalan,” katanya.

Sementara Direktur Yayasan Riset dan Pelatihan Respirasi Indonesia Prof Erlina Burhan, menilai regimen baru Bipalem sebagai terobosan besar. Menurutnya, selain lebih singkat, efek samping obat juga lebih dapat dikelola.

“Selama ini, pengobatan TB resisten obat menjadi masalah besar karena pasien harus menjalani terapi hingga 18 bulan dengan jumlah obat yang sangat banyak. Dengan Bipalem, pengobatan cukup enam bulan saja. Obat yang diminum hanya 4 hingga 5 tablet per hari, dan efek sampingnya lebih bisa dimanage,” jelasnya.

Bahkan, kata Dante, ke depan pemerintah bersama lembaga riset internasional akan memulai uji klinis terapi super singkat, hanya satu bulan pengobatan. Uji klinis ini dijadwalkan berlangsung pada 2027 hingga 2029.

Jalan Panjang Menuju Eliminasi TB

Meski berbagai inovasi hadir, Dante mengingatkan bahwa obat tidak cukup. Peran tenaga kesehatan dalam mendampingi pasien sejak awal hingga akhir pengobatan tetap menjadi kunci.

“Dalam upaya menurunkan angka TBC, kita berhadapan dengan berbagai macam hal di masyarakat. Salah satunya adalah TBC resisten obat yang tidak bisa diobati dengan obat standar. Maka, pendampingan pasien sangat penting agar terapi benar-benar tuntas,” tegasnya.

(naf/naf)



Sumber : health.detik.com

9 Anak di India Tewas Usai Diduga Minum Obat Batuk Sirup Mengandung Bahan Beracun


Jakarta

Pihak berwenang India tengah menyelidiki apakah sirup obat batuk yang terkontaminasi menyebabkan kematian sembilan anak di negara bagian tengah setelah obat tersebut ditemukan mengandung bahan kimia beracun dalam tingkat berbahaya.

Kementerian Kesehatan India mengatakan sampel Coldrif Cough Syrup, yang diproduksi oleh Sresan Pharma di negara bagian selatan Tamil Nadu, diuji oleh otoritas negara bagian dan ditemukan mengandung dietilen glikol (DEG) yang melebihi batas yang diizinkan.

“Sampel-sampel tersebut ditemukan mengandung DEG melebihi batas yang diizinkan,” kata kementerian dalam sebuah pernyataan, dikutip Reuters.


DEG, pelarut beracun yang digunakan dalam produk industri, telah dikaitkan dengan keracunan fatal di beberapa negara. Pernyataan itu muncul setelah laporan media menunjukkan kematian sembilan anak baru-baru ini di negara bagian Madhya Pradesh dapat dikaitkan dengan konsumsi sirup obat batuk.

“Madhya Pradesh Food and Drug Administration (MPFDA) juga menganalisis tiga dari 13 sampel yang dikumpulkan, yang ditemukan bebas dari kontaminasi,” kata pernyataan kementerian.

Namun, otoritas obat Tamil Nadu kemudian mengonfirmasi adanya kontaminasi DEG (diethylene glycol) pada sampel yang diambil langsung dari fasilitas produksi Sresan Pharma di Kanchipuram.

Pihak Sresan Pharma belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar yang dikirim melalui email.

Kementerian menyatakan, pihak berwenang telah meluncurkan inspeksi terhadap 19 produsen obat di enam negara bagian untuk mengidentifikasi kelemahan pengendalian mutu dan memberikan rekomendasi perbaikan guna mencegah insiden serupa di masa mendatang.

India sendiri mendapat sorotan terkait kualitas ekspor farmasinya setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengaitkan sirup obat batuk produksi perusahaan lain dengan kematian 70 anak di Gambia pada 2022, temuan yang kemudian dibantah oleh New Delhi.

(suc/suc)



Sumber : health.detik.com

Kejar Status WLA, BPOM Gelar Workshop Bareng USP Demi Jaminan Mutu Obat Nasional


Jakarta

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI melaksanakan workshop bertajuk ‘The Values of Pharmacopeial Standards’ untuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM dari seluruh Indonesia dan perwakilan industri-industri farmasi.

Workshop ini diselenggarakan atas kerjasama yang sudah dilakukan oleh BPOM dengan United States Pharmacopeia (USP) di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Workshop ini diharapkan bisa menjadi langkah besar untuk meningkatkan standar farmakope di Indonesia.

“Acara ini merupakan kelanjutan dari penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) sebelumnya Badan POM dengan USP di Maryland pada beberapa bulan yang lalu. Karena pharmacopeia Indonesia itu banyak mengadopsi atau mengambil dari USP dan pharmacopeia negara-negara lain. Itu untuk meningkatkan standar pharmacopeia di Indonesia,” ujar Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM RI William Adi Teja, Selasa (7/10/2025).


Selain soal kualitas dan keamanan obat, workshop ini juga mempererat kerjasama antara BPOM RI dan USP. Diharapkan, kerjasama ini dapat meningkatkan standar kemampuan BPOM RI sehingga bisa diakui dunia.

“Ini juga kenapa kita lakukan karena Indonesia juga sedang masuk pada penilaian akhir WLA (WHO-Listed Authority) status oleh WHO. Nah, hal-hal seperti inilah yang mendukung Indonesia untuk bisa mendapatkan maturity level 4 di WHO,” sambung William.

“Jadi kolaborasi ini, workshop ini sangat penting untuk meningkatkan kemampuan Indonesia di bidang pengawasan obat dan makanan sehingga dapat menjaga masyarakat Indonesia dari makanan dan obat yang tidak berstandar,” tandasnya.

General Manager and Senior Director USP Asia Pacific, Anthony Tann menyambut baik kerjasama yang dilakukan dengan BPOM. Menurutnya, memastikan obat sampai ke tangan masyarakat dengan aman dan bermanfaat adalah hal yang harus diutamakan.

Ia menambahkan kolaborasi ini adalah salah satu kesempatan penting untuk berbagi pengalaman dan belajar satu sama lain dalam hal produksi dan pengawasan obat.

“Merupakan kehormatan besar menjadi bagian dari perjalanan ini bersama BPOM, untuk memastikan bahwa masyarakat Indonesia, bahkan di seluruh dunia, dapat memiliki akses terhadap obat-obatan yang aman dan terjamin mutunya,” tandas Tann.

(avk/kna)



Sumber : health.detik.com

Brasil Bangun ‘Pabrik Nyamuk’, Produksi Ratusan Juta Wolbachia demi Cegah DBD


Jakarta

Brasil belum lama ini meresmikan ‘pabrik nyamuk’ wolbachia yang digunakan untuk mengatasi peredaran demam berdarah dengue (DBD). Pabrik bernama Oxitec yang terletak terletak di Campinas, negara bagian Sao Paulo Brasil dan memiliki luas 1.300 meter persegi itu dapat memproduksi sekitar 190 juta nyamuk tiap minggu.

Dalam pabrik tersebut, nyamuk aedes aegypti penyebab DBD ‘disuntikkan’ bakteri wolbachia untuk mencegah virus dengue berkembang dalam tubuh nyamuk. Mekanisme ini yang membuat DBD bisa dicegah.

Menurut data Oxitec, penurunan penularan dengue mencapai lebih dari 75 persen. Teknologi ini telah diakui secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan diadopsi oleh Kementerian Kesehatan Brasil sebagai bagian dari Program Nasional Pengendalian Dengue.


Dikutip dari Oddity Central, ketika nyamuk-nyamuk ini berkembang biak, bakteri itu akan diturunkan juga pada keturunannya.

Produksi nyamuk di pabrik Campinas dimulai dengan ribuan nampan berisi air bersuhu teratur, tempat larva berkembang. Setelah menjadi nyamuk dewasa, mereka dipindahkan ke dalam kandang dan diberi makanan favorit mereka, meliputi larutan gula dalam bola kapas untuk nyamuk jantan dan darah hewan yang disimpan dalam kantong menyerupai kulit manusia untuk nyamuk betina.

Nyamuk-nyamuk itu hidup selama 4 minggu dalam kandang. Di situ, mereka berkembang biak dan bertelur di nampak yang diletakkan di dasar kandang.

Metode wolbachia ini telah berhasil di beberapa negara lain. Namun, Brasil ingin membuat skala yang lebih luas. Ini dilakukan lantaran kasus DBD di Brasil meningkat tiap tahun. Pada tahun 2024 misalnya, Brasil mengalami wabah DBD paling parah dalam sejarah, menyumbang 80 persen kasus DBD dunia.

“Brasil telah mengalami wabah dengue yang menghancurkan dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan untuk bertindak tidak pernah sebesar ini. Dengan kompleks baru di Campinas, kami siap mendukung perluasan program Wolbachia dari Kementerian Kesehatan, memastikan teknologi ini menjangkau masyarakat di seluruh negeri secara efisien dan hemat biaya,” kata direktur Oxitec Brasil, Natalia Verza Ferreira.

(avk/kna)



Sumber : health.detik.com

20 Anak di India Meninggal Kena Gagal Ginjal usai Minum Obat Batuk Beracun

Jakarta

Jumlah korban meninggal akibat keracunan sirup obat batuk Coldrif yang terkontaminasi di Madhya Pradesh (MP), India, terus bertambah. Wakil Ketua Menteri Madhya Pradesh, Rajendra Shukla, pada Selasa (7/10/2025) mengumumkan total 20 anak dari negara bagian tersebut telah meninggal dunia saat menjalani perawatan akibat gagal ginjal.

Sebelumnya, pemerintah negara bagian mengonfirmasi 16 kematian, namun dalam 24 jam terakhir, jumlahnya bertambah empat.

“Sejauh ini, 20 anak dari Madhya Pradesh telah meninggal dunia saat menjalani perawatan… Dua di antaranya meninggal dalam 24 jam terakhir,” kata Rajendra Shukla setelah mengunjungi korban yang masih dirawat dikutip dari India Express, Rabu (8/10/2025).


Penarikan Obat Massal

Tragedi ini memicu kemarahan publik dan respons cepat dari pemerintah India. Sirup Coldrif yang ditemukan mengandung racun berbahaya itu diproduksi oleh perusahaan yang berbasis di Tamil Nadu.

Dr Praveen Soni, seorang dokter di Chhindwara, telah ditangkap atas dugaan kelalaian karena meresepkan sirup Coldrif kepada sebagian besar korban. Di samping itu, Kepolisian Madhya Pradesh telah membentuk Tim Investigasi Khusus (SIT) dan mengajukan tuntutan terhadap perusahaan manufaktur Coldrif yang berbasis di Tamil Nadu.

Tingkat Kontaminasi 500 Kali Batas Aman

Menurut laporan polisi yang diajukan di negara bagian Madhya Pradesh, semua anak yang meninggal awalnya mengalami gejala flu biasa.

“Sebagian besar dari mereka diberi sirup Coldrif, setelah itu mereka menderita retensi urine dan gangguan ginjal akut,” bunyi laporan tersebut dikutip dari Reuters, Selasa (7/10).

Diethylene Glycol, zat kimia yang umumnya digunakan dalam produk anti-freeze hingga kosmetik, diketahui dapat menyebabkan muntah, sakit perut, hingga cedera ginjal akut yang berujung pada kematian.

Analisis dari otoritas di negara bagian Tamil Nadu (tempat produsen Coldrif, Sresan, berada) menemukan sirup tersebut mengandung 48,6% Diethylene Glycol, jauh melampaui batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan otoritas India, yaitu 0,1%.

(kna/kna)



Sumber : health.detik.com

Cemaran Dietilen Glikol di Balik Obat Batuk Sirup Maut Renggut Nyawa Anak India


Jakarta

Kementerian Kesehatan India mengonfirmasi bahwa sirup obat batuk merek ‘Coldrif’ mengandung dietilen glikol (DEG) melebihi batas yang diizinkan. Cemaran ini memicu setidaknya 16 anak-anak meninggal dunia.

“Sampel-sampel tersebut ditemukan mengandung DEG melebihi batas yang diizinkan,” menurut pernyataan kementerian tersebut dikutip dari NDTV, Senin (6/10/2025).

Hasil uji laboratorium pemerintah di Chennai menunjukkan, produk tersebut mengandung dietilen glikol yang sngat tinggi, berisiko merusak ginjal dan sistem saraf jika tertelan.


Apa itu Dietilen glikol (DEG)?

Dietilen Glikol (DEG) adalah pelarut industri yang digunakan dalam antibeku, cat, minyak rem, dan plastik. Keduanya tidak ditujukan untuk obat-obatan. Terkadang, keduanya mencemari bahan farmasi seperti gliserin, seringkali karena pengawasan yang buruk atau pemasok yang menggunakan bahan kelas industri yang lebih murah.

DEG tidak berwarna dan seperti sirup, sehingga mudah disalahartikan sebagai eksipien yang sah jika pengujian laboratorium yang ketat diabaikan.

Mengapa berbahaya?

Ketika tertelan, baik DEG maupun EG terurai menjadi senyawa toksik yang menyebabkan kerusakan ginjal, hati, dan sistem saraf yang parah. Gejala pada anak-anak dimulai dengan mual, sakit perut, dan berkurangnya frekuensi buang air kecil. Pada kasus yang parah, kondisi ini dapat berkembang dengan cepat menjadi gagal ginjal akut, kejang, dan kematian.

Anak-anak sangat rentan karena bahkan dalam jumlah kecil yang relatif terhadap berat badan mereka pun dapat berakibat fatal.

Insiden fatal sempat terjadi

Insiden sebelumnya menunjukkan betapa mematikannya hal ini: Di Gambia, setidaknya 70 anak meninggal pada tahun 2022 setelah mengonsumsi sirup obat batuk yang terkontaminasi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah berulang kali memperingatkan tentang sirup obat batuk yang terkontaminasi DEG dan EG, yang menghubungkannya dengan lebih dari 300 kematian anak di seluruh dunia sejak tahun 2022.

Untuk membantu regulator, WHO telah mengembangkan metode pengujian dua tingkat baru, yang mencakup kromatografi lapis tipis (TLC) untuk skrining awal, diikuti oleh kromatografi gas untuk konfirmasi.

(kna/kna)



Sumber : health.detik.com

Obat Sirup India Kembali Makan Korban, Apa yang Sebenarnya Terjadi?


Jakarta

Kasus obat sirup beracun yang melibatkan produk buatan India kembali menggemparkan dunia. Setelah sebelumnya menewaskan puluhan anak di Gambia dan Uzbekistan, kini tragedi serupa terjadi di dalam negeri India.

Pada tahun 2022, dunia dikejutkan oleh laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengungkapkan bahwa lebih dari 66 anak di Gambia tewas setelah mengonsumsi sirup batuk yang diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals, perusahaan farmasi India.

Obat ini terkontaminasi dengan dietilen glikol, zat beracun yang dapat merusak ginjal dan menyebabkan gagal organ. Kasus serupa juga terjadi di Uzbekistan, dengan 18 anak meninggal setelah mengonsumsi obat sirup yang sama.


Terjadi Juga di Tahun 2023

Pada tahun 2023, kasus obat sirup beracun juga menghantam India. Beberapa anak dilaporkan keracunan setelah mengonsumsi sirup batuk yang terkontaminasi dengan zat berbahaya. Dalam kasus ini, meskipun tidak ada laporan kematian, gejala yang dialami anak-anak yang terkontaminasi serupa dengan yang terjadi di Gambia dan Uzbekistan.

Obat-obatan yang diproduksi oleh Norris Medicines terkontaminasi dietilen glikol (DEG) atau etilen glikol (EG), kontaminan yang sama yang ditemukan dalam sirup obat batuk yang menyebabkan kematian 114 anak di Gambia, Uzbekistan, dan Kamerun sejak pertengahan tahun 2022.

Produk Trimax Expectorant yang diedarkan mengandung 0,118 persen EG, sementara obat alergi Sirup Sylpro Plus mengandung 0,171 persen EG dan 0,243 persen DEG. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan batas aman, berdasarkan standar yang berlaku secara internasional, tidak lebih dari 0,10 persen.

Ditemukan Lagi Cemaran DEG di Obat Batuk Sirup

India kembali menghadapi kasus kematian anak akibat pemberian sirup obat batuk. Hingga Sabtu kemarin, tercatat 16 anak meninggal dunia setelah mengonsumsi sirup obat batuk merek Coldrif.

Menyusul kabar tersebut, kepolisian setempat menangkap dr Praveen Soni, dokter yang meresepkan sirup obat batuk terkontaminasi dietilen glikol (DEG) di luar ambang batas yang ditolerir.

Pemerintah Madhya Pradesh pada hari Sabtu melarang penjualan dan distribusi sirup obat batuk Coldrif setelah tes mengonfirmasi adanya zat beracun dalam sampel yang dikumpulkan dari batch yang sama terkait dengan kematian 16 anak, sembilan sebelumnya dan dua lainnya dilaporkan kemudian, di Chhindwara.

Keamanan Obat-obatan India Dipertanyakan

Diberitakan BBC, banyak yang percaya bahwa India selalu berjuang melawan banjir obat palsu, yang sebagian besar dijual di kota-kota kecil dan desa-desa.

Namun, para analis mengatakan bahwa dokter dan pasien mungkin mencampuradukkan obat-obatan di bawah standar dengan apa yang mereka anggap sebagai obat palsu. Laboratorium pengujian obat milik negara di banyak negara bagian kekurangan dana, kekurangan staf, dan peralatan yang buruk.

Catatan resmi pemerintah mengungkapkan bahwa antara tahun 2007 dan 2020, lebih dari 7.500 obat yang diambil sampelnya hanya di tiga dari 28 negara bagian dan tiga wilayah persatuan di India telah gagal dalam uji mutu dan dinyatakan sebagai obat ‘tidak berkualitas standar’.

(kna/kna)



Sumber : health.detik.com

Kronologi Belasan Anak di India Meninggal gegara Obat Batuk, Ini yang Dialami


Jakarta

Polisi India telah membuka penyelidikan dugaan pembunuhan (manslaughter probe) atas kematian setidaknya 14 anak yang terkait dengan sirup obat batuk beracun. Insiden ini kembali mencoreng reputasi industri farmasi India menyusul serangkaian tragedi serupa dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagian besar korban berusia di bawah lima tahun dan meninggal karena gagal ginjal dalam sebulan terakhir setelah mengonsumsi sirup obat batuk bermerek Coldrif Syrup. Sirup tersebut, menurut laporan kepolisian, mengandung toksin Diethylene Glycol (DEG) dalam jumlah hampir 500 kali batas yang diizinkan.

Tingkat Kontaminasi 500 Kali Batas Aman

Menurut laporan polisi yang diajukan di negara bagian Madhya Pradesh, semua anak yang meninggal awalnya mengalami gejala flu biasa.


“Sebagian besar dari mereka diberi sirup Coldrif, setelah itu mereka menderita retensi urine dan gangguan ginjal akut,” bunyi laporan tersebut dikutip dari Reuters, Selasa (7/10/2025).

Diethylene Glycol, zat kimia yang umumnya digunakan dalam produk anti-freeze hingga kosmetik, diketahui dapat menyebabkan muntah, sakit perut, hingga cedera ginjal akut yang berujung pada kematian.

Analisis dari otoritas di negara bagian Tamil Nadu (tempat produsen Coldrif, Sresan, berada) menemukan sirup tersebut mengandung 48,6% Diethylene Glycol, jauh melampaui batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan otoritas India, yaitu 0,1%.

Toksin DEG atau Etilen Glikol telah berulang kali ditemukan dalam sirup batuk buatan India. Sejak tahun 2022, sirup yang terkontaminasi telah menewaskan setidaknya 141 anak di Gambia, Uzbekistan, dan Kamerun, serta 12 anak lainnya di India pada tahun 2019. Tragedi ini merusak citra India sebagai negara produsen obat terbesar ketiga di dunia berdasarkan volume.

Polisi telah menetapkan produsen Coldrif, Sresan Pharma, sebagai salah satu terdakwa utama. Selain itu, dokter yang meresepkan obat tersebut kepada sebagian besar anak-anak juga telah ditangkap.

Pihak berwenang federal telah merekomendasikan pembatalan izin produksi Sresan Pharma. Sementara itu, perusahaan tersebut menghadapi dakwaan berat, termasuk pembunuhan yang dapat dipertanggungjawabkan namun tidak mencapai pembunuhan (culpable homicide not amounting to murder), pemalsuan obat, serta pelanggaran Undang-Undang Obat-obatan dan Kosmetika.

Jika terbukti bersalah, perusahaan dan pejabatnya dapat menghadapi denda dan hukuman penjara hingga seumur hidup. Beberapa negara bagian di India juga telah melarang penjualan dan distribusi sirup Coldrif.

(kna/kna)



Sumber : health.detik.com

Miris! Gaza Dikepung Kelaparan tapi Hanya 73 Truk Bantuan yang Masuk


Jakarta

Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina, semakin mengkhawatirkan. Potret memilukan warga, terutama anak-anak yang menderita kelaparan dan malnutrisi, terus beredar sehingga menuai kecaman internasional terhadap Israel. Meski tekanan dunia meningkat, bantuan yang masuk masih sangat terbatas.

Pada Sabtu (26/7/2025), Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengumumkan telah membuka kembali pengiriman bantuan makanan ke Gaza melalui jalur udara.

Namun menurut laporan Kantor Media Pemerintahan di Gaza, hanya 73 truk bantuan yang berhasil masuk dalam kurun waktu 24 jam terakhir, tepatnya pada Minggu (27/7/2025). Kantor media itu juga melaporkan bahwa terdapat tiga pengiriman bantuan melalui udara, namun total muatan ketiganya hanya setara dengan dua truk bantuan.


Bantuan udara tersebut justru mendarat di “zona merah”, ini adalah area pertempuran aktif yang telah ditandai di peta militer Israel sehingga warga sipil tidak bisa mengambil bantuan secara aman. Otoritas Palestina menyatakan bahwa Gaza membutuhkan sedikitnya 600 truk bantuan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan 2,4 juta penduduknya.

Seluruh Warga Gaza Alami Krisis Pangan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa seluruh warga Gaza saat ini berada dalam kondisi krisis pangan akut, tanpa akses yang memadai terhadap makanan bergizi dan aman. Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terdampak kelaparan ini.

Laporan Al Jazeera menyebutkan bahwa bantuan udara yang dijatuhkan ke wilayah pengungsian di Gaza utara justru menimbulkan korban. Sebanyak 11 warga dilaporkan terluka, setelah paket bantuan jatuh langsung ke tenda-tenda pengungsi.

Pengiriman Bantuan Udara Dinilai Berbahaya dan Tidak Efektif

Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, mengkritik keras pengiriman bantuan melalui udara. Dalam wawancaranya dengan CNN, ia menyebut metode tersebut tidak efisien, mahal, dan berbahaya bagi warga sipil. Ia mendorong agar Israel membuka jalur darat kemanusiaan yang memungkinkan distribusi bantuan lebih aman dan masif.

“Pengiriman bantuan harus dilakukan lewat jalur darat, bukan udara. Itu jauh lebih efektif dan menyelamatkan nyawa,” ujar Lazzarini.

Lonjakan Kasus Malnutrisi dan Kematian Anak di Gaza

Dilansir dari The Guardian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sebanyak 74 kematian akibat malnutrisi terjadi sepanjang 2025 di Gaza. Sebanyak 63 kematian terjadi pada bulan Juli, termasuk 24 balita, seorang anak di atas usia lima tahun, serta 38 orang dewasa.

1 dari 5 anak di bawah usia 5 tahun mengalami kekurangan gizi akut. The Washington Post menambahkan bahwa anak-anak yang selamat dari gizi buruk, pengeboman, serta trauma psikologis, kemungkinan besar akan menghadapi masalah kesehatan seumur hidup.

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, hingga saat ini, aksi genosida oleh Israel telah menewaskan lebih dari 59 ribu warga Palestina dan melukai sekitar 143 ribu orang lainnya. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.

Jumlah korban tewas diperkirakan bisa melebihi 61 ribu jiwa, karena ribuan orang masih hilang di bawah reruntuhan bangunan yang digempur oleh militer Israel dan diduga telah meninggal dunia.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Israel Larang Mufti Yerusalem Masuk Masjid Al Aqsa usai Kecam Kelaparan Gaza



Jakarta

Israel mengeluarkan larangan bagi Mufti Agung Yerusalem dan Palestina, Syeikh Muhammad Hussein, memasuki Masjid Al Aqsa selama seminggu. Larangan bisa diperpanjang.

Laporan kantor berita WAFA, perintah larangan tersebut dikeluarkan pada Minggu (27/7/2025) waktu setempat menyusul panggilan interogasi Israel terhadap Syekh Hussein. Syekh Hussein juga mengaku telah menerima surat perintah tersebut tapi enggan menandatanganinya.


Syekh Hussein mengatakan ia dipanggil otoritas Israel buntut khutbah Jumatnya di Masjid Al Aqsa pada Jumat (25/7/2025). Dalam khutbah itu, ia mengecam kebijakan Israel yang menyebabkan krisis kelaparan di Gaza.

Departemen Wakaf Islam di Yerusalem, seperti dilansir kantor berita Anadolu Agency, mengonfirmasi Syekh Hussein ditangkap di halaman masjid tak lama setelah menyampaikan khutbah Jumat yang mengecam kejahatan Israel terhadap warga Palestina.

Krisis Kelaparan di Gaza

Diketahui, Gaza tengah dilanda krisis kelaparan akibat blokade bantuan kemanusiaan yang dilakukan Israel, meski Tel Aviv menepis tuduhan itu.

Menurut sejumlah laporan, kelaparan yang terus berlanjut telah menyebabkan kematian, banyak yang datang ke rumah sakit dalam kondisi lemas akibat kurang makanan, dan banyak lainnya yang pingsan di jalan.

Lebih dari 100 organisasi kemanusiaan dalam pertanyaan bersama pada Rabu (23/7/2025) menyatakan “kelaparan massal” sedang menyebar di Gaza. Mereka mendesak pembukaan semua perlintasan di Gaza sesegera mungkin, mengakhiri pengepungan Israel, untuk memulihkan akses makanan, air bersih, bantuan medis, material tempat tinggal, bahan bakar, dan mendukung mekanisme kemanusiaan yang dipimpin PBB.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pernyataannya pada Minggu (27/7/2025) mengatakan malnutrisi di Gaza telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kondisi tersebut, kata WHO, terbukti dengan peningkatan tajam kematian bulan ini.

WHO mengonfirmasi banyaknya kematian disebabkan blokade yang disengaja dan keterlambatan bantuan. Pihaknya juga mencatat hampir satu dari lima anak berusia di bawah lima tahun di Gaza menderita kekurangan gizi parah.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com